Aku gadis berusia 9 tahun, ketika tiba di kota kecil ini.
Awalnya semua amat menyenangkan. Aku bisa sekolah bersama teman teman, di akhir pekan keluargaku berlibur. Berjalan - jalan di kebun teh, di danau, bahkan piknik di tepi danau.
Melihat bunga yang bermekaran saat musim hujan datang. Kadang kala aku bermain hujan bersama Ayah dan Ibuku dan kami tertawa.
Pasar dan jalan raya penuh sesak. Orang orang berlalu lalang, para pengamen sesekali melintas. Jual beli berlangsung. Ada para pengamen yang kadang melintas, pengemis, atau para pedagang asongan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat mobil Ayah melaju menuju danau seperti biasa saat akhir pekan. Aku bernyanyi sepanjang perjalanan, melihat kendaraan yang terhenti karena mogok, atau melihat orang dewasa sedang membawa sekarung rumput, mungkin untuk pakan ternak mereka.
Di perbukitan juga ada banyak peternakan hewan, ayam, kambing, sapi bahkan kerbau. Lapangan luas kadang kala terlewati oleh mobil.
Jarak rumahku ke danau memang jauh, tapi aku bisa menghabiskan waktu berjam jam untuk melihat vidio kartun kesukaanku. Atau menghabiskan es krim yang tadi dibeli Ibu di minimarket.
Seusai kegiatan di dalam mobil selesai, aku terlelap tidur.
Dor!! sesuatu terdengar meledak, membuatku yang tengah tertidur pulas, menjadi terbangun.
"Apa yang terjadi?" Tanya Ibu. Melirik Ayah yang tengah menatap bingung ke
Pak Supir.
"Sepertinya pecah ban, saya akan periksa Tuan." Ujar Mang Umang. Dia adalah Supir Ayah selama kami tinggal di kota.
Mang Umang membuka pintu mobil dan memeriksa. Sekejap Ia menghembuskan nafas berat. "Tuan, ada dua ban yang bocor, dan kabar buruk!, kita cuman bawa satu ban cadangan!" Ucapnya, wajah Mang Umang tampak merasa bersalah.
"Yah, kita gak jadi ke danau dong Pa?! Anaya kan mau liat bunga anggrek, mawar, kebetulan di suruh Bu Guru menggambar bunga?!" Aku mengeluh.
Ibu mengelus kepalaku, "bukankah di sekitar rumah banyak bunga? Atau kamu mau ketemu temenmu! yang kemarin itu?" Ibu bertanya sambil menyelidik. Aku cemberut, tapi benar aku ada janji sama temanku.
"Papa janji Anaya, kita akan ke danau. Tapi tidak hari ini. Kamu menggambar bunga, di taman depan rumah saja ya!" Ujar Papa. Aku ingin berseru protes namun batal, karna Mang Umang berseru.
"Tuan, saya sudah mengontak jemputan. Saya juga menelfon Montir kemari. Sekitar 30 menit lagi jemputannya datang." Ucapnya sembari terus fokus mengganti salah satu ban yang bocor karna paku.
Aku menunggu sambil bermain boneka. Tapi, sesuatu yang aneh mengintaiku. Aku melihat ke luar jendela mobil, ada Anak kecil dengan pakaian putih, tapi sosok itu membelakangiku, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya secara jelas. Ketika tanganku ingin membuka pintu mobil, tepukan tangan Ibu membuatku tersentak dan menoleh.
"Ibu! Anaya kaget!" Ujarku.
"Kamu melihat kebun teh sampai segitunya?"
Ibu bingung melihatku yang mematung.
"Bukan!! Anaya liat Anak kecil di-" Aku menunjuk tapi tunjukanku hanya ada kebun teh yang hijau dan luas, kemana sosok Anak kecil yang memakai kain putih itu? Dia menghilang cepat sekali!
"Anak kecil?! Anak kecil apa? Tidak ada yang tinggal di sini Anaya. Kamu lihat! Lagian kebun teh ini dekat dengan hutan, dan tidak ada rumah sepanjang 10 kilo meter dari sini? Kamu lihat kan. Mungkin kamu salah lihat sayang!." Ibu berkata lembut sembari mengelus kepalaku.
Tidak!! Aku tidak mungkin salah. Dia jelas berdiri di sana. Bagaimana bisa hilang secepat itu? Keluhku dalam hati.
...****************...
Setengah jam kemudian, aku benar benar bosan. Kapan jemputan itu tiba. Ketika aku hendak berteriak jengkel, dari kejauhan sebuah mobil berwarna hitam merapat ke sisi jalan. Seorang Pria, dengan paras tampan hanya setengah dari bintang film, keluar dengan terburu buru.
"Akhirnya kau datang Adi, Tuan dan Nyonya menunggu!" Mang Umang mendekat, menepuk nepuk lengannya.
"Kenapa lama sekali Nak,!?" Tanya Mang Umang, "Lihat bahkan Nona Anaya sudah sebal padamu!" Mang Umang menunjuk ke arahku, Pemuda itu melirik ke arahku yang sedang cemberut menatapnya. Wajahnya seolah memperlihatkan ekspresi menyesal.
"Siapa ini Mang?" Tanya Ayah kepada Mang Umang. Mang Umang tersenyum, memperkenalkan Putranya.
