Khadijah tertunduk malu saat kedua orangtuanya Revan datang melamarnya pada paman dan bibinya yang menjadi walinya saat ini.
Kedua orangtuanya Revan meminang Khadijah yang merupakan gadis yatim piatu yang tewas akibat ulah dari tuan Alviano Dermawan yang menabrak mobil tuan Atalla Mahar Dinata.
Saat kecelakaan itu terjadi usia Khadijah masih berusia 10 tahun sementara Revan berusia 15 tahun.
Saat usia Khadijah memasuki 20 tahun, keluarga Alviano siap melamar gadis itu untuk putra mereka Revan. Walaupun begitu Revan tidak datang di acara lamaran itu, namun tidak mengurangi hikmah acara tersebut.
"Pernikahannya cukup dilangsungkan sederhana saja. Yang penting ijab qobul-nya," ucap tuan Aji Musni selaku pamannya Khadijah.
"Maafkan kami soal itu tuan Aji. Kami sangat menyesalkan sikap putra kami yang tidak mau direpotkan dengan acara resepsi karena dia sangat sibuk saat ini," ucap tuan Alviano.
"Tidak masalah. Lakukan secepatnya agar Khadijah ada yang bertanggungjawab untuknya. Kami harus kembali ke Rusia karena tugas kami menumpuk di sana," ucap tuan Aji yang merupakan duta besar RI untuk Rusia.
"Baiklah. Kalau begitu pernikahannya di kantor agama saja biar urusannya cepat selesai. Lagi pula semua berkas mereka sudah masuk dan tinggal menunggu tuan Aji ke Indonesia agar bisa menjadi wali nikah untuk Khadijah," imbuh tuan Alviano.
"Berarti kapan tanggal pernikahan itu?" tanya tuan Aji.
"Dua hari lagi," ucap Tuan Alviano.
"Baiklah. Kami tunggu hari bahagianya. Kami titip putri kami satu-satunya ini. Hanya dia yang kami punya," ucap nyonya Retno yang tidak memiliki anak karena rahimnya sudah diangkat.
"Kami akan menjaganya seperti kami menjaga putra kami Revan," ucap nyonya Shiren. Keluarga itu pamit pulang setelah berbasa-basi sebentar.
Tuan Aji Musni adalah adik kandungnya tuan Attala. Sepekan kemudian, pernikahan itu berlangsung. Cukup lama juga keluarga mempelai wanita menunggu kedatangan mempelai pria yang belum juga unjuk giginya.
"Dasar anak berengsek...! Sudah jam segini masih juga belum datang," umpat tuan Alviano menatap jam tangannya dan terlihat sangat gelisah.
"Maaf pak penghulu. Mungkin putra saya terjebak macet," ucap tuan Alviano pada pak penghulu yang tetap terlihat tenang sambil sesekali menarik nafas berat.
"Tidak apa. Tenang saja tuan Alviano. Ini belum memasuki waktu istirahat," ucap pak penghulu tersenyum tenang.
Tidak lama kemudian masuk seorang pemuda yang sangat tampan. Pemuda itu adalah Revan yang akan menikahi Khadijah.
Khadijah tidak ingin melihat calon suaminya itu karena pernikahan ini semuanya berlangsung hanya karena memenuhi sebuah janji.
Ia sendiri tidak mengerti janji apakah itu. Yang ia tahu, ia harus memenuhi permintaan kedua orangtuanya sebelum meninggal. Itu yang disampaikan oleh paman dan bibinya.
Begitu juga dengan Revan yang tidak mengetahui ada cerita apa dibalik pernikahan ini karena dirinya hanya diberitahu ini adalah sebuah janji. Jika tidak dipenuhi olehnya maka namanya dicoret dari ahli waris.
"Ayo cepatlah...! Semua orang di sini hampir mati karena kehabisan oksigen menanti kedatanganmu," bisik tuan Alviano menggiring putranya duduk di depan pak penghulu.
"Baiklah. Untuk mempersingkat waktu kita mulai saja pernikahan ini. Silahkan tuan Aji untuk menikahkan keponakan anda dengan saudara Revalino...!" pinta pak penghulu.
"Baik pak penghulu."
