NovelToon NovelToon

Confidence

Flamingo 1

...•o•...

          HARI ini adalah hari Senin. Seperti biasa cuaca terik, mendung tak berair. Berasa hidup di bulan-bulan awal lagi musim panas. Harusnya daerah Jakarta hujan, agar tidak kekeringan tapi sayang juga bila kebanjiran yakni sebaliknya. Tapi ada bagusnya, mungkin para limbah menekis di aliran sungai yang kering. Bau dan bisa menyebabkan kutu-kutu hiu hidup di daratan. Infeksi kuman bisa membuat banyak pengobatan dan biaya. Betapa Indonesia ini butuh perubahan ekstrem. Mungkin dengan cara inverter dan intelegensi, yakni membuang sampah pada tempanya dan membuang limbah pada tempat yang benar.

Sebaiknya para pelajar melakukan interaksi sosial pada daratan rendah misal ; melakukan penelusuran terhadap asal-usul limbah pabrik di daerah Jakarta mungkin.

Sekarang sudah masuk bulan Juni. Sudah saatnya habis liburan, dan sibuk dengan materi-materi yang makin susah dari Oktober lalu. Itu untuk para pelajar sederajat dan SMA dan SMK. Pastinya bulan ini membuat kepala pusing, sudah mulai masuk materi berangka aljabar dan kuadrat.

Para pekerja dan orang tua ikut prihatin, dengan aturan sekolah modern adanya full schooling. Pastinya kegiatan di sekolah sangat melelahkan, sudah seperti para pekerja saja. Meski mending para pekerja di kasih upah. Sedangkan sekolah tidak sama sekali, tapi dijanjikan pekerjaan yang layak. Bisa dijadikan sebagai bekal kuliah dan hidup nanti. Be your fun!

Dengan begini siapa tahu suatu saat nanti, Indonesia Kita bisa jadi pengusaha dunia.

Dibalik tirai yang warnanya peach , di atas gedung bertingkat nasional, ada seorang cewek yang sedang membaca status wilayah dan curah hujan daerah Jakarta. Ia bukan orang Jakarta asli. Hal begitu baginya lumrah. Padahal kondisi cuaca di daerah asalnya lebih berbobot. Tapi ia sudah tinggal dan kerja disana. Sehingga peduli terhadap lingkungan sesama tinggal itu penting.

Lagi pula profesi yang ia geluti di Jakarta tersebut, seorang dokter ahli dalam. Bisa dikatakan ia pintar dan orang yang mampu tinggal di Jakarta. Padahal kota aslinya tidak sama sekali sama dengan Jakarta. Dapat dikatakan wilayah kampung. Adanya di Jawa Barat, namanya kota Tanggerang. Kota dengan ribuan pabrik itu, tersohor karena pegawai-pegawai pabrik yang menjadi pusat pencarian uang.

Banyak dari luar jawa ke Tangerang, banyak pula sebaliknya. Terkadang memang budaya lebih kuat, ketibang ilmu yang mengapit satu sentimen yakni hasil.

Namanya adalah Jamila Aling. Ia adalah gadis dengan mata sipit . Dan kedua tulang pipi wajah ke depan. Dengan dagu lonjong, dan irisan pipi yang tirus yang berwarna merah. Memang cantik, mirip ayahnya. Keluarganya yang hanya orang-orang miskin dengan penghasilan rendah. Mereka tidak bermimpi punya anak doktor, sebab keturunan siapa dengan pangsiunan berjuta-juta gitu. Tapi orang tua ayahnya adalah dokter yang kaya. Jamila tak sempat tahu, karena mereka merasa malu mempunyai anak yang miskin.

Sudah berkali-kali sang tante Jamila menelpon dari Tangerang, dia mewanti-wanti. Aling, cari dokter yang kaya bukan ganteng saja. Kita ni, Tangerang koe harus punya dewek yang beke!

