“Ndu, kamu dibolehin kakakmu datang sendiri?” Bang Faris bertanya saat aku baru datang dan duduk.
“Iya, aku nggak bilang sih, Bang. Kalau bilang mana boleh.” Aku meletakkan beberapa makanan ringan yang sebelumnya aku beli.
“Lain kali kalau jauh nggak papa, Ndu, berangkat sama kakakmu.”
Aku mengangguk samar. Aku dan Bang Faris adalah tetangga. Bang Faris pindah tiga tahun lalu sat aku masih kelas 3 SMP. Dia baik, keluarganya juga baik. Aku dan kakakku sering main ke rumahnya. Tidak lupa makan sore kami yang disediakan Tante Hesti mamanya Bang Faris. Tante Hesti punya usaha catering di rumahnya. Kadang kalau dia sedang ada pesanan pasti keluarga kami akan kecipratan makanan-makanan enak. Kadang mama juga pesan untuk pengajian atau arisan.
Berbeda dengan keluarga Bang Faris, keluargaku punya usaha mie ayam dan bakso di daerah Pamulang, satunya di daerah BSD. Papa mamaku sering bolak-balik BSD – Pamulang sedangkan rumah kami ada di daerah Bintaro.
Usaha mie ayam ini termasuk berhasil, karena bisa membuat kami tingal di Bintaro. Walaupun bukan jenis perumahan gedongan di sini cukup ramah dengan lingkungan yang asri juga tetanga yang kebanyakan pengusaha. Walaupun keluargaku cukup sederhana dibanding keluarga Bang Haris, aku cukup bersyukur karena semua kebutuhan bisa tercukupi. Aku nggak merasa kekurangan walaupun kadang aku ingin mama di rumah saja. Sesekali memang mama di rumah, tapi dia lebih suka ada di luar rumah untuk sekedar mengontrol karyawan.
“Enak nggak, Bang, kuliah di tempat jauh?”
“Jauh di mana? Selama masih Indonesia aku belum jauh, Ndu.” Aku tersenyum senang. Aku tahu sebenarnya Bang Faris ingin sekolah di Singapura, tetapi Tante Hesti melarang karena dia adalah anak satu-satunya yang ia punya.
“Aku bisa nggak, ya, masuk UI?”
“Bisa kalau belajar.” Aku menghela napas kasar. Aku bukanlah jenis manusia yang cerdas dan bisa di depan buku lama-lama kayak Kak Dami. Aku suka makan mencoba masakan baru di dapur atau sekedar jalan-jalan sore di taman. Aku tidak suka buku apalagi betah lama-lama di dalam perpustakaan.
“Itu masalahnya, Bang. Gimana caranya kalau aku nggak belajar bisa masuk sana?” sesaat kemudian kami tertawa. Dia pikir aku ini sedang bercanda. Namun, sebenarnya ini adalah kegelisahanku.
“Dami kan pintar, minta ajarin dia saja.”
“Kak Dami hanya bisa pintar untuk dirinya sendiri. Dia benar-benar buruk kalau ngajarin orang lain. Apalagi aku yang diajarin. Seolah taringnya akan muncul dan tiba-tiba bertanduk. Membayangkan Kak Dami ngajarin aku aja udah seram, Bang.”
“Ya, udah gampang! Tinggal cari teman yang suka sama semua hal yang kita juga suka. Pastikan dia pintar juga sabar. Buat ngajarin kamu kayaknya butuh tenaga ekstra, Ndu.”
“Emang masih ada jenis manusia kayak gitu, Bang?” tanyaku ke Bang Faris sambil mendongak melihat ke arah langit, kemudian melihat Bang Faris.
“Lah Abang ini apa, Ndu?” Dia mengedipkan satu matanya. Dasar ganjen, emang.
Aku mengalihkan pandangan, angin sore menyapu wajahku, membiarkan beberapa anak rambut menutupinya. Aku nggak bisa nggak berdebar. Beberapa kali aku mencoba membiarkan, yang ada justru aku semakin terbawa suasana.
“Kita akan pulang jam berapa? Mau makan bakso dulu?” Mendengar kata bakso tubuhku langsung bergerak. Laki-laki yang lebih dewasa memang lebih mudah membuat perempuan usia sekolah sepertiku terbawa suasana. Sekarang bukan lagi yang membuatku tertawa terbahak-bahak, justru membuatku semakin tersipu dengan banyolan has Mas Faris.
