"Sir," sapa sang sekretaris dari balik meja kerjanya ketika Nash Orlando memasuki ruangan.
Mendengar sapaan sekretarisnya itu, Nash menghentikan langkahnya. Memutar badan menghadap si sekretaris bernama Seren.
"Seorang wanita menunggu anda. Dia datang 30 menit yang lalu. Sekarang sedang menikmati teh di ruangan anda," Jelas Seren. Sebelah alis Nash terangkat mendengar penjelasannya.
"Seingatku hari ini tidak ada janji temu. Siapa wanita ini? Apa aku mengenalnya?"
Seren berdeham karena tahu bagaimana disiplin atasannya tersebut. "Miss Allyn memaksa masuk, sir."
"Allyn," ulang Nash. Tidak pernah mendengar nama yang di sebutkan Seren.
Nash mendelik ke arah si sekretaris, wajahnya tertunduk mengetahui sang bos terusik dengan keputusannya.
"Maaf, sir. Dia menerobos...."
Nash mengangkat tangannya menyuruh si sekretaris diam.
Ssst....
"Seharusnya kamu usir saja tamu tidak berkepentingan itu. Itu tugasmu bukan! Lagipula aku tidak ada janji dengannya," bentak Nash menyebabkan si sekretaris semakin merasa bersalah.
"Maafkan saya sir."
"Ya sudahlah!"
Allyn, nama yang indah. Apakah dia secantik namanya?.
Nash Orlando, pria berusia pertengahan 30-an dengan karir cemerlang di bidang hukum. Seorang pengacara handal yang kini membuka kantor notaris. Dia rela melepaskan gelar tanpa tandingnya di meja hijau karena skandal pencucian uang yang di tuduhkan padanya.
Bersama rekannya Rigel, ia membuka kantor notaris bernama, De Jure. Karirnya pun mulai bersinar kembali, meskipun sebagian pengacara ada yang memandangnya sebelah mata.
"Miss Allyn...." Sapa Nash ketika memasuki ruangan.
Wanita bertubuh semampai segera menoleh dari tempatnya duduk.
"Nash Orlando."
Nash memberikan tangannya ketika si wanita berdiri saat namanya di panggil, menyambut uluran tangannya.
"Allyn."
Nash memperhatikannya dari atas hingga ke bawah. Menilai dengan teliti. Rambutnya di gelung, pakaiannya norak menutupi lekukan tubuhnya, kacamatanya sangat menganggu. Wanita culun, pikir Nash.
Gayanya tidak sesuai, dia menyembunyikan sesuatu. Tebak Nash.
"Kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Aku rasa tidak."
"Oke, lantas mengapa kau menerobos kantorku?"
"Apa kau mendapatkan undangan?"
"Undangan! Dari?"
"Meadow."
Nash memicingkan sebelah matanya ketika nama Meadow di sebut. Klan Meadow pengusaha dunia hitam. Rumor yang beredar, Klan Meadow telah ada sejak seabad lamanya. Klan yang turun temurun handal dalam bisnis bawah tanahnya. Terutama dalam perjudian.
Rumor tentang Klan tersebut membuat merinding yang mendengarnya. Jangan pernah mau berurusan dengannya kalau nyawamu tidak ingin melayang.
Nash bersiul ketika mengingat sejarah panjang klan tersebut yang berhasil menyeretnya terpuruk dalam skandal.
"Kurasa aku tidak ingin berurusan dengan Meadow, begitu pun sebaliknya."
"Setuju."
"Jadi apa hubunganmu dengan Meadow dan kedatanganmu?"
"Aku ingin kau menolak tawaran Meadow."
"Maksudnya?"
"Aku mendengar bahwa orang kepercayaan Meadow akan menemuimu dan menawarkan semacam perjanjian, aku ingin kau menolaknya."
"Sepertinya kau mengetahui banyak tentang Klan Meadow. Siapa sebenarnya dirimu Miss Allyn!"
"Bukan siapa-siapa. Aku hanya pekerja di sana"
"Oh! Jadi kau menguping pembicaraan tuanmu. Lalu apa yang akan mereka tawarkan padaku setelah menghancurkan karir pengacaraku?"
"Ehm, pertunangan dengan sang putri."
Nash tertawa seolah itu adalah ide konyol. "Apa Callisto Meadow sudah gila, kenapa memintaku bertunangan dengan putrinya?" Perkataannya di selingi tawa. Setelah berhenti tertawa, mata Nash kembali serius.
"Teruskan!" Ucap Nash.
"Hanya itu yang aku ketahui," balas Allyn. Nash kembali tertawa.
Hahaha.... Cukup geli mendengar lelucon tidak masuk akal di awal harinya.
