"Kejar aku Kak, weee," sorak salah seorang anak laki-laki yang sedang berlarian bersama kakaknya lalu menjulurkan lidahnya mengejek kakaknya yang berlari terseok seperti kelelahan. Anak itu kembali berlari saat sang Kakak hampir menyentuh pundaknya.
"Aku lelah Kenzo, aku akui kau lebih kuat dibanding aku," ucap sang Kakak sambil duduk di tanah mengambil napas panjang.
"Yah kakak payah, E-eeeh, Ayah!" rengek anak anak itu karena digendong Ayahnya tanpa pemberitahuan.
"Kau ini, sudah tahu kakakmu itu tidak bisa terlalu lelah, kau masih saja senang mengajaknya berlari,"
"Aaaah... turunkan Yah,"
Pria itu tidak menuruti ucapan sang anak. Justru dia menggendong anak bungsunya seperti mengangkat karung beras di bahu kanannya. Dia berjalan menghampiri anaknya yang masih terduduk lelah.
"Ayo,"
Anak lelaki yang masih menormalkan detak jantungnya sehabis berlari mendongak lalu tersenyum melihat Ayahnya yang mengulurkan tangan kiri. Dia langsung berdiri sementara sang Ayah menunduk dan meraih pahanya dengan tangan kiri agar bisa menggendong anaknya satu tangan.
"Ayah aku turun saja," masih juga sang bungsu merengek padanya.
"Ibu kalian dimana?" dia bertanya. Pria itu baru saja kembali setelah dari pertemuan dan langsung pergi menuju kediamannya namun justru dia melihat keduanya ada di taman tanpa penjagaan. Beruntung penjaga depan tempat tinggalnya masih ada jadi masih tetap ada yang mengawasi.
"Ibu tadi mendadak pergi, katanya Bibi cidera busur panahnya memantul, eh, gimana tadi?" bocah itu justru menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal karena bingung sendiri.
"Hormat Paduka Kaisar," sapa salah seorang penjaga saat dia sudah berada didepan pintu. Pria itu hanya mengangguk.
"Dimana Permaisuri?" pertanyaan serupa pula dia lontarkan pada penjaga itu.
"Yang Mulia dihampiri oleh Dayang Shizuka dengan wajah panik. Hamba dengan Putri Harumi sedang berlatih memanah dan senar busur panahnya justru terputus saat panah sudah dilepas lalu menghantam dadanya hingga terluka,"
"Astaga!" Eiji berseru. Bagaimana bisa adik iparnya itu ceroboh. Dia langsung berbalik arah pergi menuju lapangan latihan memanah namun disana sepi tanpa orang kecuali para penjaga juga prajurit.
"Yang Mulia mencari Permaisuri?" tanya salah seorang penjaga.
"Ya,"
"Beliau di Paviliun Putri Harumi,"
"Terima kasih,"
Langkahnya panjang dan cepat tidak tertarik walau membawa dua bocah berat di kedua tangannya.
Didepan Paviliun banyak dayang yang berlalu lalang membawa nampan dan baskom kecil berisi air bersih dan handuk, ada juga berisi air berwarna merah.
"Yang Mulia Kaisar telah tiba," ucap salah satu penjaga.
Eiji langsung masuk kedalam paviliun itu dan dia bertemu sang istri didepan kamar Harumi.
"Apa yang terjadi?" tanya Eiji pada istri walau dia sudah tahu ceritanya.
"Senar itu putus dan menghantam dadanya yang Mulia, aku takut dia tidak terselamatkan, darahnya begitu banya keluar dipinggir lukanya juga membiru sangat lebar," Hana langsung memeluk suami dan anak-anaknya yang berada digendongannya pria itu. Eiji tidak membalas pelukannya karena dua bocah itu masih memenuhi tangannya.
"Tenanglah. Harumi bukan gadis yang lemah. Tapi bagaimana bisa semaunya putus? Apa Harumi berlatih dengan busur yang sudah lapuk," batin Eiji, dia tidak mau Hana semakin khawatir.