"Ini Putra sulung saya, nah. Nak perkenalkan dirimu pada Tuan Hermawan!" Mang Umang mengangguk pada anaknya. Aditya nama Pemuda itu, usia 24 tahun dan sudah bekerja.
Sekejap Aditya menyalami Hermawan. Berkenalan dan mereka terlibat percakapan, sesekali Linda ikut berbicara. Anaya cuman cemberut.
Anaya kali ini benar benar jengkel. "KATANYA MAU PULANG!!" Teriak Anaya membuat semuanya menoleh. Ibunya berbisik.
"Itu tidak sopan. Jangan lakukan lagi!"
Kalian asyik sendiri, aku tidak bisa menemui Meli. Aku padahal sudah janji minggu lalu. Tapi, bukankah Anak kecil tadi.. Gerutu batin Anaya.
'Meli..' Gumam Anaya pelan, sejenak Ia teringat pada sosok Gadis misterius yang satu jam lalu dilihatnya. Jika diperhatikan sosok itu memang mirip Meli, teman yang Anaya kenal sejak pertama mengunjungi danau itu. Sekejap Ibunya melihat Anaknya yang melamun. Dia menggoyang bahu Anaknya, Anaya kemudian tersadar.
"Ayo pulang!" Gerutu Anaya. Ia turun dari mobil dan menarik narik ujung baju Ayahnya, merengek. Anaya berharap Ayahnya melihatnya namun, Ayahnya semakin asyik mengobrol.
Anaya memikirkan cara lain, Dia berteriak menyuruh Ayahnya menyudahi percakapan dan bergegas menuju mobil. "AYO.. AYAH,.. AYO PULANG!!" Rengekan Anaya semakin menjadi jadi. Dia sekarang merangkul kaki Ayahnya, Sambil terus merengek.
"Iya, Anaya tunggu sebentar, sebaiknya kalian pindah dulu. Nanti Ayah menyusul." Hermawan melihat Putrinya sekilas lalu melanjutkan obrolannya dengan Mang Umang dan Aditya.
"Sampai mana kita tadi.." Suara percakapan mereka terdengar samar. Linda Istrinya segera merangkul tangan Anaya dan mereka menuju mobil baru, meninggalkan mobil silver yang rusak di belakangnya. Anaya hanya bisa mendengus sebal.
Anaya membuka pintu belakang dan duduk nyaman, Ayahnya masih sibuk mengobrol dengan Aditya, sesekali Linda menyuruh Suaminya berhenti bertanya dan lekas memasuki mobil sebelum Anaya menangis karna kebosanan.
Demi Anaya. Hermawanpun mengalah, padahal tadi ia sedang membujuk Aditya, untuk mengambil beberapa dana dari perusahaan yang dikelolanya, dan mengembangkan bisnis bersama sama. Juga Hermawan hanya mengambil keuntungan 20% jika Aditya berhasil mengembangkan modalnya.
Hingga di dalam mobil, percakapan tentang bisnis itu belum usai. Malah kian melebar, tentang calon Istri Aditya nanti, tentang sekolah Anaya nanti, kalau ia sudah remaja, sampai Hermawan ditanya oleh Aditya, apakah Anaya akan punya adik.
Hal itu membuat Linda terbatuk, "KALIAN INI BICARA APA SIH?! SUDAH NGOBROLNYA. HENTIKAN!!" Linda berteriak kesal.
Hermawan dan Aditya menahan tawa melihat ekspresi Linda yang marah.
"Dia sedang mengemudi! ngobrolnya kan bisa nanti." Linda cemberut melanjutkan kalimatnya, Hermawan dan Aditya akhirnya tertawa sungguhan.
"Ayah, Ibu dan Kakak sedang bicara tentang apa?" Anaya yang memperhatikan percakapan tidak mengerti maksudnya Aditya. Tentang, 'Adik buat Anaya'. Ibunya menanggapi dengan lembut.
"Jangan dipikirkan ya, kamu main aja." Linda tersenyum. Anaya mengangguk. Sekejap Linda menatap tajam ke arah depan.
Maksud ekspresi itu.
Awas jika kalian berani membahas hal itu!!
Hermawan mengangkat tangan. Tanda dia takkan membahasnya lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mang Umang sudah tertingal jauh, mobil berwarna hitam itu menuruni bukit kembali ke kota kecil. Aditya fokus pada kemudi, namun ada sesuatu yang tiba tiba lewat di tengah jalan raya.
Sosok itu berwarna hitam berlari. Aditya langsung banting stir, karena kaget.
Kemudian mobil itu terjungkal terbalik, Linda berteriak histeris merangkul Anaya.
Hermawan menutup mukanya berusaha melindungi wajah namun terlambat.
Kaca di sekeliling mobil pecah. Mereka semua terluka parah, terkecuali Anaya. Dia hanya terluka ringan. Yang terluka paling parah adalah Linda dan Hermawan. Aditya cukup parah, sedangkan Anaya hanya terluka di bagian pelipis dan dahinya. Aditya berusaha keluar dari mobil.
Namun, belum sempat Aditya mencoba mendorong pintu mobil. Dari arah depan melaju mobil bus tak terkendali, yang akan menabrak, mobil yang terbalik di depannya. Linda dengan secepat kilat berusaha membuka pintu mobil, tapi tidak berhasil.
"Sayang, bangun!!" Teriak Linda pada Hermawan. Suaminya pingsan akibat terbentur. Aditya yang berada di depan ikut berusaha membuka pintu mobil.
