NovelToon NovelToon

ALICE AND BEATRICE

KEMATIAN PERDANA MENTERI

Malam itu, perayaan tahun baru digelar sangat meriah di sepanjang jalanan kota. Sementara itu, di rumah perdana menteri banyak sekali tamu yang berdatangan. Acara itu semakin meriah karena perdana menteri membuat perayaan besar-besaran untuk ulang tahun putri keduanya yang bernama Alice Kanaya. Ia genap berusia dua puluh dua tahun. Malam itu, semua tamu undangan datang dengan kostum unik dan mengenakan topeng. Saat para tamunya sedang mengobrol, perdana menteri melihat putrinya di kamar.

"Ayah...", sambut Alice dengan wajah gembira.

"Kau sudah siap? Semua orang menunggumu di bawah. Ini adalah kali pertamanya mereka akan melihat wajahmu." ucap perdana menteri.

Selama bertahun-tahun, tidak ada yang tahu seperti apa wajah putri kedua perdana menteri. Saat usianya baru 7 tahun, perdana menteri mengirim putrinya ke Amerika. Mereka mengenyam pendidikan di sana. Tiga bulan yang lalu, Alice baru kembali setelah menyelesaikan pendidikan SMA nya. Hari ini perdana menteri akan memperlihatkan wajah putrinya pada semua orang. Melihat sang putri turun, semua orang dibuat penasaran akan kecantikan wajahnya. Tidak lama sang ibu datang menghampirinya.

"Kau sudah siap, sayang?"

"Apa kakak tidak akan datang di hari ulang tahunku, ibu?"

"Aku baru saja bicara dengannya. Dia meminta maaf padamu karena semua penerbangan dari Amerika menuju London harus ditunda karena cuaca sangat buruk."

Mendengar hal itu, Alice terlihat sedih.

"Bisa aku bicara dengan kakak sebentar, ibu?"

"Pergilah!"

Alice menghubungi kakaknya di kamar. Tidak lama teleponnya tersambung.

"Halo kakak, aku sangat merindukanmu."

"Halo adikku tersayang, selamat ulang tahun untukmu."

"Terima kasih, tapi aku sangat sedih karena kau tidak bisa datang."

"Aku sangat menyesal untuk itu. Sebagai gantinya, bagaimana jika aku mengajakmu keliling Amerika? Anggap saja ini sebagai permintaan maaf ku."

"Baiklah, kapan aku bisa pergi kesana?"

"Biar nanti aku yang akan menjemputmu."

Tiba-tiba seorang pelayan datang menghampiri Alice. Dia meminta sang putri untuk segera turun.

"Kakak, ibu dan ayah menyuruhku untuk segera turun. Nanti kita bicara lagi."

Alice pun menutup teleponnya. Saat keluar dari kamar, dia tidak sengaja menabrak seorang pria.

"Maaf nona," ucap pria itu selintas.

Tepat pukul 00.00 malam, semua orang pergi ke luar untuk melihat nyala kembang api. Langit malam itu terlihat sangat indah dan menyala.

"Selamat tahun baru, sayang," ucap perdana menteri dan istrinya pada Alice.

"Terima kasih ayah, ibu. Jika saja kakak ada disini, lengkap sudah semua."

"Tidak apa-apa, lagi pula masih ada ayah dan ibu bersamamu."

Ketika para tamu sedang menikmati makanannya, perdana menteri mengumumkan pada semua orang jika dia akan segera memperlihatkan wajah putrinya. Dalam hitungan ketiga, saat Alice akan membuka topengnya, terdengar suara tembakan dari luar.

Dor! Dor! Dor!

Semua orang berlarian menyelamatkan diri. Perdana menteri meminta penjaga untuk mengamankan istri dan putrinya.

"Ayo kita pergi, suamiku!" ajak sang istri pada perdana menteri.

"Pergilah dulu! Aku akan menyusul nanti." Baru beberapa langkah, terdengar suara tembakan lagi.

Dor! Dor! Dor!

Saat dilihat ternyata tembakan itu tertuju pada perdana menteri. Seketika ia jatuh ke lantai dengan berlumuran darah.

"Ayah...!" teriak Alice histeris.

Sang istri kembali menemui perdana menteri. Di satu sisi, Alice melihat seseorang yang sedang memperhatikannya dari lantai atas. Dia memperhatikan mulut orang itu ketika sedang berbicara di telepon.

"Bunuh dia!" itulah perkataan yang terucap pada mulut pria itu.

Alice melihat sebuah tembakan yang mengarah pada ibunya. Saat akan menolongnya, tiba-tiba seorang penjaga menariknya paksa.

"Nona, pergilah ke pintu rahasia yang ada di bawah tanah. Kau akan aman di sana. Kode untuk pintu itu adalah tanggal ulang tahunmu." Baru akan melangkah, suara tembakan kembali terdengar. Saat dilihat, ibunya sudah terjatuh ke lantai.

"Ibu...!" Alice berlari menghampiri ibunya. Di satu sisi, pria tadi terus memperhatikan sekeliling. Dia lebih tertuju pada Alice yang sedang menangisi kematian orangtuanya.

"Apa gadis itu adalah putri dari perdana menteri?" Pria itu berjalan turun ke arah Alice.

"Nona, cepatlah! Sepertinya pria itu mengincar mu," ucap salah satu penjaga.

