Seorang perempuan dengan gaun pengantin tampak terbaring lemah di atas ranjang. Darah yang telah mengering terlihat diujung kepalanya. Tangan lemah itu digenggam oleh seorang wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menangis, memanggil namanya.
"El, Elena bangun sayang, apa yang kau pikirkan nak? kenapa kau pergi dari acara pernikahanmu sendiri?"
"Sudahlah sayang, putri kita hanya pingsan. Tunggulah ia sadar, nanti kita bisa tanyakan alasan perbuatannya ini," ucap Richard Dalvano suami dari wanita yang masih saja terus menangis.
"Ini karena kamu papa, seandainya kamu tak memaksakan pernikahan bisnis yang tak diinginkan putrimu ini, Elena tak akan berakhir seperti ini."
"Rebecca istriku, kamu tahu betapa pentingnya proyek perusahaan kali ini, papa nggak boleh gagal. Dan satu-satunya yang bisa menolong papa adalah perusahaan Axelle Group, orang tua calon suami putri kita," jawab lelaki itu gusar.
Melihat wanitanya masih terus menangis, Richard memeluk pundak sang wanita, kembali memberi pengertian.
"Calon menantu kita bukanlah lelaki biasa. Selain wajah yang rupawan, lelaki ini juga memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Sikapnya juga baik, ia sangat sopan. Papa tidak mungkin sembarangan dalam memilih calon untuk putri kita satu-satunya."
"Meski begitu, putri kita tak menginginkannya Richard. Bukankah kita dulu sepakat kebahagiaan dia adalah yang utama?" Rebecca sang istri masih menyesali keputusan suaminya yang dianggap memaksa.
"Sudahlah, gantiin baju Elena, jangan biarkan dia masuk angin. Nanti kalau dia bangun, bawa ke depan. Sudah cukup papa menahan malu pada keluarga Axelle, untungnya mereka tak mempermasalahkan apa yang terjadi."
Richard Dalvano mengecup kening istrinya, lantas beranjak membuka pintu. Meninggalkan kedua wanitanya tetap di dalam kamar.
Rebecca menyadari ada pergerakan pada tubuh putrinya, ia segera mengangkat kepala. Mencoba menatap netra gadis kecilnya.
"El, kamu sudah bangun sayang? Apa yang kamu rasakan, ada yang sakit dari tubuhmu?"
Putri Richard Dalvano itu hanya diam, memandang wajah mamanya dengan ekspresi kebingungan.
"Maaf, anda siapa ya?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut, dahinya berkerut, bibirnya bergetar. Ia sangat takut menghadapi kenyataan di depan matanya ini.
"Elena, jangan bercanda pada mama," lirih sang mama, mengingat betapa putri cantiknya ini sangat suka bercanda.
"Elena? siapa yang anda maksud," jawab gadis itu.
"Mbok Nem, panggil tuan sekarang juga." Titahnya pada asisten kepercayaan keluarganya, yang baru muncul dari balik pintu dengan nampan berisi teh hangat.
"Baik nyonya," jawab seorang wanita tua yang tampak berjalan tergopoh-gopoh.
"Sayang, ini mama, kamu tidak ingat mama nak?"
"Mama? dimana sebenarnya ini?" Gadis yang tengah kebingungan itu menatap seluruh isi kamar, matanya memicing, merasa ada yang salah pada dirinya saat ini.
"Apa maksudmu Elena? ya tuhan ada apa ini?" Tangis wanita bersanggul itu semakin menjadi, pundaknya bergetar hebat.
"Mama ada apa?" Sang suami yang baru saja tiba mempertanyakan alasan istrinya yang menangis kencang di hadapannya.
"Elena mas, Elena," jawab sang mama, masih dengan tangisnya yang terdengar memilukan.
"Elena, kamu sudah bangun?" Pertanyaan lelaki itu beralih pada putrinya.
"Saya dimana? dan anda siapa?" Ucapan gadis itu membuat Richard Dalvano membulatkan mata, ia syok. Apakah putriku hilang ingatan? batinnya, mencoba bermonolog dengan diri sendiri.
...*****...
Tiga Bulan Yang Lalu.
"Ibu, Rissa akan coba mencari pekerjaan. Ibu tidak perlu khawatir, Nindy pasti sembuh."