Setengah menit, berlalu. Suasana sangat tegang!. Mobil bus itu terus mendekat! "Akhirnya!" Lirih Aditya, Linda langsung menoleh ke arahnya.
"Aditya.. Tolong bawa Anaya,.. Jaga dia.." Lirih Linda, Ia segera menggendong Anaya.
"Ba.. Bagaima dengan.." Ucap Aditya.
"Aku tidak bisa berdiri,.. Sepertinya kakiku patah. Jadi selamatkanlah dia. Kau juga tidak bisa membawaku kan? Dengan keadaanmu, lekas keluar!!" Lirih Linda.
Aditya mengangguk. Dia harus segera keluar. Dengan susah payah Aditya bergerak. Dia menggeram menyuruh kedua kakinya berdiri, namun tak berhasil, dia akhirnya berusaha merayap menuju tepi jalan, namun sayangnya tidak sempat.
Aditya akhirnya berguling sebisanya.
Di sisi lain mobil bus itu akhirnya menabrak dan melindas mobil yang terbalik itu. Hampir saja Aditya ikut terlindas oleh bus itu. Anaya yang akhirnya tersadar, ketika saat detik terakhir sebelum bus itu melindas. Anaya Tercengang.
Setelah sadar, ia langsung berteriak histeris. Menyaksikan orang tuanya yang terimpit oleh bus itu, Anaya tak sanggup menahan kesedihannya. Linda sempat melambaikan tangan kepada Anaknya. Salam perpisahan.
"AYAHHH...!! IBUUUU...!! KAKAK..!!, LEPASKAN ANAYAAA..!! AYAHHH!.. IBUUU...!!!" Anaya berteriak histeris, sambil mencoba melepaskan tangan Aditya yang memegangnya. Tak berhasil, Anaya hanya bisa sesenggukan menangis.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anaya masih meronta minta di lepaskan, namun Aditya yang berhasil keluar dari mobil. Sebelum bus menghantam, justru tidak membiarkan Anaya berlari kesana. Karna keadaannya berbahaya. Sekarang kedua mobil itu mengeluarkan api.
Aditya merangkul Anaya. Berusaha menenangkan dirinya. Anaya menangis sejadi jadinya, darah mengalir dari pelipisnya, tapi kondisi Aditya yang paling buruk. Dia membawa Anaya, ikut menangis. Kaki kiri Aditya terluka, sedangkan Anaya syok. Dengan kejadian barusan.
Hingga beberapa penumpang selamat dari bus itu keluar, beberapa yang lain menghubungi ambulance dan juga polisi. Anaya masih termenung, menangis.
Anaya menatap sedih, ke pusara kedua orang tuanya. Mang Umang dan Aditya datang di sisiku. Aditya masih terluka parah disebabkan oleh kecelakaan beberapa minggu lalu, dan kepolisian yang menyelidiki kasus itu menemukan bukti, bahwa itu memang murni kecelakaan.
Tapi Aditya bersuara pada kepolisian, sebelum kecelakaan ia melihat seseorang yang melintas. Bahkan aku yang duduk mendengarkan ikut mengangguk. Aku juga melihat sosok hitam itu, bahkan aku melihat hal yang lebih ganjil. Siapa Anak kecil di kebun tadi? Fikiranku terus bertanya. Karena hal itu, yang membuatku kehilangan kedua orang tuaku secara mendadak. Ini tidak mungkin hanya kecelakaan biasa. Mobil hitam itu masih dalam kondisi prima, ini mustahil. Diluar akal sehat.
Penjelasan panjang lebar Aditya, tidak membuahkan hasil. Kepolisian akhirnya menutup kasus ini, dan menyuruh kami kembali ke rumah masing masing.
Aku sangat berterima kasih, kepada Kakak Aditya dan Mang Umang yang telah repot repot mengungkap hal misterius, yang menyebabkan tragedi ini terjadi. Ini kejadian yang mengerikan menurutku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ayah,.. Hiks.. Ibuuu.." Aku terduduk lama, menatap batu nisan orang tuaku. Ini sudah 1 Minggu setelah kecelakaan itu. Mang Umang menyarankan mereka di makamkan di dekat kompleks sekitar sini, agar Anaya bisa berkunjung kapan saja. Mang Umang dan keluarganya menemaniku selama 40 hari kedepan, memastikan aku baik baik saja di rumah.
Sekolah pun menyuruhku libur beberapa minggu, para tetangga juga turut menghiburku. Berharap aku baik baik saja.
"Anaya, nak. Jangan sungkan main ke rumah Bibi ya. Bibi tau kamu kesepian!" Bi Imah tetanggaku yang usianya sudah lanjut itu memelukku.
"Trima kasih, Bi" Jawabku pendek, berusaha menatapnya.
...****************...
Matahari akhirnya tumbang ke sisi barat. Mang Umang masih terjaga di bangku. Ditemani Aditya yang sedang meneguk secangkir kopi.
Aku menghampiri mereka. "Eh, Anaya. Belum tidur?" Tanya Mang Umang. Aku menggeleng, aku belum mengantuk. Ditambah lagi perutku lapar.
"Anaya lapar!" Ucapku, Mang Umang dan Aditya saling memandang kemudian tertawa.