"Aku tidak akan meninggalkan ayah dan ibu seperti ini, tolong cari bantuan!" pinta Alice.

Penjaga membawa Alice pergi dari sana.

Karena rumah mereka yang begitu luas, Alice dan penjaga berlari cukup jauh. Tidak lama akhirnya mereka sampai di pintu rahasia. Penjaga membawa Alice masuk ke dalam.

"Tetaplah di sini! Jangan keluar sampai keadaan benar-benar aman. Kau mengerti nona?" tanya penjaga itu.

Alice hanya mengangguk pelan. Dia menangis tanpa henti. Penjaga itu kembali ke luar. Dia sempat melihat keadaan perdana menteri, tapi tidak lama seseorang menusuknya dari belakang.

***

Satu jam setelah kejadian itu, polisi baru tiba di lokasi. Bukan hanya itu, banyak media yang datang untuk meliput. Seorang pemuda baru saja tiba di sana. Ia langsung berlari ke dalam. Saat di ruang tengah, dia melihat pamannya terbaring tidak bernyawa di dekat perdana menteri dan istrinya.

"Paman... bangunlah!"

Tidak lama polisi datang untuk mengevakuasi korban. Saat akan dibawa, pemuda itu melihat jari tangan perdana menteri yang masih bergerak. Ia menghampirinya. Terlihat perdana menteri yang susah payah membuka matanya.

"Perdana menteri, bertahanlah! Aku akan membawamu ke rumah sakit."

"Tidak usah, waktuku tidak akan lama lagi."

"Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

"Di dalam laci kamarku, ada dua kotak kecil. Tolong berikan kotak itu pada kedua putriku!"

"Baiklah, aku akan segera mencarinya."

"Tunggu!" ucap perdana menteri menahan langkah pemuda itu.

"Bisakah kau mengabulkan satu lagi permintaan terakhirku?"

"Apa itu?"

"Tolong jaga Alice, putriku. Aku percayakan dia padamu."

Tidak lama perdana menteri menghembuskan napas terakhirnya.

Pemuda itu langsung pergi mencari Alice. Banyak sekali ruangan di rumah itu sampai membuatnya bingung harus mencari keberadaan Alice dimana. Tidak jauh ia berjalan, di pojok kanan terdapat ruang CCTV. Dia pergi untuk melihat CCTV itu. Saat dilihat ternyata Alice berada di ruang bawah tanah. Sebelum bergegas ke sana, pemuda tadi pergi mencari kotak yang dikatakan perdana menteri di kamarnya. Ia membuka setiap laci dan menemukan kotak itu. Entah apa isinya, dia tidak berani membukanya. Pemuda itu berjalan menuju ruang bawah tanah. Sesampainya di sana, ia mengetuk pintu itu. Dari dalam Alice semakin ketakutan. Dia tidak berani untuk membukanya.

"Alice... tolong buka pintunya!" teriak pemuda itu.

"Siapa dan mau apa kau datang kemari?" tanya Alice dari dalam.

"Aku adalah Nevan Abrisam, keponakan dari pengawal perdana menteri."

"Apa kau berkata jujur?" tanya Alice yang masih ragu.

"Sungguh, aku datang untuk menolong mu. Perdana menteri sendiri yang memintaku."

Alice akhirnya membukakan pintu.

"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu.

Semua tubuh Alice gemetar. Dia begitu ketakutan. Sejak tadi air matanya terus mengalir.

"Aku sangat takut..." tangis Alice pecah.

Pemuda itu langsung memeluknya. Dia mencoba untuk menenangkan Alice.

"Semua sudah aman, kau tidak perlu takut lagi." ucap pemuda itu.

"Dimana ayah dan ibuku?"

"Polisi sudah menanganinya. Mereka akan segera mengurus pemakamannya."

Saat Alice akan pergi melihat mereka untuk terakhir kalinya, pemuda tadi mencegahnya. Dia tidak mau jika wartawan sampai memotret wajahnya. Tidak ada satupun orang mengenali wajah kedua putri perdana menteri, sekalipun orang terdekatnya. Tidak ada yang tahu seperti apa mereka.

"Ikutlah denganku!"

Pemuda itu membawa Alice ke rumahnya.

Di satu sisi, ibu dari Nevan yang bernama Helga sangat mencemaskannya. Ia sangat sedih setelah mendapat kabar jika adiknya sudah meninggal. Tidak lama Nevan datang.

"Nak, akhirnya kau sudah pulang. Aku sangat mencemaskan mu." ucap sang ibu.

"Maaf ibu, aku terlambat datang ke sana. Paman..."

"Aku sudah tahu, nak. Ibu baru saja melihat berita. Nanti kita datang ke pemakaman pamanmu, ya..." ajak sang ibu.

Tidak lama Alice berjalan masuk.

"Siapa dia?" tanya Helga.

"Ibu tidak mengenalinya?" tanya Nevan balik.

"Ibu tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia memakai topeng. Bolehkah aku melihat wajahmu?"

Alice akhirnya membuka topeng itu.

"Kau sangat cantik, nona. Siapa kau sebenarnya?" tanya Helga sambil mengelus-elus pipi Alice.

"Dia begitu cantik," ucap Nevan dalam hati.

"Aku Alice Kanaya, nyonya. Putri kedua perdana menteri.

