"Menikahlah dengan Mas Evan! Mbak mohon sama kamu, Ran! Mbak merasa jika waktu Mbak tidak akan lama lagi. Mbak sudah nggak kuat!" ucap seorang wanita yang sedang terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis dipasang pada tubuhnya.
"Nggak, Mbak. Mbak Rina harus sembuh. Mbak Rina harus kuat!" sahut Rania sang adik yang selalu mendampingi kakaknya yang dirawat di rumah sakit karena kanker payudara.
Hari itu, Rina meminta bertemu dengan adik kembarnya untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Ternyata, Rina meminta kepada Rania untuk menggantikan dirinya sebagai istri dari seorang pria bernama Evan Anthoni. Mereka adalah pasangan suami istri yang memiliki seorang anak laki-laki yang masih berusia 5 tahun.
Namun sayang, takdir berkata lain. Rina harus menjalani operasi pengangkatan payudara karena sel kanker itu sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga membuat Rina menyerah dengan penyakitnya.
Semua keluarga berkumpul saat Rina berbicara kepada adik kembarnya. Begitu juga dengan sang suami, Evan. Pria itu tampak bersedih dan tidak tega melihat kondisi istrinya yang teramat pucat.
"Mas, tolong penuhi permintaanku yang terakhir kalinya. Aku ingin pergi dengan tenang. Kamu dan putra kita adalah kebahagiaanku dan aku sangat mempercayakan kepada adikku untuk merawat kalian berdua. Karena aku sudah tidak mungkin lagi bisa bertahan," ucap Rina yang diikuti tangis semua keluarga.
"Enggak, kamu nggak boleh pergi, Sayang. Jangan tinggalkan aku! Bagaimana dengan Junior? Dia masih kecil. Dia masih butuh kasih sayang darimu," sahut Evan sambil mengusap puncak kepala sang istri.
Rina tidak menjawabnya. Karena nafasnya semakin terasa sesak. Dengan gerakan lemah Rina meraih tangan adiknya dan tangan sang suami. Kemudian Rina menyatukan kedua tangan itu di atas perutnya.
Tentu saja Rania dan Evan terkejut. Bagaimana bisa Rina melakukan hal itu. Sedangkan Rania dan Evan sendiri tidak pernah akur. Keduanya selalu berselisih dan bertengkar, apalagi Evan dan Rania tidak pernah akur.
Mereka sebenarnya adalah musuh sejak SMA. Evan kerap bertengkar dengan Rania karena sifat tomboi Rania yang tidak disukai oleh Evan. Anehnya, justru Evan mencintai saudara kembar Rania yakni Rina yang memiliki sifat lebih lembut.
Hingga akhirnya, Evan memutuskan untuk menikahi Rina dan mereka sudah memiliki seorang anak laki-laki yang masih berusia 5 tahun.
"Sayang, apa-apaan ini! Kamu tidak akan pergi kemanapun. Kamu akan tetap menjadi istriku," seru Evan merengek kepada istrinya.
"A-aku minta maaf kepada kalian. Aku tidak bisa bertahan lebih lama. Aku nggak kuat lagi, aku menyerah dengan rasa sakit ini. Rania, Mbak minta satu permohonan kepadamu sebelum Mbak pergi," ucap Rina yang benar-benar membuat Rania tidak bisa menahan rasa sedihnya.
"Apa, Mbak?" tanya gadis itu dengan suara yang bergetar.
"Berjanjilah padaku, bahwa kamu akan menjaga Junior untukku. Anggap dia seperti putramu sendiri. Dan juga jaga Mas Evan. Mereka berdua adalah harta Mbak yang paling berharga. Kedua harta itu aku serahkan padamu, Ran. Jaga mereka untuk Mbak! Hanya kamu yang Mbak percaya, berjanjilah! Mbak mohon!!" rengek Rina sambil menggenggam tangan adiknya. Adik kembarnya yang bagaikan pinang dibelah dua. Namun, mereka memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Rina yang kalem dan tidak banyak bicara sedangkan Rania yang tomboi dan ceplas-ceplos.
Rania tak mampu menahan tangisnya. Wajah cantik sang kakak kini menjadi pucat pasi, semakin membuat Rania bersedih. Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya dan juga orang tua Evan. Seolah Rania meminta pendapat kepada mereka untuk memutuskan masalah ini.
Mereka, orang tua dan mertua Rina menganggukkan kepalanya dan mengiyakan permintaan Rina kepada adik kembarnya. Setelah itu Rania melihat ke arah sang kakak ipar yang tampak menangis di hadapan istrinya. Meskipun Rania tidak suka dengan pria yang sudah menikahi kakaknya itu. Namun, bagaimanapun juga saat ini Evan dalam kesedihan yang mendalam.
