Nilam telah tampil cantik dengan mengenakan kebaya pengantin berwarna putih. Hari ini adalah moment yang sudah ditunggu-tunggunya, impiannya sejak kecil yaitu menikah dengan kekasih idamannya Bagas Kaysan.
tok tok tok
"Nilam, ada berita yang ingin ibu sampaikan padamu." Bu Ratih, ibunda dari nilam masuk kedalam kamar sang putri dengan wajah gusar.
Melihat hal itu seketika perasaannya tidak enak. Ada apakah gerangan dan mengapa mimik wajah ibunya tampak begitu mencurigakan. "Ada apa bu? Ini Nilam juga sudah siap, apa Mas Bagas sudah tiba?"
Bu Ratih menggenggam tangan putrinya dan perlahan memberitahukan kabar yang pastinya akan membuat Nilam syok. "Nilam....Bagas, saat dalam perjalanan menuju kesini mengalami kecelakaan dan–." Bu Ratih tak tega mengatakannya.
"Dan apa bu? Cepat katakan. Apa yang terjadi? Mas Bagas baik-baik saja kan?" Air mata Nilam mulai mengalir membasahi wajahnya yang telah dirias dengan sangat cantiknya. Perasaannya semakin kalut dan dadanya berdenyut hebat. Pikirannya sudah kemana-mana.
"Dan Bagas tidak selamat, dia meninggal dalam kecelakaan tersebut. Nilam, kuatkan hatimu ya nak. Yang tabah!"
"APAAA!? Katakan ini tidak benar kan,bu. Mas Bagas sudah berjanji akan menikahi Nilam dan kami akan menjalani kehidupan rumah tangga dengan bahagia dan–." Nilam tak percaya akan kabar yang diterimanya. Tidak mungkin hal itu terjadi. Bagas tidak akan tega meninggalkannya. Laki-laki itu telah berjanji akan selalu bersamanya. Pasti ia sedang dikerjai oleh ibunya.
Bu Ratih sungguh tak tega melihat putrinya yang tampak hancur. Tubuhnya pun gemetaran, tetiba seluruh persendian badannya lemas tak bertenaga. Nilam jatuh terduduk dengan tangis yang memilukan. "MASS BAGASSS!"
BRUKK
Dan Nilam pun jatuh tak sadarkan diri. Bu Ratih bergegas mengangkat kepala Nilam dan memangkunya. Ia pun berteriak lantang memanggil suaminya. "Pak....bapak, tolong anakmu!"
Acara pernikahan pun kini berubah menjadi acara pemakaman. Nilam tak kuat menyaksikan sang kekasih hati ketika dimasukkan keliang lahat. Air mata kembali membanjiri wajah cantiknya. "Mas, tega kamu ya ninggalin aku sendiri. Kenapa Mas? Kenapa?"
Beberapa bulan kemudian.
"Bu, Pak, Nilam berangkat kerja dulu ya." Mencium punggung tangan sang bunda dan sang ayah sebelum ia berangkat untuk bekerja.
Nilam menstarter motor matic-nya lalu, melesat pergi menuju ke tempat kerjanya di sebuah bengkel kendaraan beroda empat. Ya, Nilam merupakan seorang montir dan profesi itu telah digelutinya selama hampir enam tahun.
Setelah hampir setengah jam perjalanan, akhirnya ia pun tiba di tempat kerjanya. Seperti biasa, usai absen ia menuju ke lokernya mengambil seragamnya lalu, gegas masuk ke toilet untuk berganti baju.
"Hai Mbak Nilam, pagi ini mbak makin cantik aja deh." Salah satu rekan kerjanya yang selalu menggoda Nilam, akan tetapi Nilam tak pernah menanggapi serius gurauan rekan-rekan kerjanya tersebut.
"Hemm–." Hanya deheman saja yang keluar dari bibirnya. Benar-benar cuek dan dingin.Sejak rencana perbikahannya kandas, Nilam semakin menjadi pribadi yang tertutup dan dingin terutama pada kaum pria.