Tapi Jamila hanya diam bahkan sudah enggan mendengar. Dijawab dengan alasan rindu pada tante. Rasa-rasanya perasaan rindu pada Tangerang, menyiratkan luka pada tragedi masal itu. Be loved dad, i miss you!

Ia lalu membaca berulang-ulang sebuah surat, yang akan membuatnya lebih berbobot tinggal di Jakarta. Dari dokter klinik menjadi dokter bedah di rumah sakit suasta berkualitas internasional. Memang nyatanya ia selama satu tahun berpenghuni di Jakarta,

di sebuah rumah biasa hanya sebagai dokter klinik 4 tingkat.

Begini judul atasnya, Surat Keterangan Penerimaan Kerja. di lampiran berikutnya ada judul baru, Persetujuan Antar Piaway Keterangan Pekerjaan. Ada tanda tangan - tanda tangan besar dari staff-staff dan pemilik rumah sakit. sehingga hanya butuh tanda tangan Jamila sebagai penyempurnaan, dan Jamila sukses kerja di rumah sakit. Dengan sarat satu tahun menjadi asisten, ia dikontrak hingga 5 tahun ke depan.

Maka dibubuhkanlah tandatangan itu. Semoga dapat menembus seluruh biaya sekolahnya pada orang tua dan orang-orang terdekat, juga yang membantu hingga membimbing dan menemani. 

🐨 🐨

Beberapa tahun yang lalu

Jamila tersenyum kecut ketika ia melihat hasil ulangan akhir semester pelajaran IPA kesukaannya dengan angka, 80. Sejauh ini apa tidak ada yang lebih dari angka 80 untuk dipilih. Maka dari itu ia sangat kesal dan tak bisa sedikit saja bersyukur atas nilai tersebut. Haruskah ia belajar hingga subuh, agar nilainya berubah angka menjadi 100. Kalau begini saja ia tidak akan pede dengan try-out. Ia bahkan mengharapkan SPP. Harap tiba-tiba semua siswa Indonesia bodoh kecuali Jamila, mungkin ia akan kebagian. Meskipun begitu tetap dalam hatinya, ia akan tetap mengejar-kejar-kejar sampai terlunaskan.

Kemudian datang seorang cowok ke bangkunya, di sekolah SMA 2 Tangerang tersebut. Sebab Jamila sekolah di sana. Ini adalah tahun detik-detik terakhirnya menginjak sekolah ini. Sosok itu adalah mantan ketua OSIS, sekaligus orang yang dekat dengan Jamila selama satu tahun sekolah di sana. Prestasinya sangat membanggakan. Membuat kadang kala Jamila iri padanya. Selama di sekolah Jamila memang selalu duduk diantara dua dan satu. Semester kemarin ia di tiga. Itu zonk tiba-tiba drop karena masalah keluarga.

Mantan ketua OSIS yang namanya Ferdi inilah salah satu musuh beratnya, selama sekelas dengannya di kelas tiga IPA 2 ini.

Semester ini Jamila rangking satu, menurut nilai rapot. Masih kira-kira sih.

"Jem, kok malah di dalam kan istirahat ke luar, yuk!" Ajak Fendi sambil duduk di sebelah Jamila. Tapi tangannya terulur untuk mengajak Jamila ke luar. Jamila tersenyum polos, sambil menggeleng tidak mau. Ia merasa tidak enak badan, merasa nyaman di kelas, mungkin karena panas di luar.

"Kamu kenapa bisa pucet gitu?" Tanya Fendi membuat Jamila memegang keningnya sendiri.

"Mungkin karena nggak enak badan Fen, nggak usah khawatir." Jawab Jamila. Membuat Fendi geleng-geleng. Kemudian ia mengeluarkan air mineral, agar Jamila meminumnya. Dengan maksud dapat meringankan nggak enak badannya Jamila. Siapa tahu dia belum makan atau minum sedikit saja.

