"𝐀𝐍𝐓𝐀𝐑𝐀 𝐍𝐎𝐕𝐄𝐋, 𝐃𝐄𝐍𝐃𝐀𝐌 𝐃𝐀𝐍 𝐋𝐔𝐊𝐀."
Ini hanya tentang, Ghadira. Ghadiraku. Satu-satunya perempuan yang membuatku sadar bahwa kita hidup di dunia tidak selamanya harus berada di kata sempurna. Ghadira, dia ciptaan Tuhan yang paling indah setelah Mama dan Papa. Ghadira, kamu adalah perempuan kuat. Hatimu sangat lembut bagaikan kapas.
Aku merindukanmu, Ghadira ...
Aku rindu senyum manismu.
Aku rindu tawamu.
Aku rindu semangatmu.
Aku rindu semuanya, Ghadira ...
Malam ini, aku berada di teras rumah dengan cuaca yang begitu dingin seolah-olah akan menusuk tubuhku yang kini hanya dibaluti oleh kaus oblong dan celana pendek berwarna hitam putih. Jari-jari ku mulai bergerak cepat di atas keyboard laptop bermerek Apple itu, pemberian Papa sejak aku pertama kali masuk di menengah atas.
Mulai sekarang, kisah Ghadira Laurika Anggiana akan kutuliskan dalam bentuk novel dengan berbekal buku diarynya yang aku punya. Keluh kesahnya ia tulis semua dari buku tersebut yang bersampul fotonya sendiri saat bayi.
Kisahnya dimulai saat ia berumur 12 tahun dan masih duduk di bangku kelas 6 SD. Ghadira, perempuan polos dengan rambut yang dikepang dua itu berjalan di atas trotoar sembari bersenandung menyanyikan lagu 'pagiku cerahku'.
" ... kugendong tas merahku, di pundak ... " Ghadira bernyanyi, sambil tertawa cekikikan.
Rumahnya masih lumayan jauh, tapi itu tak membuat semangat Ghadira pudar. Baginya, ini tidak seberapa. Lagi pula yang berjalan kaki ke sekolah bukan hanya dia, banyak anak-anak lain juga. Tapi, kali ini Ghadira pulang sendirian. Teman-teman yang biasa pulang bersamanya sedang dijemput oleh orang tua mereka masing-masing.
Hari ini adalah hari pembagian raport. Semua orang tua murid akan ke sekolah untuk mengambil raport anak-anaknya, tapi tidak berlaku untuk Ghadira.
Ghadira mengambil raportnya sendiri, karna orang tuanya sedang sibuk bekerja. Ini bukan kali pertamanya bagi Ghadira, dari dia kelas 3 SD Ghadira sudah dituntut untuk menjadi orang yang mandiri.
Langkah Ghadira sontak terhenti, ketika melihat dua laki-laki dewasa dengan tatto di lengan dan berkumis tebal itu menghadang jalannya. Perut yang buncit membuat Ghadira ketakutan.
"Adek kok jalannya sendirian? Orang tua adek kemana?" tanya orang itu yang badannya lebih tinggi.
"Kalian siapa? Jangan deket-deket sama aku!" sentaknya, saat mereka mulai mencengkram tangan Ghadira kuat.
"Ikut sama, Om ya. Nanti Om anterin pulang ke rumah."
"Enggak!"
Ghadira menelan ludahnya susah payah. Ia menengok kiri dan kanan mencoba untuk meminta bantuan. Namun nihil, disekitarnya sangat sepi dan sangat jarang dilalui oleh orang pejalan kaki mau pun pengendara.
"Gak mau, Om! Lauri mau pulang sendiri!" Ghadira berusaha sekuat tenaga untuk kabur, tapi usahanya itu hanya sia-sia. Kini dirinya sudah berada di gendongan laki-laki itu yang membuat Ghadira semakin memberontak.
"Jangan berisik! Mau kamu, Om lempar ke sungai hah?!" ancamnya, dan Ghadira langsung diam tak berkutik.
Saat Ghadira sudah akan dimasukkan ke dalam mobil kijang besar berwarna hitam itu, ia lalu melarikan diri dengan rasa takut yang semakin menyelimutinya. Kakinya terus melangkah cepat saat melihat kedua penculik itu mengejarnya dan sesekali berteriak.
"Hey, berhenti!"
"Berhenti!"
Dahi Ghadira kini mengeluarkan buliran keringat, serta napasnya mulai keluar tak beraturan akibat berlari. Berhenti sejenak, mencoba mencari tempat persembunyian yang aman.
"Hah! Kesitu aja deh," seru Ghadira sambil menatap rumah kosong yang berada di persimpangan jalan sana.
Baru saja Ghadira ingin melintas, tiba-tiba saja sebuah mobil melaju kencang dari arah samping dan menabraknya sehingga ia langsung terpental ke aspal. Darah segar mulai keluar dari pelipis dan kedua kakinya karna tabrakan itu.