Seorang gadis muda tampak mencoba menenangkan ibunya yang menangis tersedu-sedu. Di hadapannya duduk gadis kecil sekitar usia sepuluh tahun. Kaki gadis itu lumpuh akibat kecelakaan yang menimpanya.
Dokter bilang kelumpuhan ini masih bisa disembuhkan, namun butuh waktu dan biaya yang lumayan besar.
"Maafkan ibu Rissa, kamu jadi harus berhenti kuliah. Dan membantu ibu mencari uang untuk pengobatan adikmu."
"Ibu, sebelum ayah pergi, ayah menitipkan ibu sama Nindy kepada Rissa. Waktu itu, Rissa tak mengerti maksud ayah. Tapi kini, Rissa mulai menyadari, bahwa Rissa harus menjaga kalian selamanya." ucap gadis berambut hitam legam itu.
"Ini bukan kewajibanmu nak, tapi keadaan yang menjadikan kita seperti ini, maafkan ibu."
"Maafkan Nindy juga kakak, hiks..hiks." Sang adik terisak mendengar percakapan ibu dan kakaknya.
"Ayolah, kakak tidak masalah. Asal kamu sehat, ibu bahagia, itu sudah sangat cukup buat kakak. Makanya, kamu harus semangat ya dek, kamu harus bisa berjalan lagi."
Ketiganya pun berpelukan, saling menyalurkan kekuatan dalam jiwa. Membunuh rasa lemah, menyatukan kepercayaan akan indahnya takdir tuhan yang segera menghampiri kehidupan mereka.
"Ibu, Rissa berangkat dulu ya." Pamit gadis dengan bola mata berwarna coklat itu. Mencium punggung tangan sang ibu, berjalan dan melambaikan tangan sebelum benar-benar hilang di balik pintu.
Clarissa Diana, berjalan cepat meninggalkan rumah, berhenti pada sebuah halte bus, meluruhkan tubuh dan memeluk lutut. Gadis itu menangis hebat, bahunya terguncang, matanya memerah, nafasnya tersengal.
"Ayah, apa yang harus Rissa lakukan, hiks hiks," ucapnya lirih.
Disaat seperti itu, bayangan sang ayah yang telah pergi meninggalkannya menghadap tuhan setahun silam, kembali hadir di pelupuk matanya.
"Kenapa ayah tinggalkan kami? kami rapuh tanpa ayah," ucapnya lagi.
Gadis itu mengusap kasar air matanya, membenahi setiap helai rambut yang berantakan oleh angin. Berbekal ijazah SMA ia memantapkan diri melangkah mencari lowongan kerja.
Meski tak yakin, namun ia tetap harus berusaha. Demi ibu dan adiknya yang sakit. Bekerja apapun akan dilakukannya.
Rissa melangkah masuk ke dalam sebuah toko sepatu, ia bertanya pada sekelompok wanita berseragam, "Permisi, maaf kak, apakah disini menerima karyawan baru?"
"Oh, tidak. Disini sedang tidak mencari karyawan kak," jawab salah satu wanita memakai hijab, ia tersenyum sopan pada Rissa.
"Baiklah kalau begitu, terimakasih. Saya permisi." Rissa berbalik arah, meninggalkan toko sepatu itu.
Gadis bermata coklat itu kembali melanjutkan langkah, ia tampak menarik nafas panjang, dan menghembuskannya lewat mulut. Matahari teramat terik siang itu, membuat Rissa sedikit menyipitkan matanya.
"Ayo Ris, kamu pasti bisa," ucapnya memberi suntikan semangat pada diri sendiri.
Mata gadis itu berbinar, ia melihat sebuah tulisan mencari karyawan pada sebuah toko. Ia bergegas melangkah masuk, toko itu adalah toko peralatan memancing. Rissa tak peduli, asal ia bisa dapat pekerjaan, pikirnya.
Setelah mencoba berbincang dengan pemilik toko, gadis itu kembali terlihat murung. Pemilik toko mengatakan tengah mencari karyawan laki-laki bukan perempuan.
Rissa kembali kecewa, namun harus tetap semangat. Ia berjalan pelan, terus melihat di sekelilingnya, keluar masuk toko, namun masih tetap nihil. Tak mudah mencari pekerjaan di kota besar ini, apalagi ia yang hanya tamat SMA.