Rania juga melihat sang keponakan, Junior. Yang saat itu sedang dipeluk oleh sang nenek. Bocah turun dari melepaskan pelukan neneknya dan menghampiri Rania yang sedang duduk di samping ibunya.
"Tante, kenapa Tante dan semuanya menangis? Mama juga menangis, Ada apa sih sebenarnya?" tanya bocah polos itu.
"Tidak apa-apa, Sayang! Mama cuma butuh istirahat!" balas Rania sambil mendekap sang keponakan yang masih belum mengerti jika ibunya sedang kritis.
Setelah itu, Junior memeluk sang mama sambil mencium keningnya. "Mama, mama cepat sembuh ya! Junior ingin main sama Mama lagi, sama Papa juga sama Tante Rani. Kita nanti main sama-sama lagi ya, Ma!"
Rina tersenyum menatap wajah putranya. Sambil mengusap wajah Junior. Rina berkata dengan suara yang hampir habis. "Junior! Junior sayang kan sama Mama?"
Junior menganggukkan kepalanya dengan cepat. Kemudian Rina kembali melanjutkan kata-katanya. "Jika Junior sayang sama Mama? Mama pamit mau pulang!"
"Mama mau pulang kemana? Rumah mama sama kita, kan?" sahut bocah itu.
"Tidak, Sayang! Rumah mama tidak di sini lagi. Mama mau pulang ke surga. Kamu di rumah baik-baik sama papa dan Tante ya!"
"Junior ikut, Ma! Di surga kan enak, Ma!"
"Jangan, Nak! Anak-anak dilarang ikut! Allah ingin bertemu dengan Mama. Jadi, kamu tidak boleh ikut. Junior bersama papa, tante, kakek dan nenek saja ya! Junior harus sekolah yang pintar. Katanya Junior ingin jadi seorang hafidz? Nanti, jika Junior berhasil menjadi hafiz pasti Junior bisa bertemu dengan mama lagi." pesan Rina kepada putra semata wayangnya.
"Oh gitu ya, Ma. Iya deh! Junior pingin ketemu mama di surga. Junior harus banyak hafal Al-Qur'an biar bisa berkumpul bersama mama di surga nantinya!"
Sementara Rina sedang berbicara dengan sang anak. Justru semuanya menangis mendengar percakapan ibu dan anak itu. Apalagi Evan yang tidak kuat melihat istrinya berkata seperti itu kepada putranya.
Pria itu memilih untuk sedikit menjauh dan berusaha untuk menenangkan dirinya. Bukan cuma Evan, kedua orang tua Rina dan Evan juga tidak bisa menahan air mata. Seolah pesan itu teramat menyayat hati. Apalagi Junior yang mengikhlaskan permintaan ibu kandungnya untuk pergi untuk selamanya.
"Junior, kamu janji sama mama ya! Kamu harus jadi anak pintar dan soleh." ucap Rani yang mulai merasakan dadanya semakin sesak.
"Iya, Ma. Junior akan jadi anak yang pintar. Junior janji sama mama!" jawab bocah itu tanpa ada drama.
"Jangan bicara seperti itu, Mbak. Kamu pasti sembuh! Kita semua pasti bisa berkumpul bersama lagi seperti dulu!" sahut Rania yang tidak bisa lagi menahan tangisnya.
"Tidak, Ran. Waktuku sudah dekat. Aku tidak punya banyak waktu lagi di dunia ini. Tolong! Penuhi permintaan Mbak untuk terakhir kalinya. Jika kamu sayang sama Mbak dan Junior. Kamu pasti mau melakukannya. Mbak mohon, Ran!"
Rania memejamkan kedua matanya dengan air mata yang terus membanjiri pipinya. Tidak bisa dipungkiri jika Junior sangat membutuhkan kasih sayang ibunya dan ibunya sudah menyerahkan tanggung jawab kepada sang adik kandung.
Rania menghela nafas panjang dan akhirnya demi sang keponakan ia pun menyetujui permintaan sang kakak dalam pesan terakhirnya.
"Baiklah jika itu yang Mbak inginkan. Aku pasti menjaga Junior dengan baik. Mbak Rina tidak perlu khawatir. Junior akan selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarganya. Dia tidak akan kekurangan kasih sayang ibu. Aku yang akan menjadi Ibunya," ucap Rania dengan suara yang terbata-bata. Tentu saja air matanya tidak berhenti mengiringi ucapannya yang terdengar begitu memilukan.
Spontan, Evan menoleh ke arah Rania dengan tatapan nanar. Mereka berdua memang saudara ipar. Tapi keduanya tidak pernah saling menyapa karena Rania dan Evan tidak pernah akur sedari dulu.
"Terima kasih adikku. Akhirnya aku bisa pergi dengan tenang. Jaga mereka berdua untukku!" kata terakhir dari bibir Rina sebelum wanita itu menutup kedua matanya untuk selamanya.
BERSAMBUNG
Sebulan kemudian.