"M-mama ... " lirih Ghadira, sebelum matanya benar-benar tertutup.
o0o
Perlahan-lahan mata Ghadira terbuka dan menampilkan dirinya kini berada di rumah sakit, dengan tangan yang diinfus dan kepala diperban. Ghadira meringis kesakitan, ia melirik sekitar mencari keberadaan orang tuanya.
"Mama? Papa?"
Tak lama Ghadira mengucapkan itu, tiba-tiba saja pintu kamar rumah sakit terbuka lebar dan memperlihatkan kedua orang tuanya yang kini memasang wajah khawatir.
"Lauri, kamu udah bangun sayang? Apa yang sakit? Kasih tau Mama." Fia memeluk putri sulungnya itu erat. Ia benar-benar khawatir dengan Ghadira.
"Andai saja kamu tidak ikut bekerja, kejadian ini pasti tidak akan terjadi!" bentak Bagas pada istrinya itu.
Merasa tak terima dengan bentakan tersebut, Fia langsung melepaskan pelukannya pada Ghadira. "TERUS! TERUS AJA KAMU NYALAHIN AKU!"
"AKU KERJA JUGA KARNA KAMU! KAMU GAK BISA MENUHIN KEBUTUHAN AKU, DAN ANAK-ANAK!"
Lagi dan lagi, Ghadira harus menyaksikan kedua orang tuanya itu bertengkar. Ia menangis, sambil menutup telinga menggunakan telapak tangannya.
Tunggu sebentar, Ghadira merasa ada yang aneh. Kenapa kakinya tidak bisa digerakkan? Rasa takut karna pertengkaran orang tuanya tadi, kini berganti dengan rasa panik karna kakinya yang seperti mati rasa.
"Ma! Pa! I-ini kaki, Lauri kenapa?! Kenapa gak bisa gerak, Ma?!" Tangis Ghadira semakin kencang, ia bahkan berusaha bangkit dari tidurnya tapi tetap tidak bisa.
Ghadira memeluk lengan Mamanya dengan erat. "Ka-ki Lauri kenapa, Ma?" tanyanya, sambil sesenggukan.
Fia dan Bagas saling menatap. Mereka menghela napas panjang, lalu menceritakan semuanya pada putrinya itu.
Akibat kecelakaan tersebut, Ghadira mengalami lumpuh paraplegia.
To be continued ...
HAI, HAI!!
GIMANA PART INI? SERU GAK SIH?
KALO GAK SERU, DIL GAK MAU LANJUT
HEHE, CANDAAA
GHAZWAN ITU MANGGIL LAURI DENGAN SEBUTAN GHADIRA, SEDANGKAN YG LAIN MANGGILNYA LAURI DOANG. JADI, KALIAN JANGAN BINGUNG YAA
SEMOGA KALIAN SUKA SAMA CERITAKU INI🖤
INSYAALLAH, KALO ADA WAKTU DIL BAKAL UP LAGI. SEE YOUU🖤🖤🖤
...11, November 2023...
...Makassar ...
Aghazwan Caesar Anggara. Orang sekitar kerap memanggilnya dengan sebutan, Ghazwan. Laki-laki kelahiran, 14 februari 2004 ini sekarang sudah berada di bangku kelas 3 menengah atas. Jika ditanya tentang apa hobinya, tentu saja ia akan menjawab membaca dan menulis. Entah itu novel, cerpen, bahkan puisi.
Pagi ini adalah hari pertama Ghazwan masuk ke sekolah barunya. Ghazwan anak pindahan dari Bandung dan sekarang memilih menetap di Jakarta bersama Oma-nya.
Dengan langkah kakinya yang lebar, laki-laki itu terus menatap setiap pintu kelas yang ia lalui. Ghazwan diperintahkan oleh kepala sekolah untuk masuk ke kelas XII MIPA 1. Hal tersebut membuat Ghazwan lega, sebab ia akan sekelas dengan sepupunya.
Setelah mendapat apa yang dicari, Ghazwan mengetuk pintu terlebih dahulu dan membukanya pelan. Ia tersenyum ramah pada guru yang tengah mengajar itu.
Bu guru menatap Ghazwan dari atas hingga bawah. "Kamu murid baru?"
Ghazwan mengangguk mantap. "Iya, Bu."
"Yasudah, silahkan perkenalkan diri pada teman-teman kelasmu." Guru dengan postur tubuh yang sedikit melebar itu kemudian mengisyaratkan Ghazwan untuk berdiri di depan papan tulis.
Ghazwan menarik napasnya dalam-dalam, mencoba untuk menghilangkan rasa gugupnya. "Perkenalkan gue Aghazwan Caesar Anggara, kalian bisa panggil gue Ghazwan. Gue murid pindahan dari salah satu SMA yang ada di kota Bandung."