Jamila tersenyum polos, kemudian menegaknya dengan malu-malu kucing. Kemudian ia bersitatap dengan Fendi, ketika pria itu dengan perhatiannya memegang kening Jamila memastikan gadis itu baik-baik saja. Gadis yang berusia 17 tahun sama dengannya. Perlahan senyum Jamila terbit kagum, karena Fendi adalah ketua OSIS yang punya banyak penggemar ,sebab ketampanan dan karisma yang susah dihilangkan dari semua cewek di sekolah. Tapi Jamila tak merasakan apa-apa, meski kadang ia pula menyadarinya. Perhatian kecil ini mungkin dapat membuat para penggemarnya berbebar. Jamila merasa bersalah, sebab tak membaginya selama bersahabat dengan Fendi.

"Kamu mau materi dimana buat try-out Jem?" Tanya Fendi, perhatian lagi. Membuat Jamila teringat pada materi yang belum terselesaikan, dalam hati ia bersyukur karena Fendi mengingatkan.

"Aku dimana yak, aku nggak tahu abisnya aku nggak punya uang, Fen." Jawab Jamila polos membuat Fendi tersenyum ringan.

"Kita bimbel bareng aja, di rumah aku, bisa kok." Kata Fendi membuat Jamila tersenyum riang. Lantas ia berjingkat karena terlanjur senang. Kemudian ia mengangguk sambil menjawab.

"Siap." Dengan lantang.

•o•

Flamingo 2

...•o•...

             PADA akhirnya Jamila sampai pada rumahnya Fendi. Jamila menatap struktur rumah dengan perasaan malu, sebab ia baru kali ini belajar di rumah Fendi. Jamila memang punya sikap yang pemalu. Dari tadi ia hanya memandang Fendi dan rumah secara bergantian, mengeja perasaannya agar tidak mudah terbawa suasana. Kepribadian yang sudah dewasa membuatnya berpikir secara naratif dan sastra.

Fendi melihat aura-aura yang terpancar dari wajah Jamila, sehingga ia dapat membaca apa yang Jamila pikirkan. Fendi sejauh bersahabat dengan Jamila, dia pria yang baik dan tidak mudah dilahap emosi. Ia punya banyak masalah dengan berandalan sekolah, entah itu masalah perebutan pacar hingga kasus perselingkuhan. Sebenarnya Jamila tidak tahu apa-apa meski sering kebawa-bawa. Bahkan nama dari gadis-gadis itu Jamila tidak tahu, mungkin ia mendengar tapi lupa dibawa angin.

Kata Fendi pada Jamila, "Jem, tenang saja kali!" Membuat Jamila tersenyum merah merona karena malu, ketahuan berpikir kritis.

"Di dalam nggak ada siapa-siapa kok." Kata Fendi sambil menepuk bahu Jamila dengan halus.

"Kenapa? Kok bisa nggak ada gitu?" Tanya Jamila heran. Ada bagusnya bila ada penghuni selain Fendi, siapa tahu mereka difitnah hal-hal yang nggak benar. Meskipun dalam hati Jamila berharap itu tak akan pernah terjadi.

"Nggak ada. Biar leluasa." Jawab Fendi membuat Jamila cemberut. Tapi ia tetap ingin belajar. Ia berdoa dalam hati agar sesuatu hal buruk tak menghampirinya.

Jamila dan Fendi masuk rumah yang tadinya di kunci. Di rumah tersebut banyak pas foto Fendi dan keluarga. Juga ibundanya dan ayahnya. Menandakan bahwa Fendi benar-benar pemilik rumah ini. Rumah besar dengan dinding besar dan pencahayaan minim ini sangat cantik bila diperhatikan. Jamila merasa iri karena rumahnya besar. Rumah Jamila tidak sebesar ini.

Jamila duduk di kursi, lalu di susul oleh Fendi yang selanjutnya akan ganti baju seragam menjadi santai.

"Kamu tunggu di sini. Jangan kabur nggak ada hantu kok. Mau bawa laptop juga." Kata Fendi membuat Jamila tersenyum malu-malu lagi. Kemudian Fendi berlangsung pergi ke kamarnya.

