Anak pembunuh!
Eldar tau stigma ini akan selamanya melekat padanya. Karenanya dia ngga pernah mau menjadi apa pun selama.dia bersekolah maupun kuliah. Walaupun banyak yang mendukungnya menjadi ketua kelas bahkan ketua osis
Eldar ngga mau saat mereka tau siapa dirinya yang sebenarnya, dapat menimbulkan rumor yang bisa memalukan sekolahnya.
Tidak ada yang mengatakan apa pun padanya. Sampai dia mendengar sendiri kata kata seorang perempuan muda yang sangat cantik di ruang kerja opanya.
Saat itu Eldar baru berusia tujuh tahun. Dia sedang bermain bola dengan Jayden, adiknya. Saat Jayden menendang bola saking semangatnya, bola melumcur jauh sampai masuk menggelinding ke dalam rumah.
"Biar aku yang ambi." Eldar pun berlari lari kecil memasuki rumah sambil terus mengejar bola yang terus menggelinding di depan ruang yang pintunya sedikit terbuka.
Saatt Eldar akan mengambilnya, dia jadi tertarik setelah melihat bayangan perempuan cantik yang hanya sesekali datang, dan hanya menemui opanya sebelum pergi lagi ada di sana. Ngga tau kenapa, tapi Eldar merasa ada detakan aneh di dadanya saat melihatnya.
Dia semakin tertarik untuk menguping karena beberapa kali opanya menyebut namanya dengan bangga.
Eldar tersenyum. Walau berusia tujuh tahun, tapi dia sudah kelas enpat. Dia loncat kelas karena menurut gurunya dia sangat pintar. Teman teman seusianya baru belajar mengenai huruf, dia bahkan sudah bisa membaca eksiklopedia opa dan papinya yang tebal tebal.
Apalagi matematika. Disaat teman temannya baru mengenal angka, dia sudah hapal perkalian dan paham soal pembagian. Bahkan dia sudah bisa menghitung luas dan keliling bangunan tiga dimensi.
Gurunya menyarankan agar dia langsung ke kelas lima saja, tapi papi dan maminya menolak. Mereka ngga ingin Eldar kehilangann lebih banyak waktu bermainnya saja.
Eldar ngga masalah. Dia ngga butuh waktu lama untuk belajar. Kejeniusan opanya menurun banget padanya.
Bukan mami dan papinya ngga pintar. Mereka juga pintar, hanya saja cerdas dan jenius itu anugerah dari Yang Maha Kuasa
"Kamu mgga mau bertemu El? Dia sudah tujuh tahun. Dia tampan sekali, sayang. Juga sangat pintar," bujuk Dewan pada putrinya yang dalam tujuh tahun ini baru tiga kali mengunjunginya. Tanpa sekalipun mau melihat anaknya
Aurora menghela nafas kasar.
"Dia bukan anakku. Aku sudah melupakannya , Papa."
"Aurora!" sentak Dewan pelan penuh tekanan.
DEG DEG DEG
Eldar menutup mulutnya dengan menekankan tangannya sangat kuat di sana.
Dia hampir bertteriak.
Bohong!
Ini ngga mungkin.
Terbayang wajah papi dan maminya yang sangat sayang dan selalu lembut memperlakukannya. Juga adiknya Jayden dan Jennifer yang sangat manja dengannya.
Mereka semua siapa? Kalo memperturutkan watak keras kepala dan amarahnya, dia ingin bertanya langsung pada keduanya. Tapi lutut kecilnya telanjur lemas gemetaran.
"Pa, aku ke sini karena karena kangen papa, oma dan opa. Jangan singgung tentang anak itu lagi."
"Aurora! Sampai kapan kamu begini," keluh Dewan putus asa. Putrinya ngga pernah mau mengakui putranya sampai sekarang.
"Aku selalu teringat Aiden jika melihatnya."
"Dia mirip sekali denganmu."
Aiden? Siapa lagi? Papinya yang sebenarnya?
Eldar beringsut pelan pelan meninggalkan ruangan itu dengan kaki lemasnya dan jiwa kecil yang berguncang. Di kedua tangannya sudah menggenggan bola yang tadi menuntunnyaa hingga mengetahui rahasia besar dirinya.
Otak jeniusnya sudah membuatnya paham dengan apa yang sudah terjadi. Pantassn dia ngga mirip maminya sama sekali. Tapi memang dia sedikit mirip papinya.
Tapi siapa Aiden....