"Ya ampun..., mimpi apa aku semalam sampai bisa melihat wajahmu seperti ini. Pantas saja perdana menteri menyembunyikan wajahmu. Kau benar-benar sangat cantik," puji Helga.

Helga pergi menyiapkan kamar untuk Alice. Saat tengah malam, Alice terbangun dan duduk di sudut kamar. Dia teringat kembali akan kematian orang tuanya.

***

Kematian perdana menteri sudah tersebar dimana-mana. Mengetahui orang tuanya sudah meninggal, perasaan Beatrice sangat hancur. Ia segera menghubungi Alice.

Saat sedang merebahkan tubuhnya di sofa, Nevan mendengar suara ponsel berdering. Saat dilihat ternyata itu milik Alice. Dia langsung menjawab teleponnya.

"Halo, Alice."

"Halo, nona."

"Siapa ini? Dimana adikku?"

"Apa kau nona Beatrice? Putri pertama perdana menteri?"

"Kenapa malah balik bertanya? Dimana adikku sekarang? Cepat berikan ponselnya pada dia!"

"Maaf, nona. Adikmu sedang tidur. Aku tidak berani membangunkannya."

Nevan memberitahu keadaan Alice pada kakaknya. Mendengar hal itu, Beatrice merasa sangat khawatir. Dalam kondisinya sekarang ini, Alice sangat membutuhkannya. Besok pagi dia akan kembali ke London.

"Tolong jaga adikku sampai aku datang," pinta Beatrice.

"Baiklah, nona. Tanpa kau minta pun aku pasti akan menjaganya."

***

Hari sudah pagi. Helga pergi untuk menyiapkan sarapan. Ia meminta Nevan untuk melihat keadaan Alice. Di kamar, kondisi Alice masih tetap sama. Dia tidur dalam keadaan duduk di sudut kamar. Tidak lama Nevan datang dan membuka tirai kamarnya supaya cahaya mentari masuk.

"Tutup kembali tirai kamarnya!" pinta Alice pelan.

"Kau sudah bangun?" tanya Nevan.

"Aku mohon padamu, tutup kembali tirai kamarnya. Jangan biarkan pagi datang sebelum aku berhasil melewati mimpi buruk ini." ucap Alice dengan suara gemetar.

Langkah Nevan seakan diketahui Alice.

"Jangan mendekat! Tolong pergi dari sini!"

Nevan pergi menemui ibunya di dapur.

"Dimana nona Alice? Apa dia sudah bangun?"

"Dia sepertinya mengalami trauma yang sangat berat ibu. Kondisinya tidak baik-baik saja."

Mendengar hal itu, Helga langsung melihatnya ke kamar.

"Nona, apa aku boleh masuk?"

Tidak ada jawaban dari dalam. Hanya terdengar suara isak tangis.

"Aaaa...!!!" teriakan Alice membuat semua orang terkejut. Helga terpaksa masuk karena khawatir terjadi hal buruk padanya.

"Kau kenapa, nona? Tenanglah! Kau tidak sendiri, aku ada bersamamu."

Alice menatap Helga dalam-dalam.

"Bagaimana aku bisa tenang, mereka membunuh ayah dan ibuku di depan mataku," ucap Alice dengan berlinang air mata. "Apa kesalahan mereka? Kenapa semua ini terjadi di saat hari ulang tahunku? Jika aku tahu akan seperti ini, tidak aku biarkan perayaan ini berlangsung."

Alice memukul dirinya sendiri.

"Sudah cukup, nak. Semua sudah berlalu. Biarkan mereka tenang di sana."

"Aku tidak akan pernah menerima kematian mereka."

Helga merapikan rambut Alice yang berantakan. Sementara di luar kamar, Nevan berdiri mendengar semua percakapan mereka. Dia ikut sedih mendengar cerita Alice.

"Kau tahu, nyonya?" ucap Alice penuh amarah. "Mereka menembak ayah, dan ibuku. Bukan hanya sekali, tapi beberapa peluru mengenai tubuh mereka."

"Sudah cukup! Tidak perlu lagi kau mengingat semua itu." ucap Helga ikut menangis.

"Suara tembakan itu masih terdengar jelas di telingaku," ucap Alice menutup telinganya.

Helga langsung mengambil earphone dan memasangkannya di telinga Alice. Dia memutar sebuah alunan musik yang sangat indah.

"Bagaimana? Kau merasa lebih baik?" tanya Helga . "Jika suara itu kembali, cepat gunakan earphone ini."

Alice hanya mengangguk pelan. Ia terlihat sedikit tenang.

"Aku masih mengantuk, bisakah aku tidur lebih lama?" tanya Alice.

"Tidurlah!"

Alice mulai memejamkan matanya. Helga menyelimutinya dan membelai rambutnya pelan.

"Kau sudah aku anggap sebagai putriku sendiri, nak. Biarkan aku yang akan merawatmu sekarang. Perdana menteri begitu baik pada keluargaku, kini aku akan membalas semua kebaikannya."

PRIA MISTERIUS

Jam menunjukkan pukul 13.00 siang. Beatrice baru saja tiba di bandara. Saat akan pergi mencari taksi, sebuah mobil sudah menunggunya di depan.

"Apa kau nona Beatrice?" tanya pria itu.

"Siapa kau?"

"Aku Nevan, orang yang kau suruh untuk menjaga adikmu." Nevan membantu Beatrice membawa kopernya.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Maaf, aku melacak keberadaan mu lewat ponsel nona Alice."