Jamila menatap kursi dengan perasaan resah, tiba-tiba menyerangnya ketika masuk rumah. Ia berpikir, mungkin karena kedap udara. Tapi tak bisa menghilang. Dalam hati ia sadar bahwa ada hal yang tak baik di rumah ini. Apa mungkin ada hantu. Jamila menggeleng tak bisa menebak. Lalu ia berpikir orisinil, mungkin karena baru datang. Lalu ia membuka tasnya untuk membawa barang-barangnya untuk belajar. Ia butuh belajar untuk try-out nanti.

Fighting!

Ia membaca lembar mapel IPA yang sempat diulangankan tapi gagal total. Yang nilai 80 itu. Jamila berusaha menoliir mana letak salahnya dan letak benarnya. Ia juga berusaha memahami tiap inci dari penjelasan, dari awal hingga akhir. Ia ingin try-out nanti IPA dengan sistem peredaran darah ini membuat gemilang, tidak seperti ulangan.

Kemudian terdengar bunyi decitan pintu ditutup, lalu kehadiran sosok Fendi menggagalkan aksi Jamila yang akan melingkari rumus pada buku mapel itu. Fendi tersenyum ringan ketika Jamila menoleh, menampakan senyum indah nan ganteng darinya. Jamila pasti rindu dengan senyum itu bila nanti ia kuliah atau kerja.

Setelah ini apa mereka bisa bertemu? Pikir Jamila dalam hatinya.

"Kita belajar apa dulu?" Tanya Fendi.

"IPA dulu." Jawab Jamila. Lalu Fendi membuka lembaran detik-detik pelajaran IPA.

"Kamu butuh apa Jem?" Tanya Fendi, baik.

"Aku butuh buku besar IPA, ada?"

"Ada. Untung aja aku bawa. Belajar yang pinter ya." Kata Fendi menyemangati sebelum ia sibuk, mengisi detik-detik bekas itu. Termasuk Jamila yang sudah disibukan dengan buku besar IPA.

"Kamu mau kuliah dimana Jem?"

"Maunya di Tangerang aja deh. Fen."

"Kamu mau ikut sttpn ?"

"Ikut dong. Buat nambah biaya kita kan kelas unggulan. Nggak malu juga bisa jadi juara umum."

"Kamu kan pintar. Jangan sombong deh." Ejek Fendi sambil tertawa.

Jamila tertawa mendengar ejekan Fendi.

Keduanya fokus belajar setelahnya. Tidak ada kebisingan apapun di rumah itu. Tenang dan membuat rileks. Hanya ada suara jam dinding yang berdentang-dentang. Tak lama terdengar bunyi pintu utama di buka dengan sangat keras.

"Fendi!!!!!!" Teriak sosok yang membukanya yang ternyata ibunya Fendi, membuat Jamila terjengit ketakutan. Fendi hanya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

"Ini sahabat Fendi mah!" Kata Fendi dengan ramah pada sang ibu. Ibu itu langsung menghampiri Fendi. Rahangnya mengeras tanda ia marah besar. Ia kemudian menunjuk-nunjuk Fendi dengan telunjuknya. Pertanda ia tak kuat menahan amarah yang masuk pada kepalanya tersebut. Jamila tak bisa melakukan apapun, hanya diam menakuti aura-aura aneh ini.

"Kenapa kamu selingkuh? Jawab Fendi! Jawab!" Teriak sang ibu membuat Jamila memeluk tubuhnya, dan buru-buru berkemas untuk pulang. Ia tidak mau kebawa masalah.

"Siapa dia? Siapa? Jawab! Dia selingkuhan kamu? Kamu punya mama! Kamu berani melawan mama?!" Kata ibu itu masih berteriak-teriak marah, ia pun menangis dalam waktu yang sama. Ia sudah kehilangan akal sehat, karena saat ini Fendi di jengut-jengut lehernya. Kemudian Fendi meminta Jamila pulang. Jamila tak tahu harus melakukan apa, menolong ia tak bisa melakukannya, sehingga ia buru-buru keluar rumah. Dan menggunakan sepatu talinya untuk ke rumahnya.