Papinya Xavi....
Tatapannya terasa kosong. Dia terus berjalan dan duduk di samping Jayden yang sekarang sedang meneguk minuman dinginnya.
"Kamu lama sekali," omel Jayden sambil meletakkan gelas yang sudah habis isinya.
Eldar masih diam, tangannya pun masih memegang bola. Pikirannya kosong. Mengetahui dia bukan anak papi maminya saja sudah membuatnya seolah dilemparkan jauh ke luar angkasa. Kenyataan yang baru dia dengar sangat membust tubuh kecilnya shock.
"El, kamu kenapa? Habis lihat setan?" Jayden mencoba bercanda pada kakaknya yang umurnya cuma beda setahun dengannya. Wajah kakaknya sudah putih seperti zombie yang sering dia lihat di tivi.
"EL!" seru Jayden agak keras. Dia melongo dengan ekspresi aneh Eldar yang hanya memberikan bolanya tanpa menjawab satu pun pertanyaannya.
"Kamu kenapa?" tanya Jayden masih cerewet.
"Aku capek. Aku mau mandi." Tanpa mempedulikan adinya, Eldar berjalan ke kamarnya.
'Ya udah. Barengan."
Eldar ngga menyahut. Hanya membiarkan saja adiknya mengikutinya.
Perasaan Eldar sangat berantakan saat ini.
Kenapa wanita cantik itu membencinya?
Tapi kenyataan yang paling meyakitkan hatinya adalah dia anak angkat mami dan papinya. Dia sangat menyayangi mereka.
Ngga masalah wanita itu menolaknya, asal bukan mami dan papinya, batin Eldar berusaha mengeraskan hatinya.
*
*
*
"Kamu kenapa, sayang? Makannya cuma dilihat saja? Ini, kan, kesukaan kamu," tegur Daiva lembut saat melihat Eldar hanya mengaduk aduk saja isi piringnya. Padahal Eldar akan selalu nambah jika Daiva memasak menu ini untuknya.
Xavi juga menatap Eldar heran. Ponakan yang sudah diangkat jadi anak pertamanya ini terlihat seperti banyak pikiran. Wajahnya pun terlihat murung dan sedih.
"Maaf mam, aku kenyang," ucapnya sambil berdiri. Padahal belum sesuap nasi pun masuk ke dalam mulutnya.
"Atau kamu mau makan yang lain? Akan mami buatkan," tahan Daiva lembut, membujuknya. Ngga biasanya Eldar begini.
"Atau mau makan di luar. Ayo, kita beli," sela Xavi ikut membujuk.
"Papi, aku mau es krim," seru Jayden menyahuti.
"Aku juga." Jennifer pun ikut menyahut
"Oke, oke," senyum Xavi sangat lebar. Begitu juga maminya.
"Oke. Ayo kita beli es krim," tawa Daiva berderai melihat kelakuan anak kembarnya.
Tanpa terasa sepasang mata Eldar memanas melihat perhatian mami dan papinya padanya. Kalo dia ngga mendengar sendiri perkataan wanita itu, Eldar ngga akan percaya kalo dia bukan anak mereka
"Aku juga mau es krim," ucap Eldar pelan membuat maminya-Daiva tampak senang.
"Horee, kita beli eskrim," seru Jennifer dengan raut senangnya. Dia dan Jayden sudah menghabiskan makanan mereka.
"Ingat, Jen. Jangan lagi minta punyaku atau punya El," seru Jayden memgingatkan adik kembarnya. Kebiasaan adik perempuan mereka, selalu saja meminta bagiannya dengan Eldar. Padahal mereka sudah dibebaskan oleh mami dan papi untuk memilih es krim kesukaan mereka.
Memang Eldar selalu rela rela saja memberikannya, tapi tidak dengan dirinya. Dan yang menjengkelkan, Jennifer selalu merengek sampai menangis membuat Eldar semakin memberikan jatahnya agar adiknya itu diam.
Jennifer hanya tertawa ngakak. Dia memang suka merecoki kedua kakak laki lakinya. Terutama si pelit Jayden.
Elder mengusap matanya yang basah melihat kegembiraan adik perempuannya. Tanpa dia sadari, kedua orang tuanya melihatnya dan saling pandang dengan perasaan ngga tenang.
"Aurora datang, Om?" Daiva saling tatap dengan Xavi. Sepupunya itu sudah lama ngga datang mengunjungi papanya. Terakhir setahun yang lalu.