Kepergian Rina benar-benar membuat Evan patah hati. Pasalnya pria itu sangat mencintai kakak kembar Rania. Hanya Rina yang bisa membuat seorang Evan menjadi sosok yang ramah. Pria yang dikenal sebagai pria angkuh itu tiba-tiba menjadi pria yang humble sejak menikah dengan Rina. Tapi tidak dengan sikapnya kepada Rania.
Evan masih bersikap dingin kepada adik iparnya lantaran Rania sudah ia anggap sebagai musuh bebuyutan sejak SMA. Sehingga meskipun Evan sudah menjadi kakak ipar Rania. Tetap saja mereka tidak bisa akrab satu dengan yang lainnya.
Namun, apa jadinya jika mereka dipersatukan lewat sebuah wasiat. Baik Rania maupun Evan tidak bisa menolaknya karena itu adalah permintaan terakhir Rina. Apalagi kedua pihak keluarga juga merestui hubungan mereka.
"Tidak ada salahnya kamu menikah dengan adik iparmu. Lagipula, ini juga permintaan almarhum istrimu, Van! Mama dan papa sangat setuju Rania menjadi ibu sambung Junior." ucap mama Rose kepada putranya.
"Tapi Evan tidak mencintainya, Ma? Apalagi Rania itu ... aduh kenapa sih harus dengan gadis itu!" sahut Evan yang masih dilema dengan permintaan sang istri.
"Memangnya kenapa dengan Rania? Dia cantik sama seperti istrimu, dia juga gadis yang baik," ucap mama Rose.
"Nggak mungkinlah Evan bisa jatuh cinta dengan gadis itu, Ma. Itu nggak masuk akal! Kalaupun Evan bisa sampai cinta sama tuh cewek. Evan bakal habisin nih rambut kepala, botak sekalian!" janji Evan dengan sungguh-sungguh.
Mama Rose tertawa kecil mendengar ucapan dari putranya. "Oke, Mama tunggu janji kamu. Awas saja nanti ya!"
"Lagian, ada-ada saja mama. Mana mungkin aku jatuh cinta dengan dia. Aku cuma mencintai Rina, titik!" gumam Evan yang masih meyakini bahwa dirinya tidak akan pernah bisa jatuh cinta kepada adik iparnya itu.
****
Akhirnya hari pernikahan pun tiba juga. Setelah melalui beberapa drama Evan dan Rania yang masih ragu dengan langkah mereka. Akhirnya, dengan dorongan dan tentu saja permintaan Junior sendiri. Keduanya pun menurunkan ego masing-masing dan bersedia untuk memenuhi wasiat terakhir Rina.
Evan dan keluarganya sudah datang ke rumah mempelai wanita. Iya, hari ini adalah hari di mana Evan dan Rania akan memenuhi wasiat dari almarhum Rina.
Evan terlihat tidak terlalu bersemangat. Sang duda diantar oleh ayahnya pak Raymond dan tentu saja putra semata wayangnya, Junior Anthoni menuju ke kursi penghulu. Meskipun ia tidak bahagia di hari pernikahannya. Demi sang anak Evan harus berpura-pura bahagia.
Sementara itu mempelai wanita masih berada di kamarnya. Rania heboh sendiri dengan dirinya yang sudah di make-up sedemikian rupa menjadi pengantin wanita yang cantik dan manglingi. Rania yang terbiasa tanpa makeup atau bedak sedikitpun. Hari itu ia harus diubah total oleh MUA yang langsung dipesan khusus untuk dirinya. Wajahnya yang semula polos dan biasa berubah menjadi sosok wanita yang cantik dan sangat anggun.
"Mbak Rania cantik banget loh! Saya yakin sekali calon suami Mbak pasti terpesona. Baru kali ini saya mendandani pengantin yang wajahnya cerah bersinar dan manglingi!" puji sang make up artist.
Bu Aisah yang melihat putrinya sangat berbeda. Tak percaya jika putrinya yang terkenal tomboi dan tidak bisa dandan berubah menjadi sosok Cinderella.
"MasyaAllah, ini benar anakku, Rania?" seru bu Aisah takjub membuat Rania menghela nafasnya kepada sang make up artist.
"Tuh kan, Mbak. Ibu aja nggak kenal dengan anaknya sendiri! Udah deh nggak usah pakai ginian segala!" sahut gadis itu sambil mencoba menghapus makeup yang ada di wajahnya.
"Eh jangan dihapus dong! Kamu cantik loh, Ran! Ibu yakin sekali nak Evan pasti pangling lihat kamu. Ibu aja sampai nggak ngenalin anak sendiri. Cantik sekali seperti tuan putri!" sanjung sang ibu yang terlihat senang melihat perubahan putrinya.
“Tapi, Bu. Ini tuh berat banget di muka aku. Nggak nyaman banget,” jawab gadis itu.