Gadis itu merasa letih, sudah sekitar sepuluh toko yang ia datangi, namun masih belum juga membuahkan hasil.
Ketika melewati sebuah perusahaan besar, pikirannya berkelana. Andai aku bisa bekerja di perusahaan seperti ini, berangkat di pagi hari, mengenakan pakaian terbaik, duduk dibalik meja. Betapa bersyukurnya diriku, bisa mengobatkan Nindy, membahagiakan ibu.
"Ah, sadarlah Riss," ucapnya. Ia merasa, sedih di hatinya tak seberapa dibanding yang dialami adik kecilnya. Gadis kecil itu berhak bahagia, ia harus kembali bersekolah, menggapai cita-cita. Biarlah cukup Rissa yang tak mampu melanjutkan mimpinya, asal adiknya jangan.
Clarissa melirik jam di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sudah mulai sore ternyata. Namun ia masih belum menemukan pekerjaan.
Ia akan pulang hari ini, dan kembali melanjutkannya besok. Gadis itu sudah merasa sangat lapar. Ia berencana membeli mie instan dengan uangnya yang hanya tersisa 5000 perak. Ia lantas mengusap air pada sudut matanya, tersenyum getir, menahan sesak di jiwa.
Kediaman Richard Dalvano.
"Pokoknya aku nggak mau ma, pa. Please, aku nggak mau dijodoh-jodohin begini." Mata wanita muda itu mulai berkaca-kaca, dadanya nampak naik turun menahan emosi yang terasa menyesakkan.
"El, dengerin mama dulu, maksud.."
"Mama juga, kenapa sih ikut-ikutan papa." tukasnya memotong ucapan sang mama.
"Apa kamu punya pacar Elena?" Pertanyaan Richard membuat kedua wanita didepannya reflek menoleh.
"Bukan begitu papa, Elena hanya, hanya." ucapan tercekat, setetes air jatuh membasahi pipi seputih salju dibulan Desember.
"Hanya apa? coba bicaralah El, agar papamu mengerti." Sang mama mencoba menengahi.
"Elena hanya ingin menikahi lelaki yang Elena cinta."
"Cinta bisa bertumbuh seiring waktu putriku, lihatlah mama dan papa. Bahkan kita dulu selalu bertengkar. Benarkan ma?" Richard Dalvano tersenyum simpul, mengingat masa masa mudanya bersama sang istri.
"Benar ucapan papamu El. Sudahlah jangan menangis."
"Minggu depan keluarga Axelle akan datang. Mereka ingin menemuimu. Meskipun ini pernikahan bisnis, papa tidak sembarang pilih untuk calon menantu papa. Untuk suami putri kesayangan papa."
Richard memilih pergi meninggalkan kedua wanita kesayangannya itu, memberikan kesempatan ibu anak untuk berbicara dari hati ke hati.
"Mama… " rengek gadis itu.
"Sudah, sudah. Turuti saja keinginan papamu, kalau sudah begini, papamu tak ingin dibantah. Mama sangat mengerti itu."
...******...
Diwaktu yang sama, namun berbeda tempat Rissa tengah mencoba peruntungannya, berjalan sejauh kaki melangkah, sekuat badan menahan, ia bertekad akan mendapat pekerjaan secepatnya.
Gadis berkulit sawo matang itu melirik cincin pemberian sang ayah, kado ulang tahunnya yang ke 20 tahun, sebulan sebelum pak Ridwan, ayah Rissa mengalami kecelakaan tragis yang membuatnya meregang nyawa.
Cincin inilah satu-satunya harapannya untuk digunakan membayar terapi kaki adiknya esok lusa. Namun, untuk minggu-minggu selanjutnya entah apa yang akan digunakan.
"Ya tuhan, tolonglah aku. Pertemukan aku dengan orang baik yang akan menolongku mendapat kerja hari ini." Bisiknya lirih.
Gadis bermata coklat itu kembali menatap perusahaan besar yang ia lihat kemarin, rasa nyeri kembali menyapa hati nya, melihat perusahaan ini mengingatkan impiannya, juga nasib kuliahnya yang harus terhenti.
"Neng, dari kemarin bapak lihat neng lihatin gedung ini terus, ada apa neng? mau cari seseorang?" Suara lelaki paruh baya berseragam satpam mengejutkan Rissa.