"Eiji, bawa anak-anakmu kembali, disini banyak darah, takut mereka trauma," Azusa menghampiri mereka sambil berucap.
"Iya Ibu Suri, aku titip Hana dulu,"
"Pergilah,"
Eiji kembali ke tempat tinggalnya dan menurunkan dua bocah yang ternyata tertidur saat dipeluk Ibunya tadi.
"Jonka!" serunya memanggil dayang setia istrinya itu.
"Iya Yang Mulia?"
"Jaga mereka,"
"Baik,"
Langkah berlari kembali menuju Paviliun Putri Hana dilakukan. Dia langsung masuk begitu saja mengabaikan ucapan penjaga yang memberitahukan orang-orang didalam jika ia tiba.
"Ini bukan masalah besar Ibu Suri, karena luka itu tidak dalam, dan membiru lebar itu akan segera hilang seiring sembuh, namun bekas lukanya yang jadi masalah,"
"Kenapa?" tanya Azusa.
"Bekas lukanya akan sulit hilang dan itu akan semakin membuat Putri Harumi sulit menikah,"
"Apa? Apa sebegitu sulitnya menyembuhkan bekas lukanya Tabib Suzu? Luka di kakiku bisa kau hilangkan?"
"Luka Permaisuri hanya tertusuk duri yang kecil, namun Luka Putri Harumi begitu lebar dan panjang,"
"Tidak! Aku sudah berniat menjodohkannya dengan Pangeran Ketiga Kerajaan Angin jangan sampai mereka menolak karena keadaan Putri Harumi yang memiliki bekas luka,"
Eiji melangkah mendekat, "apa tidak ada cara sama sekali Tabib Suzu? Aku akan mengusahakannya agar Putri Harumi tidak memiliki bekas luka itu," ucap Eiji mengabaikan keresahan Ibu Mertuanya.
Suzu menatap pada Eiji, bukan karena perhatian pria itu pada adik iparnya, tapi bingung hendak mengucap apa.
"Sebenarnya aku tidak tau ini benar berhasil atau tidak, tapi ada sebuah legenda mengatakan jika ada bunga yang bisa mengembalikan kulit yang cacat menjadi mulus kembali,"
"Bunga apa itu?"
"Bunga Petunia,"
"Petunia? Mawar biru?" giliran Hana yang berkata.
Tabib Suzu mengangguk.
"Dimana itu?"
"Di ujung barat tepi tebing tanaman itu tumbuh, tidak banyak tapi lebih dari cukup untuk membalur luka Putri Harumi. Aku tidak tau apa ini berhasil, tapi jika memang benar legenda itu tidak ada salahnya mencoba,"
"Tepi tebing?"
"Aku akan pergi,"
"Jangan Kaisar Eiji, kau hanya akan mengatakan nyawamu tepi tebing disana sangat tinggi, dibawah pun berbahaya karena ada bebatuan besar-besar kau hanya mengantar kan hidupmu kepada akhir," ucap Azusa.
Sementara Eiji menatap sang Istri.
"Biar aku yang pergi," kata Hana.
Dua wanita tua itu terperangah mendengar ucapan Hana.
"Kau tetap disini, aku titip Kekaisaran Bulan untuk sementara," ucap Hana.
Kakinya langsung melangkah meninggalkan kediaman sang adik tanpa menunggu suaminya menyetujui apa yang akan dilakukannya atau tidak. Eiji langsung pamit seadanya pada sang Mertua yang hanya dibalas anggukan lalu mengejar istrinya yang melangkah lebar tanpa peduli keadaan disekitar.
Sampai di kediamannya Hana langsung melepaskan atribut dan pakaian kebesaran khas Kekaisaran Bulan menggantinya dengan pakaian ringkas celana kulot panjang dan sweater sepinggang dengan kupluk pada kepalanya. Panah serta busur juga pedangnya yang tersimpan rapi diatas lemari juga diambil. Sepuluh tahun hidup didunia ini cukup membuatnya berlatih setiap harinya walau sempat tertunda saat dia hamil.
