NovelToon NovelToon

I am a Virgin

01. Menemukan Pria

Elena mendekati bibir sungai. Tangannya menjulur menyentuh air yang beriak lalu mengusapkannya ke wajah. Debu yang menempel terseret telapak tangannya. Sel-sel tubuhnya yang lelah kembali bangun. Segar. Topi bundar terbuat dari pandan menutup atas kepalanya. Sebuah karung berisi rongsokan menggantung di punggung, kedua ujung pangkal karung diikat tali rafia sehingga bisa disangkutkan di bahu kiri dan kanan.

Elena mengulang pandangan ke hulu sungai ketika melihat seseorang tergeletak. Tersangkut di batu besar tepi sungai dalam posisi tertelungkup. Mayatkah? Pikir Elena sambil berlari mendekati. Kemudian kakinya memasuki air sungai yang kedalamannya hanya selutut.

Ia jongkok, meraih tangan pria itu dan memeriksa denyut nadinya. Masih berdenyut. Ia melongok ke kiri kanan. Mencari orang. Ingin meminta bantuan untuk menolong lelaki itu. Tapi tak satu pun manusia melintas di sana. Sunyi. Kembali diamatinya wajah lelaki yang hanya terlihat separuh itu. Wajah yang tak dikenal. Kemeja biru muda dan celana hitam yang dikenakan warnanya sudah agak kabur, akibat terendam air dan berbaur dengan tanah. Hanya ikat pinggang terbuat dari kulit saja yang tetap mengkilat. Sementara sepatunya hanya tinggal sebelah kiri. Separuh badannya berada di atas batu. Separuh bawahnya terendam di air. Tubuhnya gagah dan tinggi. Bagaimana cara Elena memindahkan tubuh gagah itu ke daratan?

Elena meraih tangan lelaki itu dan merangkulkannya ke pundak. Pelan-pelan berdiri. Berat. Terseok-seok menarik tubuh lelaki itu dengan mengerahkan seluruh tenaga.

Bruk... Tubuh lelaki itu terjatuh saat pegangan Elena terlepas. Untung saja sudah sampai di daratan. Separuh tubuh lelaki itu berhasil diseret sampai ke daratan. Bagian kakinya masih terendam di air. Elena mendorong kaki lelaki itu, mengguling-gulingkan tubuhnya hingga berjarak satu meter dari garis bibir sungai.

Elena jongkok, lalu menyentuh telapak tangan lelaki itu yang pucat dan dingin. Elena mendongak. Matahari cukup terik. Setidaknya mampu memberi kehangatan pada tubuh lelaki itu. Terbukti kulit lelaki itu berangsur hangat tersentuh sinar mentari. Beberapa kali Elena menyentuh pipi dan leher lelaki itu. Sudah lumayan hangat. Ia kembali meraih tangan lelaki itu dan mengusap-ngusapnya agar cepat hangat.

Tak ada tanda-tanda akan sadar, lelaki itu masih terpejam. Bagaimana cara menyadarkannya? Elena menekan-nekan dada lelaki itu. Tidak keluar air. Sekilas ingatannya melayang pada film-film yang pernah ia tonton, bagaimana harus menyelamatkan seseorang yang tenggelam dan sudah menelan banyak air? Haruskah ia melakukan hal yang sama?

Elena menjepit hidung lelaki itu, lalu tangan satunya menyentuh dagu lelaki itu dan menariknya ke bawah hingga mulut lelaki itu terbuka. Pelan wajah Elena mendekati wajah lelaki itu. Mulut mereka bersentuhan.

Begitu Elena menarik wajahnya, air dari mulut lelaki itu menyembur keluar. Tak lama kemudian kelopak mata lelaki berkulit putih itu bergerak-gerak. Pelan matanya terbuka. Beberapa kali ia mengerjap-ngerjapkan mata. Kemudian mengerutkan dahi. Kelopak matanya menyipit. Silau pada teriknya mentari. Tangan kanannya terangkat, melindungi mata dari cahaya, berusaha melihat siapa yang sedang duduk di hadapannya.