"Ah, tidak pak. Saya, mau cari kerjaan, tapi kayaknya nggak bisa deh disini. Saya cuma lulusan SMA." Berbisik pelan saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Kebetulan neng, kayaknya ada lowongan kosong di bagian cleaning service neng, kalau neng mau bapak bisa antar ke bagian HRD."
"Serius pak? mau mau, saya mau pak. Saya sangat butuh kerjaan ini." Mata coklat gadis itu terlihat berbinar.
"Oke, mari neng, ikut saya."
Clarissa berjalan penuh semangat mengikuti langkah kaki satpam, ia merasa dewi keberuntungan telah berpihak padanya kali ini. Sebab mencari kerja hanya berbekal ijazah SMA sangatlah sulit. Apalagi di kota sebesar ini, mengingat ia yang tak memiliki banyak teman.
Satpam berambut putih itu hanya mengantar ke depan ruang HRD. Ia meminta Rissa untuk melanjutkan langkah sendiri. Gadis itu mengangguk setuju, setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih.
Clarissa menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya perlahan. Ia membuka kembali berkas yang dibawanya dari rumah, meneliti apakah ada kekurangan. Ia lantas tersenyum, berdoa pada tuhan, semoga dewi keberuntungan tak meninggalkannya pada detik-detik ini.
Mengetuk dan membuka pintu, Rissa melihat seorang wanita muda tengah duduk dibalik meja kerjanya. Kesan pertama yang ia dapat dari wajah wanita itu adalah, cantik. Semoga saja hatinya juga baik, harapnya sedikit cemas.
"Iya, ada yang bisa dibantu?"
"Maaf bu, ini benar ruang HRD ya?" tanya Rissa, mencoba bersikap sesopan mungkin.
"Iya benar, silahkan duduk."
Rissa mengangguk, ia mengambil posisi duduk persis didepan wanita yang diduganya berumur sekitar tiga puluhan ke atas itu.
"Perkenalkan saya Clarissa Diana, saya mau melamar sebagai cleaning service."
"Oh, baik. Boleh lihat berkasnya." ucap wanita tersebut, tampak ramah di mata Rissa.
Clarissa menyerahkan berkas yang dibawanya, ia menjadi sangat bersemangat, setiap pertanyaan yang diajukan padanya, dijawabnya dengan baik.
Wanita yang pada akhirnya memperkenalkan diri dengan nama ibu Susi itu memberikan informasi, bahwa keputusan diterima atau tidaknya Rissa akan segera dikabarkan lewat email.
Clarissa melihat ibu Susi berdiri dan mengulurkan tangan kanannya, gadis itu sedikit gugup, namun ia berusaha menguasai keadaan dengan menerima jabat tangan calon atasannya itu.
"Ditunggu kabar selanjutnya ya Rissa, semoga kita bisa bekerja sama kelak."
"Terimakasih bu, saya permisi dulu." ucap gadis bermata coklat dengan tatapan bersinar.
Rissa berjalan keluar dari bangunan pencakar langit itu, ia sangat senang. Bekerja di perusahaan sebesar ini adalah impiannya, meski untuk saat ini hanya bisa sebatas cleaning service. Tak mengapa pikirnya.
"Ini hanya batu loncatan Rissa, semangatlah!" ucapnya menyemangati diri sendiri.
...******...
Ibu Warni terlihat sangat bahagia, pagi ini Clarissa mengatakan bahwa ia diterima bekerja menjadi cleaning service di sebuah perusahaan besar. Sang ibu menyiapkan masakan sederhana kesukaan putrinya di atas meja, nasi goreng masakan rumah ala bu Warni.
Rissa terlihat rapi, ia memakai kemeja putih berbalut blazer hitam. Juga celana berwarna senada dengan bagian atasnya. Rambut lurus sepundak yang ia biarkan tergerai, juga polesan make up tipis menambah kesan segar pada penampilannya pagi ini.
"Ibu, Rissa udah cantik?" Gadis itu berputar sejenak, memamerkan penampilannya pada sang ibu.
"Cantik sekali putri ibu." jawab ibu Warni memberikan dua jempol pada penampilan putrinya.
"Doakan Rissa ya bu, semoga hari pertama diberikan kelancaran."
"Selalu, doa ibu selalu menyertaimu."
