Malam itu langit di desa Kemuning terlihat sedang tidak baik-baik saja. Awan gelap dan angin kencang sudah mulai berhembus kuat. Sepertinya hujan akan segera turun.
Keadaan desa cukup sepi karena semua orang lebih memilih untuk berada di dalam rumah. Tapi tidak dengan Nada, gadis berusia 20 tahun itu berjalan sendirian menuju ke sebuah klinik yang berada di ujung desa.
Nafasnya tersengal, wajahnya pucat. Penyakit asma yang dia derita membuat Nada tidak bisa berdiam diri. Obatnya sudah habis dan dia harus mendapatkan obat lagi malam ini. Jika tidak, mungkin dia tidak akan bisa tidur sepanjang malam.
Klinik Kemuning Indah, terlihat sepi. Padahal biasanya jika siang hari klinik itu selalu dipenuhi oleh orang-orang yang berkunjung.
Dua hari ini, desa kecil mereka kedatangan dokter relawan yang berbaik hati melakukan pengobatan gratis di desa itu. Apalagi akhir-akhir ini banyak sekali penyakit yang diderita warga karena desa yang selalu dilanda banjir.
Nada baru kali ini datang, itupun karena dia sudah kehabisan obat asmanya. Jadi hari yang buruk pun tidak lagi dia hiraukan.
Nada mengetuk pintu klinik, beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang gadis seumuran Nada yang membuka pintu. Dia terlihat sudah menenteng tas dan juga memakai helm.
"Mau ngapain?" tanyanya.
"Mau beli obat, mbak," jawab Nada dengan nafas tersengal.
"Gak usahlah, udah malam. Gak tahu ya kalau klinik udah tutup. Hari juga udah mau hujan, dokter Rayyan juga udah mau pulang. Besok pagi aja," ujarnya sedikit ketus. Bahkan dia berbicara dengan cepat.
"Cuma minta obat aja, mbak. Asma saya kambuh lagi," ucap Nada.
Anita, gadis berpakaian putih yang bertugas membantu dokter Rayyan di klinik terlihat menghela nafas jengah. Sejak dulu dia memang sudah tidak menyukai Nada. Tidak tahu apa alasannya yang jelas rasa iri melihat kecantikan Nada yang selalu menjadi pujian orang membuatnya menjadi tidak menentu.
"Makanya jangan penyakitan," ucap Anita.
"Ada siapa, Anita?" Tiba-tiba suara berat namun lembut terdengar dari dalam. Membuat Nada dan Anita langsung menoleh.
Seorang lelaki tampan berpakaian dokter dengan wajah teduhnya datang menghampiri mereka.
Wajah yang semula ketus itu kini berubah drastis.
"Ini, dokter. Dia mau minta obat padahal kita sudah tutup," adu Anita.
Nada terdiam, dia masih terus memperhatikan wajah Dokter Rayyan dengan lekat. Namun, ketika dokter itu memandangnya Nada langsung tertunduk takut.
"Sakit apa? Sesak nafas?" tanya Dokter Rayyan. Dia bisa melihat nafas Nada yang sesak.
Nada mengangguk pelan.
"Masuklah!" ujarnya pada Nada. Dan setelah itu dokter Rayyan kembali memandang Anita. "Kamu bisa pulang duluan, hari sudah mulai gerimis."
"Tapi, dokter," Anita keberatan.
"Kamu pakai motor, saya khawatir kamu kehujanan. Pergilah, besok pagi datang cepat," ujar Dokter Rayyan kembali.
Anita mendengus kesal, dia memandang Nada dengan pandangan sinis.
"Ayo masuk, kamu terlihat tidak baik," ujar Dokter Rayyan pada Nada.
Nada mengangguk pelan, dia langsung masuk dan berlalu dari hadapan Anita yang memandangnya dengan kesal. "Awas kamu kalau macam-macam," ancamnya.
Nada tidak menghiraukan ancaman itu, nafasnya sudah sesak dan dia sudah kesulitan bernafas. Macam-macam yang bagaimana maksud Anita?
Nada berjalan mengikuti dokter Rayyan ke ruang perawatan kecil yang ada di klinik itu. Antara menahan sakit dan juga memperhatikan wajah Dokter Rayyan yang seperti tidak asing baginya.
"Duduk dulu," ujar Dokter Rayyan.
Nada duduk di ranjang yang ada di sana.
"Punya riwayat penyakit asma ya?" tanya Dokter Rayyan sembari mengambil Inhaler Asma dari dalam lemari obat.
"Iya, dokter," jawab Nada.
Dokter Rayyan tidak menjawab, dia langsung menyerahkan alat itu pada Nada. Dan terus memperhatikan Nada yang segera menghisapnya beberapa kali.