Ghazwan menoleh kearah Ibu guru yang sedari tadi ikut memperhatikan seperti teman-temannya. "Sudah, Bu."
"Ehm, baiklah. Ghazwan, sekarang kamu duduk di samping, Sabina."
"Sabina, tolong angkat tanganmu," perintah Bu guru, dan tak lama seorang perempuan yang duduk di bangku ketiga paling depan bagian kiri mengangkat tangannya.
Ghazwan berjalan kearah perempuan tersebut. Ia mulai mengeluarkan satu persatu bukunya, bersiap untuk memulai pelajaran.
"Hai, kenalin gue, Sabina," sapa perempuan itu dengan tersenyum manis.
Ghazwan menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan manggut-manggut. "Ghazwan."
Sabina membulatkan mulutnya beroh-ia. "Lo kenapa pindah di sekolah ini?"
Ghazwan mengacuhkan kedua bahunya. "Gue rasa lo gak perlu tau. Dan lebih baik kita fokus belajar sekarang."
Ucapan Ghazwan tentu membuat seorang Sabina mendengus kesal. Pasalnya ini kali pertama bagi Sabina diberlakukan secuek ini pada laki-laki. Sabina pun kembali menatap Bu guru yang mulai berkomat-kamit di depan.
(◕ᴥ◕)
Suara bel istirahat terdengar begitu menggema ditelinga Ghazwan. Selesai dari kantin dan mengisi perut, Ghazwan memilih menghabiskan sisa waktu istirahatnya dengan membaca buku di perpustakaan.
Ghazwan mulai berjalan mengelilingi rak buku. Kali ini ia ingin membaca buku sosiologi agar pengetahuannya semakin luas. Setelah menemukan buku tersebut, Ghazwan pun mulai mencari tempat duduk yang tidak ramai murid, supaya ia bisa membaca dengan tenang.
Ghazwan memilih duduk di belakang rak khusus buku fiksi. Kata demi kata mulai ia ucapkan dari dalam hati agar tidak menggangu pengunjung yang lain.
"Aduh, gimana ngambilnya ya?"
"Tinggi banget lagi."
Samar-samar Ghazwan mendengar suara seorang perempuan dari balik rak buku. Karna penasaran, ia pun mendekat ke sumber suara tersebut.
"Butuh bantuan?" ucap Ghazwan membuat siswi itu terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Ghazwan melirik papan nama yang terletak dibaju perempuan tersebut. "Ghadira Laurika Anggiana."
"Ehm, emang boleh?" tanyanya, ragu-ragu.
Kedua bahu Ghazwan terangkat ke atas. "Kenapa enggak."
"Sini, gue bantu ambilin. Buku yang mana?" Ghazwan bertanya, sebab dirak itu ada banyak sekali buku.
Siswi dengan bulu matanya yang lentik itu menunjuk kearah kiri. "Itu kak, sampul bukunya yang warna merah."
Ghazwan meraihnya, lalu membolak-balikkan buku yang kini dipegangnya. "Lo suka baca buku ini?"
"Iya, soalnya cerita yang dibuku itu alurnya bagus. Aku juga suka sama karakter tokoh utamanya."
Ghazwan tersenyum singkat, lalu menyerahkan buku tersebut pada perempuan dihadapannya. "Ini. Jaga bukunya baik-baik, jangan sampai rusak."
"Btw, kita belum kenalan," ucapnya lalu mengulurkan tangan. "Ghazwan, anak kelas 12 MIPA 1."
"Aku Lauri, Kak. Dari kelas 11 MIPA 3," sahut Lauri dengan jantungnya yang berdegup kencang.
Ghazwan merasa sedikit iba dengan keadaan Lauri. Perempuan itu hanya bisa duduk dikursi roda, dan tak dapat merasakan berjalan bebas seperti siswa siswi yang lainnya.
Lauri mempunyai dua lesung pipi, hingga terlihat manis jika sedang tersenyum. Rambut yang dikepang satu dan bando berwarna biru muda yang terletak di kepala. Poni yang hampir menutupi matanya, membuat Lauri tampak lucu dimata Ghazwan.
"Kalo gitu aku pergi dulu ya, Kak. Makasih udah bantu ambilin bukunya," ucap Lauri dan bersiap menggerakkan kursi rodanya.
"Eh, bentar," cegah Ghazwan menahan Lauri untuk tidak pergi.
"Kenapa, Kak?"
"Aku boleh minta Instagram lo? Atau gak nomor WhatsApp, juga boleh," kata Ghazwan dengan nada pelan.
Kening Lauri berkerut heran. "Buat apa, Kak?"
Ghazwan tertawa ringan, ia mencoba mengusir rasa gugupnya. "Oh ini, buat nambah-nambah kontak aja. Lagipula kan gue juga murid baru di sini, jadi butuh temen banyak."
"Ohh gitu," gumam Lauri. Ia kemudian merogoh saku bajunya dan mengambil hp. "Ini, Kak."