"Terimakasih ibu, Rissa akan bekerja keras demi ibu dan Nindy." Rissa tampak bersemangat.
"Terimakasih kak. Semoga kakak selalu diberikan kemudahan."
Ketiga orang yang tengah menikmati nasi goreng panas di atas meja itu serentak mengucapkan Amin.
"Oh iya kak, nama perusahaan tempat kakak bekerja apa?"
"Axelle Group. Kerenkan? bahkan namanya saja terdengar sangat keren." ucapnya kegirangan.
Nindy tersenyum lebar melihat kakaknya yang bersemangat. Ia berjanji dalam hati, kelak kalau dirinya telah kembali sehat, ia akan tumbuh menjadi sehebat sang kakak, dan ia juga akan membalas semua kebaikan kakaknya selama ini.
...******...
Axelle Group.
"Nah teman-teman perkenalkan ini anggota baru kita. Namanya Clarissa Diana. Ia yang akan menggantikan Riko yang kemarin resign. Tolong perlakukan dia dengan baik ya, ajari dia segala hal yang belum diketahuinya." ucap ibu Susi pada beberapa rekan sesama cleaning service.
"Baik bu."
"Terimakasih." jawab ibu Susi, menatap Rissa dan berkata "ibu tinggal ya, selamat bekerja."
"Baik bu, terima kasih." Rissa menunduk sopan.
"Claris, aku panggil claris boleh ya." seorang lelaki yang terlihat lemah gemulai menyapa Rissa, "perkenalkan, aku Mahesa, panggil saja Isa." ucapnya seraya mengulurkan tangan, Rissa menyambut baik uluran tangan pria kemayu itu.
"Kenalkan aku Clara, nama kita hampir mirip, ngomong-ngomong kamu nggak usah kaget Ris, si Isa memang kayak gini orangnya." jawab wanita berambut pendek.
"Kenapa dengan aku, hmmm?"
"Agak letoy." Clara tertawa terbahak-bahak. Membuat Isa cemberut karenanya.
"Sialan kau Ra, awas ya."
"Sudah sudah, oke maaf." Clara memutuskan segera meminta maaf sebelum lelaki letoy disampingnya menjadi murka.
"Ris, ini seragam kamu ya, kamu bisa ganti di toilet. Dan untuk tugas pertama, kamu ikut aku dulu ya, biar nanti aku jelaskan."
"Baik Kak." jawab Rissa.
"Hey, panggil saja Clara, sepertinya kita sepantaran, biar bisa cepat akrab." ucap gadis itu seraya memberikan seragam baru Clarissa.
Clara, gadis dengan rambut pendek itu menjelaskan secara detail apa saja yang harus dikerjakan Rissa setiap harinya.
"Kamu kebagian tugas membersihkan lantai dua Ris, jadi sekitar jam 06.30 WIB kamu sudah harus datang, pertama buka semua ventilasi udara yang berada dilantai dua. Lantas mulai bersihkan ruangan, seperti meja, lantai, jendela."
Clarissa menyimak dengan baik instruksi Clara. Ia terlihat mencatat beberapa hal penting yang disampaikan rekannya dalam sebuah buku kecil.
"Setelah itu, jangan lupa hidupkan ac, dan selalu cek pengharum ruangan, pantri juga. Dan yang terakhir membersihkan toilet."
"Setelah itu Ra?"
"Hmmm, kamu bisa istirahat sebentar, dan mulai mengontrol hal hal yang mungkin diperlukan oleh para atasan kita." ucap gadis bernama Clara.
"Oh iya, hampir lupa. Di lantai dua hanya ada tiga ruangan, selain meja karyawan. Ruang pertama ditempati oleh CEO perusahaan ini, kamu harus sangat berhati-hati saat membersihkan ruang pak Aksa."
"Namanya pak Aksa?" tanya Rissa.
"Ssst, jangan sembarang sebut namanya dengan suara keras." ucapnya dengan wajah terlihat panik.
"Kenapa?"
"Sini." Clara meminta Rissa untuk mendekat.
"Orangnya galak, beliau nggak kenal ampun pada kesalahan bawahannya. Dan kamu, pendatang baru yang bernasib sedikit sial." ucapnya seraya menepuk pundak Clarissa.