Di sepanjang perjalanan menuju warung bakso, kami hanya diam. Keluargaku memang punya warung bakso, tetapi nggak serta merta aku juga sering makan. Di daerah pertokoan dari taman ini belok ke kiri sedikit lalu cari putaran untuk menuju warung bakso itu karena letaknya persis di seberang jalan. Di situlah ada bakso yang lumayan enak. Daripada ke BSD atau ke Pamulang yang jauh, aku lebih suka cari bakso yang dekat rumah saja.
“Abang mau apa?” Aku celingukan melihat buku menu dan lagi-lagi memilih bakso tulang sapi. Yang nikmat dari bakso ini adalah sumsumnya yang bisa disedot pakai sedotan atau disendok.
“Aku mau sama kayak Rindu aja. Sekali-kali makanan kita sama ya kan?”
Aku tersenyum sumringah. Bang Faris ini biasanya pesan bakso keju, tetapi kali ini dia makan pesanan yang sama denganku. Aku tidak bisa tidak tersenyum.
“Minumnya apa, Bang?”
“Apa lagi kalau bukan ….”
“Es teh manis gelas besar!” Kami mengatakan hampir bersaman. Tawa kami mengudara, rasanya aku ingin berlama-lama dengan situasi seperti ini. Kebetulan di warung ini ada dua tipe gelas yang bisa dipesan. Hal ini karena sambel yang disajikan memang sepedas itu. Sambel di sini cocok sekali dengan lidahku yang benar-benar pecinta cabai.
Mungkin sebentar lagi Bang Faris akan lebih sibuk, dia akan sidang dan lulus, kemudian dia akan bekerja atau usaha seperti orang dewasa lain. Aku? Aku ini masih anak SMA yang sedang menyiapkan ujian, juga untuk semester berikutnya. Siswa yang masih bingung akan mengambil jurusan apa, tetapi sudah menyukai orang yang bernama Faris ini.
Aku tidak mungkin bisa mengejar pencapaian dia, dia pintar, senang berorganisasi, juga sangat suka belajar, tipe cowok yang betah berlama-lama duduk di depan buku. Bahkan, karena dia pintar dia juga sering random membaca buku. Berbeda denganku yang mentok membaca komik karena tulisannya sedikit dan banyak gambarnya.
Kalau ada orang yang mirip dengan Bang Faris orang itu adalah Kak Dami. Mereka sangat mirip bahkan jika mereka berdua bareng yang dibahas adalah buku. Aku? Aku adalah orang yang menghabiskan makanan yang ada di depan mereka.
Mereka akan ketawa-ketawa karena takjub dengan sebuah teori atau sesuatu yang membuat mereka berpikir ‘bisa, ya?’. Mereka berdua adalah kelompok orang aneh yang pintar dan gaul.
“Gimana, Bang, enak?” Aku melihat Bang Faris menyeruput sumsum, matanya berbinar, ini jelas sangat enak. Namun, aku ingin mendengar pendapatnya.
“Enak banget. Kayaknya mesti bungkus buat Mama.” Aku tersenyum lebar.
“Abang pikir Tante Hesti nggak pernah makan ini?”
“Mama kan jarang jajan di luar karena di rumah selalu banyak makanan.”
“Ini rahasia, ya, Bang.” Aku merendahkan suaraku biar Bang Faris semakin penasaran.
“Ada apa?” Wajahnya terkejut, mungkin dia pikir mamanya ada masalah atau rahasia yang benar-benar ia tidak tahu.
“Tante Hesti pernah ngajakin aku ke sini. Kami makan menu ini. Dan dia takjub dengan rasa sumsumnya.”
“Serius? Abang baru tahu, Ndu!” Dia juga berbisik, sedetik kemudian kami tertawa terbahak-bahak. Rupanya Bang Faris baru sadar bahwa mamanya sering makan di luar, bahkan dengan anak orang lain bukan anaknya sendiri.
______________
Halo, aku Ah Reum. Salam kenal, ya, semua.
Ini cerita pertamaku di sini, semoga semua suka dan menikmati.