"Iya." Saat ini ketiganya sudah berada di ruang kerja Dewan.
"Apa Aurora menemui Eldar?" tanya Daiva dengan dada berdebar aneh. Mengingat sikap Eldar yang ngga seperti biasanya, Daiva merasa seperti ada yang salah.
"Ngga, Daiva. Dia masih ngga mau bertemu anaknya." Dewan terlihat frustasi. Ngga tau sampai kapan bisa membujuk putrinya
Daiva menghembuskan nafas kasar. Sepupunya beneran sudah mau melupakan Eldar. Memang hidupnya sudah sangat baik setelah bersuamikan anak mafia yang sangat kaya raya dan sekarang sudah menetap.di Swis. Dia pun sudah dikaruniai seorang putri yang cantik, walaupun ngga pernah dibawanya saat pulang ke tanah kelahirannya. Omnya yang sering mengunjungi mereka dan memberikan foto foto mereka padanya.
Ngga masalah buat Xavi dan Daiva kalo Aurora ngga mau mengakui Eldar. Mereka sudah menganggap Eldar adalah kakak dari dua adiknya yang nakal nakal. Tapi yang paling menakutkan adalah saat Eldar tau kenyataan pahit ini. Xavi dan Daiva ngga mungkin bisa menyembunyikan rahasia ini selamanya
"Syukurlah. Hanya saja hari ini Eldar agak aneh," ucap Daiva pelan. Hatinya masih belum nyaman.
Eldar memang nampak gembira saat mereka membeli es krim. Bibirnya tertawa tapi sinar matanya tampak murung.
"Aneh kenapa?" Dewan balik bertanya heran.
"Lebih pendiam." Xavi menyahut. Dia merasa ada benang merah tentang kedatangan Aurora kali ini dengan kesedihan Eldar.
"Om, boleh aku lihat rekaman cctv di sekitar ruangan ini," tanya Xavi membuat Daiva dan omnya Dewan terkejut. Pikiran mereka menuju titik yang sama
"Ngga mungkin, kan?" Daiva langsung lemas. Ini yang paling dia takutkan. Jika om dan Aurora keceplosan membahas Eldar dan dia mendengarnya.
Eldar masih sangat kecil untuk tau kenyataan ini. Walaupun dia sangat pintar, tapi tetaplah dia hanya anak kecil berusia tujuh tahun dengan emosi yang ngga stabil. Xavi merengkuhnya dalam pelukannya
"Belum tentu. Aku hanya ingin memastikan saja. Biar kita tau bagaimana mengatasinya," lembut Xavi menenangkan Daiva
Jantungnya pun berdebar aneh. Dia pun sama takutnya dengan Daiva.
Om Dewan sendiri hanya bisa mematung. Dadanya terasa sakit seolah seperti sedang ditekan oleh beban yang sangat berat. Dia takut kalo Eldar mendengar obrolan mereka. Apalagi tadi sangat jelas dan lantang Aurora menolak mengakui Eldar sebagai putranya.
Jangan jangan......
"Om," panggil Xavi lagi karena belum ada respon dari Dewan
"Oke." Dewan pun menelpon kepala sekuriti agar membawakan file rekaman cctv kejadian tadi sore.
Ketiganya menatap tegang pada layar yang menampakkan si kecil Eldar yang masuk ke dalam rumah untuk mengambil bola.
Jantung ketiganya seperti diremas ketika melihar Eldar mematung di luar pintu ruang kerja Dewan yang menyisakan sedikit celah.
Air mata Daiva mengalir begitu saja saat melihat Eldar pergi dengan bola ditangannya dari tempat dia menguping. Wajah Eldar terlihat sangat pucat.
Fix sudah. Eldar pasti mendengar obrolan Dewan dengan putrinya
"Apa yang Om dan Aurora bicarakan?" walau sudah menebak, tapi Daiva tetap bertanya dengan suara bergetar.
Dewan ngga menyahut. Dia masih terhenyak dengan apa yang dilihatnya.
Cucunya sudah tau? Dadanya terasa sesak. Dia pun memegang dadanya dengan kedua tangannya.
"Om," pamggil Daiva khawatir dan panik. Xavi cepat bertindak dengan memberikan obat jantung yang ada di meja pada Dewan.
Setelah menelannya, beberapa saat kemudian Dewan baru bisa kembali menghirup oksigen.