Dengan antusias Ghazwan pun mencatat nomor Lauri dari dihpnya. Entah kenapa ia ingin mengenal Lauri lebih jauh lagi. Dan jika diperhatikan, Lauri adalah anak yang baik, manis, dan memiliki hobi yang sama seperti Ghazwan. .
"Nanti kalo aku butuh rekomendasi novel yang bagus, gue kabarin ya," ujar Ghazwan dan Lauri hanya mengangguk mengiyakan.
"Ehm, Ghadira."
Lagi-lagi kening Lauri berkerut. "Ghadira?"
"Gue panggil lo, Ghadira aja ya."
"Kenapa gitu?"
"Biar samaan. Gue kan Ghazwan, nah lo Ghadira."
Ghadira menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman. Kedua pipi perempuan itu memerah, menahan diri untuk tidak salah tingkah.
"Yaudah, kalo gitu aku permisi ya, kak. Sekali lagi makasih." Ghadira pergi meninggalkan Ghazwan yang kini hanya diam, dan menatap punggung perempuan itu yang kian menjauh.
(◕ᴥ◕)
Ghadira terus memutar roda besar pada kursi rodanya itu dengan cepat menuju gerbang sekolah. Hari ini Ghadira dijemput oleh Sandy, dan ia tak ingin laki-laki itu menunggu lama.
Semua siswa siswi SMA Sanjaya kini mulai mengeluarkan kendaraan mereka masing-masing dan segera meninggalkan area sekolah. Namun, tak banyak juga dari mereka yang menempuhnya hanya dengan berjalan kaki.
Ghadira membuka pintu mobil yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah, dan tak lama Sandy turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya.
Selesai mengangkat tubuh Ghadira agar duduk di jok mobil, Sandy beralih pada kursi roda milik perempuan itu dan memasukkannya ke bagasi.
"Lama banget, habis ngapain sih?" Laki-laki yang berada di hadapannya kini menatap tajam Ghadira.
Keduanya sudah saling kenal sejak Ghadira masih kelas 1 SMA, dan sampai sekarang Ghadira sendiri bingung dengan status mereka ini apa. Jika dibilang pacar, tidak juga. Sebab, Sandy tak pernah menyatakan perasaannya dengan Ghadira. Tapi kalau hanya sebatas teman, entah kenapa laki-laki itu selalu memberikan perhatian lebih pada Ghadira.
Mulai dari mengingatkan Ghadira agar tidak lupa meminum obat, menemani Ghadira ke rumah sakit, selalu ada saat Ghadira sedang kesusahan, dan terakhir, Sandy selalu mengantar jemputnya ke sekolah.
Bukan apa-apa, Ghadira hanya takut jika menaruh harapan lebih dalam lagi pada Sandy. Lagipula ia juga sadar diri, sangat tak mungkin jika Sandy memiliki perasaan padanya.
"Gue tanya, malah diem. Lo habis ngapain, Lauri?" Suara Sandy berubah lembut, membuat Ghadira gugup.
"Ehm, tadi ke ruang guru dulu, Kak. Makanya lama," jawabnya, pelan.
"Ngapain ke ruang guru? Ada masalah?" Sandy kembali bertanya, sebab untuk apa Lauri ke ruang guru ketika sudah jam pulang.
Ghadira menggeleng cepat. "Aku ngumpulin buku-buku teman sekelas dulu, kak. Soalnya batas pengumpulan hari ini gak boleh besok."
"Lo kan bukan ketua kelas, ngapain ngumpulin buku?" Sandy benar-benar bingung dengan Lauri. Perempuan itu pintar dalam urusan pelajaran, tapi kenapa mau saja disuruh-suruh.
"Lo yang susah-susah ngerjain tugas, mereka tinggal nyontek, dan sekarang lo juga yang ngumpulin buku mereka?"
Ghadira menyengir, lalu mengangguk.
"Dasar bego! Mau-mau aja sih lo dimanfaatin kayak gitu. Lain kali kalo temen lo nyuruh, jangan mau bego. Percuma juga kan dia punya tangan, punya kaki, tapi gak digunain. Lo tuh baik boleh, tapi jangan bego."
"Tapi, mereka bilangnya minta tolong-"
"Lo harus bisa bedain mana minta tolong dan mana dimanfaatin. Lagipula yang harusnya ditolongin itu lo, bukan mereka."
Ghadira mengangkat kepalanya sedikit tinggi. "Kenapa gitu?"
"Ya karna lo gak bisa jalan." Sontak Ghadira terdiam mendengar ucapan Sandy yang tentu saja membuatnya sedikit tersinggung. Ghadira menunduk, lalu menatap kedua kakinya yang tak ada gunanya itu.
Sandy tersadar dengan perkataannya. "Em sorry, gue gak maksud buat nyinggung lo."