Apa kabar hari ini? Semoga selalu sehat, ya. Kalau kamu hari ini sedih nggak papa. Sedih itu masih manusiawi kok, semoga setelah sedih kamu bisa lega, dan menemukan jalan keluar.
Semangat hari ini 🥰
Pagi ini aku sengaja berangkat pagi. Entah mengapa rasanya sesak kalau berangkat terlalu mepet. Karena jarak rumah ke sekolah sekitar 20 menit jadilah aku berangkat pukul 05.43 masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya tidak jauh.
Di perumahanku ini, di setiap komplek pasti ada taman juga danau yang difungsikan untuk menampung air hujan supaya tidak kebanjiran. Juga pohon-pohon besar yang sangat rindang. Apalagi kalau di pagi hari tempat ini menjadi pusat olahraga. Ada yang berlari, berjalan, bahkan bersepeda. Udara di sini lumayan sejuk dibanding Kota Jakarta, walaupun sudah banyak apartemen dan gedung bertingkat, di sini tidak terlalu panas.
Aku berangkat diantar Kak Dami kali ini. Biasanya ayah akan mengantarku, karena terlalu pagi, ayah menyuruh Kak Dami untuk mengantarku. Jadilah aku duduk di samping Kak Dami yang sedari tadi ngedumel karena aku berangkat pukul segini.
“Kak, mampir beli bubur ayam di pertigaan boleh nggak?” Aku berkata dengan pelan karena takut-takut tanduk dan taring Kak Dami keluar.
Benar saja, dia memutar bola matanya, kemudian mendengus tanda malas, “Lo kan udah sarapan, Ndu. Karet banget sih punya perut."
“Cuma roti, Kak. Bakal habis pas pelajaran pertama. Fisika pula.” Mengingat pelajaran yang pertama Fisika, rasanya ingin balik pulang saja. “Fisika loh ini, Kak. Mau, ya?” Aku memelas di samping Kak Dami.
Setelah rayuanku berhasil, Kak Dami membelokan mobilnya ke kiri, kemudian tepat setelah belokan itu ada warung bubur ayam yang enak banget.
Di sinilah kebahagiaanku pagi ini. Menikmati sarapan dengan makanan yang enak dan murah. Walaupun tadi Kak Dami kesal karena aku ajak kek sini. Namun, tetap saja, dia memesan bubur ayam lengkap dengan satai telur puyuh dan emping. Kalau aku memesan tanpa kacang, Kak Dami memesan komplit. Saat pesanan kami tiba, aku bergidik ngeri melihat cara makan Kak Dami. Bayangkan saja, dia mengaduk semua yang ada di mangkuk, kemudian mengambilnya dengan sendok. Apa enaknya mengaduk bubur dengan tampilan mengerikan seperti itu?
“Kak, udahan apa! Jangan diaduk terus seperti itu.” Aku ngedumel sendiri, “jijik tahu lihatnya!” aku setengah berbisik supaya tidak ada yang terganggu.
“Kenapa? Kalau jijik nggak usah makan. Sono aja di mobil!” Dia merasa sudah membalas kekesalannya padaku.
Aku menghela napas kasar! Tidak akan berguna terlalu kesal dengan orang cerdas, caranya balas bisa lebih nyebelin dibanding yang membuatnya kesal.
Kadang aku bingung, sebenarnya siapa yang saudaranya. Kak Dami selalu baik dengan Bang Faris apa pun yang membuat kesal Kak Dami seperti dia kalah debat atau kesal karena Bang Faris telat jemput, dia akan biasa saja. Namun, berbeda denganku. Sekali aku membuatnya kesal, dia akan melakukan apa yang aku nggak suka. Seperti sekarang ini. Aku selalu jijik lihat orang makan bubur diaduk seperti itu, apalagi ini tepat di depan mataku. Kalau saja ini bukan kakakku udah aku bungkus kresek pakai karet dua.
“Lo kan yang bayar kan, Ndu? Gue nggak bawa duit.” Sekali lagi balas dendam yang sempurna. Untung kakakku kalau bukan ….
***
Sampai di sekolah, murid lain sudah ramai berdatangan Pak Bambang guru piket hari ini nampaknya sudah berjaga di depan gerbang. Tugasnya adalah menertibkan anak-anak yang masuk ke sekolah dan menutup gerbang saat pukul 07.00 tepat.