Namun baru saja sampai pintu, rambut Jamila yang terurai di tarik oleh ibu Fendi yang ngamuk. Nampaknya Jamila dan Fendi terciduk kesalahpahaman. Tapi kesalah pahaman ini salah diterima oleh ibu Fendi. Dia bagai orang tak punya aturan dan kesurupan.

Jamila tak bisa menahan takut. Apalagi ketika melihat rambut ibunya Fendi yang acak-acakan ke depan. Dan tatapan mata laser itu. Kemudian ia berkata dengan keras menampakan gigi-gigi grahamnya yang kokoh. Ia masih cantik mengapa dia berprilaku gila. Jamila tak habis pikir.

"Jauhi anakku, jauhi Fendi. Bajingan perebut suami orang!!!!!" Katanya.

Jamila menangis ketika kepalanya di adu-adukan pada pintu oleh ibu itu. Sakit sekali, menimpanya dengan malang. Ia berusaha memohon agar dihentikan. namun amukan itu malah menjadi-jadi. Tak terasa kepalanya Jamila berdarah dengan luka yang besar. Bergesekan dengan gagang pintu. Sedangkan Fendi tak sadarkan diri. Nampaknya ia merasakan hal sama hingga pingsan.

"Tolong!" Kata Jamila rintih.

"Ma, ma, ma, jangan ma." Kata Fendi dengan letih. Ketika ia tersadar.

Fendi kemudian mendekat dan memisahnya keduanya. Namun tangan sang ibu masih liar dan masih bisa mengadukan kepala Jamila. Berapa saat lamanya sebelum Fendi berhasil memisahkan keduanya, Jamila merasa tak nampak di bumi. Ia menyadari bahwa itu teramat sangat keras. hingga ia tak pernah ingin mengulangnya lagi. Kemudian Jamila menatap Fendi yang berusaha memasukan ibunya pada kamar, yang masih berteriak-teriak dengan tidak tahu malu. Namun marah itu masih membungkus hatinya.

"Lajang!!! Lajang!!!" Teriaknya itu.

Jamila menyadari ibunda Fendi mengalami defresi karena perselingkuhan. Fendi kemudian memberi kode agar Jamila segera ke rumah. dan menutup pintu. Lalu Jamila menutup pintu. Kemudian ia memakai sepatunya sambil menangis kesakitan.

Di perjalanan Jamila hampir pingsan. dan kepalanya berputar dengan dahsyat. Ia terus-terusan berkucuran air mata kesakitan. Hingga sampailah ia di rumah.

•o•

Flamingo 3

...•o•...

"JAMILA!" Pekik ibu ketika melihat sosok yang membuka pintu rumahnya. Rumah kecil dengan warna biru-biru laut. Yaitu anaknya sendiri. Anak satu-satunya, yang teramat ia sayang . Dan teramat ia idam-idamkan masa depannya. Ia kemudian menghampiri Jamila, entah mengapa naluri ibunya hidup. Ia merasa anak semata wayangnya itu ada yang salah. Nampak terluka di bagian kepalanya.

Setelah mengetahui apa yang dilihatnya adalah luka yang sangat besar. Matanya membesar dan mulutnya ternganga dengan kaget. karena tidak mengerti alasan mengapa sang anak bisa berdarah-darah. Dengan keadaan rambut yang acak-acakan habis. Meskipun jejak-jejak air mata itu hanyalah jejak saja, ia dapat melihatnya dengan jelas. Ia menyadari bahwa Jamila ketakutan dan kesakitan. Maka ia memeluknya menenangkan. Sadar sekali anaknya butuh kasih dan sayang orang yang peduli terhadapnya. Siapa kalau bukan ibunya sendiri.