"Bagaimana keadaan adikku sekarang?"

Nevan menceritakan semuanya ketika dalam perjalanan pulang.

Siang itu, Alice baru saja bangun. Dia melihat ada Helga di sampingnya.

"Apa kau tidur nyenyak tadi?" tanya Helga.

"Aku merasa sedikit lebih baik."

Alice terlihat masih sedih. Dia pergi mandi dan segera bersiap. Saat sedang menyiapkan makan siang, Helga melihat sebuah taksi yang berhenti di depan rumahnya. Tidak lama Alice keluar dan berpamitan.

"Kau akan pergi kemana, nona?"

"Aku akan pergi ke pemakaman ayah dan ibu."

"Aku dan putraku juga akan pergi ke sana, jangan pergi sendiri. Kita akan pergi bersama nanti. Tunggulah Nevan sebentar lagi!"

"Aku bisa pergi sendiri, bi. Kau tidak perlu khawatir."

Alice pun akhirnya pergi dengan taksi. Tidak berselang lama, Nevan tiba bersama Beatrice. Melihat gadis lain yang dibawa putranya, Helga merasa sangat penasaran.

"Siapa lagi perempuan yang datang bersamanya?"

"Ibu, aku datang." ucap Nevan berjalan masuk.

"Selamat datang, nak."

"Halo, nyonya!" sapa Beatrice sambil menjabat tangannya.

Nevan memberitahu ibunya jika perempuan itu adalah Sarah Beatrice, putri pertama perdana menteri sekaligus kakak dari Alice.

Helga sungguh tidak percaya bisa kedatangan dua putri perdana menteri di rumahnya. Mereka bagaikan sebuah mutiara yang sangat amat terjaga. Ketika orang lain penasaran akan wajah mereka, Helga sudah lebih dulu melihatnya. Rasa penasaran yang ada sejak lama akhirnya terjawab sudah. Helga langsung membawa barang Beatrice ke kamar.

"Dimana Alice?" tanya Beatrice.

"Dia baru saja pergi." jawab Helga.

"Kemana?"

"Nona Alice pergi ke pemakaman. Aku sudah memintanya untuk menunggu, tapi dia tetap pergi."

Beatrice meminta Nevan untuk segera menyusulnya. Dia merasa sangat khawatir pada adiknya.

***

Di tengah perjalanan, Alice sempat berhenti untuk membeli karangan bunga. Di sana ia tidak sengaja menabrak seseorang.

"Maafkan aku, tuan." ucap Alice.

"Tidak masalah, nona. Aku yang seharusnya minta maaf karena terburu-buru tadi." Suara itu seperti tidak asing di telinga Alice. Ia sempat menoleh untuk melihat wajah pria itu.

"Mata itu... seperti mata pria yang membunuh ibu malam itu." batinnya.

Pria itu menyadari jika sedari tadi Alice memperhatikannya. Tidak segan dia menghampirinya.

"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya pria itu.

Melihat bekas luka yang ada di jari kelingkingnya, membuat Alice sangat yakin jika pria itu adalah pria yang sama. Alice langsung pergi setelah mendapatkan bunganya. Ketakutannya kembali muncul. Ia lupa meninggalkan ponselnya di rumah.

Sudah setengah perjalanan, sopir taksi merasa curiga karena sejak tadi sebuah mobil putih terus mengikutinya dari belakang.

"Kita sepertinya sedang diikuti, nona." ucap sopir itu.

Saat melihat ke belakang, Alice mengenal mobil itu. Mobil pria yang tadi ditemuinya di toko bunga. Alice semakin ketakutan. Ia meminta sopir untuk memutar balik mobilnya. Ia memutuskan untuk kembali pulang.

"Cepat sedikit, pak!" pinta Alice.

Sementara itu, Nevan dan Beatrice sudah sampai di pemakaman. Mereka tidak melihat siapapun di sana.

"Dimana Alice?" ucap Beatrice sambil melihat sekeliling.

"Mungkin dia masih dalam perjalanan, nona."

"Tidak mungkin! Jalanan siang ini sangat lancar, seharusnya dia sudah sampai." Beatrice meminta Nevan untuk segera pulang. Dia yakin jika adiknya itu sudah ada di rumah.

Di satu sisi, Alice baru saja tiba di rumah. Dia masuk dengan wajah ketakutan.

"Nona, kau kenapa?" sapa Helga.

Alice langsung berlari ke kamarnya. Karena merasa khawatir, Helga pergi menemuinya.

"Apa terjadi sesuatu saat kau di pemakaman?" tanya Helga.

Alice melihat ke luar jendela. Ternyata benar mobil putih itu masih mengintainya. Helga penasaran dengan yang dilihat Alice.

"Mobil siapa itu? Apa kau mengenalnya?"

"Aku tidak tahu, bibi. Sejak tadi dia terus mengikuti ku. Aku sangat takut..." Alice sembunyi di balik selimutnya. Helga keluar untuk menemui orang itu.

"Permisi, sedang apa kau di depan rumahku?" tanya Helga curiga. "Apa kau memiliki niat jahat pada anak gadisku?"