Sebenarnya banyak yang naksir dengan Nilam. Walaupun tampilan Nilam tidak ada feminim-feminimnya sama sekali. Namun, wajah cantik alaminya terpancar jelas bagi siapa saja yang menatapnya. Nilam tipe gadis yang cuek akan penampilannya. Bahkan rambut Indahnya hanya di kuncir kuda atau dicepol asal. Tapi, tak menghilangkan pesona seorang Nilam di mata teman-teman prianya. Karena kebanyakan rekan kerjanya adalah laki-laki Jadi, ya Nilam terbawa gaya tomboy seperti seorang laki-laki.
"Mbak, Itu pelanggan setiamu datang lagi. Entah apa lagi yang rusak mobilnya itu? Perasaan sering banget mobilnya rusak atau ada apa-apanya tu cowok." Salah satu montir pria memanggil Nilam karena melihat kedatangan salah satu pelanggan. Yang anehnya orang itu cuma ingin yang menangani mobil mewahnya hanya Nilam tak boleh mkntir yang lain.
Nilam yang tengah mengerjakan sebuah mobil spontan menoleh dan melihat kearah mobil yang melaju perlahan memasuki bengkel. Nilam menghela nafas dalam. "Hhh....mau apa lagi sih tu orang?"
"Nilam‐kesini sebentar!"
Sang boss pemilik bengkel langsung memanggil Nilam. Tentu saja itu atas permintaan dari si pemilik mobil mewah yang sepertinya kebanyakan duit mondar mandir ke bengkel seperti mau membeli permen saja. "Iya, Pak. Apa ada yang bisa saya bantu?" Nilam mencoba bersikap ramah, meskipun didalam hatinya sudah sangat dongkol. Pria yang sedang duduk di salah satu sofa tunggu tak lepas menatapnya intens. Membuat Nilam risih.
"Begini Nilam, tolong kamu tangani mobil Mas Hendra lagi ya. Katanya ada sedikit masalah di bagian mesinnya."
"Baik, Pak. Akan saya kerjakan. Permisi....Tuan Hendra!" Nilam tak ingin berlama-lama berada didekat pria bernama Hendra itu yang selalu menatapnya penuh damba dan Nilam sadar akan hal itu. Makanya ia sebisa mungkin menjaga jarak. Ia belum siap dekat dengan laki-laki manapun sejak ditinggalkan oleh Bagas untuk selama-lamanya.
"Maaf, Mbak Nilam. Apakah saya boleh meminta nomer telpon mbak agar saya mudah menghubungi mbak jika mobil saya ada masalah." Laki-laki yang bernama Hendra itu menghampiri Nilam yang sedang mengutak atik mobil milik pria tersebut. Dan pekerjaan Nilam pun terhenti sesaat. Ia tak enak jika tak menanggapi lawan bicaranya yang merupakan konsumen penting bengkel ditempatnya bekerja.
"Ya, anda bisa memintanya pada boss saya. Maaf, tangan saya kotor jadi, ngak bisa mengambil ponsel. Silahkan anda ke pak boss saja!"
"Begitu ya. Oke." Sebenarnya Hendra ingin memintanya langsung dari si empunya. Namun, sepertinya Nilam sama sekali tak meresponnya. membuat pria itu semakin dibuat penasaran dan ingin menahlukkan si gadis dingin itu.
Waktu bergulir sangat cepat. Mentari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat. Nilam dan teman-temannya sesama montir sudah bersiap-siap untuk pulang.
"Duluan ya, Mbak Nilam."
"Oke." Nilam mengacungkan jari jempolnya dan ia pun meraih helm nya lalu, mengenakannya. Ia melajukan motornya perlahan keluar dari area bengkel.
Sepanjang perjalanan Nilam tenggelam dalam lamunannya. Saat tadi di lampu merah, ia melihat sepasang kekasih yang tengah berboncengan motor dengan sangat mesra. Ia jadi teringat akan kebersamaannya dengan Bagas sang kekasih hati yang sampai detik ini tak bisa dilupakannya dan tak akan pernah hilang didalam lubuk hatinya. "Mas Bagas, Nilam kangen." Setetes bulir air mata jatuh melewati pipinya.