"Maafkan, Om, Daiva. Maafkan Om, Xavi," sesalnya setelah sesaknya berkurang. Dia malah sudah menyakiti hati cucunya. Kalo kakaknya-mama Daiva tau apa yang sudah terjadi, pasti dia akan marah besar.
Dewina-kakak satu satunya bukan hanya sekali dua kali memperingatkannya agar ngga memaksa Aurora mengakui anaknya. Aurora ngga ingin mengingat masa lalunya yang kelam. Dia sudah berbahagia dengan keluarganya. Denikian juga Eldar yang sudah berbahagia dengan Xavi, Daiva dan kedua adiknya.
Tapi dia memang keras kepala. Lihatlah apa yang sudah terjadi pada cucunya sekarang. Siapa yang bisa membuat cucunya ceria lagi seperti dulu dan melupakan apa yang dia dengar.
Xavi menghela nafas sementara Daiva sudah menangis di dadanya.
Semua sudah terjadi. Hanya disayangkan, Eldar masih terlalu kecil untuk tau kenyataan besar sepahit ini
Sekarang yang harus mereka pikirkan, bagainama caranya agar Eldar mengatasi kesedihannya. Kalo perlu melupakannya. Karena keluarganya hanyalah orang orang yang selalu berada di dekatnya dan ngga pernah absen mendukungnya. Bukan orang orang yang sudah meninggalkannya. Xavi menghembuskan nafasnya kuat kuat.
*
*
*
Eldar hampir menabrak anak perempuan kecil yang mungkin seusia dengan adik kembarnya Jennifer, saat dia akan memasuki dapur. Anak perempuan kecil itu sedang buru buru keluar.
"Kamu siapa?" Kedua tangan Eldar bersidekap di dadanya dengan netra menyorot tajam.
"A aku.... temannya Jennifer dan Jayden," jelasnya gagap dan gugup.
Dia sudah pernah melihat Eldar di sekolahnya. Tapi sepertinya anak laki laki ini ngga pernah memperhatikanyya.
Oh......Poor girl.
"Oooh." Eldar berjalan tanpa melihat anak perempuan itu yang masih mematung memandamgmya.
Dirga pun membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral yang sudah ada di sana. Kemudian dia pun meneguknya sampai habis.
"Sampai kapan kamu mau berdiri di sana?"
"Eh." gugupnya dengan wajah merona marah.
Kemudian tanpa mengatakan apa pun lagi, anak perempuan itu langsung berlari meninggalkanya.
Eldar tersenyum.tipis.
Dasar! Emangnya dia hantu, tawanya dalam hati.
Hatinya cukup terhibur melihat kelakuan aneh teman adik kembarnya.
Daiva mendekati Xavi yang nampak gusar setelah mendapat telpon dari maminya.
Lagi lagi maminya memintanya mengunjunginya dan ponakannya tanpa membawa Eldar.
Beliau juga ingin bertemu dengan cucu kembarnya, Jayden dan Jennifer. Sudah tiga tahun lamanya tidak bertemu.
"Ada apa?" tanya Daiva sambil duduk di samping Xavi. Dia menggenggam lembut tangan suaminya.
"Mami meminta aku mengajak kalian ke Perth, tapi tetap ngga boleh membawa Eldar."
Daiva menempelkan kepalanya di lengan Xavi agar kemarahan suaminya mencair. Mami mertuanya itu masih saja antipati dengan Eldar. Sama saja dengan Aurora.
"Kalian pergilah. Biar aku tetap di sini bersama El."
Daiva ngga mungkin menghalangi kepergian Xavi dan anak kembar mereka.Tapi Daiva ngga akan meninggalkan Eldar. Waktu dulu, Rihana sengaja mengajak Eldar liburan bersama keluarganya. Krena Eldar sangat dekat dengan Erland, jadi anak itu mau. Tapi sekarang, di saat Eldar lagi sedih, Daiva ngga akan meninggalkannya.
Sebenarnya bisa saja da meminta Rihana liburan lagi dan mengajak Eldar, tapi dia takut Eldar curiga.
"Mami pasti akan mengomel nanti. Coba aku tanya Alexander, apa dia dan keluarganya mau liburan lagi. Eldar sangat dekat dengan Erland."
Daiva setuju dengan perkataan Xavi. Tapi ada hal lain yang dia pikirkan.
"Sekarang anak anak sudah cukup besar. Kalo mereka bercerita bertemu opa omanya, bagaimana, ya?" Daiva merasa gamang.