Ghadira tak menggubris, ia hanya membuka pintu mobil membuat Sandy bingung.
"Mau ngapain lo?"
Dengan wajah cemberutnya, Ghadira berucap. "Aku mau pulang sendiri."
"Lo marah sama gue?"
Lagi-lagi Ghadira tak menjawab.
Sandy membuang napasnya kasar, ia kemudian menutup kembali pintu mobilnya membuat Ghadira protes.
"Kok ditutup lagi sih? Aku mau pulang sendiri aja, kak. Cepet angkat aku keluar."
Sandy menatap tajam ke arah Ghadira. "Gak! Hari ini lo pulang sama gue. Kalo lo mau pulang sendiri, coba aja keluar."
Ghadira memasang tatapan tak suka pada Sandy. Ia kembali membuka pintu mobil, membuat Sandy tersenyum remeh.
"Emang lo bisa keluar tanpa bantuan gue? Dasar keras kepala."
Ghadira mulai mengangkat tubuhnya menggunakan kedua tangan yang kini memegang jok mobil. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit pada kedua kakinya.
Sandy memutar bola matanya jengah. "Kalo lo jatuh, jangan salahin gue."
Ghadira melirik sinis ke arah laki-laki itu. "Siapa juga yang mau-awhh."
Sandy membelalakkan matanya melihat Ghadira yang sudah tersungkur jatuh ke tanah. Ia segera turun dari mobilnya dan mengangkat tubuh Ghadira agar kembali duduk.
"Awhh-sakit!"
Sandy menatap Ghadira yang tengah meringis kesakitan. Ia benar-benar khawatir, terlebih lagi ketika melihat kaki Ghadira yang lecek akibat tergores aspal.
"Ini akibatnya kalo lo keras kepala. Sakit kan? Emang enak."
Ghadira melengkungkan bibir bawahnya. Ia mengalihkan pandangannya ke samping, enggan menatap laki-laki itu.
"Sekarang kita cari tempat makan aja, biar sekalian obatin luka lo juga."
Bersambung ...
note : kalian jgn bingung ya. Ghadira sama Lauri itu orang yg sama. Ghadira Laurika Anggiana, oke.
see you🖤
Haii prend🖤
kalian dari provinsi/daerah mana nih??
aku sulawesii, ada yg sama gak??
Ghadira membuka pintu rumahnya dengan sangat pelan, sebab jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Ghadira takut jika Mamanya-Fia marah besar karna tau dirinya pulang malam.
Selesai kakinya diobati oleh Sandy, laki-laki itu meminta tolong pada Ghadira untuk mengerjakan tugasnya. Meskipun Ghadira masih kelas 2 SMA, pengetahuannya sudah jauh lebih tinggi dari siswi pada umumnya.
Maka dari itu Sandy sering kali menyuruh Ghadira untuk mengajarinya materi yang belum ia pahami.
Jantung Ghadira serasa berhenti berdegup ketika lampu ruang tamu tiba-tiba menyala. Dengan ragu ia menoleh ke arah dimana saklar lampu terletak.
"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" Fia menatap tajam kearah putrinya, sembari bersedekap dada .
Ghadira menelan ludahnya susah payah, sambil menggigit bibir bawahnya karna gugup. "Lauri, habis kerja kelompok di rumah Mauren, Ma."
"Jangan bohong kamu! Tadi Mama telfon Mauren, dan dia bilang dia lagi gak sama kamu!"
Ghadira terdiam, ia tidak tau ingin menjawab apa sekarang.
"Kamu habis ketemu pacar kamu itu kan?!"
"Jawab, Mama! Jangan diem aja!"
"Lauri, minta maaf. Tadi Lauri cuma bantuin kak Sandy kerja tugas, itu doang kok." Ghadira menunduk, takut melihat wajah Fia yang sudah memerah karna marah.
"Kamu ini masih sekolah! Kamu harusnya fokus belajar, bukan pacar-pacaran! Kamu kira bayar uang sekolah itu pake daun?! Enggak! Mama harus kerja banting tulang buat ngebiayain kehidupan kamu sama adik kamu!"
"T-tapi, Kak Sandy itu bukan pacar aku, Ma."
"Jangan ngelak kamu!"
Fia menghela nafasnya kasar, ia memijit pelipisnya yang sedikit pusing. "Kamu masuk kamar sekarang! Dan jangan harap Mama bakal kasih kamu uang jajan besok!"
Dengan perasaan kesal, Ghadira pun masuk ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan memutuskan untuk mengganti seragam sekolahnya. Selesai berganti pakaian, Ghadira menggerakkan kursi rodanya itu ke arah meja belajarnya.
Ketika kecelakaan yang dialami Ghadira beberapa tahun yang lalu, Bagas dan Fia sering kali bertengkar dan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Waktu itu umur Ghadira sudah memasuki 14 tahun. Ghadira dan adiknya-Lira memutuskan untuk tinggal bersama Fia.