Terlalu asik dalam lamunannya hingga ia tak menyadari jika lampu rambu lalu lintas telah berubah warna menjadi merah. Ia pun tanpa melihat sekelilingnya langsung melaju dengan kecepatan tinggi dan sebuah mobil melintas tepat dididepan Nilam, dan akhirnya tabrakanpun tak terhindarkan hingga tubuh Nilam terhempas dan terjatuh tepat diatas jalan aspal yang kasar.
BRAKKKK
"AAaaaaa–!"
Bersambung
Disebuah ruangan bercat putih dengan aroma khas obat-obatan. Sosok wanita tergeletak diatas brankar rumah sakit dengan selang infus yang tertancap di pergelangan tangannya. Nilam nama pasien tersebut. Kejadian yang begitu cepat dan si penabrak pun segera membawa Nilam ke rumah sakit terdekat. Sedangkan motor milik Nilam di bawa ke kantor kepolisian.
"Mbak, syukurlah akhirnya mbak sadar juga."
Nilam perlahan mulai membuka matanya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok laki-laki muda berperawakan tinggi besar dan wajahnya pun cukup tampan. Dan laki-laki itulah yang tadi tanpa sengaja bertebrakan dengan Nilam.
"Euhhh–kepalaku sakit sekali. ini dimana?" Nilam belum sepenuhnya menyadari dimana kini ia berada. Ia bertanya pada pria muda yang ada di dekatnya.
"Maafkan saya ya, Mbak. Saya benar-benar tidak sengaja menbrak Mbak-nya. Maaf, saya lupa nama mbaknya siapa ya?" Karena begitu paniknya si penabrak malah lupa nama orang yang ditabraknya.
Nilam mengerjap-ngerjapkan matanya. Melihat sosok laki-laki yang begitu mirip dengan orang yang sangat dirindukannya. Ataukah ia sedang bermimpi sampai melihat Bagas di diri laki-laki lain. "Bagas....apa kamu benar-benar Bagas? Kamu kemana saja, Mas. Aku menunggumu dan–."
BRAKK
"NILAMM–!."
Ucapan Nilam terhenti ketika pintu ruang IGD di buka dengan begitu kencang oleh seseorang dari arah luar dan orang tersebut langsung berteriak keras memanggil nama sang putri semata wayangnya, Nilam. "Nak, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa yang terasa sakit?" Bu Ratih ibunya Nilam tak kuasa menahan kesedihannya Bahkan wanita paruh baya tersebut begitu panik ketika mendengar kabar jika putrinya mengalami kecelakaan lalu lintas.
"Bu, sudahlah jangan terlalu memaksakan diri. Biarlah Nilam beristirahat dulu." Pak Burhan bapaknya Nilam menegur sang istri yang mengajak bicara putri mereka yang tampak masih syok itu.
"Iya iya, Pak."
"Eh, ngomong-ngomong kamu siapa, mengapa da di sini?" Bu Ratih beralih melihat ke arah laki-laki yang sejak tadi berdiri tak jauh dari brankar dimana putrinya tergeletak tak berdaya.
"Anu Bu, Sa–saya yang tak sengaja telah menabrak mbak nya."
"Apa kamu bilang? Tidak sengaja? Dasar anak muda pasti kamu ugal-ugalan dalam menyetir kan.Tidak mungkin Nilam tak berwaspada dalam berkendara.ini pasti kamu yang salah." Bu Ratih terua merepet memberondong berbagai tuduhan.
"Maaf, tante. Saya benar-benar tidak sengaja. Tadi saat kejadian mbak nya melamun dan tanpa sadar menerobos lampu merah." Berusaha menceritakan kronologis kejadiannya.