Pria itu hanya tersenyum. Ia meminta maaf karena sudah membuat putrinya tidak nyaman. Sebenarnya pria itu datang untuk menukarkan bunga. Saat di toko, Alice salah mengambil bunga. Dia membawa bunga pesanannya. Helga masuk untuk mengambil bunga itu.

"Apa ini bunga milikmu?"

"Benar, nyonya. Ini bunga untuk kekasihku. Oh iya, ini bunga yang di pesan putrimu tadi. Tolong sampaikan permintaan maaf ku padanya."

Tidak lama pria itu pergi. Beberapa menit kemudian, Nevan dan Beatrice datang.

"Apa Alice sudah kembali?" tanya Beatrice.

"Dia ada di kamarnya, nona."

Beatrice langsung pergi menemuinya. Saat datang, dia melihat adiknya yang sedang bersembunyi dalam selimut.

"Alice, kau kenapa?"

"Jangan mendekat! Pergilah!"

"Ini aku, kakakmu."

Alice tetap ketakutan. Ia tidak mau melihat kakaknya. Beatrice tidak menyangka jika kejadian malam itu membuat adiknya mengalami trauma yang sangat berat.

"Nona Alice kenapa ibu?" tanya Nevan.

"Dia ketakutan karena tadi ada seorang pria yang terus mengikutinya."

"Lalu?"

"Hanya ada kesalahpahaman saja. Pria itu tadi datang untuk mengambil bunga miliknya. Nona salah mengambil bunga saat di toko."

Tidak lama Helga datang.

"Bagaimana ini, bi? Aku tidak bisa melihat adikku seperti ini." Beatrice tidak bisa menahan air matanya.

"Biarkan adikmu tenang dulu, baru dia nanti akan bicara denganmu."

Sementara itu, pria yang tadi mengikuti Alice ternyata adalah seorang mata-mata. Tiba di rumah, ia langsung menghubungi bosnya.

"Bos, aku tahu dimana dia berada." ucapnya.

"Terus awasi dia! Jangan sampai kau kehilangan jejak!" perintah bosnya.

"Baik."

***

Hari sudah malam. Alice masih berdiam diri di kamar. Beatrice mencoba menemuinya kembali, tapi ternyata dia sedang tidur.

"Aku sangat menyayangimu, Alice. Walau sebenarnya aku bukanlah kakak kandungmu, tapi ayah, ibu, dan juga kau menyayangiku lebih besar daripada apapun." ucap Beatrice.

Perkataannya itu tidak sengaja terdengar oleh Helga. Mengetahui kedatangan perempuan itu, Beatrice tidak sungkan lagi untuk menceritakan semuanya.

Sarah Beatrice, itulah nama indah yang diberikan perdana menteri padanya. Dia hanyalah seorang bayi yang perdana menteri temui di jalanan kota. Entah orang tua mana yang tega membuang putrinya sendiri. Dengan segala kebaikan perdana menteri dan istrinya, mereka akhirnya mengangkat Beatrice sebagai putrinya. Walau saat itu istri perdana menteri sedang hamil, mereka tetap menyayanginya. Cinta, kasih sayang, perhatian, dan waktu mereka berikan untuknya sampai bayi kecil itu lahir. Betapa bahagianya perdana menteri dan istrinya ketika memiliki dua orang putri yang sangat cantik.

"Kenapa kau memberitahuku semua ini?" tanya Helga.

"Karena aku percaya padamu dan putramu, bibi." jawab Beatrice. "Kalian orang yang sangat baik. Terima kasih sudah mengizinkanku dan adikku tinggal di rumahmu."

Tidak lama Nevan datang. Dia memberikan dua kotak kecil itu pada Beatrice.

"Apa ini?"

"Aku tidak berani membukanya, hanya saja sebelum perdana menteri meninggal ia memintaku untuk memberikan kotak ini padamu dan adikmu."

Beatrice membuka kotak itu. Isinya sebuah kalung berlian berbentuk hati berwarna biru yang begitu indah. Ia ingat saat usianya menginjak 17 tahun, ia meminta kado itu pada ayahnya. Dan sekarang kado itu ia dapatkan. Beatrice meminta Helga untuk memakaikan kalung itu di lehernya.

"Kalung yang sangat cantik, seperti dirimu."

"Terima kasih, bibi."

Beatrice membuka kotak satunya lagi. Ternyata itu kalung dengan bentuk yang sama, hanya saja yang Alice miliki berwarna merah.

"Saat bangun nanti, aku akan memakaikan kalung ini padanya," ucap Beatrice.

***

Sudah dua jam Alice tidur. Helga membangun Alice perlahan. Bagaimana pun dia harus makan malam. Saat terbangun, Helga membawanya ke meja makan. Alice membuka matanya lebar-lebar. Ia sangat bahagia mengetahui kedatangan Beatrice.

"Kakak..." Alice berlari memeluknya.

"Oh, adikku tersayang..."

"Kakak, aku kehilangan ayah dan ibu di hari ulang tahunku," ucap Alice sambil menangis. "Mereka dengan sangat kejam menembak ayah dan ibu di depan mataku."

"Sudahlah, semua sudah berlalu. Sekarang ada aku di sini. Kau tidak lagi sendiri."

Malam itu, Alice hanya makan sedikit. Ia kembali lagi ke kamar. Melihat keadaan adiknya, Beatrice memutuskan untuk membawanya ke Amerika. Entah itu keputusan yang tepat atau tidak, tapi dia akan membicarakannya dulu pada Helga.