"Ada keluhan lain?" tanya Dokter Rayyan kembali.
"Hanya sesak nafas, saya kemari cuma mau ambil obat ini saja," jawab Nada.
"Begitu ya, padahal harusnya kamu tahu kalau sakit asma tidak boleh berada diluar rumah apalagi di saat hari sedang tidak bagus seperti ini. Bisa bahaya," ujar dokter Rayyan.
Dia berucap sembari mencari obat-obatan di dalam tas.
Nada hanya diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Siapa lagi yang mau mencarikan obat untuknya. Nada hanya tinggal sendirian setelah orang tuanya meninggal satu tahun yang lalu. Sanak keluarga ada, tapi Nada tidak bisa merepotkan mereka.
"Ini diminum tiga hari sekali," Dokter Rayyan memberikan sebungkus obat-obatan untuk Nada.
"Ingat jaga kesehatan dan jangan lagi keluar malam jika sedang tidak sehat. Cuaca buruk saat ini sangat mengganggu kesehatan, apalagi untuk kamu yang memang menderita asma," ujar dokter tampan itu kembali.
Nada mengangguk pelan, dia tidak terlalu mendengarkan penuturan dokter Rayyan. Nada malah salah fokus pada tanda lahir di tangan dokter Rayyan.
Dia memandang dokter Rayyan dengan lekat. Tapi sayang, dokter itu sepertinya memang tidak lagi mengingatnya.
Atau dia memang salah orang? Entahlah.
"Kamu pulang naik apa? Sebaiknya cepat pulang, hari mau hujan deras sebentar lagi," ucapan Dokter Rayyan membuat Nada sedikit terkesiap.
"Iya, dokter. Terimakasih obatnya. Saya pulang sekarang," ucap Nada.
"Iya, hati-hati. Sudah lebih baik kan?" tanya dokter Rayyan.
Nada mengangguk, dia turun dari tempat tidur begitu pula dengan dokter Rayyan yang berjalan keluar dari ruangan itu.
"Pulang naik apa?" tanya dokter Rayyan berbasa-basi sembari menutup pintu klinik karena dia juga sudah akan pulang ke rumah singgahnya.
"Jalan kaki, dokter," jawab Nada.
Dokter Rayyan langsung tertegun mendengar itu, "jalan kaki? Rumah kamu dekat?" tanya dokter Rayyan heran.
Nada tersenyum getir dan menggeleng pelan, "20 menit jalan kaki," jawabnya.
"Astaga, kamu mau bunuh diri kamu sendiri ya?" tanya Dokter Rayyan.
Nada mengerucutkan bibirnya sekilas. "Saya nggak punya kendaraan, jadi saya jalan kaki," jawab Nada sembari menghisap obatnya.
Dokter Rayyan menghela nafas, dia memandang ke luar dimana gerimis sudah turun.
"Yasudah, ayo sama saya saja. Hari sudah hujan, asma kamu bisa semakin parah nanti," ujarnya.
"Eh, jangan dokter. Saya nggak enak," tolak Nada.
"Daripada besok kamu datang lagi tapi dengan keadaan yang lebih parah. Pilih mana?" tanya Dokter Rayyan.
Nada terdiam.
"Sudah ayo, sebentar lagi hujan deras," ajaknya yang langsung berjalan menuju mobil.
Nada mematung, dia bingung tapi hari memang sudah hujan. Jika dia paksakan dia bisa sakit sementara besok dia harus bekerja lagi.
"Cepat!" seru Dokter Rayyan.
Akhirnya mau tidak mau Nada juga berjalan ragu kearah Dokter Rayyan.
Dokter tampan itu langsung membukakan pintu mobil untuk Nada.
"Beneran gak apa-apa, dokter?" tanya Nada.
"Tidak, sudah masuklah," ujar Dokter Rayyan.
Nada masuk ke dalam mobil begitu pula dengan dokter Rayyan. Mobil Avanza itu langsung melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan Desa Kemuning yang sudah licin dan becek karena setiap hari terus diguyur hujan.
Sepanjang jalan mereka hanya diam, kondisi jalan yang parah dan juga hujan yang semakin deras membuat dokter Rayyan fokus pada kemudinya. Sesekali Nada memandang dokter Rayyan, begitu pula dengan dokter tampan itu.
"Hujannya deras sekali, saya tidak bisa melanjutkan perjalanan jika seperti ini. Kita berhenti dulu tidak apa-apa?" tanya Dokter Rayyan.
"Iya, dokter. Saya juga takut, biasanya bukit di depan sana sering longsor kalau sedang hujan begini," jawab Nada pula.
Dokter Rayyan langsung menepikan mobilnya karena mobil itu juga terpuruk di jalanan yang hancur.