“Hah? Siapa lo?” kejutnya melihat penampilan Elena. Topi bundar yang aneh. Pakaian lusuh yang sudah tujuh rupa dan sobek-sobek. Wajah sedikit belepotan. “Ngapain pegang-pegang gue?” Lelaki itu menarik tangannya yang masih berada di genggaman Elena sebelum Elena sempat menjawab.

“Terserah lo,” sinis Elena, sebal diperlakukan begitu. Sudah menolong, malah dimarahi. Ia bangkit berdiri. “Kalo tadi lo nggak sadar-sadar juga, gue nggak tau gimana caranya ngebawa badan berat lo ke rumah sakit. Nyeret badan lo dari tepi sungai aja beratnya minta ampun.”

Lelaki itu tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Elena. Pelan dia bangun dan duduk. Meringis sambil memijit-mijit bahu. Terlihat kesakitan. Kemudian menyentuh pelipis. Pusing sekali kepalanya. Pandangannya berkeliling. Mengamati sekitar. Rumput hijau terhampar luas menyejukkan mata. Sungai panjang airnya beriak. Terakhir, pandangannya tertuju pada jalan setapak memanjang hingga ke ujung. Jalan yang sering dilalui Elena menuju rumah. Tempat itu terasa amat asing di matanya.

Tbc

Love,

Emma Shu

02. Bingung

Sesaat lelaki itu terdiam, bingung. Ia sangat tampan. Hidungnya mancung dan matanya gelap. Sayangnya Elena tidak menyadari ketampanan lelaki itu. Kehidupannya yang terbiasa dihina dan diremehkan membuatnya sulit mengagumi seseorang.

“Dimana ini?” suara lelaki itu berat. Menahan sakit di sekujur tubuh. “Apa yang terjadi?” Lelaki itu mengngat-ingat dengan sulit. “Astaga, kenapa gue nggak inget apa-apa. Ya ampun, bener gue nggak inget apapun. Aaaakh....” Lelaki itu panik sembari mengetuk-ngetuk pelipis dengan genggaman tangannya.

Kepalanya mendongak melihat sebuah besi disodorkan ke arahnya. Elena memegangi besi tersebut dan berkata, “Biar cepet kelar.”

Lelaki itu mengangkat alis tinggi. Benar-benar kelar beneran jika besi itu mengetuk pelipisnya.

“Apa perlu gue bantuin ngetuk pake ini?” lanjut Elena sembari mengayun-ayunkan besi itu.

“Jangan bercanda. Gue serius. Gue sama sekali nggak inget apa-apa. Apa yang udah terjadi sampe gue jadi begini? Dan kenapa gue bisa ada di sini? Ini dimana? Astaga, gue sama sekali nggak tahu siapa diri gue sebenernya? Kenapa gue nggak inget apapun. Gue ini siapa?” lelaki itu mengulang-ulang pertanyaan yang sama.

Tak ada jawaban. Lelaki itu menoleh. Elena sudah berjalan menjauhinya. Menapaki jalan setapak.

Mau kemana dia? Pikir lelaki itu. Ia baru menangkap maksud perkataan Elena tadi, bahwa Elena adalah orang yang menyelamatkannya, menyeretnya dari sungai. Ia bangkit berdiri kemudian berlari mengejar Elena. Sepatu yang hanya tinggal sebelah itu dikibaskannya hingga terlepas dan terpelanting. Kakinya berjingkat, kesakitan menginjak tanah tanpa alas kaki.

“Mbak, dek, non, siapalah, lo siapa, sih?” tanya lelaki itu ketika sudah berada di belakang Elena.

“Elena,” singkatnya datar.

“Ooh… Elena,” ulang lelaki itu lirih. Sesekali ia meringis menahan sakit di telapak kaki. “Emangnya apa yang terjadi sama gue?”

Pertanyaan itu membuat Elena menghentikan langkah dan menoleh. Menatap tajam. “Lo yang punya badan, kenapa tanya ke gue?”