“Kenapa lo?” Tiba-tiba sudah ada Andi di sebelahku. Andi adalah salah satu murid di kelasku, wajahnya yang tampan dan suka banget motor bikin siswa perempuan kelimpungan. Bukan hanya itu dia lumayan pintar karena masuk sepuluh besar di kelas.
“Kesel sama kakak gue.” Aku menjawab sambil berjalan, tanpa melihat mukanya.
“Kenapa?”
“Makan bubur ayam diaduk.”
Setelah itu, tawanya pecah sampai-sampai menjadi pusat perhatian. Aku yang di sampingnya bukanya ikut ketawa, tapi malah malu setengah mati.
“Lo gila?” Aku kesal karena tawanya tak kunjung reda, bahkan matanya berkaca.
“Ya Tuhan, nangis gue, Ndu.”
“Diem nggak lo. Gue tinggal pergi juga nih.”
“Iya … iya … sorry! Abis lo lucu, lihat manusia macam lo kesal Cuma gara-gara lihat orang makan bubur diaduk.”
“Catat! Dia kakak gue, lo bayangin, gue berangkat pagi biar otak gue seger, karena jam pertama Fisika, gue mau bubur dulu. Gue nggak tahu kakak gue bakal gitu sama gue pagi-pagi.”
“Kenapa sih emang?”
“Jijik!”
Bukanya diam, Andi masih saja pamer tawanya. Aneh banget emang, dia adalah jenis manusia kalau aku kesal dia senang. Kutinggalkan saja dia di koridor sekolah dan membanting tasku kesal begitu sampai di meja.
Beberapa orang melihatku sebentar, kemudian melanjutkan lagi kegiatan mereka. Ada yang review pelajaran sebelum mulai kelas, membaca komik, scrolling toktok, bahkan ada yang selfie-selfie buat story hari ini.
Aku menutup mata sebentar, sepertinya hariku kali ini tidak sesuai ekspektasi. Masih pagi saja banyak yang membuatku kesal, apalagi nanti agak siangan. Aku masih berharap siang nanti mod bahagiaku kembali lagi.
Lord Agus, bapak guru yang mengajar Fisika sudah bersuara di depan pintu, padahal bel masuk kelas masih dua menit lagi. Mau nggak mau aku akan mengeluarkan buku dan alat tulis lainnya. Karena Lord Agus ini amat sangat disiplin sekali. Tipe laki-laki yang masih lajang dengan potongan rambut cepak, tidak lupa kacamata yang membuat Lord Agus begitu menawan kalau saja dia tidak suka ulangan dadakan sat di kelas yang membuat siswa-siswa macam aku ini hanya mendapatkan B- bahkan kadang C.
Sat bel berbunyi Lord Agus duduk di kursi guru, tiba-tiba Andi datang dan duduk di depanku. Ada apa anak ini tiba-tiba pindah?
“Kenapa? Nggak suka gue di sini?” tanyanya tiba-tiba dengan suara rendah.
“Gue lebih nggak suka kalau lo berisik!” Gue memang kesal karena pagi tadi dia membuat gue dilihatin banyak manusia.
“Hobi gue buat bikin lo kesal, Ndu.”
“Kurang kerjaan! Belajar sono!”
“Nggak kebalik? Gue udah pintar, Ndu.”
“Jangan rese, Ndi!”
“Ya, gimana, lo cantik kalau lagi kesel!”
Setelahnya aku diam. Suara Lord Agus membuat kami semua melihat papan tulis, sekali-kali mataku melihat buku, dan mencatat yang penting. Walaupun aku belum paham benar, bukan … walaupun aku tidak mengerti apa yang disampaikan tetap saja, beginilah jadi murid. Jangan bikin banyak masalah kalau otakmu pas-pasan. Aku akan memegang ini, minimal tidak begitu menonjol biar guru tetap ngasih nilai minimal B supaya aku bisa lulus.
Aku juga tidak gentar kalau ada teman laki-lakiku yang mengatakan kalau dia suka. Cukup makanan-makanan enak dan Bang Faris saja yang membuatku gentar, yang lain jangan.
_____________
Halo, semoga semua suka sama cerita ini, ya. Selamat membaca, semoga jantungmu berdebar setelah kenalan sama mereka.