Apa keluarga Meadow sudah berubah dari penguasa perjudian ke pertunjukan lawak, mengirim pekerja polos untuk mengangguku. Cemooh Nash dalam hati.
"Lalu bagaimana rupa sang putri dunia kegelapan! Apakah sebar-bar sang ayah!"
"Aku tidak bisa jelaskan."
Alis Nash berkerut mendengar jawaban Allyn. Polos. Tegas. Cepat. sorot matanya tidak gentar.
"Kau tidak pernah bertemu dengannya atau kau tidak ingin menjelaskanya kepadaku?"
"Kurasa keduanya."
"Sangat menarik. Penuh misteri," balas Nash. "Bagaimana jika aku menolaknya? kurasa mereka akan mengutukku dan menyusahkan bisnisku. Kalau aku menerimanya pasti hidupku bagai di neraka. Benarkan Miss Allyn!"
Allyn berpikir sejenak, sebelum menjawabnya. Kehati-hatian sangat di perlukan, karena lawan bicaranya pernah jadi pengacara hebat di meja hijau.
"Kurang lebih seperti itu. Kurasa sang nona sudah menolaknya."
"Oh ya! Jadi kau utusan sang nona Meadow?"
"Kurang lebih."
"Kau terlalu misterius Miss Allyn."
"Aku sudah menyampaikan pesannya, kurasa aku harus pergi. Terima kasih sudah meluangkan waktumu Mr. Nash"
Allyn beranjak dari duduknya, ia telah mencapai pintu. Ketika menggapai pegangan pintu, Nash kembali memanggilnya dan menghentikan aksinya.
"Sebentar Miss Allyn."
"Ya." Allyn membalikkan tubuhnya.
Nash mendekatinya dengan penuh percaya diri.
Deg.... Debar jantung Allyn berpacu, di dekati tubuh maskulin di balut jas rapih, mempertunjukkan bahwa tubuhnya adalah gumpalan otot. Mempesonanya.
"Sampaikan salamku pada Lady Meadow. Bilang padanya, aku akan mengejarnya jika tangan sang ayah berani menghancurkan karirku untuk ke dua kalinya."
Allyn menelan ludahnya ketika Nash berbicara penuh ancaman dalam nada rendah. Penuh siasat, namum menawan. Satu sisi penciumannya dibuai oleh harum parfum citrus. Melenakan pikirannya.
"Akan aku sampaikan. Ada lagi, Mr.Nash?" Tanyaku gugup.
"ah! Satu hal lagi, sepertinya aku akan berpartisipasi dalam permainan sang kepala klan. Jadi persiapkan diri...."
"Tidak!" Allyn menyela dengan teriakan.
Nash tampak menaikkan sudut bibirnya. Senang mangsanya telah masuk perangkap. Gotcha. Aku menunggu reaksimu, Miss Allyn.
"Kenapa kau panik Miss Allyn."
Nash mendorongnya sehingga punggung Allyn terjebak diantara pintu dan tubuh maskulinnya.
"Maksudku," jawab Allyn terbata-bata.
"Apa yang membuatmu gugup. Ada yang kau rahasiakan. Aku pengacara, bisa melihat seseorang berbohong dari gerakannya, jadi katakan apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Miss Allyn."
Allyn memejamkan matanya, mencoba melawan nada merayu suara Nash, yang menghentikan otaknya untuk berpikir.
"Tidak ada!"
"Miss Allyn, kau gugup. Suaramu tidak stabil. Benarkah kau utusan Lady Meadow atau musuh Meadow?"
Nash mendekatkan wajahnya, entah kapan kedua tangannya telah memerangkap di kedua sisi tubuhnya.
Allyn menatapnya, marah. Kesal. Tidak suka dengan kekuasaan yang di perlihatkan oleh Nash.
"Mr. Nash, kau terlalu percaya diri, percayalah sikap ini akan menjatuhkanmu suatu saat nanti. Aku berharap kau mengingat pesanku, untuk menolak pertunangan yang di tawarkan Meadow."
Allyn tersenyum melihat Nash yang terperangah mendengar penjelasannya.
"Permisi Mr. Nash."
Sekuat tenaga Allyn mendorong Nash, berbalik meraih pegangan pintu. Melangkah anggun keluar dari ruangannya. Ia memperhatikan sambil tersenyum.
"Kau wanita pertama yang bisa meloloskan diri dari perangkapku, Miss Allyn."
Sepanjang siang itu pikiran Nash di penuhi bayangan wanita bernama Allyn. Tidak mempercayai ada wanita yang berani melawannya. Sayangnya dia bukan type deretan wanita yang akan di kencaninya.
"Andaikan dia berdandan, merubah penampilannya, mungkin aku akan berkencan dengannya."