Mendengar kepergian mereka, Nevan kurang setuju. Alice akan aman saat berada di rumahnya. Dia dan ibunya yang akan menjaganya.

"Kenapa kau bersikeras untuk Alice tetap berada di sini?" tanya Beatrice.

"Aku hanya ingin memenuhi permintaan terakhir perdana menteri."

"Apa maksudmu?"

"Sebelum ia meninggal, perdana menteri mempercayakan Alice padaku. Ia memintaku untuk menjaganya."

"Benarkah?"

"Bagaimana bisa aku mempercayakan adikku dengan orang yang belum lama aku kenal?"

"Kau bisa mempercayai kami, nona. Perdana menteri mengenal baik diriku dan putraku. Tidak mungkin kami mengkhianati kepercayaannya."

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kamar. Semua berlari melihatnya.

"Ada apa, nak?" tanya Helga.

"Pria itu datang lagi, bibi. Aku sangat takut..."

"Pria mana yang kau maksud?" tanya Beatrice sedikit heran.

"Pria yang membunuh ayah dan ibu. Aku baru saja menemuinya saat di toko bunga. Dan dia sekarang ada di luar."

Helga meminta Nevan untuk melihat ke luar. Beatrice mencoba menenangkan adiknya. Tidak lama Nevan datang dan memberitahu semua orang jika tidak ada siapapun di luar. Alice sangat yakin jika yang ia lihat itu tidak salah. Tadi pria itu berdiri di depan rumahnya.

"Tidak ada siapapun di luar, jadi tolong tenanglah!" pinta Beatrice.

"Tolong, jangan tinggalkan aku sendiri! Jangan matikan lampu kamarnya. Aku sangat takut..."

"Tidurlah, nak. Aku akan terus menemanimu di sini."

***

Di kamar sebelah, Beatrice sedang mendiskusikan sesuatu dengan Nevan. Amerika bukanlah tempat yang aman untuknya. Di sana sangat ramai dan sedang terjadi ledakan bom di mana-mana. Suara itu pasti akan sangat menggangu ketenangannya.

"Menurutmu, dimana tempat yang cocok untuk Alice?" tanya Beatrice.

"Sebentar, aku akan mencarinya di internet."

"Bagaimana dengan Australia?" ucap Helga yang tiba-tiba datang.

"Kenapa kau bisa berpikiran untuk pergi kesana, bi?"

"Aku pernah mendengar dari adikku yang bekerja sebagai pengawal perdana menteri. Ia mengatakan padaku jika perdana menteri ingin sekali nona Alice meneruskan S1 nya di Melbourne, Australia."

"Kita bisa mencobanya, nona. Lagi pula dari data yang aku baca kota itu sangat aman. Banyak tempat indah yang mungkin bisa membuat adikmu lebih tenang dan perlahan melupakan kejadian itu." sambung Nevan meyakinkan.

"Baiklah, karena kau sudah berjanji pada ayahku untuk menjaga adikku, maka kau dan ibumu harus ikut kami ke Melbourne."

Awalnya, Helga sedikit keberatan karena harus meninggalkan rumah milik suaminya, tapi demi membalas semua kebaikan perdana menteri pada keluarganya, ia akan pergi untuk menjaga kedua putrinya. Nevan masih menunggu keputusan ibunya. Tidak mungkin juga ia pergi meninggalkan ibunya sendiri di kota sebesar ini.

"Aku bersedia untuk ikut bersamamu, nona."

Mendengar hal itu, Beatrice merasa sangat bahagia. Kini, ia merasa seperti memiliki keluarga baru.

KEMAMPUAN LUAR BIASA YANG DIMILIKI ALICE

Malam itu, Beatrice menghubungi seseorang untuk menyiapkan tiket dan paspor akan keberangkatannya ke Melbourne besok pagi. Bukan hanya itu, Beatrice juga sudah membeli rumah yang ada di sana untuk mereka tinggali. Karena kepergiannya pagi-pagi sekali, Nevan dan sang ibu tengah mengemasi semua barang yang akan di bawa kesana. Saat melihat adiknya di kamar, ia mendapati jendela kamarnya terbuka. Beatrice pergi untuk menutupnya. Di luar dia melihat seorang pria yang mencurigakan. Saat melihat Beatrice, pria itu langsung melarikan diri.

"Apa pria itu yang dimaksud Alice tadi?" ucap Beatrice. "Jika memang benar, untuk apa ia mengawasi adikku sampai ke rumah ini? Ada yang tidak beres."

Beatrice segera menghubungi seseorang.

"Aku membutuhkan bantuan kalian. Perketat keamanan di bandara, jangan sampai ada hal buruk terjadi."

"Baik, sesuai perintah akan aku segera laksanakan." jawab orang itu di telepon.

Beatrice pergi menemui Helga.

"Bibi, apa kau memiliki tetangga pria di dekat sini?"

"Hanya beberapa orang, tapi mereka semua sudah tua. Dia adalah paman Hasan, Jack, dan Sulayman."

"Apa mereka memiliki seorang putra?"

"Tentu saja, tetapi putra mereka masih di bawah tujuh belas tahun."