"Kamu tahu? Riko anak yang baru saja resign. Sebelumnya dialah yang bertugas di lantai dua. Alasan resign nya sudah jelas, pasti tekanan dari kulkas kejam."
"Hah? kulkas kejam?" Rissa merasa heran dengan nama aneh itu.
"Ah, pak Aksa dijuluki kulkas kejam oleh semua karyawan di perusahaan ini, sebab selain galak beliau juga sedingin kulkas. Nggak ada hangat-hangatnya."
Clarissa merasa sedikit ngeri, namun ia harus tetap bertahan. Ia yakin hidupnya lebih mengerikan daripada tuan kulkas kejam.
"Lantas dua ruang lainnya?" ia kembali bertanya pada Clara.
"Ruang kedua tepat di samping ruang pak Aksa adalah ruang adiknya. Namanya pak Rion, nama lengkapnya Arion Delana Axelle." Clara tersenyum manis saat mengatakan nama yang satu ini.
"Kenapa kamu Ra?"
"Perlu kamu tau Ris, pak Rion ini orangnya berbanding terbalik dari kakaknya. Selain tampan beliau juga sangat hangat pada semua orang. Meskipun itu cleaning service seperti kita." Clara menarik nafas dalam.
"Jadi meski nasib sial menimpamu, kamu juga dapat anugrah bisa berjumpa dengan pak Rion sepanjang hari." ucapnya lagi.
"Oke. Baiklah, lantas ruang satunya?" tanya Rissa, tampak acuh.
"Itu gudang, tempat penyimpanan peralatan tempur kita, dan ini kunci gudang. Setiap pagi ambil kunci ini pada petugas di pintu masuk, pulangnya setelah memastikan menyelesaikan tugas kunci kembali gudang, dan kembalikan kuncinya pada petugas lagi, kamu mengerti?"
Gadis bermata coklat itu mengangguk cepat. Jam dinding menunjukkan pukul 06.50 WIB, Rissa segera berpamitan untuk mulai melaksanakan tugas, kantor akan aktif di jam 08.00 WIB. Masih tersisa sekitar satu jam baginya untuk menyelesaikan tugas pertamanya.
...******...
Clarissa melirik jam pada pergelangan tangannya, hari ini tugasnya berjalan lancar tanpa hambatan, semoga saja seterusnya seperti itu. Gadis itu baru saja selesai merapikan kursi dan meja karyawan, ia hendak mengembalikan peralatan kebersihan ditangannya.
Kantor telah sepi, semua karyawan telah pulang, mungkin di lantai dua gedung besar ini hanya ada dirinya. Gadis itu berjalan cepat menuju gudang, namun langkahnya terhenti saat ia mendengar suara desahan bersahutan dari balik pintu gudang.
Rissa tahu persis suara apa itu, ia kebingungan, haruskah ia tetap masuk? Atau meninggalkan peralatan kebersihan di depan pintu gudang? Waktu terus berjalan, telinga gadis itu terasa panas.
Suara laknat ini, ah sudahlah. Masa bodoh. Clarissa berlari cepat meninggalkan peralatan kebersihan tergeletak begitu saja di depan pintu gudang, ia berlari bagai dikejar setan.
Bruk…
“Aw, aduh. Kalau jalan lihat-lihat dong.” Nyalang mata gadis itu menatap lelaki di hadapannya, “tolongin, ayo tolongin.” Lelaki di hadapannya hanya diam, memandang heran gadis itu, membuat Rissa terpaksa berdiri sendiri.
“Kamu karyawan disini kan? siapa namamu?” ucap Rissa sesaat setelah berhasil berdiri.
“Kamu sudah gila?” Suara bariton itu terdengar menakutkan di telinga Rissa, namun ia mencoba tetap terlihat tenang.
“Kamu lah yang gila, sudah salah nggak minta maaf malah ngatain aku.”
“Bodoh, kamu yang lari.” Umpat lelaki di depannya, membuat Rissa sadar kalau tadi ia memang tengah berlari ketakutan.
Gadis itu berpikir sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk membantah ucapan lelaki di depannya ini.
“Justru karena aku berlari dan kamu berjalan, harusnya kamu yang menghindar, bukankan begitu?" jawabnya tak mau kalah.
“Maumu apa? aku sedang tidak dalam kondisi hati yang baik.”