Sejak Bagas menikah dan memiliki keluarga baru, pria itu sudah sangat jarang mengunjungi kedua putrinya. Tentu saja hal tersebut membuat Ghadira dan Lira sedih, sekaligus merindukan Papa-nya.
Ghadira memejamkan matanya, dan menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa keluargaku berbeda?"
"Coba aja aku dikasih satu permintaan, aku bakal minta supaya keluargaku bisa kayak dulu lagi. Ada Mama, Papa dan adik dirumah ini. Kita tinggal se atap, gak beda atap lagi. Kita berempat makan di satu meja yang sama, gak kayak sekarang cuma bertiga. Kita saling bercanda, bukannya saling berdebat hanya karna masalah ekonomi."
"Tuhan ... aku memang anak pertama, tapi bukan berarti aku sekuat itu. Aku juga capek jika terus-terusan dituntut untuk bisa mandiri. Aku lemah. Aku lemah kalo soal keluarga."
(◕ᴥ◕)
Kata demi kata mulai Ghazwan ketik dari keyboard laptop miliknya. Selesai makan malam dan mengerjakan tugas sekolah, ia segera melanjutkan kembali novel yang saat ini sedang berada ditahap revisi.

Bulan depan novel dengan judul The Plot Of A Novel akan segera terbit. Tentu saja itu membuat Ghazwan semakin semangat untuk menciptakan lebih banyak karya lagi.
Berbicara soal karya, dulu laki-laki itu pernah diremehkan oleh teman-teman dan bahkan keluarganya sendiri. Mereka berkata, menulis hanya akan membuang-buang waktu saja.
Belum tentu apa yang kamu tulis, orang-orang menyukainya. Memang ada yang minat membaca cerita yang kamu buat? Penulisannya saja salah, bagaimana ada yang suka.
Itu ucapan mereka.
Kata-kata itu sempat membuat semangat Ghazwan pupus. Namun, segera ia tepis. Ghazwan lebih memilih menutup telinga, dan kembali melanjutkan hobinya, dari pada mendengar ucapan mereka yang hanya akan membuatnya putus asa.
Lebih berguna lagi jika ia semakin mengembangkan hobinya, daripada harus mendengarkan perkataan orang-orang yang hanya akan membuatnya down.
Lagipula mereka hanya akan melihat hasil tanpa proses.
Jadi, jangan pernah menyerah untuk terus berkarya. Tak apa tulisanmu tidak banyak yang baca, karna semuanya itu dimulai dari bawah.
(◕ᴥ◕)
Pukul 6 lewat, Ghazwan sudah selesai bersiap-siap untuk ke sekolah. Seusai memakai seragam, ia berinisiatif untuk membantu Oma-nya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di dapur.
Semenjak orang tua Ghazwan tiada, ia memutuskan untuk tinggal bersama Oma di Jakarta. Wanita tua yang umurnya kini sudah memasuki 58 tahun itu menatap Ghazwan dengan tersenyum.
"Kamu mau sarapan apa hari ini? Nasi goreng atau roti?" tanya Oma Karin kepada Ghazwan.
Laki-laki itu berfikir sesaat, lalu melangkah mendekati Oma-nya. "Ghazwan, mau sarapan roti aja."
Karin mengangguk paham. "Yasudah, kamu tunggu aja dulu. Biar Oma bikinin."
"Biar Ghazwan bantu."
"Tidak usah, lebih baik kamu duduk saja. Oh ya, gimana sekolah barunya? Bagus kan?"
"Bagus, Oma. Murid-muridnya juga ramah semua."
Oma mengulas senyum lebarnya. Ia mulai mengolesi roti tersebut dengan selai kacang kesukaan Ghazwan. "Nah, rotinya udah jadi. Sekarang makan ya."
"Makasih, Oma," ucap Ghazwan, lalu menikmati roti buatan Karin.
Ditengah-tengah kunyahannya, Karin menatap Ghazwan dengan tatapan sendu. Kening laki-laki itu berkerut melihat ekspresi wanita tua di hadapannya. "Kenapa, Oma?"
"Oma, kangen sama Papa kamu. Minggu depan kita ke kuburan orang tua kamu ya," katanya, dengan kedua mata Oma yang mulai berkaca-kaca.
(◕ᴥ◕)
Ghadira tiba di sekolah dengan diantar oleh Sandy menggunakan mobil yang dinaikinya kemarin. Sandy yang tau bahwa Fia tidak menyukai anaknya berdekatan dengannya pun menyuruh Ghadira menunggu di perempatan jalan.
Entah kenapa Sandy tak ada kapok-kapoknya diceramahi oleh Fia agar tidak mendekati Ghadira lagi. Semakin Fia melarangnya, semakin besar pula rasa pedulinya pada Ghadira. Sandy sendiri tidak tau dengan perasaannya itu.
Semuanya dimulai ketika 2 tahun yang lalu.