Janji suci pernikahan melalui di ikrarkan sumpah ijab qobul yang diucapkan oleh Revalino begitu lancar dalam satu tarikan nafas.
"Sah...!"
"Sah...!"
Kedua saksi pernikahan itu mengucapkan kata sah secara bersamaan. Saling menyalami satu sama lain diantara mempelai pengantin dengan keluarga mereka masing-masing.
Revan tampak jengah melihat adegan tangisan itu. Ia segera menarik tangannya Khadijah agar cepat keluar dari kantor KUA itu.
"Cepatlah...! Aku banyak urusan. Urusanku tidak hanya dengan dirimu saja," ketus Revan yang tidak ada manis-manisnya pada Khadijah.
"Astaghfirullah halaziiim," batin Khadijah yang hanya bisa beristighfar.
Mobil mewah itu meninggalkan kantor agama menuju hotel yang merupakan milik keluarga Revan sendiri.
"Tidak ada acara bulan madu. Kita hanya punya status menikah dengan embel-embel suami istri. Tapi bukan dalam arti yang sesungguhnya.
Aku harap kamu tidak perlu tampil sebagai istri yang berbakti dan begitu pula denganku dan kamu jangan banyak menuntut dariku sebagai suami yang baik. Apakah kamu paham, Khadijah?" tanya Revan sambil fokus membawa mobilnya.
"Insya Allah."
Khadijah tetap tenang tanpa merasa tersinggung apa lagi emosi karena itu bukan bagian dari hidupnya yang menanggapi orang yang lagi senewen seperti suaminya saat ini.
Tiba di hotel, tidak seperti pengantin bahagia lainnya yang saling bergandengan tangan atau pelukan mesra, justru tampang sadis dan dingin membeku terlihat jelas di wajah tampan Revan.
Sementara wajah Khadijah yang tertutup cadar berjalan menunduk mengikuti langkah kaki Revan masuk ke dalam lift.
Para karyawan hotel yang awalnya ingin memberi selamat terlihat gugup dengan raut wajah ketakutan seakan sedang menghadapi malaikat maut. Mereka hanya menundukkan kepala seperti biasanya.
"Bagaimana dengan kalungan bunganya?" Tanya Dini pada temannya yang hanya menggelengkan kepalanya.
"Ya sudahlah. Di simpan saja. Sepertinya pernikahan itu tidak sesuai yang diharapkan kelurga Darmawan," ucap Ian manajer hotel.
"Ohhh...! Pantesan. Apakah karena gadis itu jelek membuat tuan Revan ngambek?" ledek salah satu karyawannya.
"Oh kasihan...! Padahal apa kurangnya kita, cantik, bahenol dan tentunya smart." Memuji diri sendiri.
"Smart kepala loe peang. Kalau smart ijasah loe nggak sampai D3 doang...hiks..hiks..!"
"Eh...! Gue juga bisa sampai jenjang tinggi. Bokap gue nggak mampu aja makanya sampai level 3 doang."
"Level 3. Loe kira pesan ayam ri**s" ledak tertawa itu menggema.
"Hussstt...diam...! Sana... kembali bekerja lagi..!" titah manajer Ian. Semuanya kembali ke ruang kerja mereka masing-masing.
Di dalam kamar pengantin, Revan hanya duduk di sofa sementara Khadijah duduk di tempat tidur.
"Mulai besok jangan mengenakan cadarmu. Aku tidak mau berjalan dengan orang aneh...!" ucap Revan lalu bangkit berdiri melepaskan jasnya.
"Baik." Khadijah masuk ke kamar mandi untuk melepaskan semua apa yang melekat di tubuhnya.
"Mungkin suamiku tidak membutuhkan aku. Baiklah. Kalau begitu aku mandi saja dan tidur siang. Aku juga sangat lelah karena kurang tidur akhir-akhir ini." Menatap wajah cantiknya di depan kaca wastafel.
Guyuran air membasahi tubuh mulusnya. Ia membasahi juga rambutnya dengan menggunakan sampo mahal yang tersedia di dalam kamar mandi itu.
Harum semerbak sampo yang merupakan pilihan sang mertua untuk Khadijah agar bisa merangsang gairah Revan.
Sementara di luar sana Revan membuka pintu kamarnya untuk pelayan yang membawa makan siang untuk mereka.