Jangan lupa rindu, ya. Boleh sama siapa aja, asal bisa membuatmu bahagia.
Love,
Ah Reum
Danau sore ini begitu ramai, aku sengaja datang dengan menggunakan sepeda. Karena niatku sekedar jalan-jalan sore. Tidak lupa aku membawa beberapa camilan yang aku letakan di keranjang depan. Sepeda dengan warna orange ini sangat mencolok dibAndingkan sepeda lain yang kebanyakan berwarna hitam atau putih.
Aku tiba di dekat tempat parkir sepeda, kemudian berjalan sebentar menuju bangku kosong. Aku melihat banyak manusia lalu lalang dengan botol dan earphone di telinga. Mereka joging dengan bahagia. Ada pula yang duduk santai sambil membaca buku.
“Orang-orang pada rajin-rajin amat, ya?” Aku bergumam sebelum memasukan keripik kentang ke dalam mulutku.
Di ujung danau juga ada beberapa anak seusiaku sedang joget-joget viral. Ada pula yang hanya melamun sendirian.
“Aku yakin beberapa di antara kami sedang dalam masalah atau kebingungan mengambil langkah untuk hidup. Tapi ada nggak, ya, yang kayak aku? Bukan bingung tapi nggak tahu apa yang dibisa? Apa yang disuka? Mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa? Sedangkan mama menyerahkan semua ke aku. Aku hanya makanan tanpa bisa masak sebaik yang aku makan.
“Ndu!” Aku menoleh mencari sumber suara. Aku tidak menemukan siapa pun yang kiranya kukenal, tetapi suara tadi seperti memangil namaku, atau ada Rindu yang lain di sini.
Aku membuka snack, memakannya sambil berjalan mencari rerumputan yang lengang. Aku tahu tak seharusnya aku di sini membuka bungkus snack alih-alih membuka buku untuk persiapan masuk kuliah.
Sambil memakan snack, aku mengambil ponsel, membidik beberapa pemandangan dan manusia lalu lalang untuk aku jadikan story whatsapp. Apalah dayaku yang pergi sendirian, nggak mungkin banget aku selfie.
Tiba-tiba ada yang merangkulku dari belakang, kemudian membidik beberapa gambar dengan ponselnya.
“Lo apa-apaan sih?” Mataku kesal menatap Andi yang cengengesan karena berhasil membuatku marah.
“Lagian dipanggil dari tadi pura-pura nggak lihat.” Dia menjawab dengan tetap memerhatikan ponselnya.
“Kalau gue lihat lo, gue bakal nyuruh lo ke sini dari tadi.
“Kenapa? Kesepian? Lagian ke sini sendirian.” Iya, juga. Aku memang sendirian ke sini kadang sama Kak Dami atau Bang Faris saja. Itu pun nggak mesti sebulan sekali.
Andi meletakan roti yang masih hangat di pangkuanku. Aku hanya melihatnya, kemudian menatap Andi bermaksud menanyakan untuk apa.
“Dimakan, Ndu. Masih anget. Lo kan suka makan, makanya tadi gue nyari makanan dulu biar lo betah ngelamun.”
“Tumben lo baik? Makanya lo tadi ngagetin gue, merasa bersalah kan lo, makanya ngasih gue roti.”
“Nih anak nggak percaya.”
Dia memakan beberapa roti dengan cepat, terlihat enak kalau yang makan Andi. Aku yang masih menimangnya, lalu memutuskan untuk membuka satu untuk kumasukkan mulut.
“Enak, Ndi. Lembut banget, ya.”
“Enak, kan?"
“Iya.”
Andi sudah selesai dengan rotinya, sedangkan aku masih menikmati segigit demi segigit. Roti yang lembut dengan bungkus sederhana ini membuatku merasa lebih tenang. Bahwa, setiap bungkus kadang tidak memengaruhi apa yang di dalamnya, bahkan roti sederhana tanpa merek ini pun enak juga kalau dinikmati benar-benar. Rasanya lebih dari harga yang harus dibayar.
“Lo mau kuliah ke mana, Ndi?” tanyaku tiba-tiba.