"Aduh, Jadi itu toh. Sini." Kak Aditya menggenggam tanganku. Aku mengikutinya, Kak Aditya menyiapkan sayur, bawang, telur, nasi yang sudah matang, minyak, dan lainnya. Kak Aditya sudah membaik dan bisa berjalan. Dia cuma luka kaki ringan. Sewaktu mobil yang kami tumpangi hampir tertabrak bus, kaki Kak Aditya tidak bisa digerakan karena terluka. Lukanya sekarang sudah berangsur pulih. Ia bisa berjalan.
"Apa yang akan kakak buat?" Aku bertanya.
"Nasi goreng spesial buat, Anaya."
mataku membesar, aku bersorak kegirangan. Mang Umang yang memperhatikanku, tersenyum lebar.
Aku tau dia gembira melihatku yang kembali ceria, kak Aditya bergaya seperti seorang Chef Profrsional, dia bahkan melempar telurnya ke atas, itu gaya seorang Chef saat memasak, aku tertawa telur itu malah tumpah ke lantai jatuh. Aditya mengaduh, itu sangat kocak.
Setelah menunggu akhirnya nasi goreng itu terhidang. Kakak Aditya menambahkan sedikit parutan keju untuk hiasan, dia juga membuat susu coklat kesukaanku.
Usai makan malam itu, suasana hatiku berubah lebih baik, tapi itu tak bartahan lama.
Malam semakin larut. Kompleks perumahan yang sepi.
Ketika semua orang tengah terlelap dalam tidur, seseorang justru tengah mengawasi dari jauh. Sosok itu menyeringai. Tengah mengintai dua orang lelaki di rumah Anaya.
...****************...
Ketika aku terbangun dan mengucek mata, aku bisa mendengar keributan yang berasal dari lantai bawah, aku membuka gorden putih dan melongok ke bawah. Ada banyak orang berkerumun.
"Ada apa itu!?" Anaya menjadi heran, ia bergegas turun ke bawah. Anaya ingin tahu apa yang membuat orang orang datang ke halaman rumahnya pagi pagi seperti ini.
Anaya menuruni anak tangga satu persatu, Bi Marni, masih tertidur lelap dikamarnya. Anaya membuka pintu dan langsung melesak ke kerumunan orang banyak.
"Ada apa? Ini pak.!?" Tanya Anaya pada salah seorang Warga.
"Ada mayat, dek." Warga itu menjawab, usinya mungkin sebaya Mang Umang.
Anaya terus menembus kerumunan, dan
Anaya, terkejut!! Begitu melihat dua mayat yang dia kenali.
"Huuaaa.. Mang Umang, kak Aditya. Mereka kenapa, mereka, apa yang terjadi?." Anaya seketika syok.
"Kakak Aditya, Mang Umang!!" Aku berteriak histeris. Segera pergi ke dalam memanggil Bi Marni. Anaya menggedor pintu itu keras keras.
"Bi, Bibi bangun!!" Seru Anaya panik. Tak lama pintu itu terbuka, lalu muncul wanita paruh baya berusia 45 tahunan.
"Ada apa Anaya?" Tanya Bi Marni ramah padanya.
"Ikut aku Bi, cepat!" Anaya berseru panik, Bi Marni menatapnya penuh tanya. Anaya menarik paksa tangan Bi Marni, kedua Putri Bi Marni juga terbangun. Mereka mengikuti ibunya.
Begitu melihat ke dalam kerumunan ia tertegun."Bagaimana ini terjadi?" Jeritnya. "Ya tuhan. Mereka kemarin baik baik saja!" Bi Marni istri dari Mang Umang langsung berteriak histeris. Dan bertanya pada para Warga.
"Saya melihat, mereka sudah seperti ini! Bu, saya tak melihat seorangpun!" Kesaksian itu sangat menyesakkan bagi Istri Mang Umang apalagi bagiku yang semalam bercanda dengan Kakak Aditya.
Tubuh mereka kaku, dingin. Serta ada beberapa luka sayatan di leher Mang Umang, juga bekas cekikan di leher Kak Aditya. Tubuh mereka seperti bongkahan es. Aku mendekat ke arah mereka.
Tapi ada tangan yang menepisku.
"JANGAN SENTUH MEREKA." Bi Marni melotot padaku.
"Ini pasti, gara gara kau!! Dasar pembawa petaka, ini takkan terjadi jika aku menghalangi niat mereka untuk membantumu." Tangan Bi Marni mendorongku, Anak Anaknya juga terlihat Menjerit menangis. Mereka beranjak masuk ke dalam rumah, mengemasi barang berang mereka. Dan pergi begitu saja.
Aku menatap kepergian mereka yang mendadak dengan tatapan penuh tanya. kenapa Bi Marni menyalahkanku? Apa salahku, petaka apa yang Bi Marni maksud!?
Para warga yang melihat kejadian itu hanya berdiri menonton, mereka mendadak berseru tidak percaya. Saat mereka menemukan surat berupa ancaman.
"Jika kalian masih ada yang membela anak yang ada di depan kalian. Maka, jangan salahkan siapapun, jika kalian semua akan memperoleh nasib yang sama seperti mayat yang kalian lihat sekarang ini!!"
Tulisan itu bukan hanya mengancam, tapi juga ditulis dengan darah. Darah itu pasti. milik Mang Umang dan Kak Aditya. Para warga tidak ada yang mendekatiku, karna surat itu. Mereka jadi khawatir. Tidak memberi bantuan padaku, dan beranjak pergi.