Hehehe... Kau konyol. Kilah Nash.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Mengembalikannya kepada kenyataan.
"Ya!"
Seren, si sekretaris memberikan dokumen. Dan berkata: "Sir."
Nash hanya mengerling menatap Seren, ia berdeham memberanikan diri mengatakannya.
"Sir," ulang Seren, "Seorang lelaki bernama Pavo Orion, ingin menemui anda."
Nash meletakkan bolpointnya, menghempaskan punggungnya ke kursi kerja tinggi berbahan kulit yang empuk.
"Sudah membuat janji?"
"Belum, Sir."
"Kenapa tidak mengusirnya!"
"Karena dia berkata akan menunggu jika tidak diijinkan bertemu," jawab Seren yang gugup akan kemarahan atasannya.
"Suruh dia menemui Rigel."
"Dia hanya butuh bertemu anda, sir."
"Kalau begitu suruh dia membuat janji temu, ikuti prosedurnya, maka aku akan menemuinya. Kamu bisa katakan itu 'kan!"
"Sudah, sir."
"Bilang padanya, aku sibuk, datanglah lain kali. Mengerti!"
Nash telah kembali menekuni dokumennya, Seren tidak berani mendebatnya lagi. Seren membuka pintu ketika sang tamu menunggu di balik pintu dan menerobos masuk.
"Luangkan waktumu Mr. Nash! Pembicaraannya tidak lebih dari 5 menit."
Nash mengalihkan pandangan dari tumbukan dokumennya ke pria berotot yang berjalan seperti seekor kucing raksasa. perlahan namun mematikan.
"Pavo Orion, utusan Callisto Meadow."
Nash menatap tajam sang pria yang kini telah berada tepat di depan mejanya. Mengulurkan tangan kekarnya. Menunggu jawaban.
Great! Hari yang penuh dengan Meadow. Jadi si gadis culun itu tidak berbohong. Gerutu Nash.
"Nash Orlando."
Nash bangkit, menyalami tangan kekar, meskipun tersenyum, orang bernama Pavo bukanlah pria ramah.
"Silahkan, kita bisa berbincang di sana." Nash menunjuk sofa.
Ketika keduanya sudah duduk, Pavo mengeluarkan surat. Undangan. Berlapis tinta emas. Tersegel klan Meadow. Bertuliskan namanya yang berkaligrafi indah.
"Ini?" Nash bertanya bingung. Menatap undangan di depannya.
"Tuan besar mengundang anda untuk datang ke pesta ulang tahun putrinya, Lady Keiyona."
Nash tertawa, ia berpikir akan pertunangan yang di sebutkan oleh Allyn tadi. Kau pembohong jitu Allyn. Maki Nash dalam hati.
"Ada yang lucu?"
"Tidak, hanya khayalanku."
"Pestanya akhir pekan ini, Tuan besar meminta saya untuk memastikan kedatangan anda."
"Hanya itu?"
"Ya."
"Tidak ada hal lainnya?"
"Tidak."
"Kalau aku menolak!"
"Anda akan mengetahui kemarahan Meadow. Saran saya datanglah, tidak ada ruginya berbisnis dengan keluarga Meadow."
"Begitukah menurutmu?"
"Saya bisa pastikan anda akan mendapatkan keuntungannya."
"Akan aku pikirkan."
"Kuharap jawabanmu tepat."
Tanpa berpamitan Pavo melangkah meninggalkan Nash yang kini termenung.
"Allyn, kau penipu kecil. Tunangan! Ini hanyalah pesta ulang tahun sang Lady Keiyona."
Keiyona, dimana aku pernah mendengar namanya! Pikir Nash dalam hati.
Nash mengambil undangan yang tergeletak di meja, Di angkatnya ke depan wajahnya. Tercium harum khas pada undangan tersebut mengingatkannya pada Allyn, si wanita culun.
"Apa reaksinya jika aku memilih datang!"
Nash tertawa geli mendapati bayangan wajah Allyn yang memberengut.
"Dari mana Kei?" Sebuah suara menyapanya ketika ia menuju tangga untuk mencapai kamarnya.
Keiyona berbalik, mendapati Callisto Meadow tengah berjalan menghampirinya. Dengan menggunakan tongkat, Callisto menunjuk sebuah sofa nyaman di ruang keluarga. Keiyona, mengikuti langkahnya, yang kemudian menghempaskan diri ke sofa, disampingnya.
"Kenapa dengan pakaianmu? Bukankah kau benci penampilanmu yang dulu!"
Semasa sekolah Keiyona mendapat perlakuan kejam dari temannya, karena tubuh gendutnya dan kacamata tebal yang menangkring di hidungnya.
"Ooh! Dadda jangan mengingatkanku lagi. Itu sungguh pengalaman mengerikan."