Jamila merintih kesakitan. kala dengan eratnya pelukan itu menghangatkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa dingin, akibat peristiwa tadi. Ia menangis dalam pelukan itu. Merasakan kasih sayang yang tak biasa. Dan perasaan saling melindungi yang tak biasa. Pelan-pelan ia mulai mensyukuri kehadiran orang tuanya, yang tidak sempurna. namun kesempurnaan bisa saja runtuh, karena kesempurnaan itu sendiri.

"Kamu mau apa Jem?" Tanya ibu prihatin. Ia tidak mau bertanya inti. ia sadar betul bahwa Jamila tidak ingin mengulang-ulang masalah dan mencari orang salah. Hingga membuat banyak pertengkaran dan tersangka, yang membutuhkan banyak waktu untuk menyembuhkan luka.

Jamila menggeleng selagi bisa. kemudian ibu memapahnya duduk di kursi tamu, Jamila hanya bisa menurut. Ia sudah sampai pada pasenya, hampir tak sadarkan diri. Ia sudah hilang bisa paska duduk. Yang ia ketahui hanya ibu yang membelai rambutnya, dalam dekapannya.

"Ibu bawakan air hangat, ya. Biar ibu kompres. Kamu tidur aja Jem, disini." Kata ibu. lalu menidurkan Jamila pada bantalan kursi. sebelum ia membawakan Jamila air hangat itu dan bersiap-siap membuat kompresan.

Setelah ia sampai,

Jamila hanya ingat ketika ia minum air hangat. sisa waktu selanjutnya ia malah tak sadarkan diri. Ibu menatapnya yang tertidur itu dengan sedih. kemudian mencari bantuan tetangga untuk memindahkan anaknya ke kamarnya. Ia pun akan mengganti bajunya dan mengompresnya selagi tidur. Siapa tahu gadis itu meringis ketika rambutnya di buka.

Ia pun harus beli perban dengan perlengkapannya. Ia takut Jamila terkena infeksi dalam. Di bawa ke rumah sakit, ia sudah tak punya uang lagi. Uangnya hanya tersisa untuk biaya tambahan, sebagai uang ujian nanti. Ia berjanji luka itu akan sembuh dengan sempurna. Biar ia yang merawatnya dengan baik, agar Jamila tetap tersenyum dan ujian dengan sukses.

Fighting! Jamila!

🐨 🐨

Ibu menyatukan kedua tangannya. untuk berterimakasih pada tetangga yang sudah membantu, untuk mengganti baju Jamila. Tanpa bantuan mereka, Jamila akan kotor-kotoran dengan baju penuh darah. Ia juga menitipkan salam pada suami-suami mereka yang sudah membantunya, untuk membopong gadis ceroboh tersebut. Mereka hanya melakukan hal sama, kemudian menatap Jamila prihatin, yang tengah tertidur pulas sambil di kompres. di kasurnya yang berwarna putih terang, dengan motip bunga-bunga kuning. Kesukaan Jamila sekali. Ia gadis yang lugu dan ceria, dengan pergaulan yang dibatasi oleh dirinya sendiri. Ia cenderung boros dan suka membeli banyak sekali novel-novel youngadult, dari penulis-penulis yang sudah ia rangkum biografinya.

Novel-novel dengan uangnya sendiri itu tengah menderet di atas rak,yang berdiri di sebelah kasur empuknya. Ia menggunakan selimut tampak nyaman dan hangat.

"Kasihan Jamila, jeng. Digimanain sama temennya jeng?" Tanya salah satu tetangga, yang ikut merasakan perasaan sakit yang dirasakan ibu Jamila.

"Nggak tahu, mungkin bukan temennya jeng." Jawab ibu sambil mendesah, agar menengkan hatinya yang entah mengapa tidak sabar mendengarkan cerita Jamila prihal ini. Ia ingin memasukan pelaku asli pada penjara besi atau neraka.

"Sabar jeng!" Kata salah satu tetangga lagi, ia menganut tangan ibu agar sabar.