"Jangan gunakan panah Hana, aku takut apa yang terjadi pada Harumi juga terjadi padamu,"
"Tidak aku yakin sabotase atas barang-barang di ruang latihan, tidak mungkin Harumi sengaja berlatih dengan barang yang sudah lapuk. Aku sudah pergi melihat busur yang digunakannya, itu kayu jati yang sangat kuat, tapi hanya segarnya yang terlihat seperti senar yang memang sudah lama. Aku tidak yakin itu senar asli dari busur tersebut, aku yakin ada yang menggantinya. Aku mohon Eiji, lindungi keluargaku yang ada disini, kau memiliki kekuatan itu sedang aku tidak. sementara Harumi terluka parah. Ini tidak masuk akal,"
"Tapi bagaimana denganmu yang pergi sendiri,"
"Aku tidak masalah, aku yakin ini ada hubungannya dengan insiden sepuluh tahun yang lalu,"
Eiji menarik napas panjang. "Aku tidak bisa Sayang, aku mengkhawatirkanmu aku akan ikut, Tapi tidak sekarang kita tunggu Pangeran Eito datang kemari dia bisa membantu menjaga Kekaisaran Bulan selama kita pergi,"
"Itu terlalu lama,"
"Setidaknya nyawa Harumi tidak terancam, dia hanya akan ditakutkan memiliki bekas luka itu,"
"Tapi jika terlalu lama maka bekas luka lebih sulit dihilangkan jika lukanya sudah mengering, tidak itu jauh lebih sulit,"
Hana berjalan keluar meninggalkan Eiji lalu menemui Jonka yang sedang menemani anak-anaknya di kamar mereka.
"Siapkan kudaku," titahnya.
"Baik," Gadis muda itu bangkit meninggalkan Hana dengan anak-anaknya.
"Ibunda mau kemana?"
"Ibunda mau kemana?"
Tanya kedua anaknya hampir bersamaan. Hana berlutut menyamai tinggi keduanya.
"Ibu titip Bibi Harumi ya, kalian harus jaga dia agar segera sembuh, Ibu akan segera kembali," ucapnya lalu keluar.
"Aku tidak menahanmu, tapi aku tidak mengizinkan dirimu untuk terluka. Tebing itu selain dibawahnya ada batu besar, juga jalan menuju kesana tidak mudah, disana ada hutan berisi harimau buas, juga banyak ular kobra. Ada pemanas mereka juga burung elang,"
"Aku tidak berjanji untuk tidak terluka, tapi aku janji pasti kembali,"
Lagi-lagi Eiji menghembuskan napas berat sambil memejamkan matanya, tangannya merengkuh tubuh sang istri, "kau harus kembali," ucap Eiji menekan kata 'harus'.
...TBC...
Suara langkah kuda berpacu di keheningan senja. Tubuh yang sedikit membungkuk mengimbangi gerakan kuda dilakukan. Perjalanannya masih jauh, hanya bertemankan kuda serta alat tempurnya Hana terus memacu kudanya semakin cepat. Dia berharap dapat melewati hutan itu sebelum cahaya matahari menghilang.
Ketukan sepatu kuda yang semakin cepat menandakan dia yang juga semakin mendekati hutan itu. Langit semakin jingga, tidak lama lagi mega merah akan tiba dan cahaya itu akan benar-benar menghilang.
Detak jantungnya terpacu begitu kencang mengiringi hentakan kaki kuda pada tapakkan tanah. Kantong perbekalan yang tergantung pada pelana kuda juga ikut berguncang mengikuti hempasan angin dari langkah cepat yang ditunggang.
Swing...
Namun seakan tidak mengizinkan dirinya untuk segera sampai sebuah panah melesat cepat, tepat mengenai kaki depan kudanya.
"Aak," teriaknya kaget karena kuda langsung berdiri kaki dua merasa sakit pada kaki depannya. Tangan memeluk erat pada leher kuda itu sambil mengelus mencoba menenangkan, "Tenang Uma, aku akan mengobatimu, tapi sebelum itu tenang dulu agar aku bisa melawan mereka," ujarnya mencoba menenangkan kudanya. Elusan itu membuat kuda itu meringkik tenang lalu melangkah tertatih dengan tiga kaki karena satu kakinya terluka.