Sepeninggalnya pelayan itu, Revan juga menanggalkan bajunya dan tampaklah dada berotot itu dengan lekukan roti sobek tersusun di perut sixpack miliknya.
Tidak lama Khadijah keluar dengan rambut terbalut handuk dan mengenakan jubah mandi warna merah.
Deggggg....
Keduanya sama-sama terpana melihat wajah dan tubuh mereka masing-masing. Jakun Revan naik turun melihat kecantikan istrinya.
Begitu juga Khadijah yang baru melihat jelas ketampanan suaminya dengan tubuh setengah telanjang.
Revan mengalihkan wajahnya dengan jantung berdebar sekuat tabuh genderang mau pecah.
"Gawat.....! Kalau wajahnya secantik itu di perlihatkan di depan orang lain, maka habislah istriku di kerubutin lalat," batin Revan yang menyesali ucapannya sendiri.
Darah Revan makin berdesir dengan jantung yang tidak bisa dibujuk tenang. Di tambah lagi miliknya yang tidak tahu diri tegak mengeras begitu saja seakan tidak bisa melewatkan barang bagus.
Walaupun ia belum pernah mencicipi manisnya bercinta dengan wanita lain namun, sebagai pria normal tentu saja ia tidak menepikan gairahnya yang tersulut atas ikatan halal.
"Tidak..! Aku tidak boleh menyentuhnya. Aku tidak mencintainya. Gairah birahiku harus disertai cinta bukan nafsu. Lagi pula aku tidak menginginkan pernikahan ini.
Tujuanku cuma satu memiliki semua harta dan perusahaan milik ayah yang seharusnya milikku bukan milik putra angkat ayah yang ada di luar negeri itu," desis Revan membatin.
Melihat tidak ada respon dari suaminya, Khadijah beralih mengambil pakaian santai miliknya dalam koper. Ia kembali ke kamar mandi dan mengenakannya.
Rambut basahnya dikeringkan dengan hair dryer. Ia lalu memakai bodylation untuk menjaga kelembaban kulitnya. Khadijah lalu keluar lagi dengan wajah terlihat segar tanpa make-up.
"Makanlah ...! Setelah itu lakukan apapun yang kamu suka karena aku harus kembali ke perusahaan," ketus Revan.
"Terimakasih mas. Makanannya sangat lezat," ucap Khadijah lirih padahal belum menyentuh makanannya.
"Jangan memanggilku dengan kata mas. Panggil namaku saja...! Tidak usah sok manis di depanku. ..! karena aku sama sekali tidak menghendaki pernikahan ini apalagi mencintaimu," ucap Revan datar namun menusuk sampai ke ulu hati.
"Apakah kamu yakin dengan perkataanmu?" tanya Khadijah lembut.
"Jadi kamu menantang ku?" geram Revan merasa diremehkan oleh Khadijah.
"Bukan begitu, Revan. Kamu lupa kalau hati dan tubuh kita ini milik Allah. Jadi, hanya Allah yang mampu membolak balikkan hati hambaNya sesuai kehendaknya. Jadi jangan takabur dengan sesumbar seperti itu," ucap Khadijah lalu menyuapi nasi ke mulutnya.
Revan terdiam menyimak penuturan Khadijah yang sangat tenang hingga menghujam jantungnya. Perkataan Khadijah ada benarnya namun hatinya tidak mau kalah menanggapi ucapan Khadijah.
"Hatiku milikku. Terserah aku bagaimana aku bersikap padamu," ucap Revan menghabiskan makanannya lebih cepat seakan sedang dikejar setan.
Bukan tidak ada alasan Revan lebih cepat menghabiskan makanannya karena ia tidak sanggup menatap kecantikan Khadijah lebih lama di tambah lagi harum tubuh gadis itu seakan terus menggoda libido kejantanannya yang akan meruntuhkan keteguhan hatinya untuk tidak mencintai Khadijah.
Khadijah masuk lagi ke kamar mandi untuk bersuci karena ia belum menunaikan sholat dhuhur. Revan memperhatikan Khadijah yang mengenakan mukena putihnya yang merupakan bagian dari mas kawin yang diberikan suaminya.