Bu Ratih dan Pak Burhan menyimak penuturan dari pemuda yang mengaku telah menabrak putri mereka secara tidak disengaja.
Pak Burhan pung mengangguk mengerti. Pasti putri mereka memang tengah melamun memikirkan almarhum calon suaminya, Bagas. Sedangkan Bu Ratih menatap sendu putri tersayangnya." Malang sekali nasibmu,nak. Semoga suatu saat nanti kamu akan berbahagia "
"Bu–kenapa ibu menangis? Nilam ngak apa-apa. Tadi cuma keserempet aja,kok." Nilam yang masih terbaring lemah mencoba menenangkan ibunya.
"Kamu itu ya, Nilam. Makanya lain kali hati-hati ya nak. jantung ibu rasanya mau copot pas dapat kabar kamu kecelakaan." Mengusap-usap kepala sang putri dengan penuh kelembutan.
Sejenak mereka terdiam. Hingga datang sepasang pria dan wanita paruh baya yang langsung menghampiri pria muda tersebut. "Dzaky, kamu tidak apa-apa kan nak?"
"Iya, Bu. Dzaky baik-baik saja. Malah wanita yang Dzaky tabrak yang terluka. Itu Pak,Bu....orangnya." Menunjuk kearah brankar dimana Nilam tengah terbaring.
"Loh–Mbak Wiwin. Jadi, anak muda ini putra bungsumu itu ya? Bu Ratih baru menyadari jika anak muda yang bernama Dzaky itu ternyata adalah putra dari Bu Wiwin dan Pak Amran.
Kedua wanita paruh baya itu pun saling berpelukan dan bercipika cipiki begitu pun suami-suami mereka saling berjabat tangan. "Apa kabar Mas Amran?"
"Alhamdulillah baik, Burhan. Ngak nyangka ternyata hubungan lekeluargaan kita akan terus berlanjut. Ternyata Nilam yang ditabrak oleh Dzaky. Dunia memang begitu sempit ya."
"Iya ya, Mbak. Ternyata kita tidak perlu bersusah payah mempertemukan mereka dan ternyata mereka malah bertemu dengan sendirinya ya meakipun dalam kejadian yang kurang mengenakkan." Bu Ratih tampak begitu antusias karena keluarga mereka akan jadi berbesanan kembali.
Keempat orang tua tersebut malah asik beruforia bersama merayakan kebersamaan kedua keluarga. Sedangkan Nilam dan Dzaky hanya menatap orang tua mereka masing-masing dengan berbagai pertanyaan di pikiran mereka.
'Ini apa maksudnya? Apa jangan-jangan mereka akan menjodohkanku dengan berondong itu. Ya ampun, bapak, Ibu....apa-apan sih?' Nilam merutuki sikap orang tuanya yang memutuskan sepihak tanpa menanyakan terlebih dahulu padanya.
Berbeda dengan Dzaky, pemuda itu merasa sangat senang. Karena akhirnya impian masa kecilnya akan segera menjadi kenyataan. Dzaky bercita-cita jika ia sudah dewasa nanti akan mempersunting Nilam yang biasa ia panggil Mbak Nilam. Namun, impiannya sempat hamcur ketika ia mendapatkan kabar dari orang tuanya Jika, Sang kakak akan menikah dengan Nilam. Mbak tersayangnya. Dan musibah yang menimpa Bagas sudah menjadi takdir ilahi. Kini pertemuannya dengan mbak Nilamnya kembali telah mengembalikan kenangan indah dimasa kecil mereka.
"Pokoknya aku mau mbak Nilam menjadi pengantinku." Ucap Dzaky kecil bersuara lantang.
Itulah kalimat yang selalu tertanam di hati Dzaky kecil hingga sekarang pun ia tetap menginginkan Nilam kelak menjadi pendamping hidupnya. Dan untuk masalah umur itu tidak akan menjadi masalah sama sekali. Bukankah ada pepatah cinta tak memandang usia.