Hana turun lalu menuntun kudanya yang diberi nama Uma menuju ke bawah pohon lalu mengikat tali kekangnya kuat kesana. Obat-obat yang juga jadi perbekalannya dikeluarkan dari kantong yang menggantung di pelana. Tatapan mengitari sekitar melirik mencari dari mana asal panah tersebut. Namun dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan.
Segera dia menyalakan api hendak membakar pisaunya agar bisa membelah kulit kuda yang tertunda pisau. Beberapa obat-obatan juga dikeluarkan untuk mengurangi rasa sakit pada kaki itu agar mencabut panahnya nanti tidak membuat kuda itu mengamuk.
Saat sedang berjongkok didekat kaki kuda itu sekelebat bayangan terlihat dibelakangnya. Hana menoleh waspada. Namun tidak terlihat apapun disana. Kembali dia menatap kaki kuda dan membalur luka itu namun lagi-lagi konsentrasi buyar akibat suara gesekan dedaunan dibelakangnya.
Napas panjang ditarik lalu dihembuskan perlahan.
Tenang Hana, kamu pasti bisa. Batinnya berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tidak menentu.
Takut?
Sudah pasti dia rasakan, apalagi seorang diri didepan hutan saat cahaya matahari hanya ada diujung garis cakrawala.
Bayangan itu ada lagi, terlihat karena sinar bulan mulai muncul menerangi pandangannya, begitu juga dengan sinar api kecil yang menyala tidak jauh darinya.
"Huh!" panah itu sudah tercabut, darah segar mengalir dari dari luka itu.
Khihkhihkhihk..., Rintihan kudanya terdengar.
"Tenang Uma, kau pasti bertahan, sedikit lagi lukanya akan kututup,"
Tepat saat dia mengikat perban lapisan terakhir bayangan itu muncul lagi, namun tidak hanya lewat, melainkan...
Traaaang....
Suara pedang yang beradu, Beruntung Hana sigap menarik pedang yang ada didepannya hingga kepalanya tidak terlepas dari leher.
Tidak! Tidak untuk kali ini, dia tidak akan mengorbankan siapa pun. Keputusannya untuk mengambil Bunga Petunia itu seorang diri adalah keputusan yang benar.
Pedang si lawan terus menyerangnya membabi buta, namun latihan hampir sepuluh tahun ini pun tidak sia-sia, pedang datang dari arah samping segera dia tangkis juga dengan pedangnya, pedang datang dari atas dia tahan lalu didorong kedepan sekuat tenaga.
Khihkhihkhihk....
Terdengar lagi suara ringkikan kuda Hana yang merintih membuat wanita itu menoleh.
"Uma," sentak Hana melihat seseorang lagi hendak menebas kudanya yang mengamuk hendak lari. Ada penyesalan di hatinya saat melihat kuda kesayangannya itu tidak bisa melawan karena sakit terlebih tali kekang yang juga terikat ke dahan pohon. Seharusnya aku tidak perlu mengikatnya. Batinnya sangat menyesal.
Susah payah dia melawan pria yang menyerangnya demi menyelamatkan Uma namun tetap saja pria yang ada dihadapan kudanya sangat berniat membunuh kuda itu.
"Tidak.... Uma!" teriak Hana.
Krashhhh....
Hana menutup mulutnya, percikan darah itu terciprat sedikit ke wajahnya.
Khihkhihkhihk....
Masih kuda itu meringkik begitu juga dengan posisi Hana yang terduduk. Matanya terbelalak, seorang pemuda menolongnya, tidak lebih tepatnya menolong Uma.
"Siapa kau?" tanya pria dibelakang Hana.
"Malaikat mautmu," jawab pria yang menebas pria yang hendak membunuh Uma.
Hana tidak bergerak dari posisinya.
"Bawa temanmu itu, dan jangan pernah ganggu ketenangan wilayahku," usir pemuda itu.