Aku menangis terisak sendirian, sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak menggerti! Semuanya datang secara mendadak.
Bagaimana bisa mereka meninggal secara misterius! Apa ini ada hubungannya dengan sosok anak kecil yang aku temui.
Iya, semua terjadi karna ban mobil itu pecah, dan aku melihat sosok anak kecil itu. Dan, lalu. Mereka mengincarku pada malam kemarin, karena Mang Umang dan Kak Aditya menghalangi mereka. Nasib mereka berakhir seperti ini. Atau ada hal lain,. Aku sungguh tidak mengerti.
'Anaya bisa memahami situasi yang terjadi di sekitarnya, tapi tetap saja ia hanyalah anak sembilan tahun yang belum terlalu paham masalah apa yang dihadapinya'
"Hiks.. Hiks.." Anaya mengggurat rumput dengan tangannya, hingga seorang Wanita berusia lanjut mendekatinya dan memeluknya dari belakang.
"Bi Imah." Anaya terkejut, menyeka hidungnya yang penuh ingus. "Jangan masukan ke hati ya, sikap orang orang tadi. Bibi ikut berduka atas meninggalnya orang orang yang kamu sayangi. Itupun dengan mendadak dan tragis. Untuk sementara kamu mau kan, tinggal bersama Bibi?" Bi Imah tersenyum tulus.
Almarhum orang tuaku dan Mang Umang adalah orang yang membantu Bi Imah saat ia ditelantarkan oleh Anaknya sendiri. Kini ia mungkin ingin membalas budi untuk orang tuaku, aku tau Bibi sekarang sudah lansia. Maka selama aku disini. Aku tidak boleh menyusahkannya.
...****************...
Senja tiba saat aku selesai membersihkan diri. Sementara di luar sana tengah bising oleh penyelidikan para polisi setempat. Menanyai para saksi, lantas menulis laporan itu. Mereka bahkan menyebut nyebut namaku, karna secarik kertas yang berlumur darah itu jelas jelas, meyebutkan namaku. Aku sempat membacanya.
"Kalian harus menjauhi Anaya Prisila. MENGERTI." Air mataku bercucuran, saat membaca kalimat terakhir itu.
Langkah kakiku terhenti ketika ada sebuah bayangan yang tiba tiba melewati jendela di sebelahku, walaupun cahaya di sekitar rumah Bi Imah remang, tapi lebih dari cukup untuk melihat bayangan misterius itu.
Bulu kudukku merinding seketika, aku berusaha mendekat ke tepi jendela melihat apa yang tadi melintas, namun ada tepukan yang membuatku tiba tiba menoleh.
"Bibi,.." Ucapku pelan, mengelus dada. Bibi menatapku bingung. "Anaya melihat apa ke jendela?" Tanya Bi Imah.
"Tadi, ada.. Hmm bukan apa apa Bi, ada apa ya Bibi memangil Anaya?" Aku berusaha melupakan kejadian tadi. Itu mungkin cuma bayangan burung.
"Kita makan malam yuk!" Ajak Bi Imah, menggandengku menuju meja makan. Aku mengangguk, tanpa banyak bicara.
Kursiku dan Bi Imah bersebelahan. Menu yang bibi masak adalah ikan dan sayur lodeh. "Bi, Anaya mau tanya?" Aku membuat Bi Imah menghentikan menyedok sayur.
"Tanya apa?" Bi imah menoleh sejenak lalu kembali melanjutkan mengambil makanan.
"Siapa yang punya kebun teh di pinggir hutan?" Pertanyaanku tadi sontak membuat Bi Imah menoleh lama ke arahku.
"Kenapa Anaya bisa tau tentang kebun itu?!" Nada pertanyaan Bi Imah sedikit menekan, ekspresi ramahnya berubah menjadi marah.
"Anaya sering melewati kebun itu! Jalan itu kan satu satunya arah menuju danau." Anaya menatap bingung. Kenapa Bi Imah yang ramah berubah seperti ini.
"Anaya, seberapa sering kau melewati kebun itu dan berkunjung ke danau itu!" Kali ini wajah Bi Imah amat serius.
"Beberapa bulan ini keluargaku sering ke sana, kata brosur tempat itu indah. Terus aku bertemu teman di sana!" Aku menjawab riang.
"Anaya, Bibi serius. Seberapa sering kau lewat kebun itu dan mengunjungi danau itu?!" Aku akhirnya mengerti, mungkin Bibi akan menjelaskan sosok anak kecil misterius itu fikirku.
"Setiap akhir pekan saja, karna ayah sibuk." Aku menjawab. Bi Imah berdiri, termenung.
"Nak, kau sudah dikutuk..!!" Namun amarah yang meluap luap terlontar ke arahku.
Aku ikut berdiri, apa maksud Bi Imah.
"A.. Apa maksud-"
"Nak, dengarkan Bibi baik baik. Empat puluh tahun lalu saat Bibi masih muda, Bibi pernah tinggal di desa itu. Dulu tidak ada kebun teh. Tapi entah mengapa ada yang mengundang makhluk mengerikan, yang tinggal di seberang hutan. Orang Tua Bibi memilih pindah saat itu juga, sebelum terjadi musibah. Dan sampai sekarang rumah rumah warga menjadi kebun teh, dan kuburan setempat menjadi danau. Danau itu tidak ada Anaya. Dan sekarang kota ini akan berada dalam bahaya besar. Dan itu karna ulah dirimu!!" Bi Imah memarahiku, ada apa dengan dirinya. Ini seperti bukan Bi Imah.