“Idih, memangnya siapa kamu. Kita sama-sama bekerja disini. Yah bedanya, emang aku cuma cleaning service. Tapi, tanpa adanya orang seperti aku, kamu nggak bakalan nyaman kerja disini.” omel Rissa.
“Terserah kamu.” Lelaki itu lantas pergi meninggalkan Rissa dengan emosinya.
"Dasar, tak punya sopan santun, belajar lagi sana di SD!” Rissa berteriak memandang punggung bidang lelaki itu, menjauh dan hilang dibalik tikungan.
Gadis itu lantas turun ke lantai dasar, disana ia berjumpa dengan Isa dan Clara yang juga hendak pulang. “Bagaimana Claris kerjamu hari ini?”
"Baik Is. Semuanya lancar.” tapi tidak dengan kejadian di depan gudang dan karyawan lelaki tadi, ah... Menyebalkan. Rissa menghela nafas kasar.
“Syukurlah kalau begitu sayangku, oh iya by the way kamu sudah bertemu duo Axelle? Dua putra group Axelle maksudku.” tanya Isa.
Clarissa menggeleng cepat, ia sungguh tak peduli pada para konglomerat itu, ia hanya ingin bekerja dalam damai.
“Semoga kamu nggak pernah terlibat masalah dengan tuan Aksa Ris, tuan Rion juga.” Kali ini Clara yang berkomentar.
“Kenapa begitu? tuan Rion kan baik Ra.” Isa merasa heran dengan harapan temannya itu.
“Karena, tuan Rion milikku.” Clara mengakhiri ucapannya dengan derai tawa bahagia.
"Emang dia mau sama kamu Ra.” Mahesa mendorong pelan pundak sahabatnya itu. Ketiganya pun larut dalam canda tawa selepas bekerja.
...*******...
Dua jam yang lalu, di kediaman Axelle. Baskara Axelle tengah duduk didampingi oleh Amora Christabel istrinya.
Wajah Pria tua itu masih menyisakan gurat ketampanan dimasa mudanya, ia mengetuk ngetukkan ujung sepatunya pada lantai marmer, menimbulkan suara yang menggema dalam ruangan.
“Papa tidak mau tau, kamu harus menikah dengan putri sahabat papa. Ini untuk kebaikan perusahaan kita.”
“Berapa kali Aksa bilang pa, Aksa menolak menikah. Menikah hanya akan membatasi langkah Aksa.”
“Membatasi kebiasaanmu bercinta dengan banyak wanita, itukah maksudmu Aksa Damian?” Gertakan sang papa membuat lelaki itu memejamkan mata, semakin emosi.
“Apakah kamu akan menyerah pada perusahaan? dan membiarkan adikmu mengambil alih?” ucap Baskara.
Mendengar ancaman sang papa membuat Aksa reflek menoleh, rahangnya mengeras, giginya berkertak. Ia tak percaya papanya mengatakan hal itu didepan wanita yang dibencinya.
“Sayang, sudahlah. Jangan terlalu keras pada Aksa, kasihan dia. Toh, untuk saat ini yang pantas mengelola perusahaan menggantikan kamu hanya Aksa, bukan Rion.” senyum sinis mengakhiri ucapan Amora yang terkesan dibuat-buat.
“Apa maksud ucapanmu wanita ular?” bentak Aksa seraya melempar kasar ponselnya di atas meja.
“Aksa Damian, jaga ucapanmu. Dia mamamu.”
“Mamaku bernama Laras Pa, Diandra larasati. Bukan wanita ular ini, dan selamanya akan tetap begitu. Papa ingat itu.”
Jawaban menohok dari putranya, mampu membuat sang papa sedikit melunak.
“Baiklah, baiklah. Kembali pada topik utama kita. Besok malam pulang tepat waktu. Kita sekeluarga akan pergi ke rumah calon mertuamu, papa tidak mau dibantah untuk hal ini.”
Lelaki tua itu berjalan pelan dalam pelukan istri mudanya, meninggalkan sang pewaris tahta mencerna keadaan sekitarnya.
Keputusan sang papa sepertinya memang sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Papanya yang telah lanjut usia ingin segera menyaksikan putra pertamanya menikah dan memiliki cucu. Agar bisa melepas perusahaan pada putra pertamanya itu, dan kelak jika kematian datang ia bisa meninggal dalam tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!