Lagi-lagi Revan terpukau dengan kesejukan wajah Khadijah yang menenangkan hatinya. Matanya seakan dipaksa untuk terus menatap makhluk Allah yang sangat sempurna menurutnya.
"Kamu tidak sholat? Apaka kamu mau jadi imanku?" pinta Khadijah.
"Sholat saja duluan. Aku mau pergi." Revan mengenakan lagi pakaiannya lalu keluar dari kamar itu. Ia tidak lantas langsung melangkah.
Revan berdiri sesaat sambil mengatur nafasnya karena tidak menyangka ia mendapatkan istri yang sempurna baik fisik, wajah dan akhlak Khadijah yang tidak mudah marah maupun tersinggung dengan perkataannya seperti bom molotov yang kapan saja meletus.
"Ya Tuhan. Jangan biarkan aku jatuh cinta padanya..! Aku sudah bersumpah dari awal sebelum pernikahan ini terjadi," lirih Revan melangkah dengan berat hati menuju pintu lift.
Khadijah tampak khusu menunaikan sholat dhuhur. Ia menyerahkan sepenuhnya urusan hidupnya plus sakit hati perkataan suaminya pada Penciptanya.
"Ya Allah. Aku milikmu dan hatiku ada dalam genggamanMu maka cabut rasa sakit itu dalam hatiku. Jika ini adalah bagian dari penggugur dosa hamba, maka hamba ikhlas menjalaninya.
Jika ini adalah bagian dari ujian untuk mengangkat derajat hamba, maka mudahkan bagiku untuk menyelesaikan ujian ini," doa Khadijah di sujud panjangnya yang terakhir.
"Aisss...! Kenapa aku bisa lupa menanyakan berapa nomor ponselnya," kesal Revan saat sudah mencapai lobi hotel. Ia menuju resepsionis.
"Siang Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Meisya.
"Aku pinjam telepon sebentar."
"Baik tuan." Memberikan gagang telepon pada Revan yang langsung menghubungi nomor kamar istrinya.
Kring....kring....!
Khadijah buru-buru mengangkat telepon kamar itu ketika baru saja mengucapkan salam usai sholat." Hallo..! assalamualaikum..!" Sapa Khadijah.
Revan sempat termangu mendengar suara Khadijah seperti anak remaja." Kenapa suaranya sangat lembut dan begitu magis saat di telepon? Gadis itu terbuat dari apa? Apakah hanya aku saja yang saat ini sedang terhipnotis oleh sihirnya?" batin Revan yang tidak langsung menjawab salam Khadijah malah bengong.
"Hallo...! ini dengan siapa?" tanya Khadijah lagi.
"Ini aku Revan. Berapa nomor ponselmu? Aku lupa mencatatnya?" tanya Revan datar. Khadijah menyebutkan setiap angka secara bertahap dan langsung di simpan oleh Revan di dalam ponselnya.
Tak tanggung-tanggung ia menulis nama Khadijah dengan sebutan
"My wife". Revan hampir saja tersenyum namun sesaat kemudian wajah itu kembali berubah datar karena di tatap oleh dua orang wanita cantik di depannya yang begitu mengagumi pahat sempurna tuan mereka.
"Tundukkan pandangan kalian. Dasar karyawan tidak sopan...!" tegur Revan membuat keduanya terperangah.
"Sorry tuan." Keduanya tertunduk malu ketika tertangkap basah oleh Revan.
Revan meninggalkan lobi dan asisten pribadinya yaitu Gavin sudah menjemputnya. Gavin segera membukakan pintu untuk Revan yang langsung masuk tanpa menyapa asistennya itu.
Melihat raut wajah datar Revan dengan sikap diamnya membuat Gavin urungkan niatnya untuk memberikan selamat atas pernikahan tuannya itu. Revan mengirim pesan pada Khadijah.
"Jangan keluar dari kamar itu tanpa ijinku. Kenakan kembali cadarmu setiap kali ada pelayan hotel ke kamarmu. Aku tidak mau ada yang melihat wajah jelekmu itu," tulis Revan.