"Miris sekali keadaan desa ini, seharusnya pemerintah setempat harus lebih memperhatikan lagi infrastruktur jalan disini," gumamnya seorang diri. Namun, masih terdengar di telinga Nada.
Tiba-tiba, mereka langsung tertegun karena mendengar suara tanah yang longsor di depan sana. Desa Kemuning yang terletak di pelosok kota Riau berada di daerah perbukitan. Rawan longsong dan banjir jika sudah musim penghujan seperti ini.
"Astaga," gumam Dokter Rayyan terkejut.
Dia langsung menoleh ke arah Nada yang juga terdiam takut. "Seperti ini kamu mau jalan kaki, kenapa nekad sekali, sekarang saja kita terjebak di sini," ucap Dokter Rayyan.
Nada terdiam.
Tubuhnya yang tidak baik dan terjebak dalam keadaan yang buruk seperti ini membuat dia semakin panik. Wajahnya memucat dan nafasnya kembali sesak.
"Saya tidak tahu minta tolong sama siapa, dokter," lirihnya.
Dokter Rayyan memandang Nada dengan pandangan iba. Wajahnya yang pucat membuat dokter Rayyan langsung meraih tangan nada dan memeriksa denyut nadinya.
Nada sedikit terkejut, dia memandang dokter Rayyan dengan aneh.
"Jangan panik, kamu tidak boleh panik di saat seperti ini," ujar dokter Rayyan.
Nada mengangguk, dia tersandar dan mencoba menarik nafasnya meski terasa payah.
Hujan semakin deras, jalanan semakin tidak bisa dilalui, apalagi suara longsong terus saja terdengar di depan sana. Ingin meminta tolong untuk pergi dari sana, tapi mereka berada di jalanan yang tidak ada rumah penduduk sama sekali.
Akhirnya mereka harus berdiam diri dan menunggu hujan reda agar bisa pergi dari tempat itu, atau setidaknya kembali ke klinik atau menumpang di rumah warga.
Sudah hampir tiga jam mereka berada di dalam mobil. Tapi sayang, hujan tidak kunjung berhenti. Suhu udara semakin dingin dan itu membuat keadaan Nada semakin buruk.
Nafasnya semakin sesak, wajahnya benar-benar pucat. Dokter Rayyan juga semakin panik, apalagi di dalam mobil itu tidak ada penghangat udara.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya Dokter Rayyan.
"Sesak, dokter," ucap Nada terbata.
Dia kejang, bahkan tubuhnya menegang karena kesulitan bernafas.
"Astaga," dokter Rayyan langsung melakukan pertolongan pertama. Dia membantu nada menghisap obatnya, bahkan karena melihat Nada yang sesak dokter Rayyan reflek membuka sedikit kancing kemeja Nada agar gadis itu bisa bernafas lega.
"Uuh," lenguh Nada dengan susah payah.
"Minum," dokter Rayyan memberikan obat ke mulut Nada. Susah payah Nada menelan obat itu bahkan sampai air minum tertumpah di tubuhnya.
Dokter Rayyan terus melakukan pertolongan untuk gadis itu. Hingga beberapa menit kemudian keadaan Nada mulai membaik.
Tapi tiba-tiba, pintu mobil mereka diketuk dengan kuat membuat dokter Rayyan terkejut.
"Dokter! Keluar!" seru beberapa orang di sana.
Dokter Rayyan terkejut, dia memandang Nada yang masih lemas tapi sudah bisa tenang.
Hari masih hujan tapi orang-orang itu berada di sana.
"Dokter, kenapa kalian melakukan hubungan mesum di sini! Dokter tahukan ini dimana? Apa seperti itu pekerjaan dokter!" seru Dandi. Seorang pemuda bertampang sangar.
"Hubungan mesum bagaimana?" tanya dokter Rayyan bingung. Dia keluar dari dalam mobil.
"Lihat itu, apa itu jika bukan mesum dan berzinah!" seru pak Harto. Dia menunjuk Nada yang masih terduduk lemas di dalam mobil.
Dokter Rayyan menoleh ke arah Nada, begitu pula dengan semua orang yang ada di sana. Mereka melihat penampilan Nada yang berantakan dengan baju bagian dada yang terbuka dan basah. Wajah Nada yang lemas dan rambut yang acak-acakan membuat mereka berpikir jika Dokter Rayyan dan Nada sudah berbuat hal yang tidak baik.
"Nada seperti itu karena … "
"Tidak bisa dibiarkan, kalian harus menikah untuk menghindari bala di desa kami!" seru Pak Harto yang merupakan salah satu tetua adat di desa itu.
"Apa menikah?" ucap Dokter Rayyan dan Nada bersamaan.
...
