NovelToon NovelToon

Mendadak Istri Tuan Kalandra

Chapter 1 - Pernikahan

“Saya terima nikah dan kawinnya Liliyana Prameswari binti Adrian Wiguna Putra dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai.”

Hening menyelimuti rumah dengan arsitektur era victorian yang punya nuansa megah. Presdir perusahaan Eternal World yang bernama Kalandra Al Khalify itu duduk sambil menyilang kaki dengan santai di hadapan kedua orang tuanya. Meriana Elvira, wanita setengah baya yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke lima puluh tiga. Bersama sang suami Antonio Al Khalify duduk di hadapan putra kebanggaannya.

Mereka saling beradu tatap dengan serius untuk membicarakan hal penting setelah ijab qobul antara Kalandra dan gadis pilihan kakek Anggara.

“Kalandra, apa rencanamu setelah ini, Nak?” tanya Meriana.

Kalandra menghela napas panjang. Pernikahan dadakan yang diadakan di bangsal rumah sakit tempat kakek Anggara di rawat baru saja selesai dilaksanakan. Kalandra buru-buru pulang ke rumah sesuai anjuran kakek Anggara. Saat ini istri sah Kalandra yang baru saja dipersunting olehnya sedang ada di toilet. Sudah beberapa menit gadis itu belum kembali.

Pernikahan mereka seharusnya berlangsung satu bulan lagi. Tapi karena kondisi kakek Anggara terus menurun, beliau meminta pernikahan cucunya itu dipercepat.

“Saya tidak ada persiapan, Ma, Pa.” Kalandra memang tak berniat menikah dalam waktu dekat meski usianya sudah menginjak kepala tiga.

Pernikahan ini ibarat perjodohan yang tak dia kehendaki. Kalandra mengikuti titah kakeknya karena tak mau sesuatu yang buruk terjadi. Dia sama sekali tidak mencintai gadis yang baru saja dinikahinya.

“Sebaiknya kau dan Lily tinggal di rumah ini saja, Lan,” kata Antonio.

“Benar kata papamu. Lagipula mama dan papa ingin beradaptasi lebih dengan istrimu, Alan.”

“Saya rasa tidak bisa,” jawab Kalandra.

“Kenapa?” tanya Meriana.

“Saya lebih leluasa di rumah sendiri. Kalau begitu saya memutuskan untuk membawa Lily bersama saya ke rumah pribadi saya.”

Tak lama Liliyana muncul. Gadis itu lama sekali di toilet untuk menetralkan segala perasan gugup yang menyergapnya. Pernikahan dadakan yang membuatnya mendadak menjadi istri tuan muda Kalandra tentu amat mengejutkan.

“Lily, kenapa lama sekali?” tanya Meriana pada menantu barunya itu.

“Maaf Nyonya, Tuan, saya tadi—”

“Lho. Panggil aku mama dan dia papamu, Nak.” Meriana mengingatkan Liliyana.

Liliyana tersenyum canggung. “Baik, Ma, Pa.”

“Duduklah,” titah Antonio. Liliyana pun duduk.

Gadis itu bernampilan sangat biasa dan sederhana. Ia duduk di samping Kalandra sambil meremas jari-jarinya dan menunduk lesu. Ia baru berusia 22 tahun, masih muda, tak banyak pengalaman karena sehari-hari hanya di rumah mengurus kakeknya sendirian.

Gadis bertubuh mungil itu bernama Liliyana Prameswari, putri pasangan Adrian Wiguna Putra dan Hawaria Adeline yang sudah meninggal dunia. Ia hidup dengan kakeknya yang bersahabat dengan kakek Kalandra.

“Begini, Lily, apa kau bersedia ikut bersama Kalandra ke rumah barunya?” tanya Meriana pada menantunya.

Liliyana melirik sekilas Kalandra yang memasang raut datar, menegangkan, seperti orang tak berperasaan. Dia harus tetap mematuhi suaminya itu, kan. Akhirnya Liliyana menganggukkan kepala.

“Iya, Ma.”

“Lily kau jangan merasa canggung ya. Alan sekarang suamimu, jadi kau harus terbiasa dengannya,” ujar Antonio.