"Ibu, Bapak–ini maksudnya apa? Kalian akan berbesanan kembali. Jangan bilang kalau kalian akan menjodohkanku dengan bocah ini?" Nilam menunjuk-nunjuk Dzaky dengan rasa tak percaya. Masa' iya ia akan menikah dengan brondong.
Apakah Nilam saking tidak lakunya maka, mereka memaksakan kehendak dengan menikahkannya dengan adik dari laki-laki yang sangat dicintainya yaitu Bagas kakak dari Dzaky.
"Iya Nilam sayang. Dzaky adalah adik Bagas dan dia sudah bersedia kok menerima perjodohan ini dan secepatnya kita akan merencanakan kembali pernikahan untuk kalian berdua."
Bu Wiwin mendekat pada sang calon menantu idamannya. Nilam adalah wanita dewasa yang mandiri dan juga cantik serta lembut hatinya. Meskipun cara berpakaian sehari-harinya terkesan tomboy. Tapi, tak menghilangkan aura kencatikan alaminya. Nilam memang sangat cantik dibalik kesederhanaannya.
Nilam memegang kepalanya yang terasa berdenyut." Sshhh....kepalaku sakit sekali. Semoga saja ini hanya mimpi burukku saja."
"Kamu mau tahu obat mujarab untuk menyembuhkan rasa sakit di kepalamu itu?" Dzaky yang sejak tadi hanya terfokus memperhatikan Nilam tentu saja mendengar keluh kesah wanita itu.
"Apa? Ngak usah ikut-ikutan deh kamu. Sana, main sama teman-temanmu saja. Ngak usah mengurusi urusan orang lain. Siapa juga yang mau menikah sama bocah sepertimu. Huh....bikin mumet aja." Nilam begitu gemas dengan Dzaky yang baginya hanya seorang bocah laki-laki yang manja.
"Oke, akan aku beritahu apa obatnya. Obatnya adalah Mbak harus menikah denganku dijamin rasa sakit dikepala mbak akan segera menghilang. Gimana, Mbak Nilam ku?" Mengedipkan matanya genit pada Nilam. Sontak saja apa yang dilakukan Dzaky membuat Nilam semakin geram.
"Menikah sama kamu? NO WAYYY!"
"NILAMM–!"
Bersambung
Karena keadaan Nilam sudah sehat dan bersyukur ia tidak mengalami luka yang terlalu parah. Pagi harinya Nilam lun telah di izinkan untuk pulang. Dan moodnya tiba-tiba berubah ketika muncul seseorang yang sangat tak ingin di lihatnya. Siapa lagi kalau bukan Dzaky Pradana sang calon suami, katanya sih.
"Woi, ngapain sih kamu datang lagi kesini? Ngak ada kerjaan lain apa. Nyebelin. Main buka aja lagi tanpa permisi dulu. Kamu kira saya ini.siapa?."Utung saja Nilam baru saja selesai berganti baju saat Dzaky membuka korden penutup brankarnya.
"Mbak adalah calon pendamping hidupku,bukan. Jadi, ya aku harus menjadi calon suami.siaga untuk calon pengantin cantiknya Dzaky."
Nilam berdecak sebal, ckk mana ada calon suami siaga. Yanga ada itu suami siaga kali. sok ngadi ngadi ni bocah."
Dzaky malah terkekeh melihat mulut Nilam yang komat kamit sampai bibirnya mengerucut terlihat sangat lucu. "Ya ampun, imut banget sih mbak ku cantik. Jadi tambah cinta deh." Bahkan Dzaky mencolek dagu Nilam gemas.
"Ish–jangan pegang-pegang sembarangan, ngak sopan." Nilam menepis tangan Dzaky kasar dan memelototinya.
Tok tok tok
"Nilam apa kamu sudah siap? Loh, ada bak Dzaky toh. Mau menjemput Nilam juga ya?"
"Iya Bu." Dzaky mencium punggung tangan bu Ratih dengan sopan. Dan bu Ratih tentu saja sangat senang ketika tahu jika sang calon menantu begitu perhatian pada putrinya.