Selamat membaca. Jangan lupa like dan komentar kalian ya.
Disinilah mereka berada. Di kantor kepala desa Kemuning. Dokter Rayyan dan Nada dibawa warga ke kantor kepala desa yang memang berada tidak jauh dari klinik itu. Pakaian mereka semua masih basah karena mereka berjalan dalam keadaan masih hujan.
Nada terduduk lemas di kursi. Di depannya berdiri pamannya yang nampak marah dan meradang. Sedangkan Dokter Rayyan duduk di sebelahnya. Mereka sedang di sidang saat ini.
"Kamu memang selalu membuat aku malu!" bentak Darso.
"Nada nggak buat zina, paman," ucap Nada lemas. Keadaannya masih tidak baik, tapi dia sudah dihadapkan dengan tatapan tajam orang-orang yang ada disini bahkan dengan tega mereka memfitnah Nada melakukan perbuatan zina.
"Kalau nggak zina gimana bisa kamu ada di dalam mobil dokter Rayyan, bilang aja cari kesempatan," sahut Dandi yang memang sepupu Nada.
"Nada sesak nafas, saya hanya memberikan dia pertolongan. Zina bagaimana yang kalian maksud?" tanya Dokter Rayyan pula. Dia sudah lelah karena sejak tadi menjelaskan kronologi yang mereka lakukan di dalam mobil. Tapi orang-orang disini malah semakin menjadi.
"Dokter Rayyan, kami cukup kecewa melihat tindakan dokter. Kami yang awalnya senang karena kedatangan dokter ke tempat ini, tapi sekarang kami salah sangka," ucap pak Harto.
"Benar, kami kira seorang dokter memiliki martabat yang tinggi," kata pak wali pula. Kepala desa Kemuning.
"Ayah!" seru Anita yang baru datang. Dia langsung berjalan dan menerobos orang-orang yang mengerumuni Nada dan Dokter Rayyan. Anak pak wali itu memandang Nada dengan pandangan kesal.
"Bukan Dokter Rayyan yang bersalah, tapi Nada," ucapnya.
Semua orang langsung memandang ke arah Nada. Begitu pula dengan dokter Rayyan.
"Kalian semua kan tahu gimana perilaku Nada selama ini. Dia selalu dekat sama semua lelaki di desa kita. Udah jelas kan, pasti dia yang merayu dokter Rayyan. Mana mungkin orang seperti Dokter Rayyan mau berbuat zina kalau nggak di rayu," ungkapnya dengan begitu menggebu.
"Benar, Nada kan memang liar. Apalagi setelah orang tuanya meninggal," sahut Dandi dengan senyum sinisnya.
Nada menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca dan dia ingin menangis sekarang. "Nggak, Nada gak pernah rayu Dokter Rayyan," lirihnya.
"Halah bohong banget, tadi kan kamu malam-malam datang ke klinik. Padahal kamu tahu kalau klinik udah tutup dan hari mau hujan. Sengaja kan kamu," tuding Anita lagi.
Nada menggeleng cepat.
"Bukan salah Nada. Kami memang tidak berbuat apapun di dalam mobil," sahut Dokter Rayyan.
"Dokter jangan mengelak, udah jelas kalian habis berbuat sesuatu. Pak Harto juga tahu kan tadi," ucap Dandi, dia menoleh pada Pak Harto yang berdiri dengan wajah garangnya.
Ketua adat itu langsung mengangguk pelan. Dia menoleh ke arah pak wali dan juga paman Darso.
"Tidak bisa dibiarkan. Sejak dulu jika ada yang berbuat mesum di desa kita. Kita harus memberikan sanksi. Berhubung mereka masih gadis dan perjaka, maka mereka akan kita nikahkan!" ujar Pak Harto.
"Apa menikah?" tanya Anita.
"Tidak ada pilihan lain, itu jalan satu-satunya. Pilih menikah atau diarak keliling kampung dan diusir dari desa ini," ucap Pak Harto.
"Pak, tapi kami tidak melakukan apapun," Dokter Rayyan kembali melakukan pembelaan. Namun masih seperti tadi, mereka tidak ada yang percaya.
"Dokter Rayyan, kami masih menghormati kedatangan dokter di desa kami. Dan kami juga masih membutuhkan tenaga dokter disini. Jadi dokter bisa memilih untuk menikah karena dengan begitu bukankah itu bisa menyelamatkan nama baik dokter," ucap Pak wali pula.
Dokter Rayyan tertunduk, dia memijat pelipisnya yang terasa berat. Kenapa jadi seperti ini. Niat hati ingin menolong, tapi nyatanya malah terkena musibah. Astaga.
"Ayah, apa tidak ada pilihan lain?" tanya Anita.