Khadijah membaca pesan itu tersenyum sendiri." Cih...! Ucapanmu tidak pernah konsisten. Tadi bilang lain sekarang lain lagi. Apakah besok akan berubah lagi? Apakah perasaannya sudah seperti perkiraan cuaca? Mendung tak berarti hujan. Itu bagian bait lagu sama nih seperti suamiku. Ternyata dia sangat tampan," puji Khadijah terlihat berbunga-bunga.
"Baik. Hati-hati. Semoga urusan pekerjaanmu cepat selesai....! Aku menunggumu. Assalamualaikum suamiku...!" balas Khadijah romantis.
Revan mengulum senyumnya yang tak sampai terlihat oleh asisten Gavin. Ia tidak mau ada yang bisa menebak perasaannya saat ini.
"Apakah kita langsung ke perusahaan bos?" tanya asisten Gavin.
"Apakah ada jadwal pertemuanku dengan klien hari ini?" tanya Revan.
"Tidak ada tuan. Semuanya di tunda karena pernikahan tuan. Jadwal akan dibuat ulang Minggu depan karena harus disesuaikan jadwal klien," imbuh asisten Gavin.
Tiba di perusahaan, Revan menyelesaikan berkas yang berhubungan dengan saham miliknya dan beberapa saham milik kedua orangtuanya.
Saking seriusnya menyelesaikan pekerjaannya, Revan sudah melewati jam demi jam dan tidak terasa sudah memasuki pukul 7 malam.
Ketukan pintu terdengar keras membuat Revan baru sadar dan melirik jam tangannya. Asisten Gavin masuk ke ruang kerjanya Revan.
"Apakah tuan mau pulang sekarang?" tanya Gavin yang tidak lain sepupunya Revan sendiri.
"Baiklah. Aku harus kembali ke hotel. Khadijah pasti sedang menungguku. Pesan pizza dan kirim ke kamar hotelku...!" titah Revan.
"Baik tuan." Asisten Gavin menghubungi restoran pizza dengan selera yang biasa dimakan oleh Revan.
Baru saja Revan masuk ke dalam mobilnya dan bersiap untuk pulang, ada telepon masuk ke ponselnya. Nomor itu tidak ia kenal namun merasa penting, Revan mengangkatnya juga.
"Hallo. Selamat malam ..!" sapa seseorang dari seberang.
"Malam. Saya bicara dengan siapa?" tanya Revan gugup.
"Kami dari rumah sakit. Kami ingin mengabarkan saat ini kedua orangtua anda mengalami kecelakaan dan berada di ruang IGD dan kami mohon maaf tidak bisa menolong keduanya karena pendarahan hebat yang dialami keduanya," tutur sang dokter.
"Apa maksud dokter?" suara Revan sudah berubah meninggi.
"Kedua orangtua anda meninggal dunia," ucap dokter itu hati-hati.
Duarrrr......
Revan yang semula ingin membuka hatinya pada sang istri tiba-tiba menjadi benci pada istrinya. Sesuatu hal yang tidak logis dengan pikirannya yang kerdil hingga mengkambinghitamkan sang istri sebagai gadis pembawa sial.
Betapa tidak, baru saja mereka menikah tiba-tiba ia dikejutkan dengan berita buruk bahwa kedua orangtuanya meninggal dalam waktu bersamaan.
Tragisnya lagi, kedua orangtuanya meninggal ketika baru pulang mengantarkan besan mereka yaitu paman dan bibinya Khadijah yang harus kembali ke Rusia.
Padahal kesalahan itu adalah sopir pribadi orangtuanya yang ceroboh. Sang sopir ingin menyalip mobil di depannya saat jalan tol sedang lengang.
Namun sayang sebelum ia menyalip mobil di depannya, mobil dari belakang lebih dulu meluncur dengan kencang tanpa melihat mobil kedua orangtuanya Revan mengambil arah kiri.
"Dasar wanita pembawa sial...! Kenapa hidupku menjadi yatim pintu dalam seketika saat menikah dengannya," umpat Revan saat sudah berada di rumah sakit.
Ia juga tidak mau mengabari istrinya yang saat ini sedang menunggunya di dalam kamar sendirian sambil membaca buku.
"Kenapa suamiku belum pulang? Apakah sesibuk itu hingga tidak mengabari aku sebentar saja?" gumam Khadijah seraya meraih gelas air di atas nakas.