Bu Ratih begitu antusias dengan kedatangan Dzaky dan meminta calon menantunya itu untuk mengantar Nilam pulang. Sedangkan bu Ratih sendiri malah berpamitan dengan alasan ada urusan penting dan mempercayakan Nilam pada Dzaky. "Maaf ya, nak Dzaky jadi merepotkan. Habis urusan ini tak bisa diwakilkan oleh orang lain." Tersenyum dengan manisnya.
Melihat tingkah lebay ibunya membuat Nilam rasanya perutnya langsung mual. Bisa-bisanya ibunya betakting sampai segitunya. " Apa-apaan sih ibu, anak ibu itu Nilam atau bocah menyebalkan ini?" Nilam menunjuk-nunjuk Dzaky dengan jari telunjukknya.
Apa yang dilakukan Nilam sontak mendapatkan death glare dari bu Ratih. "Nilam....tidak sopan bersikap seperti itu sama calon suami."
"Maafkan sikap Nilam ya nak Dzaky." Ekspresi bu Ratih seketika berubah sumringah ketika berbicara dengan Dzaky. Nilam semakin dongkol saja.
"Kalau begitu ibu pergi duluan ya, nak Dzaky. Titip putri ibu. Jangan diapa-apakan dulu ya! Belum sah."
Kali ini perkataan ibunya sukses membuat Nilam naik pitam. Siapa juga yang mau diapa-apain sama berondong tengil itu. "Ibu–ngomong apa sih?" Ish....bikin malu aja."
Setelah kepergian bu Ratih. Nilam langsung bergegas keluar dari ruang perawatannya. Selonong boy tanpa menghiraukan keberadaan Dzaky.
Namun, dengan gerak cepat Dzaky langsung mengambil alih tas jinjing yang di tenteng Nilam hingga beralih ketangannya meskipun ada sedikit drama tarik menarik tali tas untus saja tidak sampai terputus.
Dan di sinilah sekarang Nilam, didalalm mobil yang dikemudikan oleh Dzaky sendiri. Sepanjang perjalanan Nilam hanya diam tanpa mengeluarkan suara atau sepatah kata pun. Mata Dzaky sesekali melirik Nilam dan tak berani mengusiknya.
'Apa dia benar-benar tidak bisa menerimaku? Tapi, kenapa. Bukankah aku tak kalah tampan dari mas Bagas? Aku juga sudah bisa berdiri di kaki sendiri dan bisa menafkahimu Mbak. Pokoknya kamu harus menikah denganku, Mbak Nilam."
"Ekhem–apa mbak ingin mampir kemana dulu gitu, biar aku antarkan?"
Mendengar penawaran dari Dzaky, Nilam jadi teringat akan sesuatu. Ya, motornya. "Boleh, kamu pasti tahu kan dimana motorku sekarang? Bisa tolong antarkan aku untuk melihatnya?" Nilam sampai harus berakting dengan tersenyum pada laki-laki yang menyebalkan baginya itu.
"Oh, iya. Sorry mbak. Motornya kayaknya masih di bengkel, entah sudah selesai.di perbaiki atau belum. Apa mbak mau melihatnya sekarang?"
"Iya, boleh. Tolong mampir sebentar ya ke bengkelnya!" tak lupa Nilam mengeluarkan jurus andalannya yaitu senyuman mautnya yang akan membuat pemuda itu langsung klepek-klepek.
"Oke mbak, dengan senang hati aku akan mengantarkan kemanapun mbak mau." Hati Dzaky seketika berbunga-bunga karena mendapatkan senyuman dari sang pujaan hati. Sungguh cantiknya senyuman Nilam dimata Dzaky.
Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menitan, akhirnya mereka pun sampai juga didepan sebuah bengkel. Dzaky turun turun lalu, membukakan pintu mobilnya untuk Nilam. "Silahkan, mbak."