"Tidak ada, sejak dulu inilah peraturan di desa kita," jawab Pak wali.
Anita mendengus kesal. Niat hati ingin mempermalukan Nada, tapi akhirnya malah harus berakhir seperti ini.
Nada sudah lesu, dia hanya bisa tertunduk dan menangis di sana. Membela diri pun percuma karena sejak dulu dia memang sudah dibenci oleh Anita dan Dandi. Dan sekarang, semua orang malah termakan hasutan mereka.
"Pagi menjelang kalian sudah harus menikah, tidak ada pilihan lain," kata pak Harto.
Dokter Rayyan langsung menoleh ke arah Nada yang hanya bisa menangis. Sejak tadi dia sudah melakukan pembelaan, tapi tetap saja tidak bisa. Dia pendatang, meski dedikasinya terhadap desa ini cukup besar, tapi mau tidak mau dia memang harus menuruti aturan yang berlaku.
Untuk sekarang itu dia lakukan agar nama baiknya sebagai dokter relawan tidak tercoreng. Dan nanti akan dia pikirkan bagaimana kelanjutannya. Bukankah hanya menikah siri?
Benar saja, ketika pagi menjelang semua warga desa yang berada di dekat daerah itu langsung berkumpul untuk melihat ijab kabul Dokter Rayyan dan Nada. Banyak yang menyayangkan dokter Rayyan menikahi Nada. Apalagi mereka tahu jika Nada hanyalah gadis yatim piatu. Tapi ada juga yang mendukung.
Pak Darso, paman Nada sekaligus ayah Dandi yang menjadi wali hakim. Dia yang menikahkan Nada dengan Dokter Rayyan. Hingga akhirnya pernikahan itu terjadi begitu cepat. Ijab kabul terucap dan akhirnya mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri.
Sedih sekali rasanya ketika harus menikah seperti ini. Tanpa orang tua dan tanpa pesta yang indah. Mereka malah menikah karena di gebrek. Astaga. Benar-benar memalukan.
"Senang kan, udah jadi istri Dokter Rayyan. Jangan senang dulu kamu, aku yakin dua hari kemudian pasti langsung diceraikan tuh sama dokter ganteng," ucap Anita setelah acara ijab kabul itu selesai. Dia terlihat kesal, karena dia yang menginginkan Dokter Rayyan, tapi malah Nada yang menjadi istrinya.
Nada hanya diam, dia menoleh dan memandang dokter Rayyan yang tengah berbicara dengan pamannya dan juga tetua adat.
Hingga tidak lama setelah acara selesai dan dia mendapatkan banyak sekali cacian, akhirnya semua orang langsung meninggalkan tempat itu.
Begitu pula dengan dokter Rayyan yang langsung mendekat ke arah Nada.
"Kamu harus istirahat, kamu masih terlihat lemah sekali," ujarnya.
Nada memandang dokter Rayyan sejenak, namun setelah itu dia hanya bisa mengangguk lirih.
Mereka pulang dengan menggunakan motor yang dipinjami oleh Pak Darso. Karena mobil Dokter Rayyan tidak bisa lewat sebab jalanan yang tertutup longsor.
Sepanjang jalan menuju ke rumah, tidak ada yang saling membuka mulut. Dokter Rayyan hanya bertanya dimana rumah Nada.
Sebuah rumah kecil berdinding papan berwarna hijau dengan halaman yang nampak asri langsung menyambut kedatangan mereka. Nada turun dari atas motor, begitu pula dengan Dokter Rayyan.
Mereka saling pandang, dan terlihat canggung. Karena sungguh, ini benar-benar seperti mimpi.
"Boleh saya masuk?" tanya Dokter Rayyan.
Nada mengangguk pelan. Dia tidak mungkin menolak, karena sekarang Dokter Rayyan sudah menjadi suaminya. Apa jadinya jika dia mengusir Dokter Rayyan.
Rasanya aneh dan benar-benar risih sekali, dua orang asing yang baru pertama kali bertemu tapi sudah harus menikah. Bukankah itu lucu? Dokter Rayyan berjalan mengikuti Nada masuk ke dalam rumah, rumah kecil dan tidak terlalu besar. Tapi cukup rapi dan nyaman.
Mereka duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Lagi-lagi mereka saling pandang, namun sedetik kemudian Nada yang tertunduk malu.
Dokter Rayyan tersenyum simpul memandang Nada. Gadis cantik nan imut yang kini menjadi istrinya. Ah ini benar-benar gila.
"Saya tahu ini sulit, dan saya minta maaf karena saya tidak bisa menolak permintaan mereka untuk menikahkan kita," ucap Dokter Rayyan.
Nada menghela nafas dan mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, dokter. Mau seperti apapun kita membela diri. Mereka gak akan pernah percaya," jawab Nada.