"Udah-udah. Ibu sudah bayar mahal-mahal untuk dandanin kamu. Seenaknya kamu hapus, nggak ada! Ayo kita turun! Pengantin pria sudah datang!" ucap bu Aisah sambil mendampingi putrinya untuk datang ke ruangan ijab kabul. Rania terpaksa mengikuti perintah ibunya dengan sedikit memanyunkan bibirnya.
Sementara itu di ruangan ijab Kabul. Evan rupanya menunggu kedatangan mempelai wanita sambil melihat pesan dari ponselnya. Seolah ia sangat tidak peduli dengan suasana di ruangan itu. Sedangkan semua keluarga terlihat serius untuk mengikuti proses akad nikah Evan dan Rania.
Tak berselang lama, Rania masuk ke ruangan ijab kabul. Semua mata tertuju pada mempelai wanita yang terlihat begitu anggun dengan gaun pengantin warna putih. Riasan yang soft membuat wajah Rania terlihat begitu cantik.
"Hei calon pengantinnya datang!"
"Ya ampun, Rania cantik sekali!"
"Bener, pangling lihat Rania. Kayak bukan Rania, ya!"
"Benar-benar pangling!"
Bisik-bisik keluarga dekat yang datang di acara akad nikah itu. Semuanya takjub melihat perubahan Rania yang terlihat begitu jauh. Sangat berbeda dengan keseharian gadis itu yang selalu tampil tomboi. Hari ini Rania begitu cantik dengan balutan gaun pengantin yang membuatnya terlihat lebih feminim.
"Waaahhhh Tante cantik sekali! Pa, Pa coba lihat deh! Tante Rania cantik sekali!" ucap Junior sambil menarik-narik tangan sang papa yang sedang asyik berbalas pesan.
"Apa sih, Sayang! Papa sedang sibuk!" sahut Evan sambil terus melihat ke layar ponselnya.
"Hiiihh Papa lihat dulu dong! Malah lihat hp mulu!" Junior mengambil paksa ponsel yang dibawa oleh sang papa sehingga membuat Evan reflek mengambilnya dari sang anak. Namun, seketika Evan dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita yang sedang berdiri di sampingnya.
Evan melihat kaki wanita itu yang sedang memakai slop pengantin yang sama seperti dirinya. Bukan cuma itu, Evan juga melihat baju kebaya putih pengantin yang dipakainya juga sama persis dengan tuksedo yang dipakainya.
"Masa iya ini Rania? Nggak mungkinlah ini dia. Pasti keliru nih calon pengantinnya!" gumam Evan yang masih tidak percaya.
Karena penasaran, kedua mata Evan perlahan bergerak ke atas. Alangkah terkejutnya saat ia melihat wajah seseorang yang belum pernah ia lihat.
"Siapa dia?" tanya Evan spontan. Sang ibu, Mama Rose mendekati putranya dan berkata. "Ini Rania! Calon istri kamu! Masa kamu nggak kenal?"
"What! Dia Rania?? Masa sih!" sahut Evan tak percaya. Pria itu memperhatikan Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kenapa? Kamu pangling ya lihat kecantikan calon istrimu?" sahut mama Rose sambil tersenyum melihat wajah putranya yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Nggak mungkin dia Rania. Ini pasti orang lain. Rania nggak mungkin kayak gini. Orang mukanya nggak mau nyatu dengan bedak kok!" seru Evan yang masih belum bisa mengakui jika wanita yang ada di depannya adalah Rania.
Melihat itu, Rania pun langsung membalas ucapan calon suaminya dengan cepat.
"Heh! Ini aku Rania, dodol! Kamu pikir siapa? Enak aja bilang mukaku nggak nyatu dengan bedak. Muka kamu tuh yang nggak nyatu sama tembok! Seenak jidat saja ngatain orang!" sahut Rania yang seketika membuat Evan melototkan matanya lalu mengucek kedua matanya seakan tak percaya.
"Hah! Serius ini kamu? Cewek pecicilan bisa jadi kek gini!"
"Dibilangin juga! Emang kenapa kalau pecicilan?" sahut Rania sambil berkacak pinggang.
Kedua orang tua mereka tampak menepuk jidat melihat Evan dan Rania yang sedang bertengkar. Padahal mereka akan melangsungkan pernikahan.
"Hei! Sudah-sudah. Kalian ini bertengkar terus! Malu sama pak penghulu. Sekarang duduk dan segera dimulai akad nikahnya. Kalian pikir pak penghulu ke sini cuma melihat kalian bertengkar! Beliau juga punya urusan lain, heran!" sahut pak Raymond selaku ayah kandung Evan.
Akhirnya, baik Evan maupun Rania duduk di depan pak penghulu dan mereka mulai melaksanakan ijab kabul.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rania Tyas Permata binti Handoko dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 5 juta dibayar tunai!"