Sandy terus berlari dengan sempoyongan, agar dirinya bisa kabur dari para preman yang tengah mengejarnya. Wajah laki-laki itu sudah dipenuhi lebam akibat bogeman yang diberikan preman tersebut.
Dari arah berlawanan ia tak sengaja menabrak seorang perempuan yang membuatnya tersungkur ke belakang. Sandy menggeram marah, ia menatap tajam ke arah perempuan tersebut.
"Kalo jalan liat-liat!" bentak Sandy, lalu tak lama ia terdiam kala melihat perempuan dihadapannya itu memakai kursi roda.
"M-maaf, Kak. Tapi kan-"
"Woi, berhenti!" teriak preman yang semakin mendekat ke arah mereka.
Sandy membelalakkan matanya lebar, ia kemudian mencari tempat persembunyian agar bisa terlepas dari kejaran para preman.
"Kalo Preman itu nanya gue dimana, lo bilang aja gak tau. Awas aja kalo lo ngomong!"
Ghadira yang ketakutan pun hanya mengangguk ragu. Ia menelan ludahnya cepat, lalu berlagak seolah-olah tidak tau apa-apa ketika preman itu menghampirinya.
"Woi, Cil! Bocah yang tadi lari kemana?" tanya Preman dengan badan yang buncit dan rambutnya yang agak keriting.
Ghadira tersentak kaget, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Eum, bocah yang mana ya?"
"Yang tadi nabrak lo! Cepet ngomong! Atau gak-"
"Dia lari kesana!" potong Ghadira, karna takut jika para preman tersebut berbuat macam-macam padanya.
"Gak bohong kan?" tanya Preman itu semakin melototkan matanya.
"Enggak! Dia lari ke sana tadi!" sahut Ghadira, meyakinkan.
Kedua preman itu pun meninggalkan Ghadira, dan berlari ke arah yang ditunjuk oleh Ghadira tadi. Sandy menghela napasnya lega, ketika melihat preman tersebut sudah pergi. Ia segera menghampiri perempuan yang sudah membantunya itu.
"Thanks, udah bantuin gue," ucap Sandy sambil menatap Ghadira dari atas hingga bawah.
Ghadira tersenyum, lalu mengangguk. "Sama-sama, Kak. Yaudah, kalo gitu aku pergi ya. Permisi."
"Eh, tunggu-tunggu," ujar Sandy, seraya menahan kursi roda milik perempuan itu.
Kening Ghadira berkerut. "Apa lagi, Kak?"
Sandy mengusap keningnya yang berkeringat itu. "Nama lo siapa?"
"Aku Lauri, kak."
Sandy membulatkan mulutnya. "Oh ... terus sekarang lo mau kemana?"
"Mau pulang. Memangnya ada apa ya, Kak?"
Sandy belum menjawab, ia berjalan ke arah belakang Lauri dan memegang kursi roda perempuan berseragam SMA itu. "Biar gue anterin kalo gitu."
"Eh, gak usah, Kak. Aku bisa pulang sendiri kok," jawabnya, tak enak.
Sandy tak menggubrisnya, ia mendorong kursi roda Ghadira dengan perlahan-lahan. "Rumah lo dimana?"
Ghadira menoleh ke arah laki-laki itu sekilas, lalu kembali menatap jalan di depan. "Di dekat perempatan sana, Kak."
Sandy mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Lo setiap hari ke sekolahnya kayak gini?"
Ghadira terdiam sesaat, lalu kemudian mengangguk.
"Lo gak capek?" tanyanya, lagi.
Ghadira tersenyum tipis, dan menghela napasnya pelan. "Capek sih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Kalo gak kayak gini, nanti gak bisa sekolah kayak anak-anak yang lain."
Sandy berdehem singkat. "Kenapa gak pesen taksi? Kan gampang."
"Uang jajan aja kurang, Kak. Gimana caranya mau pesen taksi."
"Lo sekolah dimana emang?"
"Di SMA Sanjaya, Kak."
Sandy berfikir sejenak. "Yang deket taman itu?"
Ghadira menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak."
"Lo kelas berapa?" Pertanyaan Sandy membuat Ghadira bingung.
Sandy yang melihat raut wajah Ghadira pun langsung berdecak kesal. "Udah, jawab aja."
"Aku kelas, 10 MIA 3."
Saat pertemuan tak sengaja itu terjadi, keduanya semakin dekat. Itu dikarenakan, Sandy yang selalu saja tiba-tiba datang untuk menjemput Ghadira di sekolah tanpa sepengetahuannya.
Awalnya Ghadira menyuruh Sandy untuk berhenti menjemputnya, tapi laki-laki itu tetap kekeuh. Ia beralasan bahwa dirinya ingin berbalas budi pada Ghadira karna sudah menolongnya.
"Nyokap, tau kalo lo pulang malam semalam?" tanya Sandy ketika selesai menurunkan Ghadira ke kursi roda miliknya.