"Dan apa yang mengubahmu kembali seperti dulu?"
"Dadda lah yang menyebabkanku melakukannya."
Callisto mengernyitkan alisnya menjadi satu bentuk lurus, mencoba memahami perkataan putrinya tersebut.
"Nash." Keiyona menjawab kebingungannya. Callisto tersenyum simpul menanggapi sebuah nama yang di ucapkannya.
"Kenapa Dadda mengundang orang itu?" Tambah Kaiyona penasaran.
"Karena menemukannya di catatanmu."
"Pengintip."
Hahaha... Callisto tertawa lepas mendengar sang putri mengejeknya. Kemudian ia berusaha menghentikan tawanya ketika mendapati wajahnya yang cemberut.
"Hanya ingin mengetahui siapa yang sudah membuat putri semata wayang Callisto Meadow menangis."
"Dadda tidak ingat! Ia yang terjerat kasus...."
"Tentu saja ingat! Dadda hanya ingin memberikan pekerjaan saja."
"Di hari ulang tahunku! Yang benar saja."
"Ini trik sayangku. Berbisnis jangan terang-terangan," sarannya. "Jadi bagaimana kondisinya kini?" Callisto mengedipkan matanya menunggu respon putrinya.
"Aku tidak tahu." Wajah kemerahan Keiyona sudah menjawab semuanya. Callisto kembali tertawa.
"Sepertinya tidak usah di jawab."
"Dadda menyebalkan."
Ketika Keiyona berlalu pergi, ia berpapasan dengan Pavo yang baru saja pulang. Pavo tersenyum hormat. Yang di balas oleh Keiyona.
Callisto memastikan Keiyona sudah memasuki kamarnya ketika bunyi pintu terdengar. Barulah matanya berubah menatap kepercayaannya tersebut dengan tatapan dingin menginterogasi.
"Bagaimana?" Intonasi gagah di gunakannya ketika bertanya pada Pavo. Dingin dan garang.
"Ia orang berpendirian teguh. Saya rasa kita bisa mempercayakan miss Kei padanya."
"Hmm!" Callisto mempercayai apa yang di katakan Pavo sebagai tangan kanannya.
"Lantas pergerakan Blackthorn?"
Blackthorn adalah musuh bebuyutan Meadow. Persaingan bisnisnya menyebabkan peristiwa berdarah kala itu.
"Saat ini masih belum ada tanda-tanda. Tapi rumor telah beredar, Lucius telah mengumumkan akan menyerang kasino milik kita."
"Bah! Anak kemarin sore mau berhadapan denganku."
"Tuan harus berhati-hati, saya cemas jika berita ini sampai terjadi akan berdampak kepada miss Kei."
"Aku tahu Pavo, maka dari itu bawalah Nash kehadapanku, segera."
"Apakah perlu saya menjemputnya besok?"
"Antarkan aku kehadapannya. Aku harus bicara padanya tentang Kei."
"Baik tuan!"
"Pavo, bisakah ia menjaga Kei untukku?"
"Saya tidak terlalu yakin."
"Mengapa? Karena ia playboy?"
"Mungkin. Saya tidak ingin miss Kei sakit hati akan tingkahnya. Belum lagi skandalnya yang...."
"Itu bukan salahnya."
"Maksud tuan?"
"Semakin sedikit kau tahu, semakin sedikit beban yang kau pikul, Pavo. Tugasmu hanyalah menjaga Kei selamat. Terutama dari cengkraman makhluk bernama Lucius."
"Baik tuan."
Keiyona kembali ke kamar, memandangi dirinya yang terlihat culun seperti 13 tahunan yang lalu, semasa dirinya tidak di anggap oleh teman sekolahnya.
Hanya Nash saja yang mau berteman dengannya, semasa sekolahnya itulah ia merasakan jatuh cinta, pada pria populer yang ternyata tidak menganggapnya sebagai lawan jenis, sehingga cintanya kandas tanpa sempat berbunga.
Patah hatilah yang membuatnya berubah ketika kuliah. Ia mengikuti kelas make-up untuk merubah penampilan serta tubuhnya. Ia rajin menjaga asupan kalorinya dan berolahrga. Jadilahia yang sekarang, bisamelelhkan hati pria manapun yang ia mau. Sayangnya, hati Keiyona masih di penuhi kenangan masa lalu.
"Ia tidak mengenaliku!" Ucapnya sedih.
Keiyona menatap lesu dirinya di depan cermin, membuka kacamata tebalnya dan mengurai rambut yang di kepangnya.
"Ketampanannya tidak berubah. Masih seperti dahulu. Badannya kekar, dan tubuhnya harum." Keiyona memukul kepalanya sendiri. "Kau mesum!"