Baru saja tangannya menggenggam tangkai gelas itu, tiba-tiba langsung jatuh dari genggamannya membuat Khadijah terperanjat.
"Astaghfirullah halaziiim..!" gugup Khadijah yang merasakan firasat yang tidak enak.
Belum sempat membereskan pecahan beling di bawah tempat tidurnya, bunyi telepon kamar mengagetkan dirinya. Khadijah segera meraih gagang telepon itu.
"Hallo...! Assalamualaikum..!" sapa Khadijah.
"Waalaikumuslam...! Maaf nona. Kami ingin mengabarkan kepada anda kalau kedua mertua anda meninggal dunia dan sekarang ada di rumah sakit internasional tidak jauh dari hotel ini," ucap resepsionis itu.
"Innalilahi wa innailaihi rojiuuun. Ya Allah. Baik. Terimakasih atas informasinya mbak. Kalau begitu saya langsung saja ke rumah sakit," ucap Khadijah segera beringsut dari tempat tidur di posisi yang berbeda karena takut ke injak beling.
Dalam waktu sepuluh menit, Khadijah sudah turun ke lobi hotel yang disambut oleh manajer hotel.
"Silahkan nona...! Biar saya yang mengantar anda ke rumah sakit," ucap manajer Ian.
"Terimakasih tuan."
"Maaf nona. Panggil saja nama saya Ian. Nona tidak boleh memanggilku tuan. Walaupun saya lebih tua dari anda nona," ucap manajer Ian sungkan.
"Aku harus menghargaimu sebagai sesama manusia. Tidak perlu memikirkan status kita sebagai majikan dan bawahan. Cukup di depan suamiku saja aku memanggil dengan namamu saja."
Khadijah masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang dengan perasaan carut marut. Ia juga tidak bisa menangis walaupun hatinya sangat sakit saat ini. Drama pernikahannya yang terasa hambar kini ditambahkan lagi dengan kepahitan.
"Ya Allah. Cobaan apa lagi ini? Padahal aku baru saja ingin merasakan kasih sayang kedua mertuaku sebagai pengganti mendiang kedua orangtuaku, kenapa malah diambil juga?" batin Khadijah sambil meremas pinggiran gamisnya.
Setibanya di rumah sakit, kedua jenazah mertuanya sudah siap untuk dibawa pulang ke mansion suaminya. Revan yang melihat kedatangan istrinya ke rumah sakit itu tanpa sepengetahuannya membuatnya makin murka.
Tanpa melihat keadaan sekitarnya, Revan dengan tega menyeret tubuh Khadijah menjauhi kelurga besarnya yang sedang berkumpul sambil menangis.
"Siapa yang menyuruhmu kemari? Bukankah aku sudah bilang padamu agar jangan keluar dari kamarmu tanpa ijin dariku, hah?!" bentak Revan membuat Khadijah gugup dan malu.
"Maafkan saya Revan...! Saya kira kamu meminta pihak hotel untuk memberitahu kabar meninggalnya ayah dan ibumu padaku dan meminta aku ke rumah sakit. Makanya aku datang. Aku ingin berada disampingmu di saat seperti ini," ucap Khadijah berusaha tenang.
"Kau pikir, kedatanganmu ke sini bisa membangkitkan kembali kedua orangtuaku hidup? atau merasa ingin berjasa di depanku bahwa kamu istri yang perhatian dan menenangkan?
Asal kamu tahu, kehadiranmu dalam hidupku hanya membawa sial," sarkas Revan membuat Khadijah langsung beristighfar.
"Astaghfirullah halaziiim. Istighfar Revan. Kematian adalah bagian dari takdir Allah bukan kesialan seseorang. Kenapa aku yang malah kamu salahkan?" protes Khadijah.
"Diam...! atau pergi dari sini...! Jangan pernah membantah setiap perkataanku. Aku suamimu dan kau wajib diam sebelum aku mengijinkanmu bicara," ucap Revan mendorong kasar tubuh Khadijah hingga membentur dinding.
"Astaghfirullah...!" ucap Khadijah seraya mendesis kesakitan karena punggungnya terbentur cukup keras ke dinding.
Revan masuk ke dalam mobil ambulans. Khadijah kebingungan mau mengikuti mobil yang mana. Di tambah lagi kelurga besar suaminya hanya mencibir sinis ke arahnya sambil berjalan menuju ke mobil mereka.