Ghadira hanya mengangguk lesu. Tadi pagi ia belum sarapan, dan Fia juga tidak memberikannya uang jajan.
"Trus, lo dimarahin?"
Lagi-lagi Ghadira mengangguk, membuat Sandy berdecak marah.
"Ngomong, jangan cuma ngangguk-ngangguk doang. Gak punya mulut lo?"
Ghadira mendengus kesal mendengar ucapan Sandy, ia memutar bola matanya malas. "Iya, aku diomelin sama Mama. Trus juga, Mama gak ngasih aku uang jajan hari ini."
Sandy hanya geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan Mama Ghadira itu. Bisa-bisanya ia tidak memberikan uang jajan pada anaknya sendiri, padahal keadaan Ghadira saja sudah sangat sulit.
Jika tidak ada Sandy, mungkin saja Ghadira sudah harus bersusah payah ke sekolah dengan kursi rodanya itu. Sandy kemudian merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan selembar uang berwarna biru pada Ghadira.
Ghadira mengangkat sebelah alisnya. "Buat apa, Kak?"
Sandy meraih tangan Ghadira dan meletakkan uang tersebut pada telapak tangan perempuan itu. "Ini uang jajan buat lo."
"Gak usah, Kak. Lagian, kak Sandy udah baik mau nganterin aku ke sekolah."
"Udah, ambil aja. Anggap, ini sebagai tanda minta maaf gue karna udah nyuruh lo bantuin gue ngerjain tugas sampe malem."
Ghadira menatap uang yang diberikan oleh Sandy. "Ini kebanyakan, Kak. Sepuluh ribu aja, cukup kok."
Sandy menutup pintu mobilnya dan mendorong kursi roda Ghadira menuju gerbang sekolah. "Ambil aja, jangan banyak bacot."
"Yaudah, kalo gitu gue pergi ya. Lo belajar yang bener, jangan ngapelin guru penjas mulu," ucapnya, sambil terkekeh geli.
Ghadira mencebikkan bibirnya kesal. "Ih, mana ada! Kakak tuh yang suka ngapelin ibu penjual sayur deket rumah aku."
Sandy menatap tajam Ghadira. "Apa lo bilang?"
"Heheh, enggak-enggak."
Sandy menepuk pelan kepala Ghadira, lalu tersenyum. "Yaudah, masuk gih. Gue juga mau ke kampus habis ini."
Setelah itu Sandy masuk ke dalam mobilnya, dan membuka sedikit kaca mobil tersebut agar bisa melihat Ghadira yang tengah melambaikan tangan padanya.
"Hati-hati, Kak."
Ghadira menatap mobil Sandy yang kian menjauh dari penglihatannya. Ia pun segera masuk ke kelas sebelum bel berbunyi.
Setibanya di kelas, terlihat sudah ada beberapa siswi yang datang. Ghadira merasa sedikit aneh, sebab teman sekelasnya menatapnya sambil berbisik.
Ghadira tak menggubris bisikan-bisikan itu, ia memilih untuk pergi ke arah mejanya. Ghadira membelalakkan matanya lebar, kala melihat mejanya sudah penuh dengan sampah-sampah kertas.
"Ups, Mega lo buang dimana tadi sampahnya?" tanya Dara sambil memasang wajah terkejut.
Mega menatap Ghadira yang tengah menatapnya. "Ya ampun, gue kira itu tempat sampah. Ternyata, itu meja lo, Lauri? Sorry, ya."
Ghadira mengepalkan kedua tangannya, ia memejamkan mata sambil terus berucap kata sabar dalam hati.
Sedangkan satu temannya lagi yang bernama Wanda, perempuan itu hanya diam sambil bersedekap dada.
"Maafin temen gue ya, Lau. Temen gue ... sengaja emang hh."
Dara dan Mega tertawa, mereka kemudian meninggalkan Ghadira yang hanya diam dan meratapi nasib.
Wanda yang melihat itu pun hanya menghembuskan napasnya kasar. Ia tak habis pikir dengan kelakuan kedua temannya itu.
"Nih," ucap Wanda, sambil menyerahkan tempat sampah pada Ghadira. "Lo yang sabar aja. Dara orangnya emang gitu," sambungnya, lalu membantu Ghadira memunguti kertas-kertas tersebut.
Ghadira tau, dari mereka bertiga hanya Wanda saja yang masih mempunyai rasa empati. Perempuan yang terlihat galak di luar itu, ternyata juga memiliki sisi baik.
Ini bukan kali pertamanya Wanda membantu Ghadira. Wanda sering kali menolong Ghadira secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Dara.
Setelah semuanya selesai dipungut, Ghadira tersenyum pada Wanda. "Makasih," ucapnya.
Wanda hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan Ghadira untuk menyusul kedua temannya yang pergi entah kemana.
To be continued ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!