Ia tertawa geli atas perkataannya sendiri. Sembari cengengesan di depan cermin mengingat pertemuannya kembali dengan Nash Orlando sebagai Allyn.
...◦•●◉✿✿◉●•◦◦•●◉✿✿◉●•◦◦•●◉✿✿◉●•◦◦•●...
"Sesuatu mengganggumu?" Rigel menghampiri Nash yang termangu di depan tumpukan dokumen yang ia abaikan.
"Tidak!"
"Lantas mengapa kau abaikan itu." Rigel menggunakan dagunya untuk menunjuk dokumen yang telah di susun Seren. "Aku mendengar kau kedatangan 2 tamu misterius! Mereka 'kah penyebabnya?"
Hahaha... Tawa Nash menyebabkan Rigel mengernyitkan alisnya.
"Telingamu cukup cepat dalam menangkap rumor?"
"Terima kasih atas pujian anda. Jadi siapa mereka?"
"Kau akan terkena serangan jantung bila aku menyebutkannya."
"Aku bertaruh akan hal tersebut!"
"Meadow!" Nash merasa bahwa jantung temannya tersebut telah berhenti untuk sesaat. Rigel kembali bernapas setelah Nash menjentikkan jarinya.
"Meadow! Callisto Meadow. Pemilik kasino terbesar, maksudmu Meadow yang itu!"
"Yap! Ada lagi nama Meadow di kota ini?"
"Waah!" Serunya lantang tidak percaya. "Jadi kenapa Meadow kemari? Sampai mengutus 2 orang!"
"Hanya mengantarkan ini!" Nash melemparkan undangan ke arah Rigel. Ia memungut dan membuka isinya, kemudian membacanya. Ekspresi jantung berhenti kembali di pertontonkan olehnya.
"Undangan special. Mencari calon suami untuk lady Keiyona! Menurut pembantunya miss Kei"
"Calon suami!" Ulang Rigel.
Nash ingin melempari Rigel dengan salah satu tumpukan dokumen, kala temannya itu berekspresi yang menurutnya menjijikan ketimbang kaget.
"Callisto terdengar gila! Kenapa dia memilihmu, yang jelas adalah musuhnya?"
"Mana aku tahu! Dan 'kan ku cari tahu"
"Tidak gampang mencari info tentang mereka terutama sang lady yang selalu di sembunyikan oleh Callisto. Kau tahu 'kan apa yang terjadi dengan sang istri, ia di tembak ketika..."
"Ya."
Kisah menyayat pilu terjadi ketika sang putri Keiyona berusia 10 tahun. Keiyona dan Cassia, isteri Callisto sedang berbelanja tanpa pengawalan. Ketika turun dari mobilnya, suara tembakan mengenai jantung Cassia yang menyebabkan ia tewas di tempat.Sejak saat itu Callisto selalu menyembunyikan putrinya dari publik.
Sebenarnya klan Meadow sudah berbisnis secara legal, banyak kasino ilegalnya yang sengaja di tutup. Tapi musuh bebuyutannya tidak terima ketika anggapan publik tentang klan Meadow berubah. Blackthorn yang kini di pimpin oleh Lucius berniat menggulingkan kekuasaan yang telah di pegang Meadow sejak lama.
Dan Meadow pun bertekad mencari siapa pembunuh Cassia yang belum terungkap walau kasus ini telah hampir mencapai batas kadaluarsa di tahun ini.
"Tragis memang. Tapi kejahatan Meadow cukup banyak, walau di bawah kepepimpinan Callisto menjadi lebih baik, tetap saja dendam akan menyulut amarah dan kebencian hingga berakhir menjadi aksi kejam." Jelas Nash.
Ruangan menjadi sunyi sejenak. Meskipun ia bukanlah pengacara lagi, tapi jiwa keadilan dalam dirinya meluap. Terutama skandal tentangnya mencuat kala ia menyelidiki kasus Cassia, sang isteri bos kasino.
"Jadi kau akan datang!" Rigel memecah keheningan. Membawa Nash kembali ke dunia nyata.
"Menurutmu! Keduanya bagai 2 bilah mata pisau. Datang atau tidak nyawaku taruhannya."
"Kenapa dia memilihmu? Bukankah itu aneh. Setelah menjatuhkanmu sebagai pengacara, kini ia memintamu menjadi pengikutnya," Rigel mencemooh pemikiran Callisto yang menurutnya tidak masuk akal.
"Kalau aku tahu, aku tidak akan mengabaikan dokumen ini. Besok pagi Seren akan menggerutu di belakangku."
Rigel kembali tertawa, kasihan akan nasib Seren yang setiap harinya ketakutan di bawah disiplin Nash.