"Nona. Ikut ke mobil aku saja..!" ucap asisten Gavin.
"Kamu siapa?" tanya Khadijah karena belum mengenal Gavin.
"Aku asisten pribadinya tuan Revan sekaligus sepupunya tuan Revan dari bagian ibunya tuan Revan," ucap asisten Gavin memperkenalkan dirinya pada Khadijah yang mengangguk bingung.
"Maafkan aku. Baiklah. Aku ikut denganmu," ucap Khadijah mengekori langkah asisten Gavin.
Tiba di rumah duka, Khadijah diperlakukan bak orang asing di hadapan keluarga suaminya. Walaupun dalam keadaan berduka mereka sempat-sempatnya menghina Khadijah.
"Ini...! Gadis yang dibela-belain kakakku untuk menjadi menantunya hanya mendatangkan sial bagi keluarga ini?" sindir Tante Yeni adik kandungnya tuan Alviano mengatai Khadijah di hadapan kelurga lainnya.
"Apakah kamu kira dengan kepergian kakakku kamu bisa menguasai rumah ini? Jangan harap...! Suamimu saja tidak menyukaimu sama sekali. Ia menikahimu karena terpaksa," cecar Tante Lidya.
Revan yang melihat istrinya sedari tadi dihina keluarganya menghampiri para tante-tantenya itu yang mulai ikut campur mengompori situasi dukanya.
"Ini sudah malam. Masuk ke kamarmu. Dwia...!" antar istriku ke kamarku...!" teriak Revan pada pelayan Dwia yang langsung menghampiri tuan mudanya.
"Nona. Silahkan ikut saya ..!" pinta pelayan Dwia menggiring nona mudanya ke dalam kamar majikannya.
Khadijah mengikuti pelayan tanpa pamit pada keluarga suaminya yang duduk tidak jauh dengan jenasah kedua mertuanya. Sepeninggalnya istrinya, Revan mendekati ketiga adik kandung ayahnya dan dua orang adik ibunya.
"Jangan pernah menghina istriku. Dan mansion ini adalah milik kedua orangtuaku. Kalian sama sekali tidak berhak mendapatkan sepersen dari harta kedua orangtuaku," sarkas Revan yang memiliki orang tua berada.
"Bukankah kamu sendiri tidak menyukai istrimu, Revan?" sinis Tante Yeni.
"Bukan berarti tante seenak hati menghinanya di depanku, bukan?" Hanya aku yang boleh menghinanya bukan kalian.
Cukup hari ini aku mendengar kalian menghinanya. Jika kalian berani menghinanya lagi maka siap-siaplah suami- suami kalian keluar dari perusahaan aku, ayah dan ibuku."
Revan segera menuju kamarnya menemui Khadijah yang duduk di bawah sisi tempat tidur sambil memeluk kedua lututnya dengan wajah tertunduk. Ia sama sekali tidak bisa menangis walaupun hatinya mungkin sudah berdarah-darah.
Pintu di dorong dengan kasar oleh Revan. Seakan belum puas melampiaskan amarah dan kesedihannya pada Khadijah yang jadi sasaran atas kehilangan orangtuanya,
Revan dengan kasar menarik lengan Khadijah yang baru saja berdiri menyambutnya. Ia kembali meluapkan kata-kata pedasnya pada Khadijah yang hanya bisa mendengar kemurkaan suaminya.
"Siapapun yang ada di dekatmu seakan menjadi tumbal dalam kehidupanmu. Dari kedua orangtuamu yang tewas karena dirimu dan sekarang giliran kedua orangtuaku juga meninggal bertepatan dengan malam pengantin kita.
Mulai detik ini aku bersumpah akan menjadikan kamu budak di rumahku bukan lagi istriku. Apakah kamu paham, hah?!" teriak Revan membuat gadis bercadar itu hanya bisa menangis pasrah.
"Astaghfirullah halaziiim. Ya Allah lindungilah aku dari kekejaman suamiku," batin Khadijah lagi-lagi merasa teriris perasaannya malam ini. Baru kali ini ia bisa menangis karena disudutkan sebagai gadis pembawa sial.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!