"Pergi..!! kembali ke rumahmu.!! Dan sebagai perpisahan, kamu ambil buku masak ini. Bibi akan pergi sejauh mungkin. Karna petaka akan tiba. Cepat atau lambat." Bi Imah berbalik, meninggalkan ruang makan. Ia mengunci pintu dari dalam.
"Bi.. Bi.." Aku kembali terisak, melangkah keluar dan kembali ke rumah, membawa buku masak pemberian Bi Imah.
Sesampainya di rumah, aku mengunci semua jalan masuk, menutup gorden dan segera berlari menuju kamar, yang terletak di lantai dua. Aku bersembunyi dalam selimut, menangis. Dan setelah lelah aku tertidur lelap.
Sejak Bi Imah mengusirku, esok harinya dia pergi entah kemana. Dan setelah itu, tidak ada kejadian yang mencengangkan selama beberapa bulan.
Aku terbangun dari tidurku dan melakukan aktifitas. Mengepel lantai, membersihkan piring, apapun yang bisa kulakukan. Aku juga mengikat beberapa bunga lili, mawar putih, melati dan juga bunga tabur ini untuk makam Ayah dan Ibuku. Aku ingin menata makam mereka dengan indah.
Gadis itu segera beranjak dari kamarnya menuju halaman belakang, tepatnya garasi mobil. Tempat itu gelap dan berdebu sudah beberapa bulan dia tidak kesini. Anaya mencari tombol lampu, beberapa saat garasi itu telah terang. Anaya melihat mobil silver yang sudah diperbaiki juga di sebelahnya mobil hitam yang ringsek akibat kecelakaan beberapa waktu lalu.
Setelah penyelidikan itu ditutup, kepolisian membawa barang barang kedua orang tuanya, termasuk mobil ringsek ini. Ditambah lagi dengan kejadian tempo hari. Para warga sekitar mulai menjauhinya. Parahnya lagi akibat kabar miring surat ancaman itu, Anaya dikeluarkan dari sekolah. Anaya membaca surat DO itu. Dia bersedih kembali.
"Kami sangat prihatin terhadap semua yang menimpa kamu, Anaya. Tapi kami pihak Guru, Kepala sekolah, dan seluruh staf. Sepakat mengeluarkan kamu dari sekolah, bukan karna kabar itu! Melainkan, kami kasihan melihatmu nak." Surat itu ditutup dengan salam. Sejenak Anaya menatap lembaran itu dengan kesal, lalu merobeknya. Kertas itu segera berhamburan ke lantai.
...****************...
Beruntung baginya, Ayahnya seorang pengusaha sukses. Semua uang yang dimiliki Ayahnya tersimpan di rumah itu. Anaya tahu pintu yang menuju ruangan yang penuh dengan uang. Selain itu. Ibunya juga seorang pelajar yang pintar, mengoleksi begitu banyak buku, termasuk buku untuk sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas. Bahkan buku yang mencatat pelajaran kuliah. Anaya bisa membaca buku itu secara bertahap.
Tapi, kini Anaya hampir menangis mengingat hal itu lagi, matanya berkaca kaca. Sejenak ia menarik nafas dan menghembuskannya. Ia tak ingin mengingatnya lagi. "Kau harus kuat Anaya. huh.." Batinnya mencoba tegar, Anaya melangkah melewati dua mobil itu, dan tiba di tepi mobil silver, disana ada sebuah kain putih menutupi sebuah sepeda.
Sepeda ini adalah hadiah ulang tahun Anaya tahun lalu, Hermawan yang membelikan khusus untuk putri semata wayangnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
satu tahun lalu..
Pagi hari itu, Anaya mengucek matanya. Gadis berambut hitam panjang terurai, paras wajah putihnya terlihat manis, rambutnya berantakan, Anaya bergegas turun dari ranjangnya namun, pintu kamarnya di dorong dari luar. Membuat Anaya menoleh.
"Ibu,.." Anaya menatap ibunya bingung.
Linda tersenyum dengan kedua tangan yang ia sembunyikan. Anaya tidak tau kenapa Ibunya begitu ceria di pagi ini. "Selamat ulang tahun Anaya Prisila." Linda dengan senang menunjukan kotak kado yang dibalut dengan kain bunga yang indah untuknya.
Wajah Anaya terkejut sumringah, dia sangat senang menerima kado pemberian Ibunya. Apalagi saat gadis itu membuka isi hadiahnya. Sebuah baju katun lembut, dengan motif bunga mawar indah. Serta sepasang sepatu bermotif sama. Motif bunga mawar. Anaya memang sangat menyukai bunga.
"Anaya harus memakai ini, trus ke bawah ya. Sampai bertemu di bawah." Ibunya kembali menutup pintu itu. Meninggalkan Anaya sendiri di kamar. Dalam sekejap ia berpakaian rapih.
Hari ini hari spesial, hari ulang tahunku. Tetangga, kerabat, dan teman teman akan memberiku kado. Aku senang sekali.
...****************...
Anaya berputar putar di depan cermin. Untuk kesekian kali ia mematut penampilannya. Setelah puas bercermin Anaya menuruni anak tangga. Dan betapa gembiranya dia melihat kejutan lainnya.