“Nggak tahu, lo mau ke mana?” Dia malah nanya balik. Aku tahu pasti orang pintar kayak dia sudah menulis planning apa saja yang harus dikerjakan atau tujuan apa yang harus dicapai.
“Gue nggak tahu mau kuliah di mana, Ndi. Gue bingung bukan karena orang tua gue nggak mampu bayar kalau kuliah di kampus bonafit, tapi lebih ke otak gue, nyampai apa enggak. Gue kayak nggak boleh berekspektasi terlalu tinggi biar gue nggak sedih sat nggak diterima nanti. Gue takut kecewa, Ndi.”
“Emang lo udah pernah nyoba? Kalau belum, ngapain takut?” Aku mendelik kesal, dia nggak tahu sejongkok apa otak gue dibanding Kak Dami, atau dibanding dia yang jarang belajar tapi tetap saja pintar.
“Diem aja deh lo, nggak tahu orang lagi bingung sedih gini, malah gitu. Lo sih, bisa tanpa belajar pun tetap aja masuk ke kampus yang lo mau.”
Dia menatapku sebentar, kemudian tangannya terulur, dia mencubit pipiku yang membuat beberapa orang melihat ke arahku.
“Jadi ini yang buat lo gelisah? Hm?” Tangannya belum terlepas, walaupun aku sudah berusaha melepasnya.
“Lo tuh, ya!”
Aku berdiri dengan kesal, beberapa detik kemudian aku menginjak kakinya yang membuat dia tertawa alih-alih kesakitan.
“Iya, iya sorry. Sini aja dulu. Ngapain sih buru-buru?”
Aku meminum air mineral yang ada di keranjang sepeda, kemudian duduk kembali dengan botol; yang masih ada di tangan.
Terkadang aku berpikir kenapa di hidupku ada jenis manusia-manusia aneh yang usilnya luar biasa. Aku berpikir Kak Dami aneh, begitu juga Bang Faris, apalagi Andi kalau lagi ada di sekolahan. Semua yang dia lakukan bikin aku nggak punya banyak teman. Dia sering melakukan sesuatu tanpa ia berpikir di mana posisiku.
Jangan salah paham! Aku sama sekali tidak menyukai Andi. Aku hanya gelisah kalau aku punya musuh di antara manusia yang sering kutemui. Itu semua membuatku nggak nyaman. Terkadang aku memilih membawa bekal daripada makan di kantin dengan beberapa teman kelasku. Bukan karena makanan kantin tidak enak, tetapi karena malas mendengar beberapa mulut berbisik-bisik tentang aku dan Andi.
Aku sudah mengatakan ke Andi kalau dia harus jaga jarak denganku, jangan sampai semua orang salah paham dan membenciku karena dari semua perempuan, dia hanya dekat denganku. Kebanyakan temanya adalah laki-laki normal seperti teman laki-lakiku yang lain.
Katanya ini hidup dia, kenapa aku harus mengaturnya mau berteman dengan siapa, mau ngapain, mau dekat dengan siapa.
Aku terdiam sat itu tanpa lagi menanyakan hal yang sama, yang pasti akan berakhir dengan jawaban yang sama seperti yang aku katakan barusan.
“Ndu, lo mau gue temenin?” Tiba-tiba Andi memecah keheningan.
“Hm, apaan?” Aku yang baru sadar dari lamunan bertanya lagi takut salah dengar.
“Lo mau gue temenin?”
“Ke mana? Pulang aja nggak papa, gue juga biasa di sini sendiri, kok.”
“Lo mau gue temenin. Lo mau kuliah di mana, gue bisa temenin lo di kampus yang sama. Kalau lo mau, lo mau pilih fakultas atau jurusan apa gue bisa nemenin lo. Gue nggak masalah di mana gue kuliah.”
Aku terdiam, seolah ada satu manusia yang benar-benar mendukungku tanpa menghakimi apa pun.
“Lo sadar, kan?”
“Menurut lo, gue bisa seserius ini kalau gue lagi mabok?”
Setelahnya mata kami hanya beradu, tanpa kata, hanya suara obrolan orang lain, langkah kaki, dan angin yang membelah di sela-sela pepohonan.
____________
Halo, semoga suka, ya. Gimana sudah berdebar? Tunggu terus update nya, ya. Terima kasih sudah support 😍
Love,
Ah Reum
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!