Xavi terdiam. Suatu saat nanti pasti Eldar akan tau juga kalo omanya ngga suka dengannya. Pasti hatinya akan tambah terluka.
"Entahlah. Tapi sebaiknya itu nanti saja kita pikirkan. Kita seleaikan semuanya secara perlahan dan bertahap." Xavi pun mengecup bibir Daiva lembut. Dengan beratnya masalah yang akan mereka hadapi nanti, dia butuh sedikit peregangan.
Daiva pun membalas ciumannya dengan ngga kalah lembutnya.
*
*
*
Paginya Eldar melirik anak perempuan kecil itu yang ikut sarapan juga dan tampak akrab dengan Jennifer. Sedangkan Jayden tampak cuek menikmati sarapannya.
"Eldar, tadi papi udah minta ijin ke guru kamu. Kamu ikut papi, ya, pagi ini," ucap Xavi setelah selesai dengan sarapannya.
"Aku juga mau ikut papi," seru Jayden sebelum Eldar menjawab.
"Nggak bisa. Kita ada kerja kelompok." Jennifer ngga kalah berseru. Melarang keinginan kembarannya yang akan lari dari tanggung jawab.
"Masih ada Biyan, kan. Dia pasti bisa menghandle semuanya," balas Jayden ngotot. Biyan adalah sepupunya yang sekelas dengan mereka.
Harusnya Biyan menginap di rumahnya juga karena tugas kelompok yang menyebalkan ini. Tapi Tante Puspa dan Om Herdin harus membawanya berobat karena pilek.
"Ngga bisa! Pokoknya kamu ngga boleh ijin," larang Jennifer ngga kalah ngototnya. Kalo Biyan besok ngga bisa datang, nanti cuna dia sama Skylar saja yang harus menjelaskan gambar gambar makhluk hidup yang mereka kerjain susah payah tadi malam.
Daiva dan Xavi tertawa melihat pertengkaran anak kembar mereka. Sedangkan Eldar pura pura sibuk dengan makanannya. Dalam hati dia pun tergelak. Tanpa sadar dia melirik Skylar yang ternyata juga meliriknya. Tapi hanya sekilas, kemudian anak perempuan kecil itu menunduk dalam dalam.
Eldar tau kalo Jayden sudah beberapa kali minta pada papinya agar dia sekelas bareng dengannya. Sama seperti Erland, sepupunya yang lebih muda beberapa bulan saja darinya, sudah sekelas dengan Eldar.
Tapi sayangnya tidak dikabulkan. Karena Xavi ingin Jayden tetap tumbuh bersama kembarannya, Jennifer.
Kalo Erland memang diijinkan Alexander dan Rihana untuk loncat kelas hingga kini bareng dengan Eldar.
"Papi ada urusan penting dengan Eldar. Lusa ngga apa kalo kamu mau bolos. Biar gantian," gelaknya semakin menjadi melihat dengusan ngga terima Jayden.
"Xavi, masa kamu ngajarin anak anak kita bolos," sela Daiva terkekeh.
"Sekali sekali ngga apa, kan, honey."
Jayden masih cemberut. Dia penasaran, kemana papinya akan membawa Eldar pergi. Dia beneran pengen ikut.
"Papi, besoknya setelah lusa, jatah aku bolos, ya," senyum jennifer sangat lebar.
TUK!
Dengan gemas Jayden menoyor kening kembarannya.
Jennifer tertawa tergelak gelak.
Daiva melirik Xavi memintanya bertanggungjawab atas niat bolos Jennifer. Tapi Xavi hanya nyengir saja sambil mengedipkan sebelah matanya.
*
*
*
Eldar bingung ketika papinya membawanya ke area pemakaman yang sangat terawat dan sangat luas. Tapi dia hanya diam saja. Otaknya masih sulit untuk berpikir. Hatinya masih terlalu sakit mendengar kata kata wanita cantik yang ngga sudi mengakuinya sebagai putranya.
Padahal opanya sampai harus memohon seperti itu. Tapi tetap saja ditolaknya. Sebenarnya apa salahnya sampai sebenci itu wanita itu pada dirinya.
Mereka pun sampai di kuburan Aiden.
Eldar ikut berjongkok di samping papinya. Papinya terdiam seakan sedang berdo'a. Iseng Eldar melihat nama.yang terukir di atas batu pualam itu.
Aiden Tanaka Permana.
Jantungnya berdebar keras.
Aiden?
Nama yang disebut wanita itu.
Jantungnya berdetak keras.