“Galak banget, sih? Sori, apa lo marah gara-gara sikap gue tadi?” lirih lelaki itu dengan wajah menunduk, takut kena sembur lagi.

“Ya,” tegas Elena tambah kesal. Kemudian berjalan lagi.

Lelaki itu mengikuti. “Mbak, eh Elena, sorry kalo gue tadi sempet bikin lo sebel. Tapi itu murni gara-gara gue kaget. Begitu bangun, yang pertama gue liat kayak orang gila gitu.”

Elena kembali berhenti. Melotot.

Lelaki itu gelagapan. Tak menyangka kata-katanya justru memancing kemarahan baru.

“Sorry sorry… Gua salah lagi?” Lelaki itu mengangkat dua jari. Minta maaf. Menahan senyum.

“Gue memang kayak orang gila. Tapi otak gue waras. Nggak miring kayak elo,” celetuk Elena semakin kesal. Kemudian berjalan lagi.

Lelaki itu kembali mengikuti.

“Gue tadi kaget aja, begitu bangun ada yang pegang-pegang tangan gue.” Lelaki itu memberi penjelasan.

“Otak lo aja yang mesum.”

Lelaki itu malah tersenyum tipis memahami kemarahan Elena.

“Apa lo nggak ada tujuan laen? Ngapain ngikutin gue mulu?” tanya Elena masih dengan nada kesal.

“Justru itu yang nggak gue tau. Gue mau kemana? Mau ngapain? Tujuan gue apa? Dan terakhir, apa sebenarnya yang terjadi sama gue?” lelaki itu mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuk jari. “Ini dimana? Kenapa gue bisa ada di sini?”

Elena melirik wajah kebingungan yang sedang berpikir keras itu.

“Siapa nama lo?” tanya Elena kemudian.

“Mm… Nama gue… Siapa ya?” lelaki itu mengingat-ingat. Dia bahkan lupa dengan namanya sendiri.

“Heh… Jelas lo yang gila. Nama sendiri pun nggak inget.” Elena mencibir.

“Lo masih marah? Maaf. Tapi serius, gue nggak inget apa-apa.”

Elena kini sadar sepenuhnya bahwa lelaki di hadapannya itu telah kehilangan ingatannya. Barang kali kepalanya terantuk batu ketika dia hanyut di sungai, atau terlalu lama kepalanya itu terendam air, hingga akhirnya sampai jadi hilang ingatan. Elena **** senyum membayangkan apa yang dipikirkannya.

Tbc

Eng ing eng… ketemu lagi sama aku, emma shu.

Kali ini aku bawain cerita yang berbeda dari cerita lainnya. Kalau tentang CEO ganteng, cowok tajir melintir, atau presdir keturunan orang terkaya se-Indonesia itu udah biasa, dan memang udah booming di dunia maya kebanyakan mengisahkan makhluk terkaya yang nggak ada duanya.

Nah, cerita yng ini boleh diikuti, kalau nggak baper, jangan panggil aku emma shu, panggil aja emma imut. Wk wk wk…

Jangan lupa masukin ke favorit dan tombol like-nya jangan dianggurin, kasihan pencipta aplikasinya udah capek-capek bikin itu tombol tapi Cuma dicuekin. Manfaatin yah!

Jangan lupa juga baca ceritaku yang berjudul PACARKU DOSEN,

itu cerita paling menguras tenagaku.

buset ceritanya seru banget pokoknya, jangan sampe ketinggalan baca. Rugiiiii***!

03. Dompet

“Mungkin isi pala lo ada yang geser,” celetuk Elena.

Lelaki itu malah tersenyum. “Jadi ceritanya bales dendam, nih? Mau ngatain gue gila gitu?”

Elena diam saja. Masih kesal dengan ucapan lelaki itu tadi. Kemudian ia memeriksa isi kantong depan dan belakang celana lelaki itu. Yang diperiksa menurut. Pandangannya mengikuti arah gerakan tangan Elena yang merogoh seluruh isi kantong celananya.