Kalandra tampak menghela napas panjang. Liliyana tahu bahwa Kalandra sama sekali tidak menyukainya. Padahal pertama kali bertemu Kalandra saat pertemuan keluarga, Liliyana merasa kagum pada pria itu.

Kalandra tak mau bicara ketika Liliyana duduk di antara mereka. Itu yang Liliyana sadari sejak tadi. Karena itu ia ingin menjauh saja dari tempat itu ketimbang merusak suasana antara keluarga tersebut. Namun kakeknya berpesan sebelum meninggalkan Liliyana bersama keluarga barunya, agar Liliyana selalu mendampingi Kalandra dan setia dimanapun berada. Mungkin gadis itu sangat polos, di era emansipasi wanita, seharusnya ia tidak hanya diam ketika dijodohkan dengan orang yang tidak mencintainya. Tapi dia memilih mengikuti keinginan kakeknya demi kebaikan semua.

“Lan, kau jangan begitu dong. Kasian Lily, dia pasti ngerasa kau itu amat galak!” ujar Meriana melihat Liliyana yang sejak tadi hanya menunduk tak banyak bicara.

Kalandra berdiri mendadak membuat Liliyana mendongak ketika pria itu juga menatapnya.

“Kita berangkat sekarang.” Kalandra lalu meninggalkan orang tuanya pergi ke luar.

Sedangkan Liliyana hanya bisa mengikuti Kalandra ragu-ragu.

“Alan, kau tidak mau pamit dulu dengan mama dan papamu?"

Antonio sudah terbiasa dengan sikap dingin sang putra. Tapi dihadapan Liliyana, besar harapan Antonio agar putranya itu bisa berubah setidaknya lebih hangat sedikit.

“Saya pergi, Ma, Pa.” Kalandra lalu benar-benar keluar dari rumah itu.

“Ma, Pa, Lily pergi ya. Maaf karena Lily tak bisa berlama-lama di sini.” Liliyana tersenyum ramah. Ia lalu menghampiri Meriana dan Antonio untuk menyalimi keduanya.

“Sayang, kau harus sabar menghadapi Alan, ya.” Meriana memeluk Liliyana dengan erat.

“Papa yakin Alan akan berubah setelah menjalani pernikahan dengan kamu, Lily.” Antonio mengusap puncak kepala Lily. “Benar kata Kakek Anggara, kamu sangat baik hati.”

Liliyana hanya tersenyum ringan. “Lily permisi ya, Ma, Pa.”

“Hati-hati, ya, Sayang.”

Liliyana berjalan dengan menunduk sambil membawa koper miliknya seorang diri. Sementara Kalandra berjalan lebih dulu di hadapan Liliyana lalu masuk ke mobil. Liliyana terdiam di samping pintu mobil dengan perasaan tidak tenang sama sekali. Apalagi raut masam Kalandra belum juga berubah. Ia rasanya ingin kembali ke rumah kakeknya daripada harus ikut Kalandra pulang ke rumah pribadinya. Sayangnya, itu sudah terlambat. Liliyana tak mungkin berbalik arah sekarang.

Jendela mobil Kalandra tak lama terbuka. Pria itu tanpa menatap Liliyana hanya menatap ke depan dengan wajah dingin. “Masuk.”

Liliyana menghela napas berat. “Baik.”

Dalam hati Kalandra kesal dengan sikap Liliyana yang hanya bisa menurut. Padahal di awal dia berharap Liliyana lah yang menolak adanya perjodohan itu. Namun sia-sia saja, Liliyana benar-benar gadis polos yang hanya bisa menuruti perintah kakeknya tanpa membantah sama sekali.

Liliyana masuk ke dalam mobil Kalandra, setelah ia memasukkan kopernya ke bagasi. Perasaanya makin gusar tatkala ia melihat sebuah foto yang ada di dashboard mobil. Tapi sebelum Liliyana melihat lebih jelas foto yang ada di sana. Kalandra lebih dulu mengambilnya. Kalandra membuang foto itu ke luar jendela tanpa berpikir panjang.

“Kenapa dibuang, Mas?” tanya Liliyana heran.

“Kau tidak perlu banyak tanya,” jawab Kalandra ketus.

Liliyana mengurut dada. Galak sekali, batinnya.