"Jangan terlalu keras padanya. ia adalah pilihan terbaik untukmu."
"Temani aku minum. Kepalaku serasa mau pecah!"
Kedua sahabat tersebut melenggang keluar dari kantornya. Menuju bar bernama Midnight Mirage. Bar langganan tempat berkumpulnya informasi dan orang ternama di Corleon Metropolis.
"Siapa yang tengah hadir di sini? Sang pengacara yang tersingkir menjadi pemilah dokumen!" Lucius menghampiri kami yang tengah duduk di meja bar.
"Kau merusak acara minumku!" Tanpa gentar Nash mengungkapkan ketidaksukaannya. Rigel hanya menelan ludah melihat kedatangan Lucius.
"Aku datang dengan damai. Jadi, apa yang kau bicarakan dengan Pavo?"
"Hanya masalah dokumen, memang apa lagi? Kau sendiri yang bilang kalau aku hanya mengurus dokumen."
"Kau satu dari sekian orang yang berani melawanku."
Lucius mendentingkan gelas minuman kerasnya pada gelas Nash. "Cheers! Sebagai keberanianmu."
Mereka berdua menegak isi dalam gelas tersebut sekali minum. Rigel mematung, kala tatapan mata Lucius memandanginya.
"Jagalah temanmu jangan sampai mabuk!" Kemudian ia melangkah pergi ditemani para pengawalnya.
"Aargh! Hariku hancur tidak bersisa!"
Nash kembali mengisi gelasnya dengan minuman keras dan meminumnya, rasa panas memenuhi tubuhnya kala minuman itu turun ke lambungnya. Berkali-kali ia meminum hingga botol yang tersaji di hadapannya tidak bersisa.
"Hei!" panggilnya pada bartender. "Berikan aku botol yang lain," Suruhnya kasar.
Rigel segera menghentikan aksinya itu, dan membayar tagihannya. Nash telah mabuk, hingga ia harus menopangnya.
"Sebaiknya kita pulang, kau sudah terlalu mabuk!"
Rigel mengantar Nash pulang ke rumah sederhana yang ia tempati. Rigel membantu Nash membukakan pintu, dan menyalakan lampu.
Walau Nash berdiri sempoyongan, matanya dengan jeli menyisir keadaan sekitar, firasatnya mengatakan bahwa rumahnya telah kedatangan seseorang.
"Pulanglah!" Suruh Nash.
"Ku harap kau bisa pulih besok." Ucap Rigel sebelum keluar dari rumah.
Sepeninggalan Rigel, Nash berjalan menuju kamarnya, membuka laci hendak mengambil senjatanya, namun kepalanya telah di todong senjata terlebih dahulu.
Nash mengangkat tangannya, dan si penodong mengambil senjatanya.
"Jangan lakukan hal yang merugikanmu Mr. Nash. Kami datang hanya untuk bicara!"
Orang yang menodong Nash belum memperlihatkan sosoknya, ia bersembunyi di kegelapan lampu yang temaran. Ia meminta Nash bergerak keluar kamar dan terpanalah Nash, ketika ada orang lain telah menguasai sofanya yang nyaman.
Callisto Meadow telah menunggu kedatangan tuan rumah dengan bersantai, menghisap cerutunya yang beraroma khas. Mengepulkan asapnya ke udara.
"Sepertinya kau telah bersenang-senang, Mr. Nash!"
Sosok yang menodongkan senjata kini menarik kursi kayu yang berada tidak jauh dari jangkauannya, dan menempatkan Nash duduk di sana, menghadap Callisto.
"Sepertinya anda tidak sabaran bertemu denganku, Callisto!"
"Benar. Menunggu beberapa hari akan menjadikanku menggila."
"Jadi, apa keperluanmu sampai membobol rumah orang sepertiku?"
"Mudah. Aku ingin kau menjadi suami palsu bagi putriku Kei."
"Mengapa?"
"Identitasnya bocor, dan beberapa surat ancaman datang kepadaku. Aku tidak ingin Kei mengalami nasib tragis seperti mendiang moma-nya. Jadi, aku menyelidiki beberapa nama yang bisa di andalkan di Corleon Metropolis, dan kau termasuk kandidat yang kuat, Mr. Nash!"
"Sebuah sanjungan bagiku, tapi aku tidak tertarik menjadi pengasuh, terutama putrimu," Nash membalas dengan menolak tawarannya.
"Come on, putriku seusia di bawahmu beberapa tahun, dan percayalah ia tidak menyusahkan. Ia hanya butuh tempat bernaung, dan sedikit motivasi agar bisa berbaur dan menghindari Lucius."
"Lucius! Kenapa kau tidak menikahkan dia dengannya, maka persoalan kasinomu akan beres."