Kecurigaan Beatrice ternyata benar. Pria yang sempat ia lihat tadi bisa saja orang yang akan mencelakakan Alice selanjutnya. Saat akan pergi ke kamar, Beatrice melihat karangan bunga yang sempat Alice beli di toko. Ada yang tidak beres dengan bunga itu. Saat diteliti, ternyata dalam bunga itu terdapat sebuah alat pelacak.

"Keterlaluan!" Beatrice langsung menghancurkan alat itu.

"Ada apa?" tanya Helga.

"Ketakutan adikku sangat beralasan, bibi. Seseorang mencoba mengincarnya. Aku menemukan alat pelacak dalam bunga yang ia beli tadi. Baru saja aku melihat pria yang sedang berdiri di luar rumahmu."

"Benarkah? Lantas apa yang harus kita lakukan?"

"Kita harus berhati-hati, terutama aku harus memastikan keselamatan adikku sampai tiba di Melbourne."

Malam itu, Beatrice dan Nevan berjaga semalaman. Mereka takut jika sampai lengah akan ada orang masuk dan berbuat jahat. Untuk menghilangkan rasa jenuh, mereka saling berbincang satu sama lain.

"Apa pekerjaanmu sebelumnya?" tanya Beatrice.

"Sebelum kembali ke London, aku dipercaya menjadi seorang bodyguard dari putri seorang bangsawan ternama."

"Oh, sepertinya kau sudah berpengalaman dalam hal itu. Tidak perlu lagi aku meragukan kemampuan bela dirimu."

"Apa kau tidak mencoba mencari pekerjaan lain?"

"Sudah, tapi sepertinya aku tidak berbakat dalam hal mengurus perusahaan. Tidak satupun perusahaan yang menerima ku bekerja di sana."

"Apa yang ingin kau lakukan sekarang?"

"Tentu saja menjaga adikmu," ucap Nevan.

Beatrice tersenyum kecil. Ia melihat sebuah ketulusan dari dalam diri Nevan. Bukan hanya Nevan yang akan menjaga Alice, tapi juga sudah menjadi kewajibannya untuk menjaga adiknya itu.

Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Helga bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Saat akan ke dapur, ia melihat putranya bersama Beatrice yang tertidur di sofa. Ia pergi menyelimuti mereka. Tidak lupa Helga pun melihat keadaan Alice di kamarnya.

"Kemana nona Alice pergi?" Helga sangat panik saat tidak menemukan Alice di kamarnya.

"Nona Alice..." Helga mencarinya ke semua ruangan. Mendengar teriakan itu, Beatrice dan Nevan langsung bangun.

"Kenapa ibu?"

"Nona Alice tidak ada di kamarnya, ibu sudah mencari ke semua ruangan, tapi tidak dapat menemukannya."

Beatrice langsung bergegas mencari adiknya. Ia takut jika pria itu lebih dulu menemukannya. Di satu sisi, Alice tengah berjalan-jalan di taman kota. Ia merasa bosan berada di kamar seharian. Saat sedang berjalan, ia merasa ada seseorang yang sedang mengikutinya dari belakang. Alice mempercepat langkahnya. Ia langsung memberhentikan taksi, lalu pergi. Tidak sampai di situ, pria tadi terus mengikuti Alice dengan mobilnya.

"Pak, apa aku boleh meminjam ponselmu?"

"Silahkan, nona!"

Alice mencoba menghubungi kakaknya tapi dia tidak menjawab teleponnya. "Ayo, angkatlah kak! Aku butuh bantuanmu," ucap Alice.

Mobil putih itu menikung taksi yang dinaiki Alice. Dengan berani, Alice keluar dan menemui pria itu. Secara diam-diam pria itu memotret wajah Alice dan mengirimkannya langsung pada bosnya.

"Kenapa kau selalu mengikuti ku?" tanya Alice. "Apa urusanmu denganku?"

Pria itu hanya diam menunggu perintah dari bosnya. Sementara itu, sang bos sedang mencari data tentang Alice.

"Apa kau sudah mendapatkannya?" tanya bos pada anak buahnya.

"Dia adalah Alice Kanaya, putri kedua perdana menteri."

"Apa perdana menteri memiliki putri lain?"

"Entahlah, aku masih belum bisa menemukan data lain dari gadis itu."

Melihat pria itu diam saja, Alice mencoba mendekat. Ia menatap pria itu dengan tatapan tajam.

"Kau adalah pria yang sudah membunuh ibuku!" ucap Alice. "Jas hitam, kemeja putih, dan topi hitam. Itulah yang kau kenakan malam itu."

"Bagaimana kau begitu yakin jika aku adalah pembunuhnya?"

"Mungkin kau lupa jika sebelumnya kau menabrakku di dekat tangga. Suara mu itu sangat terdengar jelas di telingaku, bahkan aku pun bisa melihat luka di jari kelingking mu itu."

"Bagaimana mungkin aku menembak ibumu, sementara aku saja tidak membawa senjata apapun."

Alice tersenyum mendengar perkataan pria itu. Dia menganggapnya bodoh, tapi sebenarnya semua yang terlihat sudah terekam jelas dalam kepalanya.

"Benarkah kau tidak membawa senjata apapun? Lantas, benda apa yang kau sembunyikan dalam vas berwana biru di dekat ruang kerja ayahku? Tepat pukul 00.45 kau mengambil pistol itu dan menembakkannya pada ibuku."

Perkataan Alice di dengar juga oleh bos pria itu.