Nilam langsung masuk kedalam bengkel tersebut dan mencari keberadaan motornya. Ia menghampiri.salah satu karyawan bengkel. "Maaf, apa saya boleh bertanya mengenai motor saya yang dua hari lalu masuk kesini, motor Yamaha dengan nkmor polisi BxxxxFD. Apa saya bisa melihatnya?"
Dzaky hanya mengikuti Nilam di belakangnya. Sambil sesekali memberi kode pada karyawan bengkel agar menuruti keinginan Nilam. "Oh iya, mari saya antar. Motor mbak sedang di tangani di sebelah sana!"
"Oke, terima kasih."
Benar saja, motornya ternyata belum rampung dan masih ditangani oleh seorang montir. Nilam pun gegas mendekat dan melihat dari dekat keadaan motornya. "Apa belum selesai, mas motor saya?"
Montir itu pun menoleh kearah Nilam lalu, sekilas melihat Dzaky yang juga memberi kode agar mengatakan jika motornya belum selesai diperbaiki. "Emm....iya,mbak. Ini sepertinya butuh beberapa hari lagi baru selesai."
"Ah, masa' sih? Mana coba saya lihat!" Nilam berjongkok dan mengamati motornya dan mencoba mencari masalah pada motornya yang belum juga bisa diperbaiki.
" Ini, mbak. Ada beberapa bagian yang rusaknya agak parah. Jadi, kami harus mencari dulu spertpartnya dan memesannya dari distributor langsung.Jadi, butuh beberapa hari lagi sampai barangnya sampai." Dengan gaya profesionalnya sang montir.menjelaskan kendala yang dihadapi dalam memperbaiki motor milik Nilam tersebut.
Nilam mengangguk-angguk. "Begitu, okelah. Nanti tolong kabati langsung ke nomer saya ya kalau motornya sudah selesai!"
"Kalau begitu mbak bicara langsung saja sama bagian administrasi didepan. Saya hanya bertugas untuk menangani motornya." Dzaky memberikan acungan jempol pada sang montir karena aktingnya sungguh meyakinkan.
Usai ke bengkel, mereka melanjutkan kembali perjalanan menuju kerumah Nilam. Tiba-tjba terdengar suara gemuruh dari arah perut Nilam yang menandakan bahwa perutnya sedang keroncongan alias lapar.
Krukkkkk
Krukkkkk
"Ekhem–mbak, kita makan siang dulu yuk! Perutku juga sudah keroncongan nih." Tanpa membahas perut Nilam yang bergemuruh karena lapar. Dzaky berinisiatif menawarkan untuk mengajak Nilam makan siang karena memang waktu juga telah meunjukkan pukul setengah dua belas.
Nilam yang kadung malu akibat ulah perutnya yang seenaknya berbunyi didekat Dzaky spontan mengangguk dan tersenyum kikuk. "Boleh."
"Oke, bagaimana kalau kita makan direstauran depan sana?" Dzaky menunjuk sebuah restauran.
"Terserah kamu saja, aku manut." Jawab Nilam dengan gaya cueknya seperti biasa.
Mobil yang dikendarai Dzaky pun berbelok memasuki sebuah restauran yang cukup besar. Mereka memasuki pintu depan dan wajah Nilam langsung tercengang melihat suasana restauran itu yang terasa nyaman.
"Selamat datang! Mari silahkan....Bapak?"
"Sssttt!"
Dzaky menempelkan jari telunjuknya dibibirnya dan menatap karyawan restauran tersebut agar diam.
"Kamu kenapa? Sat set sat set....dasar aneh." Nilam menoleh kebelakang dan menatap Dzaky penuh tanya.
"Enggak pa-pa kok, mbak. Ayo kita cari tempat yang agak nyaman! Bagaimana kalau di pojokan sana, kayaknya lumayan nyaman dan lebih sepi."
"Sepi? Memangnya mau bersemedi apa. Pasti otakmu mulai berpikir yang aneh-aneh deh, iya kan?"
Dzaky hanya cengengngesan sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. ' Hadeh, bener-bener super jutek nih calon bini gue?'
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!