Sebuah kardus besar, mungkin sebesar meja belajar, dan tinggi kardus itu hanya beberapa inci tingginya sebuah meja.
"Wah.. Itu apa Ayah?!" Anaya sampai berteriak karena senang. "Coba tebak!!" Hermawan tersenyum.
"Satu koper baju, gambar bunga!" Jawab Anaya. Hermawan menggeleng.
"Satu kotak sepatu." Tebak Anaya lagi. Ayahnya menggeleng.
"Terus! Apa dong!" Anaya tidak bisa menebaknya. Ibunya melangkah mendekati Anaya. "Kamu buka sekarang. Gih." Linda mengangguk pada Anaya. Wajah sedih Anaya kembali ceria, dia langsung merobek kardus besar itu dengan sebuah gunting.
Kardus besar itu terbuka separuh tapi sudah jelas apa isi kotak itu. Gagang setir terlihat.
"Sepedaa.. Wah.." Anaya sangat senang. Dia melangkah berbalik ke arah kedua orang tuanya, mengucapkan terima kasih dan memeluk erat keduanya.
Mereka melanjutkan acara itu, meriah sekali. Para Tetangga, dan Anak - Anak. Juga memeriahkan acara itu, ada game seru. Hingga sore mengakhirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Anaya terduduk mengingat semua moment manis itu, yang sekarang hanya menjadi sebuah kenangan. "Ibu,.. Ayah.. Anaya ingat ini, jelas masih mengingatnya.." Anaya merengkuh sepeda itu. Anaya masih tidak percaya kedua orang tuanya telah pergi begitu jauh, sampai dirinya tak bisa menjangkau mereka.
Anaya mengusap air matanya. Bergegas mengeluarkan sepeda itu dari garasi, sepeda dengan motif bunga masih terlihat baru. Karena Anaya tidak menggunakannya lagi sejak mereka sering berlibur ke danau itu.
Anaya mengabil bunga tabur, dan karangan bunga itu. Memakai topi putih motif bunga dan baju katun lebut juga celana putih. Semua senada motif bunga mawar kesukaannya.
Anaya mulai mengayuh sepedanya menuju pemakaman, namun harus melewati jalan utama yang berupa pasar dan pertokoan.
Ketika ia melintas, masyarakat setempat menoleh padanya. Tatapan mereka sinis, tidak senang dengan kehadirannya di tengah keramaian. Bahkan kendaraan yang mau lewat, bergegas menepikan kendaraan. Membiarkan Anaya pergi tanpa halangan.
Tepatnya pengaruh surat itu sudah menyebar beberapa bulan terakhir.
Anaya berusaha mengacuhkan mereka, terus mengayuh sepeda. namun saat tiba di sebuah toko roti, Anaya berhanti sejenak. Dia ingin membeli roti.
Anaya memarkirkan sepedanya dan hendak memasuki toko roti itu. Namun, belum sempat ia memegang gagang pintu, sebuah sayur busuk mengenai dirinya.
Plok!!
Dari arah sampingnya berdiri beberapa Anak yang membawa seonggok plastik berisi sayur busuk. Merekalah yang melemparkan sayur busuk ke arah Anaya. Mereka menatap Anaya dengan marah.
"Pergi..!! Pergi!, sana..!! Kau akan menebar petaka jika tidak pergi sekarang.!!" Teriak salah satu Bocah itu. Anaya menoleh, " Aku hanya ingin membeli roti, apa salahku.?!" Ucapnya.
"Jika kau tidak pergi!, akan kami lempar lagi!. Cepat pergi dari sini.!" Teriak seorang Gadis dibelakangnya, dia mengancam sambil maju ke depan.
"Pergii!!!" Teriaknya.
Anaya mengalah segera kembali ke parkiran sepeda. Namun ia menatap sedih, sepeda itu rusak. "Sebenci itukah mereka padaku. Bahkan mereka merusak bunga tabur dan tangkaian bunga ini. Hiks."
dengan berat hati, Anaya harus kembali ke rumah, untuk mengambil tangkaian bunga di rumahnya. padahal ia sudah dekat menuju pemakaman.
...****************...
Di tengah jalan menuju rumah, Anaya merasa di intai. Keadaan jalan sangat sepi. Dia tidak bisa mengayuh sepeda karena rantainya putus.
"Siapa disana?" Anaya menoleh kiri dan kanan tak ada siapapun. Anaya mempercepat langkahnya sambil menoleh kebelakang, dia melihat Sosok Misterius mengikutinya, Anaya tidak memperhatikan arah depan. Ketika Anaya hendak berbelok dari tikungan, ia menabrak seseorang.
BRUK.
"Woy kalau jalan pake mata,." Anaya menabrak Anak Lelaki yang tengah mengayuh sepedanya, Anak itu terjatuh bersamaan dengannya, berdebam.
"Maaf, aku buru buru," ucap Anaya. Dia segera pergi begitu saja, karna ia sedang ketakutan. Anaya takut Sosok Misterius itu akan berbuat hal yang sama, itu berarti nyawa Anaya dalam bahaya.
"Enak saja kau mau pergi hah," Anak itu menarik tangan Anaya, "Kau mau kemana, woy. Hei kau harus tanggung jawab!! Lihat, sepedaku rantainya putus. Ayo cepat perbaiki." Teriak Anak Lelaki itu.