“Hem, baiklah.” Akhirnya Liliyana lebih memilih menatap ke luar jendela.

Kalandra menyalakan mesin mobilnya lalu mulai melaju dengan kecepatan sedang.

Sepanjang perjalanan Kalandra dan Liliyana tidak saling bicara. Sebenarnya Liliyana tak suka dengan suasana sunyi, dingin, dan mencekam begitu. Banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan pada Kalandra. Atau untuk sekedar mengobrol obrolan ringan. Tapi Kalandra menutup diri untuk hal itu membuat Liliyana jadi segan.

Tak lama ponsel Liliyana berdering. Itu panggilan dari kakek Anggara.

“Kakek Anggara,” gumam Liliyana.

Kalandra langsung mengerem mendadak begitu mendengar Liliyana menyebut nama kakeknya.

Chapter 2 - Pengagum Liliyana

Liliyana tak pernah ada waktu untuk sekedar memikirkan bagaimana kehidupan dewasanya nanti. Entah itu untuk menikah dan bagaimana rupa suaminya kelak. Liliyana sibuk merawat kakeknya, Juan Pratama yang menderita komplikasi sejak ia masih berumur lima belas tahun. Ketika teman sebayanya fokus menuntut ilmu dan berkreasi di luar sana.

Liliyana harus sibuk menjaga kakeknya yang seringkali kambuh dan hanya terbaring di tempat tidur. Meski begitu Liliyana sudah berhasil menyelesaikan studinya. Di usinya yang menginjak 22 tahun, dia tak mengira akan dilamar oleh seorang pria yang amat dikaguminya diam-diam.

“Kehadiran saya dan istri saya, bersama putra saya Kalandra ingin melamar cucu perempuan Anda, Tuan Juan.”

Kakek Juan kebetulan sedang dalam kondisi yang cukup baik saat itu. Liliyana sedang bersembunyi di balik tembok sambil mengintip percakapan di ruang keluarga. Jantungnya berdebar-debar tatkala ia mendengar sesuatu yang mungkin saja salah. Mana mungkin tuan Kalandra melamarnya?

“Maksudnya bagaimana Pak Antonio? Maaf saya kurang paham,” sahut Juan.

“Begini, tuan Juan bersahabat dengan kakek Kalandra, beliau seperti yang kita tahu sedang tebaring di rumah sakit. Beliau meminta agar Kalandra dinikahkan dengan cucu Anda, begitu Tuan Juan,” terang Antonio.

Kakek Juan mengangguk-angguk. “Oh, baik saya mengerti. Maaf karena belakangan ini saya belum bisa mengunjungi Anggara. Sebab kondisi saya sendiri sempat menurun beberapa waktu ini. Begitu juga Lily yang sibuk merawat saya,” ujar kakek Juan.

“Kami sangat mengerti, Tuan. Cucu Anda Lily sangat perhatian. Anda sangat beruntung,” kata Antonio.

Kakek Juan melirik Kalandra yang hanya diam saja, tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya sejak duduk tadi.

“Nak Kalandra, apa kau mengenal cucu saya?”

Kalandra menatap Kakek Juan dengan senyum tipis.

“Belum, Kek.”

“Saya dan Anggara memang sangat dekat dulu. Tapi untuk pernikahan ini saya tak bisa memutuskan. Biar Lily yang memutuskannya langsung.”

Liliyana yang mendengar itu langsung memegang dadanya gugup. Ia belum siap berhadapan langsung dengan Kalandra sekarang.

“Lily, kesini Nak. Kakek ingin bicara.”

Kakek Juan tahu bahwa Liliyana bersembunyi di balik tembok sejak tadi.

Liliyana pun keluar dengan ragu-ragu. “Iya, Kek.”

Kalandra menatap Liliyana sekilas. Kemudian pria itu langsung menghela napas. Sangat polos, batinnya.

Liliyana lalu duduk di samping kakeknya setelah menyapa Antonio dan istrinya.

“Begini, Nak. Kedatangan tamu kita hari ini adalah untuk menyampaikan niat baiknya. Keinginan yang berhubungan dengan mu.”

Liliyana hanya diam sambil menunduk.