"Kemampuan hebat apa yang dimiliki gadis ini sampai ia hapal detail kejadian malam itu?" ucapnya.

Alice mengambil sebuah batu yang ada di pinggir jalan dan pergi memecahkan kaca mobil itu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu. Alice mengambil sesuatu dalam mobil pria itu.

"Bukankah dari tadi kau merekamku dengan alat ini?" Alice langsung menghancurkan alat itu.

"Lain kali, jika akan memata-mataiku jangan sampai meninggalkan jejak apapun, karena hal sekecil apapun aku bisa mengetahuinya."

"Oh iya, kau pelakunya atau bukan akan aku cari tahu kebenarannya." Alice langsung pergi meninggalkan pria itu.

Bos menghubungi pria itu karena tidak bisa lagi memantau keadaan karena alat penyadapnya yang sudah Alice hancurkan.

"Bagaimana menurutmu? Sangat menarik bukan?"

"Tentu saja, bos. Aku dibuat diam karenanya."

"Kemampuannya itu sangat luar biasa, hal sekecil apapun, dia tidak melewatkannya. Terus awasi dia!"

"Baik, bos."

Saat dalam perjalanan, Beatrice melihat adiknya dalam sebuah taksi. Ia mencoba mengejar taksi itu dan memberhentikannya.

"Ada apa, pak? Kenapa mobilnya berhenti?"

"Lihatlah nona! Ada mobil lain yang menghadang kita." Alice langsung turun untuk melihatnya.

"Kakak?"

"Kau dari mana saja? Aku khawatir padamu. Kenapa tidak bilang dulu jika akan keluar?" Beatrice terlihat sangat khawatir.

"Apa kau mengenalnya, nona?" tanya sopir taksi itu. Alice menghampirinya dan memberinya uang.

"Dia kakakku, aku akan pulang bersamanya. Terima kasih, pak."

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Jika pria tadi mencoba mengganggu mu lagi, hubungi saja polisi!"

"Apa kau bertemu dengan pria itu lagi?" tanya Beatrice.

"Ah,, tidak. Sudahlah ayo kita pulang!" Alice sengaja tidak menceritakan apapun karena takut jika kakaknya akan semakin khawatir padanya.

Sesampainya di rumah, mereka langsung bersiap untuk pergi ke bandara. Tetangga Helga mengantar kepergian mereka sampai di depan.

"Kau akan pergi kemana Helga?" tanya paman Jack.

"Kami akan pergi ke Mel.."

"Mexico, paman. Kami akan pindah ke sana." potong Beatrice.

Mereka semua menatapnya. Entah apa yang membuatnya berkata bohong. Tidak lama sebuah mobil datang.

"Kau masuklah bersama bibi Helga ke mobil itu, sementara aku dan Nevan akan menaiki mobil ini." pinta Beatrice pada adiknya.

"Kenapa tidak pergi bersama saja?"

"Sudahlah, jangan membantah."

Dalam perjalanan, Beatrice menerima telepon dari seseorang. Dia memberitahu Beatrice jika keadaan bandara aman. Semua sudah dikerahkan untuk berjaga-jaga. Nevan sempat bingung siapa Beatrice sebenarnya. Ia seperti bukan gadis biasa. Menjadi seorang putri perdana menteri mungkin membuat dia mendapatkan pengawalan yang khusus. Tidak lama mereka pergi, pria tadi datang kembali dan melihat keadaan rumah yang sudah kosong.

"Kemana gadis itu pergi?" ucapnya.

Pria itu melihat seorang pria tua yang sedang duduk di depan rumahnya. Dia pergi untuk menanyakannya.

"Permisi, tuan. Apa kau tau kemana pemilik rumah ini pergi?"

"Kau terlambat, nak. Mereka baru saja pergi."

"Kemana?"

"Ke bandara."

"Apa kau tahu mereka akan pergi kemana?"

"Tadi mereka bilang akan pindah ke Mexico," ucap paman Jack.

"Bukan Mexico, paman. Tapi ke Jepang. Kau ini mungkin salah dengar, " ucap seorang anak yang sedang bermain mobil-mobilan di sebelahnya. Paman Jack hanya bisa tertawa. Wajar saja ia sering lupa karena umurnya yang tak lagi muda.

"Mana yang benar?" ucap pria itu bingung.

"Mereka pergi ke Madrid, ayah. Kau tahu jika Nevan sangat menyukai sepak bola yang terkenal itu, apa namanya?" ucap seorang perempuan yang tiba-tiba muncul dari dalam dengan membawa secangkir teh.

"Maksudmu Real Madrid?" timbal pria itu.

"Ya, mereka pergi untuk melihat kejuaraan dunia."

Pria itu semakin bingung. Si paman mengatakan ke Mexico, cucunya bilang ke Jepang dan menantu perempuannya bilang ke Madrid. Tidak lama mereka semua pun masuk ke dalam. Di balik tirai mereka tertawa karena sudah mengerjai pria itu. Sebelumnya, Helga sudah mengatakan pada paman Jack jika ada seorang pria yang mengganggunya. Dia terus mengikutinya entah untuk kepentingan apa. Paman Jack sangat peduli pada Helga dan putranya, ia tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya.

"Kita berhasil ayah," ucap menantu perempuannya.

"Iya, nak. Sekarang kita bisa melihat betapa bingungnya pria itu." ucap paman Jack sambil tertawa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!