Anaya akhirnya melihatnya, "Aku kan sudah minta maaf, lagian salahmu juga. Kenapa melaju dengan kencang?, harusnya aku yang marah.!" Anaya menatapnya jengkel.
"Pokoknya kau harus memperbaiki sepedaku, titik. Hei.!" Anaya tidak memperdulikan ocehan Anak itu, dia malah segera pergi dari sana. Anak Lelaki itu, mau tak mau mengikuti Anaya, kalau ia ingin sepeda itu diperbaiki.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mereka telah berada di garasi rumah Anaya. Gadis itu segera membuka pintu belakang, dan menutupnya dengan tergesa gesa.
"Eh, ada apa kau terburu buru begini?" Anak itu menatap Anaya bingung. "Kenapa kau mengikutiku?!" Anaya baru menyadari, Anak Lelaki usia dua - tiga tahun diatasnya itu mengikutinya. Rambutnya pirang kecoklatan, bola matanya yang biru, dan wajahnya yang begitu menawan. Tapi, Anaya tidak peduli dengan penampilan Anak itu.
"Kau tidak seharusnya mengikutiku!" Ujar Anaya ketus, pada Anak didepannya.
"Hei, bagaimana aku bisa pulang!, rumahku 6 kilometer dari sini. Hei, berjalan kaki! Iya 'kali." Anak itu balas berkata menyebalkan.
"Kau harus perbaiki sepedaku ini, baru aku bisa pulang.!" Lanjut Anak itu. Anaya benar benar jengkel padanya. Lagi pula ini memang salahnya! Kenapa jadi kebalikannya?!.Sebaiknya Anaya segera memperbaiki rantai sepeda Anak di hadapannya.
Anaya beranjak ke pojok garasi mencari sesuatu, lalu ia mengangkat sebuah kotak perkakas besar. Anaya tidak sanggup mengangkatnya, ia berteriak.
"Hei, bantu aku!!" Teriak Anaya. "Gak mau, angkat saja sendiri.!" Anak itu menoleh pun tidak. Dia sedang asyik dengan GAME di tangannya.
Anaya yang kesal meraih bola tenis kecil dan melempar ke arah Anak tadi. Plak!! "Hei!, apa apan kau!," Anak itu yang sekarang jengkel, sementara Anaya tersenyum puas.
"Bantu aku, jika kau ingin rantai sepedamu diperbaiki!" Anaya melotot, Anak itu beranjak membantu mengangkat kotak perkakas itu. Mereka akhirnya bekerja sama memberbaiki sepeda, sesekali Anak itu menjaili Anaya. Dengan memberikan benda yang salah, Anaya mengancamnya. Anak itu mengangkat tangan. Dia hanya bercanda.
"Huh,.. Akhirnya selesai juga." Anaya menatap kedua rantai sepeda itu bergantian. Dia telah mengganti dua rantai putus itu, dan memberikan oli di rantainya. Anak tadi hendak berdiri meraih sepedanya, namun guntur membuatnya menoleh ke arah jendela garasi.
"Apa? akan hujan! Duh!" Dengus Anak itu sebal. "Kau bisa menunggu di rumahku!" Ucap Anaya pelan, seraya mengusap dahinya, wajahnya juga terlihat cemong. Pakaian terbaiknya saat ini juga harus diganti dan dicuci, agar oli di pakaiannya bisa segera hilang.
...****************...
Anaya menuruni anak tangga, Anak Lelaki itu tengah menunggu di ruang tengah, Anaya segera duduk di sofa. Sementara Anak tadi duduk di sofa di sebelahnya.
"Maaf sudah merepotkan," Ucap Anak itu pelan, Anaya menyuruhnya untuk duduk disana sementara, menunggu hujan reda. Ini sebenarnya hujan pada waktu tengah hari, tapi mendung membuatnya gelap. Dan keadaan seperti telah malam.
"Tidak apa apa, aku senang punya teman di sini." Ucap Anaya. Anak itu menatap bingung.
"Memang orang tuamu kemana?" Anak itu bertanya.
"Sudah meninggal." Anaya berkata singkat.
"Maaf, aku tidak tau. Dan kau tinggal sendiri?" Ia menunduk.
Anaya mengangguk. Mereka terdiam sejenak. "Tidak apa apa, kau tak perlu minta maaf. Lagian kau tidak tinggal di kompleks ini. Apa kau mau coklat hangat?" Anaya menawari Anak itu, keduanya terlihat akrab. Tidak bertengkar lagi.
Anak itu mengangguk, "Tentu, eh siapa namamu?" Anak Lelaki itu berdiri menghalangi jalan Anaya yang hendak menuju dapur. Tangan Anak itu terjulur. Anaya menggenggam tangan Anak Lelaki itu.
"Anaya Prisila. Kamu?" Ucapnya seraya bertanya.
"Janson bram. pangil saja aku Jon." Jon tersenyum pada Anaya.
Anaya bergegas menuju dapur, membuat minuman, sementara hujan lebat di luar sana sekarang disertai petir menggelegar.
......................
Di kejauhan, sesosok hitam mengawasi mereka dari jauh, sosok itu berupa seperti bayangan. Sesaat sosok itu menyunggingkan senyum, yang memperlihatkan taringnya, matanya yang tadi menutup terbuka memperlihatkan mata yang berwarna merah darah. Tampak mengerikan melihat sosok itu, hujan membuatnya semakin samar, ia menghilang perlahan lahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!