“Nak Kalandra ingin melamarmu. Apa kau bersedia menerima lamaran nak Kalandra?”

Liliyana meneguk ludah susah payah. Ia lalu mengambil napas dalam sebelum mengangkat wajahnya.

“Kau bisa langsung jawab saja karena tak ada banyak waktu. Kondisi kakek Kalandra seperti yang kau tahu, beliau sedang sakit. Jika kau bersedia katakan kau menerima, jika tidak kau juga tak perlu merasa tidak enak,” jelas kakek Juan pada cucunya.

Sambil memilin jari-jari mungilnya Liliyana menatap tamu di hadapannya dengan lembut.

“Lily menerima, Kek.”

***

Perjalanan menuju kediaman Kalandra masih lumayan jauh. Liliyana yang baru saja menerima telepon dari kakek Anggara langsung tak dapat berkata-kata. Begitu juga Kalandra yang agak jengkel karena kakeknya itu di saat masih sakit sekalipun masih saja mencampuri urusan pernikahannya.

Kakek Anggara sempat-sempatnya meminta agar Kalandra tidak berulah dengan memberikan kamar terpisah bagi Liliyana. Padahal memang tadinya Kalandra ingin memisahkan kamarnya dengan kamar Liliyana.

“Em, Mas Alan, bolehkah aku minta berhenti di minimarket depan sebentar?” ucap Liliyana dengan suara kecilnya.

“Mau apa.” Kalandra amat ketus dan dingin. Kalaulah pria itu bisa hangat sedikit saja pasti lebih baik, batin Liliyana.

“Mau beli sesuatu,” jawab Liliyana.

“Ya, hanya sebentar.” Kalandra lalu berhenti agak jauh dari minimarket. “Kau jalan saja ke sana, aku tunggu di sini.”

Liliyana melihat masih ada jarak sekitar dua puluh meter ke minimarket. “Baik, terima kasih, Mas.”

Liliyana turun dari mobil mewah Kalandra lalu berjalan kaki menuju minimarket. Ia masuk ke dalam minimarket dan langsung menuju ke tempat rak yang menyimpan pembalut wanita.

“Kalau tidak dipersiapkan aku hanya akan kerepotan nantinya,” gumam Liliyana.

Saat ia tengah memilih pembalut yang biasa ia gunakan. Seorang pria tiba-tiba tak sengaja menabraknya.

“Astaga maafkan aku” kata Liliyana. Padahal jelas yang menabrak adalah pria itu.

“Hei, jelas-jelas aku yang menabrakmu—“ Pria itu malah tertegun setelah melihat wajah Liliyana. “Cantik sekali.”

Liliyana melirik ke kanan dan ke kiri. “Maaf ya,” ucapnya bingung.

“Ah, aku yang salah aku yang minta maaf,” kata pria itu pada Liliyana.

“Em, ya, gak apa-apa kok.” Liliyana tersenyum ramah sewajarnya.

Kemudian setelah mendapatkan apa yang akan dia beli, Liliyana berjalan menuju meja kasir.

“Ini saja, Kak? Ada yang lain?” tanya Kasir pada Liliyana.

“Iya itu saja,” jawab Liliyana.

Pria tadi mengikuti Liliyana sambil tersenyum-senyum memperhatikan gerak-gerik Liliyana.

Liliyana menoleh, ia agak tak nyaman saat pria disebelahnya malah melihatnya seperti itu.

“Kak totalnya lima puluh delapan ribu rupiah,” kata kasir.

“Oh baik sebentar.” Liliyana mencari-cari dompetnya, tapi di dalam tas yang ia bawa malah tidak ada.

Astaga apa tertinggal di kamar ya, batin Liliyana.

“Em ada apa?” tanya pria di sebelah Liliyana.

“Eh, gapapa kok,” jawab Liliyana.

“Mbak sekalian ini ya, di satuin saja pembayarannya,” ujar pria itu meminta agar kasir menghitung sekalian dengan belanjaan Liliyana tadi.

“Mas gak usah, maaf saya gak mau ngerepotin,” kata Liliyana menggeleng.

“Gapapa kok sesama manusia harus tolong menolong,” ucap pria itu.

Liliyana merasa tidak enak. "Aku bisa minta seseorang untuk bayarin kok.”