Elena tidak mendapatkan apapun.

“Nyariin apa?” tanya lelaki itu.

“Nyari dompet lo.”

“Gua mana punya duit.”

“Heh, orang aneh, duit lo tu gak penting.”

“Nah, trus nyari apaan?”

“KTP. Gue mau tau siapa lo, dimana alamat lo, biar gampang gue ngebalikin lo ke tempat asal lo.”

Lelaki itu mengangguk. “Tapi jangan panggil gue orang aneh, dong.” Lelaki itu menunduk, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Lantas gue mesti panggil lo apa? Lo aja nggak inget siapa nama lo.” Elena tersenyum kesal.

Lelaki itu berpikir. Mencari nama yang keren.

Sebelum lelaki itu sempat menjawab, Elena keburu berkata, “Boy, jangan ngikutin gue terus. Pergilah sana!”

“Tapi gue nggak punya tujuan, bisa nyasar kalo jalan nggak pake tujuan.”

Elena memandang paras wajah lelaki yang dahinya berkerut itu. Tatapan tajam Elena memudar, berubah dengan iba. Ingatan lelaki itu telah sempurna hilang. Tak wajar jika Elena tidak mau memberi bantuan. Ia masih punya sebongkah perikemanusiaan.

Lelaki itu tetap tersenyum meski Elena terus bersikap jutek, meski dibalik senyumnya terdapat kegundahan karena tidak tahu akan tinggal dimana.

Elena percaya lelaki itu berasal dari seputaran Jakarta. Dia hanyut di sungai yang mengaliri ibu kota, tentu dia berasal dari wilayah yang tidak jauh dari sana.

“Oke Boy, lo akan gue anterin ke kantor polisi. Biar polisi yang urus elo.”

Kening lelaki yang disebut dengan nama Boy semakin mengerut. Tampak tidak suka dengan apa yang dikatakan Elena.

“Apa lo nggak bisa numpangin gue di rumah lo untuk sementara waktu? Sejak tadi lo ngusir gue mulu?” lirih Boy penuh permohonan. Elena adalah orang pertama yang dilihatnya saat ia membuka mata, Elena juga orang yang menolongnya. Ia percaya perempuan itu adalah orang baik. Dan ia hanya ingin berada di dekat orang yang dikenal. Elena.

Elena berpikir. Itulah yang jadi masalah. Ukuran rumahnya saja hanya dua kali tiga meter, tanpa pembatas ruangan, persis kotak kado. Dapur, ruang makan, ruang belajar, sampai ruang tidur pun dilakukan di satu ruangan itu. Dan mandi, untuk kegiatan yang satu itu, ia akan pergi ke sungai. Berjalan kaki sepanjang beberapa puluh meter. Barulah bisa mandi.

Elena berpaling. Lelaki itu mengikuti dan berhenti di depan Elena. “Lo keberatan kalo gue ikut lo? Kalo bukan lo, gue mesti minta bantuan siapa? Cuma lo sekarang yang gue kenal,” lirih lelaki itu kecewa. “Kalo kedua orang tua lo nanyain soal gue, lo jawab aja apa adanya. Katakan sama mereka bahwa gue butuh pertolongan.”

“Nggak perlu lo pikirin apa pendapat kedua orang tua gue nanti, mereka udah nggak ada.” Semburat kesedihan tergambar di permukaan wajah Elena.

“Sorry, gue nggak tau,” ungkap lelaki itu menyesali telah menanyakan kedua orang tua Elena yang telah tiada. Ia terus mengikuti kemana arah langkah kaki Elena. Kemudian merebut karung di punggung Elena dan memindahkannya di kedua bahunya. Memaksa. Ia berusaha memberikan jasa untuk menarik simpati Elena. Tak hanya itu, ia juga turut memungut barang rongsokan. Meski gerakannya sulit dan terlihat kaku.

Tbc

love,

Emma Shu

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!