"Sekarang, kita sudah menjadi suami istri. Dan tidak mungkin kita tinggal terpisah," Dokter Rayyan berucap begitu serius. Dan ucapannya itu membuat Nada semakin canggung.
"Maksud dokter, apa kita tinggal serumah dan … dan," perkataannya terhenti karena dia begitu malu untuk mengucapkan hal itu.
Dokter Rayyan kembali tersenyum, "saya tidak akan memaksa kamu untuk menjalani pernikahan ini seperti pasangan suami istri yang lainnya. Tapi kamu tahu kan, kalau saya sudah mengucapkan ijab kabul dan itu artinya kamu tanggung jawab saya sekarang," kata dokter Rayyan.
Nada masih terdiam.
"Kita jalani saja hari-hari kita seperti biasa. Hanya saja kita tinggal satu rumah sekarang. Kamu bisa pilih, tinggal di rumah tugas saya, atau di rumah ini," ucap Dokter Rayyan.
"Saya tidak bisa meninggalkan rumah ini, bolehkan tetap tinggal disini saja," pinta Nada.
"Boleh, tidak masalah. Apa ada kamar lain?" tanya Dokter Rayyan.
Nada langsung tersenyum dan mengangguk cepat. Dia sudah sangat takut jika harus tidur bersamaan tadinya.
"Ada, dokter bisa tidur di kamar bekas orang tua saya. Kamarnya bersih kok, beda dengan kamar saya," jawab Nada langsung.
Dokter Rayyan yang memang ramah langsung tertawa mendengar itu. Sepertinya Nada memang sangat takut jika mereka harus tidur berdua. Benar-benar menggemaskan.
Hari itu, tidak ada yang mereka lakukan selain menyadarkan hati mereka masing-masing jika sekarang status mereka sudah berubah. Setelah berbicara sebentar Dokter Rayyan pergi ke klinik dan juga ke rumah tugas untuk mengambil pakaiannya. Juga untuk mengurus mobilnya. Sedangkan Nada tetap di rumah untuk beristirahat. Dia juga menyempatkan untuk membersihkan kamar yang akan dipakai oleh Dokter Rayyan nanti.
Kehidupan yang terasa aneh tapi tetap harus mereka jalani. Dokter Rayyan tidak berani mengambil keputusan untuk kembali ke ibukota dan meninggalkan Nada. Keadaan Nada dan juga semua tentang Nada membuatnya penasaran hingga membuat Dokter Rayyan memilih untuk bertahan. Setidaknya sampai masa tugasnya selesai.
Setelah membereskan kamar orang tuanya, Nada segera membersihkan diri dan beristirahat. Wajahnya semakin pucat dan dia merasa jika tubuhnya demam sekarang. Tekanan mental dan juga hujan-hujanan satu malaman membuat kondisinya semakin menurun.
Rasanya lelah sekali, hidup seorang diri tanpa orang tua jelas bukan hal yang baik. Dia punya paman tapi sama sekali tidak memperdulikannya. Ditambah dengan sepupunya yang juga selalu memusuhi Nada. Membuat Nada lebih memilih untuk hidup sendiri. Dia pikir hidupnya akan tenang, tapi sepeninggalan orang tuanya, hidup Nada benar-benar berubah. Mendapat fitnah menjadi gadis liar karena bekerja di sebuah rumah makan di pinggir lintas, harus berjuang bertahan hidup karena kebun peninggalan orang tuanya sudah diambil alih oleh pamannya. Dan sekarang, Nada harus menerima fitnah kembali karena telah berbuat zina dengan seorang pendatang. Bukankah itu sangat menyedihkan?
Air mata Nada kembali menetes seiring dengan matanya yang terpejam menahan rasa lelah di tubuh dan di hati.
..
Hari sudah mulai sore, Dokter Rayyan tiba di depan rumah Nada dengan menggunakan motor baru. Dia tidak bisa lagi menggunakan mobil apalagi dengan jalanan desa yang cukup parah di waktu musim penghujan ini.
Sebuah tas ransel yang penuh dia tenteng dan dibawa masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap saja tidak mengurangi ketampanan yang dia miliki.
Dokter Rayyan memandangi ke sekitar rumah itu, terlihat sepi. Entah kemana Nada. Istri barunya. Oh ya ampun, satu hari ini dia dibuat lelah hanya karena memikirkan hal itu terus menerus.
Tok tok tok
Tangannya mengetuk pintu beberapa kali, namun sampai tangannya terasa panas, pintu tidak kunjung dibuka.
"Kemana dia?" tanya Dokter Rayyan.
Sekali lagi dia mengetuk, tapi tidak ada juga suara dari dalam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu itu dan ternyata tidak terkunci.