Pria itu kelihatan agak berpikir tapi kemudian ia malah senyum pada Liliyana. “Tidak apa, jangan merasa gak enak. Lagian hanya lima puluh ribu,” ujarnya.

Liliyana memang tak enak juga jika harus meminta pada Kalandra. Tapi bukan berarti dia seenaknya menerima bantuan orang asing, kan.

“Aku akan membayarnya nanti, ya. Terima kasih.”

“Tidak perlu, saya ikhlas.”

Liliyana makin bingung sekarang. “Hem, aku sudah merepotkan. Terima kasih dan maafkan aku ya.”

Menurut pria itu jarang ada gadis sepolos itu. Padahal hanya lima puluh ribu, jumlah yang amat receh baginya. Tapi dia bersyukur karena turun ke minimarket untuk sekedar membeli permen. Akhirnya dia bisa bertemu gadis cantik berparas dan berhati selembut bidadari.

“Sama-sama.”

“Kalau begitu aku permisi ya.”

Liliyana hendak keluar minimarket. Pria itu buru-buru menyelesaikan pembayarannya untuk mengejar Liliyana. Namun sayangnya Liliyana sudah menghilang begitu saja.

“Argh! Kenapa kau tidak tanya siapa namanya!” geram pria itu sambil mengacak rambutnya frustrasi.

Liliyana masuk kembali ke mobil Kalandra, ia lalu mencari sesuatu di dalam tasnya yang ada di mobil Kalandra.

“Cari apa?” tanya Kalandra penasaran.

“Dompet. Sepertinya ketinggalan di rumah,” jawab Liliyana.

“Oh.” Tanpa bertanya lebih lanjut, Kalandra langsung menjalankan mobilnya. Liliyana menghela napas berat. Dia kira Kalandra akan bertanya dengan cara apa ia membayar belanjaan kalau dompetnya saja ketinggalan.

Sesampainya di rumah Kalandra, Liliyana langsung disuguhi kemewahan dimana-mana

Meski dia bukan dari kalangan keluarga kekurangan. Tapi kesederhanaan adalah hal yang paling nyaman baginya.

“Itu kamarnya, silakan kau taruh barang-barang kamu,” ujar Kalandra dingin. Padahal koper Liliyana cukup besar tapi Kalandra tak berinisiatif membantu membawanya.

“Iya, Mas.” Liliyana menarik kopernya agak kesulitan, tapi dia tetap tidak meminta tolong Kalandra karena terlalu segan.

Tak lama bel rumah Kalandra berbunyi. Siapa ya, kok udah ada tamu padahal mereka baru saja pindah. Liliyana membatin.

“Alan! Apa kabar?”

“Abi, kau ngapain kesini?”

Liliyana akhirnya selesai menaruh kopernya. Ia lalu keluar karena tasnya masih tertinggal di ruang tamu. Begitu ia kembali ke ruang tamu, dia bertemu dengan orang yang baru saja dia temui. Ya, pria asing di minimarket.

“Kau?” Liliyana kaget kenapa orang itu ada di rumah Kalandra.

“Kenalkan, dia sepupu saya,” ujar Kalandra pada Liliyana.

“S-Sepupu?”

Chapter 3 - Aku Tertarik Dengan Lily

“Ya, dia sepupuku namanya Abi, Abimanyu.”

Abimanyu ternyata adalah pria yang membantu Liliyana membayar pembalut di minimarket tadi. Abimanyu juga tak mengira jika akan ada kebetulan semacam itu dalam hidupnya. Dia amat menyesali keadaan yang terjadi. Rupanya gadis cantik yang membuatnya seketika tertarik itu merupakan istri dari sepupunya sendiri.

“Lan, dia istrimu?” tanya Abimanyu memastikan. Pertanyaan bodoh. Sudah pasti itu memang istrinya, kan.

“Hem,” jawab Kalandra agak malas. “Mau apa kau kemari?”

Liliyana masih tertegun di posisinya berdiri. Abimanyu yang mengetahui fakta itu langsung menghampiri Liliyana tanpa menjawab pertanyaan Kalandra.

“Nona, apa benar kau istrinya?” tanya Abimanyu pada Liliyana.