Pak penghulu menatap dua saksi nikah Evan dan Rania. Semua orang yang hadir di sana juga menyaksikan sakralnya hubungan pernikahan Evan dan Rania.
"Saahhh!"
Rania mendengar semua orang mengucapkan sah untuk pernikahannya. Kini, statusnya sudah berubah menjadi seorang istri sekaligus seorang ibu dari seorang anak yang juga merupakan keponakannya sendiri.
"Aku akan selalu menjaga amanahmu, Mbak. Aku akan menjaga Junior. Semoga kamu bahagia di surga!" dalam hati kecil Rania. Dirinya masih teringat akan almarhum sang kakak. Mulai hari ini tugasnya semakin berat. Ia harus menjaga seorang bocah yang masih kecil, yakni putra satu-satunya Rina dan Evan. Bukan cuma itu, Rania juga harus menghadapi Evan yang selama ini tidak pernah akur dengannya.
Pada akhirnya dengan satu tarikan nafas, Evan berhasil memperistri mantan adik iparnya demi memenuhi wasiat almarhum sang istri.
Tidak ada senyum dari bibir Evan. Dalam hatinya ia sebenarnya tidak menyetujui permintaan ini. Lantaran desakan dari kedua orang tuanya yang tidak tega melihat sang cucu. Karena Junior terlihat sangat dekat dengan Rania selaku Tante kandungnya. Sehingga kedua belah pihak keluarga segera merealisasikan wasiat Rina.
Tidak ada pesta atau resepsi pernikahan. Pernikahan dilakukan dengan sederhana dan tanpa undangan. Hanya keluarga dekat saja yang menyaksikan pernikahan mereka.
Setelah acara akad nikah selesai. Rania langsung diboyong ke rumah suaminya. Tentu saja saat itu Rania dibawa bersama sang keponakan yang sekarang telah menjadi anak sambungnya.
Selama dalam perjalanan mobil. Rania duduk sambil memeluk Junior yang tertidur di atas pangkuannya. Sementara di sampingnya Evan yang kini sudah resmi menjadi suaminya berkata dengan nada dingin. "Perlu kamu ingat! Aku menikahimu hanya karena wasiat istriku, tidak lebih! Jadi, jangan berharap aku akan menyentuhmu dan menganggapmu sebagai seorang istri!"
Ucapan Evan itu seketika membuat Rania tersenyum smirk. Ia pun membalasnya dengan santai. "Aku tidak akan pernah bermimpi untuk disentuh oleh pria sepertimu. Karena aku tidak pernah berharap mendapatkan suami model kamu! Jika bukan wasiat itu dan Junior. Mungkin kamu hanya sebatas mantan kakak ipar," ucap Rania dengan tegas.
Mendengar jawaban dari Rania. Evan pun menatap tajam gadis itu. "Kamu pikir aku menginginkan pernikahan ini! Aku juga tidak pernah bermimpi untuk mendapatkan istri model kamu. Perempuan kok nggak ada anggun-anggunnya. Jauh sekali dengan kakakmu yang cantik itu. Sayangnya kenapa Rina justru ingin aku menikah denganmu. Ingat! Pernikahan ini hanya sekedar status. Jadi, kamu tidak usah mencoba mendekatiku atau merayuku, faham!" seru Evan dengan serius.
"Hanya status! Well aku akan mengingatnya! Hanya status kan katamu! Lagipula kamu tidak usah khawatir! Aku tidak akan pernah mendekatimu sedikitpun. Dihh lagipula apa untungnya aku mendekati laki-laki songong kayak kamu. Herannya kenapa Mbak Rina bisa cinta gitu sama cowok resek kayak kamu! Kalau aku sih ogah!" sahut Rania kesal.
Evan menyunggingkan senyumnya dan berkata. "Itulah hebatnya Rina. Dia itu berhati lembut pasti tahu bagaimana perasaanku. Nggak kayak kamu! Bar-bar dan sukanya keluyuran sama gengnya Ryan. Cewek kok mainnya sama cowok. Makanya hati kamu itu keras nggak ada kalem-kalemnya kayak Rina!" umpat Evan saat teringat bagaimana pergaulan Rania dulu di sekolah yang suka berteman dengan teman cowok dan itu sangat tidak disukai oleh Evan.
Tak terima Evan berkata seperti itu. Rania pun langsung membalasnya. "Dihhh ngapain juga kamu ikut campur! Bodo amat aku pergi sama siapa? Emangnya situ siapa? Bapak dan ibuku saja nggak pernah melarangku kok. Lah kamu? Hello!!" ucap Rania dengan sinis.
Evan pun akhirnya kesal dengan sikap keras kepala Rania. Pria itu pun menoleh ke arah Rania dengan menunjuk wajah istrinya.
"Kamu tuh dibilangin!!" seru Evan dengan suara keras.