Eldar menatap papinya dengan mata terluka.
Papinya sudah tau? Dadanya sesak.
Berarti maminya juga.
Rasanya dia ngga bakal pernah percaya kalo mereka bukan orang tuanya.
Xavi membuka matanya, beradu tatap dengan Eldar.
"Dia saudara kembar papi."
Eldar ngga bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Sebenarnya papi ingin mengatakannya nanti setelah umur kamu delapan belas tahun. Yah, paling tidak setelah kamu lulus SMA."
Eldar masih terdiam dengan sorot mata hampa.
"Wanita yang bertengkar dengan opamu itu memang ibu kandungmu. Tapi mamimu juga ikut merawatmu saat kamu masih dalam kandungannya. Mami sudah memperhatikanmu sebelum kamu dilahirkan. mungkin kalo bisa meminta, mamimu ingin kamu berada di rahimnya," jelas Xavi dengan suara bergetar. Sepasang matanya berkaca kaca. Teringat masa masa dulu saat Daiva berjuang keras agar Aurora menjaga kandungannya. Juga teringat ketika mereka terpaksa berpisah.
Mata Eldar basah mendengarnya.
"Mamimu saudara sepupu ibu kandungmu. Kejadiannya cukup rumit. Tapi percayalah papi dan mami sangat menyayangimu. Jangan pernah ragukan itu," pungkas Xavi dengan suara serak.
Air mata Eldar pun mengalir tanpa bisa dia tahan lagi. Dia tau, sangat tau kalo mami dan papinya sangat menyayanginya. Begitu juga dengan dirinya.
Xavi pun memeluknya erat membuat tangis Eldar pecah.
"Kamu punya mami dan papi. Juga Jayden dan Jenifer. Biyan, Erland, Fisha dan sepupu kamu lainnya. Juga barisan om dan tantemu. Opa, oma, buyutmu, semua sangat menyayangimu. Jangan pedulikan yang lainnya," ucap Xavi lembut. Hatinya pun hancur karena harus mengatakan separuh kebenarannya sekarang.
Sementara separuh lagi dia belum sanggup. Daiva juga sudah mewanti wantinya agar ngga mengatakannya sekarang. Takut Eldar kecil ngga sanggup menerima kenyataan sebenarnya yang sangat menyakitkan.
*
*
*
Eldar tetap minta diantar ke.sekolah. Dia sayang meninggalkan pelajarannya hari ini. Apalagi ada Erland yang selalu berhasil mencuri kesempatan saar dia lengah.
Dia dan Erland memang bersaing ketat. Kadang dia juara satu, kadang Erland. Menyebalkan memang.
"Ngga bakal Erland bisa ngalahin kamu. Cuma sehari aja," tawa Xavi ketika Eldar tetap ngotot ke sekolah. Hatinya senang, gara gara Erland, Eldar sedikit lupa dengan kesedihannya. Erland dan Eldar mungkin gambaran Rihana dan Aurora dulu, saudara beda ibu.
Untunglah keduanya akur. Ngga seperti mami dan tantenya dulu.
"Erland itu mengerikan, Pi. Aku ngga mau ketinggalan banyak materi hari ini. Okelah, dua jam pertama tadi aku terpaksa ngga ikut. Tapi ngga, materi yang ini. Renang," sungut Eldar dengan semangat berkobar kobar.
"Oke, oke," tawa Xavi masih tetap berderai. Tangannya mengusap puncak kepala Eldar gemas.
Eldar tersenyum senang karena papimya mau mengerti.
Xavi teringat pada ponakannya yang lain Dave. Entah mengapa maminya sekarang berubah pikiran. Beliau malah ngga mau bertemu Eldar. Sampai Eldar sebesar ini, omanya masih ngga mau melihatnya.
Mungkin perasaan Daiva sangat peka, istrinya ngga pernah mau ikut ke Pert jjka dia mengunjungi orang tuanya.Hanya sekali itu saja saat Rihana membawa Eldar liburan bersama putranya Erland. Itupun Daiva harus sabar menerima tanggapan mami Xavi yang sangat hambar padanya.
Mereka pun bangkit dari duduknya dan bersiap meninggalkan makam Aiden.
Eldar menatap lagi batu nisan yang bertuliskan nama papi kandungnya dengan menguatkan hati.
Aku akan memgingat dan mendo'akanmu, papi.
Xavi merengkuh bahu Eldar penuh sayang.
Anak anakmu baik baik saja, Aiden.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!