Liliyana tersenyum canggung pada Abimanyu. “Iya,” angguknya pelan.

“Oh Tuhan! Kenapa harus kebetulan semacam ini sih!” geram Abimanyu sambil mengusap kasar wajahnya.

Kalandra tak mengerti kenapa Abimanyu kelihatan kesal begitu.

“Hei, kau kenapa sih, Bi?!” sentak Kalandra tidak mengerti.

“Maaf Nona, kenalkan aku Abi, kau?”

Liliyana ragu-ragu menerima uluran tangan Abimanyu. Tapi demi menghormati dia pun menjabat tangan Abimanyu. “Aku Lily, sekali lagi aku minta maaf sudah merepotkan. Sebentar, ya.”

Liliyana menatap Kalandra takut-takut. “Mas boleh pinjam uangnya?”

Kalandra mengerutkan kening. “Apa.”

“Oh my God.” Abimanyu memijat keningnya pusing. Dia makin menginginkan Liliyana yang menurutnya amat menggemaskan itu.

“Untuk apa kamu pinjam uang sama suamimu? Apa dia sepelit itu, ya?” ucap Abimanyu.

Liliyana menggeleng cepat. “Bukan gitu. Dompetku ketinggalan di rumah Kakek. Makanya aku tadi gak bisa bayar di minimarket.”

Abimanyu tersenyum lalu berdiri di depan gadis mungil itu. “Lily sudah kubilang aku ikhlas. Jangan dipikirkan ya.”

Liliyana menunduk. “Tapi itu tetap kuanggap hutang kok.”

“Lho, gak perlu kok. Beneran.”

Kalandra memperhatikan interaksi antara Liliyana dan Abimanyu merasa heran. Ada apa dengan mereka. Kenapa malah seperti sok akrab.

“Kalian saling kenal?”

Abimanyu menatap Kalandra ketus. “Suami macam apa kau, Lan. Istrimu lupa bawa dompet tadi ke minimarket. Lagipula bisa-bisanya punya istri cantik dan baik kau biarkan pergi sendiri. Kalau aku sih gak akan rela. Malah kujaga dia kemanapun dia pergi.”

Liliyana terkejut mendengar ucapan Abimanyu.

Sedangkan Kalandra merasa ucapan Abimanyu itu layaknya omong kosong.

“Lebih baik kau pulang. Aku lelah baru pindahan.” Kalandra bersikap ketus.

Rupanya benar, Kalandra sama sekali tak peduli apa yang sudah menimpanya. Liliyana merasa kasihan pada dirinya sendiri.

Kalandra hendak masuk ke kamarnya tanpa memedulikan Abimanyu. Sementara Liliyana terus merasa tak enak karena uang lima puluh ribu.

“Kenapa mas Alan gitu sih. Aku cuman pinjam uangnya, gak minta gitu aja,” gumam Liliyana.

Abimanyu merasa Kalandra amat bodoh karena sudah bersikap dingin begitu pada gadis secantik dan sebaik Liliyana. Ya, walaupun dia sudah dengar bahwa pernikahan diam-diam Kalandra dan istrinya dilangsungkan karena perjodohan antar keluarga. Tapi jika gadis yang dijodohkan seperti Liliyana, menurutnya Kalandra malah beruntung bukan kepalang. Baru pertama kali bertemu saja harus diakui Abimanyu amat tertarik pada Liliyana.

“Hei, kau masih gak enak masalah uang lima puluh ribu itu?” tanya Abimanyu.

Liliyana menatap Abimanyu lalu mengangguk-angguk. “Iya. Maaf ya. Kalau aku sudah ambil dompetku lagi, aku pasti bayar kok.”

Abimanyu tersenyum. “Gini aja deh, gimana kalau kau gak perlu bayar pakai uang. Lagian itu cuman lima puluh ribu,” katanya pada Liliyana.

Liliyana bingung. “Terus pakai apa?”

“Hem, pakai senyuman aja.”

Liliyana makin bingung.

“Loh kok gitu. Masa bayar hutang pakai senyum?” jawab Liliyana polos.

Abimanyu mengangguk. “Iya, karena senyumanmu cantik banget.”

Liliyana menggeleng tak paham. “Gak boleh begitu deh kayaknya.”