"Apa?" Rania pun membalasnya dengan menatap kedua bola mata Evan yang membola. Kedua mata mereka saling bertatapan. Baru kali ini Evan dan Rania saling menatap. Selama ini mereka tidak pernah saling melihat satu sama lainnya karena Rania dan Evan memang tidak pernah akur. Tapi kali ini, keduanya bertatap mata cukup lama.
Di saat keduanya saling bertatap mata. Tiba-tiba saja Junior yang sedang tidur di pangkuan Rania ikut terbangun. Bocah kecil itu mengucek kedua matanya dan melihat sang papa dan tantenya saling beradu pandang.
"Papa dan Tante ngapain saling melotot?" ucap bocah lugu itu. Mendengar suara Junior, seketika Rania langsung memalingkan wajahnya dan berpura-pura tersenyum. Sedangkan Evan juga terlihat pura-pura sedang melihat pemandangan di luar mobil.
"Oh nggak apa-apa, Sayang! Kamu sudah bangun, Junior?" jawab Rania basa-basi.
“Sudah, Tante! Kalian kenapa saling melotot? Nggak boleh gitu, Pa, Tante. Kata Bu guru nggak boleh melototkan mata ke orang lain, itu jahat namanya,”ucap bocah polos itu menasihati keduanya. Evan pun salah tingkah dan bingung menjawab pertanyaan putranya.
“Emm Papa nggak melotot kok, tadi mata Papa cuma kelilipan dan Tante kamu nggak sengaja lihat iya, kan?” Sahut Evan sambil berkata kepada Rania untuk memperjelas sandiwaranya.
"Oh kena debu! Ya udah, biar Tante eh Mama Rania aja yang bantuin Papa meniup matanya, ayo Ma! Bantuin Papa?" titah bocah itu kepada Rania.
"Hah, kok aku?" Rania terkesiap ketika Junior memintanya untuk membantu sang papa. Sedangkan Evan terlihat panik, apa jadinya jika Rania benar-benar meniup matanya.
"Iya, ayo cepetan, Ma! Kasihan tuh Papa nanti matanya bisa sakit!" Junior memaksa Rania untuk segera meniup mata sang papa.
"Eh Junior. Papa udah nggak apa-apa kok! Tuh udah hilang debunya!" sahut Evan sambil menunjukkan matanya dan berkedip agar sang bocah tidak menyuruh Rania meniup matanya. Namun, baru saja Evan berkata demikian. Tiba-tiba matanya benar-benar terkena debu dan langsung membuat matanya terasa begitu sakit.
"Aduh-aduh mataku!" pekik pria itu sambil mengucek matanya. Sontak Rania menjadi panik melihat Evan yang kesakitan.
"Eh stop jangan dikucek! Nanti bisa iritasi. Sini, aku bantu!" seru Rania sambil membantu suaminya untuk meniup matanya yang kelilipan.
"Eh nggak nggak! Kamu mau apain!"
"Ssssttt diam!" Rania berusaha untuk memegang kepala Evan agar tidak gerak-gerak. Setelah itu dengan sangat lembut, Rania membuka kelopak mata suaminya dan meniupnya pelan-pelan.
Setelah beberapa saat, akhirnya Evan merasakan matanya sudah tidak terganjal lagi oleh debu. Rania melepaskan kepala suaminya dan lagi-lagi mereka saling bertatapan.
"Kamu sudah tidak apa-apa?" tanya Rania dengan menatap kedua bola mata Evan.
Evan menggelengkan kepalanya pelan. Rania pun langsung memalingkan wajahnya dan kembali duduk di posisi semula. Begitu juga dengan Evan yang juga duduk di kursinya sambil menatap ke arah depan.
Suasana dalam mobil itu pun ikut hening karena tak ada percakapan lagi di antara mereka sehingga membuat Junior menoleh ke arah keduanya saling bergantian.
"Haaah papa payah!" gumam bocah itu sambil menepuk jidatnya sendiri.
BERSAMBUNG
Sesampainya di kediaman Evan. Rania turun dari mobilnya sembari menggandeng tangan Junior. Evan berjalan mendahului istrinya. Tanpa berucap sepatah katapun pun pria itu terus masuk ke dalam rumah. Sementara itu Mama Rose dan papa Raymond sangat bahagia dengan kedatangan menantu mereka di rumah.
Mama Rose melihat Evan yang tidak peduli dengan istrinya. Lantas, wanita itu berkata kepada putranya. "Evan! Bawa istrimu ke kamarnya dong! Pasti Rania sangat lelah seharian bertemu dengan keluarga besar kita, gimana sih kamu malah ditinggal!"
"Evan juga capek, Ma. Evan mau istirahat! Jika dia mau istirahat ya udah tinggal masuk saja ke kamar. Masa gitu aja harus ditunjukkan segala. Nanti digituin jatuhnya manja terus!" sahut Evan dengan sinis.