Hahaha... Callisto tertawa mendengar saran Nash, pria yang di todong senjata pun seperti menikmatinya. Santai namun tetap waspada, karena orang yang di belakangnya adalah kucing besar yang siap menerkam.
"Kalau semudah itu maka aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi jalan pikiran Lucius tidak semudah itu. Ia agak...." Callisto memperagakan ketidakwarasan otak Lucius. "Kau tahu lah maksudku!"
"Atau kau beranggapan bahwa ia dalang di balik kematian Cassia, istrimu."
Raut wajah Callisto memucat, kesedihan tampak di wajahnya yang mulai menimbulkan guratan halus.
Ia lebih cocok di panggil Kakek ketimbang, seorang ayah. Namun aku akui karisma dan ketegasannya masih terlihat tanpa harus melakukan apapun.
"Aku masih mencarinya," ucapnya sambil menerawang melihat ke kejauhan. Ada jeda yang menyebabkan keheningan panjang, sampai ia menarik napas kasar.
"Aku harap kau menerimanya. Jika kau ingin mengetahui putriku, datanglah ke alamat ini." Pria di belakang Nash memberikan sebuah kartu nama.
"Dan aku akan datang menemuimu untuk jawaban tegasmu serta kesepakatan kecil."
"Bagaimana jika putrimu tidak setuju?"
Hehehe... Callisto terkekeh tatkala ia beranjak dari duduknya, menandakan akhir pembicaraannya.
"Ia yang memilihmu, tentu saja akan menyetujuinya. Inilah tanggung jawabku sebagai ayah."
"Memilihku?" Tidak mengerti akan maksud dari kata-katanya. "Lagipula, banyak orang dari duniamu yang lebih menginginkan menjadi kepercayaanmu."
"Aku ingin membawanya pada cahaya, bukan berkubang di lumpur yang gelap. Ia sudah banyak mengalami nasib tragis di usianya yang masih muda, ia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Dan sebagai ayahnya, aku ingin memberikan kehidupan yang layak untuknya. Bisa kau pikirkan hal tersebut, Mr. Nash!"
Mereka pergi bagaikan bayangan, tidak menimbulkan suara apapun, Nash bagai di hipnotis. Hanya sebuah kartu nama tertinggal, menyebutkan satu nama kafe tidak jauh dari kantornya.
"Menarik!"
...◦•●◉✿✿◉●•◦◦•●◉✿✿◉●•◦...
Pagi hari Nash berusaha meluangkan waktunya melewati kafe yang tertera di kartu nama tersebut. "Steammy Beans" kafe yang cukup populer walaupun masih berusia 2 tahunan, namun banyak pecinta kopi yang merekomendasikannya. Kafe tersebut pernah di liput media setempat.
"Gadis dunia hitam bekerja di kafe. Sungguh konyol."
Nash keluar dari mobilnya, dan memasuki kafe. Aroma kopi yang baru di seduh langsung menyerbu indra penciumannya begitu pintu di buka. Disana terdapat 3 pegawai, satu pria sebagai barista dan 2 wanita sebagai pramusaji. Nash menebak siapa di antara kedua wanita ini yang putri Callisto. Hingga sebuah wajah melintas di hadapannya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Allyn." Sapanya yang membuat si gadis menumpahkan pesanan yang di bawanya. "Dunia begitu sempit ternyata."
Ya, gadis yang datang ke kantornya kemarin kini bertemu kembali di kafe. Meski kaca matanya tidak setebal dan gaya rambutnya tidak seculun kemarin, Nash masih mengenali wanita tersebut.
Mata Allyn dengan cepat melihat sekeliling, kemudian menarik Nash ke bagian belakang kafe, melalui dapur. Beruntunglah, kafe di pagi hari tidak banyak pengunjung. Rata-rata mereka memesan untuk di bawa ke kantor.
"Kau Allyn 'kan!" Nash kembali berkata ketika mereka sudah berada di tempat sepi. "Atau kau sebenarnya Keiyona!"
Gadis tersebut menginjak sepatu Nash dengan hentakan keras, yang menyebabkannya mengaduh kesakitan.
"Kusimpulkan kau orang yang sama."
"Untuk apa kau datang kemari?"
Nash merogoh saku jasnya dan mengeluarkkan sebuah kartu nama.
"Seseorang membobol rumahku semalam dan meninggalkan ini." Gadis itu mengambilnya dan mendecakkan lidahnya.
"Dadda!" Ucapnya.
"Jadi kau Keiyona putri Callisto Meadow!"
"Ya!"
"Namamu?"
"Itu aku menggunakan nama tengah ibuku," jawab Keiyona. "Lantas kau kesini bukan sekedar minum kopi bukan, apa yang dadda katakan padamu?"