Keadaan rumah sepi, dia menoleh kesana kemari.
"Nada!" panggilnya.
Tidak ada suara.
"Nada, saya datang!" seru Dokter Rayyan sedikit lebih kuat. Namun tidak ada juga sahutan dari Nada.
Dia yang penasaran langsung berjalan menuju ke arah kamar yang sedikit terbuka. Dahinya mengernyit ketika mendengar suara gumaman dari dalam sana. Dan ketika pintu dia buka lebih lebar, dia langsung tertegun ketika melihat Nada bergelung dalam selimut dengan tubuh yang menggigil.
"Astaga, Nada!"
Dokter Rayyan berjalan cepat ke arah Nada. Dia langsung duduk di sisi tempat tidur itu dan meraba dahi Nada. Terasa panas sekali.
Nada membuka mata, sangat sayu dan lemah.
"Kamu demam," ucap Dokter Rayyan.
"Dokter," lirih Nada.
"Tunggu sebentar," Dokter Rayyan langsung beranjak dan berjalan menuju kamar mandi di dekat dapur. Mengambil handuk kecil dan juga se mangkuk air untuk mengompres dahi Nada. Tidak lupa dia mengambil air hangat yang memang sudah tersedia di sana.
"Sesak nafas tidak?" tanya Dokter Rayyan sembari mengompres dahi Nada.
Nada menggeleng lemah, "kepala saya sakit," lirihnya.
"Sudah makan?" tanya Dokter Rayyan kembali.
Lagi-lagi Nada menggeleng lemah. Membuat Dokter Rayyan menghela nafas panjang. Dia jadi menyesal meninggalkan Nada pagi tadi. Seharusnya dia tahu jika keadaan Nada sedang tidak sehat.
"Makan roti dulu ya, nanti baru minum obat," ujar Dokter Rayyan.
Nada tidak menjawab, dia membiarkan Dokter Rayyan keluar dari kamarnya dan masuk kembali membawa tas besar yang dia tenteng tadi.
"Saya juga tidak sempat makan siang, jadi beli roti saja. Kamu makan dulu," Dokter Rayyan berucap sembari membantu Nada untuk duduk dan bersandar di ranjangnya.
Pandangan mata mereka saling memandang beberapa saat. Namun Nada segera mengalihkan perhatiannya ketika matanya serasa ingin menangis.
"Kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Dokter Rayyan.
Nada menggeleng pelan.
"Jadi kenapa mau menangis begitu?" tanya Dokter Rayyan lagi.
Bibir Nada bergetar, dia tertunduk dan meraih roti dari tangan dokter Rayyan. Memakannya sembari menahan Isak tangis yang tidak bisa dia tahan sebenarnya.
"Nada,"
"Hiks," bibirnya mengunyah, namun dia juga mulai menangis.
"Saya ngerepotin, dokter," ucap Nada.
Dokter Rayyan mendengus senyum simpul. Dia memandang teduh wajah sedih Nada.
"Kan sudah tugas saya, lagi pula saya juga sudah suami kamu sekarang. Kamu lupa ya?" tanya Dokter Rayyan.
Nada menggeleng pelan sembari mengusap kasar air matanya. "Saya selalu sendiri selama ini, dan sekarang ada dokter disini, buat saya jadi sedih dan terharu," jawab Nada.
Dokter Rayyan langsung mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Hatinya merasa tersentuh mendengar perkataan Nada barusan.
"Saya dengar orang tua kamu sudah meninggal satu tahun yang lalu ya?" tanya Dokter Rayyan.
Nada mengangguk pelan, "kecelakaan," jawabnya perih.
"Tidak apa-apa, jangan bersedih lagi. Bukankah kamu masih punya paman dan teman-teman yang lain. Sekarang juga sudah ada saya," ucap Dokter Rayyan.
Nada tidak menjawab, hanya air mata saja yang mengalir di wajahnya. Tapi Dokter Rayyan tahu, jika sepertinya kehidupan Nada tidak semudah itu.
"Jangan bersedih lagi, jika tidak bisa menerima saya menjadi suami, setidaknya kamu terima saya sebagai teman lebih dulu," ucap Dokter Rayyan.
Dan ucapannya itu membuat Nada mendongak. Memandang Dokter Rayyan dengan wajah yang basah.
"Apa dua hari lagi Dokter akan menceraikan saya?" tanya Nada begitu polos.
Dokter Rayyan mengernyit heran.
"Kamu mau seperti itu?" tanyanya.
Nada kembali tertunduk. "Mbak Anita yang berkata seperti itu. Dokter dan saya tidak cocok, dan Dokter pasti akan pergi setelah dua hari," jawab Nada.