"Evan! Kamu nggak boleh ngomong gitu ke istri kamu. Sekarang Rania adalah istri kamu dan menantu di rumah ini. Jadi, kamu harus bersikap baik kepadanya!" ucap mama Rose.
Rania yang tahu itu. Gadis itu pun berkata kepada ibu mertuanya. "Tidak apa-apa, Ma! Nanti Rania akan pergi sendiri ke kamar. Setelah Rania menemani Junior dulu. Emmm kamar Junior sebelah mana ya?" tanya gadis itu yang masih belum tahu seluk beluk rumah suaminya.
Seketika Evan menjawabnya dengan cepat. "Kamar Junior ada di lantai atas, di samping kamar pintu berwarna putih. Ada lukisan Rina di samping pintu kamar tidurnya. Kamu masuk saja!"
Sejenak gadis itu terdiam dan akhirnya menganggukkan kepalanya. "Oh iya. Baiklah, Rania mau mengantarkan Junior dulu, permisi!" pamit Rania sembari beranjak pergi ke kamar Junior.
Namun, bocah kecil itu sepertinya tidak mau merepotkan Rania. Ia pun menolak untuk diantar ke kamarnya oleh Rania.
"Tidak usah, Ma. Junior bisa pergi ke kamar sendiri. Sebaiknya Mama istirahat saja di kamar papa. Kasihani pasti mama kecapekan pakai baju pengantin itu!" seru Junior sambil menunjuk ke arah Rania yang masih memakai gaun pengantin lengkap dengan slop berhak cukup tinggi.
Rania melihat dirinya sendiri sambil cengar-cengir. "Eh iya, ribet mama jalannya. Mana capek banget pakai sendal ginian!" ucap Rania sambil melepaskan sendal slop pengantin yang ia pakai. Ia sedikit kesakitan karena kakinya lecet terkena gesekan bahan sendal. Apalagi ia tidak terbiasa memakai sendal seperti itu.
Mama Rose yang melihat kaki menantunya yang lecet. Wanita itu segera meminta Evan untuk mengantarkan Rania ke kamarnya.
"Evan! Cepat bantu istrimu ke kamarnya. Ya ampun, kasihan sekali kamu, Nak. Kakimu terluka!" seru mama Rose.
Evan berhenti dan membalikkan badannya melihat sang mama yang sedang memanggilnya. "Apa sih, Ma? Udah biarin aja. Dia pasti bisa berjalan sendiri. Masa, anak cowok kok minta diantar!" sahut Evan yang masih menyinggung soal sifat Rania yang tomboi.
"Evan! Kamu tidak boleh bicara seorang itu! Rania ini istri kamu. Kamu harus bantu dia dong!" ucap mama Rose.
"Ahhhhh udah! Evan ngantuk, Ma. Evan mau mandi setelah itu tidur. Hari ini Evan capek banget!" sahut pria itu yang tetap tidak peduli dengan ucapan ibunya.
Mama Rose menggelengkan kepalanya melihat sikap dingin putranya. Wanita itu pun meminta maaf kepada Rania atas sikap tidak peduli Evan padanya.
"Maafkan Evan ya, Nak. Dari dulu dia memang begitu! Tapi percayalah, sebenarnya Evan itu baik kok!" ucap mama Rose.
"Mamamu benar. Dari dulu Evan memang sifatnya seperti itu. Papa berharap kamu bisa sabar menghadapinya!" sambung papa Raymond.
Rania tersenyum dan berusaha untuk tetap tenang. "Iya Ma, Pa. Rania bisa mengerti, apalagi dari dulu kami memang tidak pernah akur. Jadi, Rania sudah biasa dengan sikapnya yang seperti itu. Mama tidak perlu khawatir!" jawab gadis itu sembari tersenyum.
"Kamu memang gadis yang baik. Mama ingat banget pas dulu saat dipanggil kepala sekolah gara-gara Evan sengaja menaruh permen karet di rambutmu dan kamu nangis. Ya ampun tuh anak dari dulu emang suka berantem sama kamu. Katanya nggak enak kalau nggak gangguin kamu. Haduh! Mama sampai bingung harus menasehati apa sama tuh anak!" ungkap mama Rose.
Rania tertawa mendengar pengakuan dari ibu mertuanya. Tidak seperti Evan yang dingin, mama Rose terlihat lebih kalem dan penyayang sehingga membuat Rania sangat senang bersama dengan ibu mertuanya.
Di saat yang bersamaan, seorang pelayan mengatakan kepada majikannya jika ada tamu yang ingin bertemu dengan mereka. Papa Raymond pun segera menemui tamunya. Setelah itu, mama Rose meminta sang menantu untuk menunggunya sebentar.
"Ya sudah, kamu tunggu di sini! Mama ambilkan obat sebentar!" ucap mama Rose sembari beranjak pergi mengambil obat untuk menantunya.