“Boleh dong. Emangnya Alan bakalan marah kalau kau senyum kepadaku?”

Mustahil itu terjadi. Kalandra sama sekali tidak peduli. Padahal Liliyana berharap sekali bisa dekat dengan Kalandra. Tapi Kalandra malah menujukkan sikap yang sebaliknya. Boro-boro mengakrabkan diri kalau sikap Kalandra dingin dan ketus begitu sejak tadi.

“Gak kok tapi beneran bisa dengan senyum aja?” tanya Liliyana. Tidak apalah, yang terpenting dia bisa lega karena tidak punya hutang lagi.

“Iya, karena senyumanmu amat berharga,” jawab Abimanyu.

Liliyana mengekeh geli. “Kau aneh ya. Senyum aku gak berharga. Lagipula aku sudah senyum sampai gigiku kering pada banyak orang jadi tak masalah aku senyum untukmu."

Abimanyu terpesona dengan suara tawa renyah Liliyana. Belum lagi jantungnya yang berdebar kencang tak terkendali.

“Cantik sekali,” ucap Abimanyu.

“Siapa?” tanya Liliyana.

Abimanyu menggeleng. “Milik orang, tapi bisa jadi calon milikku.”

Liliyana tak begitu jelas mendengar perkataan Abimanyu karena amat pelan.

“Hem, kalau gitu terima kasih ya. Karena kau udah mau menganggap lunas hutangku,” ujar Liliyana.

Abimanyu menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Apa boleh dia tidak tahu diri begitu. Padahal kedatangannya ke rumah Kalandra untuk menyampaikan kado dari orang tuanya yang tak bisa menghadiri pernikahan dadakan Kalandra. Dua tiket berbulan madu untuk pasangan yang baru saja menikah itu.

“Sama-sama, Lily. Aku senang bisa bertemu denganmu.”

Liliyana tersenyum lagi. “Iya, karena kau sepupu Mas Alan, berarti kita saudara.”

Sayang begitu. Padahal Abimanyu inginnya Liliyana menjadi pasangannya. Kenapa harus Kalandra yang dijodohkan sih, bukan dia saja.

“Ya sayangnya begitu,” jawab Abimanyu.

**

Abimanyu menemui Kalandra yang tengah minum kopi di balkon rumahnya. Ia lalu meletakkan dua tiket bulan madu hadiah dari orang tuanya.

“Apa itu?” tanya Kalandra. Kesal, kenapa sepupunya itu belum juga pulang.

“Hadiah dari ayah ibuku untukmu,” jawab Abimanyu.

“Aku tidak butuh itu,” tolak Kalandra.

Abimanyu terkekeh. “Oh Astaga. Alan Alan, kalau saja posisi kita bisa ditukar.”

“Maksudmu?” tanya Kalandra tak paham dengan ucapan Abimanyu barusan.

“Ya, biar aku saja yang menggantikan kau menikah dengan Liliyana. Aku akan berterima kasih karena anugerah Tuhan begitu besar.”

Kalandra berdecih. Lagi-lagi Abimanyu membicarakan omong kosong. “Ya, kalau saja begitu.”

Abimanyu duduk di hadapan Kalandra. “Apa aku saja yang gantikan kau?”

“Apa lagi Abi, sebaiknya kau pulang,” jawab Kalandra.

“Aku suka rela kalau kau mau aku menggantikanmu."

“Diamlah jangan banyak omong kosong.”

“Jujur saja nih ya. Aku tertarik dengan Lily.”

Kalandra melihat keseriusan yang diucapkan Abimanyu. Kenapa Abimanyu bisa setertarik itu pada Liliyana. Apa spesialnya gadis itu memangnya.

“Kau diam saja, aku yakin kau tidak menyukai Liliyana sebagai istrimu kan, Lan?”

“Abimanyu sebaiknya kau segera pulang!” tegas Kalandra.

Namun meski dia tidak ada rasa terhadap Liliyana, dia tetap tidak senang mendengar ucapan Abimanyu itu.

“Ya, aku akan pulang. Tapi aku akan sering berkunjung ke rumahmu untuk melihat Liliyana,” ujar Abimanyu tanpa merasa bersalah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!