Dokter Rayyan kembali tersenyum. "Kenapa mendengarkan orang lain. Bagi saya, pernikahan itu bukan sebuah permainan. Menikah hanya sekali seumur hidup. Meski belum saling mengenal dan belum saling cinta, tapi kita bisa coba. Jika tidak ada kecocokan juga, kita bisa pikirkan bagaimana nantinya," ujar Dokter Rayyan.
Dia iba, dan dia simpati pada Nada. Semua orang terlihat meremehkan Nada dan menyayangkan dia yang menikahi gadis liar. Tapi, baru mengenal Nada beberapa saat saja, Dokter Rayyan tidak melihat seperti itu. Nada gadis yang baik, dia juga tidak bersikap aneh. Bahkan pandangan matanya juga selalu menunjukkan kesedihan yang mendalam.
"Dokter pasti lupa," ucap Nada.
Lagi-lagi Dokter Rayyan memandang Nada dengan heran.
"Lupa apa?" tanyanya.
"Lupa kalau sebelum ini kita sudah pernah bertemu," jawab Nada.
Dokter Rayyan nampak terkesiap. "Bertemu dimana?" tanyanya kembali. Bahkan dia memperhatikan wajah Nada dengan lekat.
Nada mengeluarkan kalung yang dia pakai dari lehernya. Melepaskan kalung itu dan memberikannya pada Dokter Rayyan.
Sebuah kalung perak dengan cincin yang dia jadikan sebagai buah kalungnya.
Dokter Rayyan memperhatikan kalung itu dengan lekat, namun ketika melihat cincin yang melingkar di sana. Dia langsung terkejut bahkan tersentak. Ada ukiran nama Azka di sana. Dan itu adalah cincin miliknya.
"Ka … kamu," ucapnya dengan wajah yang terperangah tidak percaya. Memandang Nada yang tersenyum tapi tetap saja menahan tangis.
"Iya, saya Nata," jawab Nada.
Dokter Rayyan menggeleng tidak percaya. Dia tersenyum haru dan mengusap wajah Nada dengan lembut.
"Nata gadis kecil berpita merah, kenapa nggak bilang kalau ini kamu. Dan kenapa kamu berubah sekali. Ya Tuhan," gumam Dokter Rayyan tidak percaya.
Nada mengerucutkan bibirnya sekilas. "Mana saya berani," ucapnya.
Dokter Rayyan kembali tersenyum, dia langsung menarik tubuh Nada dan memeluknya dengan lembut. Dan tentu saja perlakuannya itu membuat Nada tertegun bahkan langsung membatu. Pelukan hangat yang terasa sangat menenangkan.
"Kamu ini, saya sudah mencarimu kemana-mana. Kemana bisa ada disini?" tanya Dokter Rayyan kembali. Dia masih terus memeluk Nada, sangat lama sampai dia merasa puas barulah dia melepaskan pelukannya. Memandang wajah pucat Nada yang sudah berhenti menangis sedih. Tapi kini malah menangis haru.
"Di Jakarta cuma main di rumah Nenek, dan rumah kami memang disini," jawab Nada.
Dokter Rayyan benar-benar tidak percaya. Nada adalah gadis kecil yang dia temui sepuluh tahun yang lalu. Gadis kecil yang menolongnya dari kejaran anggota geng motor yang ingin memalaknya ketika dia bersembunyi di balik tembok. Masih dia ingat gadis kecil itu membawanya masuk ke dalam rumah dan menolongnya terlepas dari kejaran orang-orang itu. Ah lucu sekali, dan sekarang mereka bertemu lagi disini.
"Kamu bisa ingat saya," ucap Dokter Rayyan.
"Saya tidak pernah lupa sama kakak tampan yang punya tanda bulan di tangannya," jawab Nada sembari menunjuk ibu jari Dokter Rayyan yang memang memiliki tanda lahir.
Dokter Rayyan tersenyum simpul. Keraguan di hatinya semakin hilang dan memudar dengan kenyataan yang dia terima ini. Dia tahu Nada bukan gadis kota dan orang kaya. Tapi Nada adalah gadis kecil yang begitu baik padanya. Dan sekarang sudah menjelma menjadi seorang gadis yang sangat cantik.
Ya ampun, takdir benar-benar lucu. Mereka dipertemukan kembali karena hal yang unik. Mungkin ini jalan Tuhan untuk membuat mereka bertemu.
"Sesuai janjiku dulu, aku akan membalas kebaikan kamu. Maka sekarang, waktunya aku menepati janjiku," ucap Dokter Rayyan.
"Maksud dokter?" tanya Nada.
"Ya, saya akan menjaga kamu untuk seumur hidup saya," jawabnya.
Deg
Nada langsung tertegun mendengar itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!