"Iya, Ma!" jawab Rania. Karena tidak enak lantaran ibu mertuanya pasti akan kerepotan karena dirinya, akhirnya gadis itu pun beranjak untuk pergi sendiri ke kamarnya. Ia terlihat berjalan sedikit pincang karena luka lecet itu cukup menggangu, apalagi ia masih memakai gaun pengantin yang cukup membuatnya susah berjalan.
"Aduh!" rintih Rania sambil berjalan memegangi kakinya. Junior tampak kasihan melihat Rania kesusahan berjalan, bocah itu pun tanpa pikir panjang segera berlari ke kamar sang papa.
"Junior! Kamu mau kemana, Sayang? Jangan lari-lari nanti jatuh!" teriak Rania kepada putra sambungnya.
"Sebentar, Ma. Mama tunggu di situ saja!" seru Junior sambil terus berlari ke kamar sang papa.
Sesampainya di kamar Evan. Junior mengetuk pintu depan cepat. "Pa, Papa! Buka pintunya, Pa!" seru bocah itu dengan nafas ngos-ngosan.
Evan yang baru saja membuka kemeja dan sedang bertelanjang dada, ia langsung membuka pintu saat mendengar suara sang anak.
"Junior! Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Evan yang langsung panik melihat putranya.
"Ayo, Pa! Ikut Junior!"
Junior segera menarik tangan sang papa yang saat itu masih dalam kondisi telanjang dada.
"Eh kamu mau bawa papa kemana? Papa sedang nggak pakai baju, Jun!" sahut Evan sambil menahan tangan putranya.
"Nanti aja pakai bajunya. Ini gawat darurat, Pa!" sahut bocah itu sambil terus menarik tangan sang papa untuk turun dari tangga.
"Gawat darurat??" Evan tampak bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Junior mengajak Evan turun dan menghampiri Rania yang sedang kesusahan berjalan. Sesampainya di lantai bawah. Junior segera menghempaskan Rania dan menyuruh sang papa untuk membantu ibu sambungnya.
"Itu, Pa. Tolongin mama, Pa! Kasihan mama nggak bisa jalan, Pa!" seru Junior sambil menunjuk ke arah Rania yang sedang berusaha berjalan pelan-pelan.
Evan terkejut langsung melihat ke arah Rania yang juga terkejut dengan kedatangannya tanpa memakai baju. Sontak, Rania langsung memalingkan wajahnya karena matanya langsung melihat kondisi Evan yang sedang bertelanjang dada.
"Hah! Papa harus bantu dia?"
"Iya, Pa! Ayo, Pa! Jangan dilihat mulu. Kasian mama!" Junior terus memaksa sang papa untuk membantu Rania ke kamarnya.
"Ta-tapi!"
"Udah nggak usah tapi-tapian. Cepetan, Pa! Lama banget sih!"
"Iya iya, haahhh ada-ada saja!" gerutu Evan sambil mendekati Rania atas permintaan sang anak. Dengan kondisinya yang sedang tidak memakai baju. Evan berkata kepada dengan tidak menoleh ke arah sang istri.
Pria itu tiba-tiba berjongkok dan menawarkan punggungnya untuk Rania naiki. Sontak, Rania terkejut saat Evan tiba-tiba berjongkok dengan membelakangi dirinya.
"Kamu ngapain?" seru gadis itu sembari berjalan mundur.
"Udah jangan banyak bicara! Cepat naik!" titah Evan.
"Naik? Ke situ!"
"Enggak, naik ke genteng! Ya naik ke punggung lah. Cepetan, aku mau mandi!" sahut Evan sambil terus berjongkok menunggu Rania untuk naik ke punggungnya.
Junior pun meminta Rania untuk naik ke punggung sang papa. "Ayo, Ma! Naik aja. Biar kaki mama nggak sakit!" pinta bocah itu.
"Ta-tapi! Papa kamu belum mandi. Pasti bau keringat!" ucap Rania beralasan.
"Udah nggak usah tapi-tapian. Bawel amat sih. Buruan sebelum aku berubah pikiran nih!" sahut Evan yang langsung dibalas oleh Rania.
"Iya iya, judes banget jadi cowok!" sahut Rania yang akhirnya ia pun mulai naik ke punggung suaminya.
Dengan sangat pelan, Rania beranjak untuk naik ke punggung Evan. Ia melihat punggung bidang itu terlihat begitu kuat. Tentu saja ada sesuatu yang membuat Rania tidak nyaman. Apalagi tubuhnya begitu dekat dengan pria yang sangat membuatnya kesal itu.
Di saat Rania sudah berada di atas punggung sang suami. Seketika Evan membulatkan matanya saat ia merasakan ada sesuatu yang terasa mengganjal di punggungnya.
"Shiiit! Sepertinya cukup besar!" gumam pria itu sambil tersenyum smirk.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!