"Entahlah, aku menjadi amnesia sekarang."
"Cih!" Keiyona berlalu pergi, dan membukakan pintu dapurnya. "Sebaiknya kau cepat pergi, jangan datang ke sini lagi."
"Aku beritahukan satu hal, Dadda-mu menawarkan aku sesuatu yang menarik, hanya untuk menjadi pengasuhmu dan perjanjian itu akan di buat setelah aku melihatmu. Sekarang aku tengah mempertimbangkannya. Menurutmu, apa keputusan yang akan aku ambil, miss Allyn... Ah...bukan...tapi lady Keiyona Meadow!" Bisiknya di telinganya.
Nash melenggang santai menuju pintu keluar, Keiyona berpikir sesaat sebelum akhirnya melepas celemek, dan berlari menyusul Nash memasuki mobilnya.
"Apa yang kau lakukan!"
"Mengikutimu, mencari tahu tentang perjanjianmu dengan dadda."
"Bagaimana dengan kafenya?"
"Biarkan pekerjaku yang mengurusnya!"
"Ini milikmu?" Nash bertanya kaget.
"Ya, akulah yang mendirikannya. Ada yang salah?"
"Kau yakin!"
"Ya, atau aku perlu mengeluarkan suratnya tuan pengacara...." Ia memukul mulutnya. "Aww... Salah seharusnya tuan notaris."
Hahaha... Nash tertawa ketika leluconnya tadi segera di balasnya.
Tidak lama mereka telah sampai di kantor Nash, Keiyona selalu mengikuti Nash kemana pun ia melangkah, sampai sekretarisnya bingung, melihat kedatangan bosnya bersama wanita. Mata Seiren memandang tidak henti, sampai sang bos menegurnya.
"Seiren! Matamu hampir copot."
"Maaf, sir!" Ucapnya gugup.
Nash memasuki ruang kerjanya yang di susul Keiyona yang kini berubah menjadi kesal.
"Kau tidak pantas berkata seperti itu pada sekretarismu?"
"Seperti apa! Aku pikir tidak ada yang salah dengan perkataanku." Nash membuka jasnya dan menyampirkannya di kursi kulitnya.
"Kasar! Haruskah kau berkata sekasar itu padanya?"
"Kau mengasihani pegawaiku kini!"
"Kau bos yang galak, tidak salah jika pegawaimu mengutukmu kelak."
"Dan kau bos yang baik. Tapi kau meninggalkan kafe begitu saja. Dimana tanggung jawabmu, hah?"
"Eish! Kau menyebalkan."
"Kau keras kepala."
"Sepertinya aku masuk di saat yang salah!" Rigel melongok di pintu. Kedua orang yang di dalam ruangan segera menatap tajam ke asal suara.
Rigel mengangkat kedua tangannya tanda menyerah sembari berjalan perlahan memasuki ruangan.
"Aku hanya mengecek keadaanmu saja, tapi pertengkaran suami-istri sedang di mulai, jadi...."
"Kau bilang apa!" Teriak keduanya berbarengan.
"Ups! Sepertinya aku salah bicara lagi. Maafkan mulutku yang tidak mau diam." Rigel melirik Keiyona. "Jadi, anda klien baru? Kenalkan Rigel."
Dengan sopan Keiyona menjabat tangan Rigel yang terulur. "Allyn!"
"Hah!" Ejek Nash membuat Keiyona mendelikkan matanya.
"Ada yang salah Mr. Nash!" Keiyona berbicara dengan menekankan kemarahannya.
"Tidak!" Jawab Nash acuh tak acuh.
Menyadari situasi yang memanas, Rigel memutuskan untuk angkat kaki dari kantor Nash, tidak mau terseret masalah terutama wanita.
"Baiklah, si pengganggu akan pergi berkelana."
Baru saja Rigel memutar badannya, Seiren telah menubruknya karena ketergesaannya.
"Sir, itu... Tamu..." Seiren tidak mampu menyelesaikan perkataannya karena gugup. Rigel memegang bahunya dan mencoba menenangkannya.
"Tenanglah, tarik napasmu lalu keluarkan, dan katakan sekali lagi dengan jelas."
"Di luar ada tamu...."
Belum juga Seiren menyelesaikan kalimatnya, si tamu telah memasuki rungan kerja Nash dan berkata: "Bagaimana Mr. Nash jawabanmu?"
"Dadda!" Keiyone segera menutup mulutnya yang ke ceplosan.
"Dadda!" Sahut Seiren dan Rigel bersamaan.
Kedua orang yang seharusnya tidak tahu apapun menjadi terlibat kini, sehingga Pavo bertindak dengan menutup pintu, menjadi penjaga hingga tidak ada seorangpun yang boleh keluar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!