"Makasih, sekali lagi jeng!" Balas ibu.

"Siapa tahu itu ulah pacarnya jeng." Kata tetangga lain membuat ibu melotot tak terima. Tapi ia menyadari bahwa siapa tahu tebakan itu benar juga.

"Jeng jangan syuujon dong." Kata tetangga yang satunya lagi, tak suka pada tetangga satu itu. Lalu tetangga satu itu hanya menyengir, sambil menutup bibirnya yang gatal.

Kemudian para tetangga itu keluar kamar, sambil bersahut-sahutan untuk pamit ke rumah masing-masing atau kegiatan masing-masing. Mereka juga merasa bersalah dan berminta maaf sebab tak bisa menemani sampai selesai. Ibu hanya mengangguk. Setelah semua keluar rumah, baru ibu duduk di kasur Jamila sambil membelai pipinya Jamila dengan halus.

"Jamila maafin ibu, ya!" Kata ibu sambil menitikkan air mata tak tega.

Perlahan ia membuka rambut Jamila yang terluka itu. Lalu dilihatnya berlumuran darah yang sangat banyak. Kemudian ia menyusut air mata demi air mata yang keluar dari matanya, karena menangis. Ia lalu membersihkan lehai demi lehai rambut Jamila dengan elap basah, menggunakan air hangat. Lalu setelah selesai ia bisa melihat sebesar apa luka itu. Tidak terlalu besar untuk luka seperti tergores atau bekas terjatuh ini. Ada sebesar lingkaran pada baso bulat yang sedang, namun terlihat menghawatirkan karena luka dengan lumayan dalam.

Ia membuka beberapa rambut lain lalu dibersihkannya. Kemudian dielusnya kepala itu dengan bentuk bundar tersebut. Kemudian ia menempelkan perban dan antiseptik pada luka tersebut. Lalu setelah selesai dengan apik tersebut, ia keluar kamar, untuk melanjutkan kegiatan sebelumnya yang sempat ia tunda yaitu mencuci baju.

🐨 🐨

Jamila membuka matanya dengan samar-samar, kemudian terlihat samar-samar juga cahaya menembus kelopak matanya yang sayu tersebut. Lalu ia dapat merasakan nyeri secara perlahan-lahan, menghampiri bagian kepalanya. Kemudian ia dengan samar-samar pula, mengingat memori tentang Fendi tadi.

Jamila bersyukur karena ibu menangani lukanya dengan baik dan benar. Bahkan mengganti bajunya. Ia merasa baikan karena sudah diperban.

Jamila masih trauma, sehingga ia diam membisu ketika ia sadar segalanya. Lalu ia melihat jam pada dinding tersebut. Menunjukan pukul 3 sore hari. Ia lebih baik istirahat di rumah hingga malam, karena kepalanya masih berat dan belum dapat diangkat. Lalu Jamila menutup matanya, mensiasati momen menebarkan tadi.

Kepalanya itu tak pernah ia duga akan mendapat kelakukan tak senonoh dari ibu sahabatnya. Akan melukai bagian terpenting dalam hidupnya. Ia tak kuat menyadari bahwa ia tidak seberuntung biasanya. Ia menyadari bahwa Tuhan, tidak menjaganya dan malah memberikan ia cobaan yang berat ini.

Lantas, bagaimana bila ia tidak bisa sembuh dan sakit berkepanjangan. Ia pun menghawatirkan bahwa kepalanya mengalami cedera selamanya. Tapi yang terpenting baginya, apa ia masih dapat sekolah dan melanjutkan kuliah. Lagi pula cedera ini mungkin hanya sekedar cedera.

Tapi, apa ia masih bisa sekolah untuk materi pokok dan ujian nanti. Apa ia masih dapat bertemu Fendi? Kemudian pemikiran banyak itu membuat Jamila kesakitan. Lalu ia memutuskan untuk tertidur, sebab ia masih dalam tahap penyembuhan luka yang diperban.

•o•

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!