Pria dibelakang Hana langsung lari mendekati mayat temannya dan pergi sejauh mungkin dari sana.
Pemuda yang menolongnya itu mengulurkan tangan agar Hana bisa bangkit dari keterkejutannya. Sementara Hana menatap pada pemuda itu lalu menatap tangannya yang terulur. Hana meraih tangan itu lalu berdiri mendekati kudanya yang masih terduduk dengan wajah ketakutan.
"Tidak apa-apa Uma, aku disini, kau sudah selamat," ucap Hana sambil memeluk kepala kuda itu yang masih merintih pelan.
"Apa yang kau lakukan di hutan tepi barat sore menjelang malam seperti ini?" tanya pemuda itu.
"Aku sedang mencari Bunga Petunia," ujar Hana menjawab pertanyaannya.
"Apa kau tidak tau disini sarang perompak, sebaiknya urungkan niatmu, jika kau nekat kesana hanya akan ada kematian menanti," pemuda berusaha memperingati Hana.
"Terima kasih atas pertolongan juga perhatianmu, Tuan. Tapi aku sangat memerlukan bunga itu," sahut Hana yakin.
"Jika kau tetap berniat pergi, lebih baik tunggu matahari kembali terbit, atau setidaknya tunggu keadaan kudamu lebih baik," ujar pemuda itu memberi saran.
Hana mengangguk, "kalau boleh tau siapa nama Tuan?" tanya Hana.
"Aku Akemi," sahutnya.
"Kalau begitu aku Hana, sekali lagi terima kasih, aku akan menginap disini saja," jawab Hana.
"Maaf, bukan aku bersikap kurang ajar, tapi disini cukup rawan wilayahnya, kau bisa menginap di tempat tinggalku jika kau mau, tapi aku hanya tinggal sendiri," Akemi menawarkan karena dia tidak tega.
Hana menimbang, cahaya matahari telah benar-benar hilang diujung cakrawala barat, dan ini mulai berbahaya baginya yang seorang diri mencari Bunga Petunia, "baiklah, aku tidak akan lama juga berusaha untuk tidak merepotkanmu, terima kasih tawarannya,"
Pemuda itu menunggu Hana yang sedang melepaskan ikatan tali kekang kuda pada dahan pohon. Setelah ikatannya terlepas dan Hana mulai menuntun langkah kudanya pemuda itu akhirnya berjalan didepan mendahului Hana, wanita itu mengikuti dari belakang sambil sesekali memandang awas pada kiri kanannya, khawatir sang penyerang datang lagi.
"Untuk malam ini mereka tidak akan berani lagi datang kemari, tapi tidak tau malam besok, mereka selalu bekerja malam hari, jika siang, disini cukup panas," ujar Akemi menjelaskan tanpa ditanya.
Hana hanya mengangguk paham terus melangkah mengikuti penolongnya itu.
"Ngomong-ngomong Hana, namamu sama dengan wanita nomor satu negeri kita," ucap pemuda itu tanpa menoleh.
"Itu memang aku, Akemi," ucapnya tanpa sadar dan santai.
...TBC...
"Hah? jangan bercanda! Apa yang dilakukan seorang permaisuri disekitar markas perompak malam-malam seperti ini," Akemi tersentak saat mendengar jawaban wanita dibelakangnya itu.
"Sudah kubilang aku mencari Bunga Petunia," sahut Hana mencoba membuat sang pemuda yakin dengan ucapannya.
Akemi hanya menggeleng tidak percaya sambil terus melanjutkan langkahnya.
Kaki Hana mulai menapak keatas lantai teras kayu yang sedikit kotor dan berdebu itu. Rumah itu bukan rumah lapuk apalagi reot, tapi keadaan sekitarnya yang berdebu membuatnya terlihat seperti rumah yang tidak terurus.
"Seperti yang kubilang aku tinggal sendiri disini jadi maaf, jika rumah ini cukup kotor," Pemuda itu tidak enak hati harus membawa tamunya ke rumah yang kurang nyaman seperti ini.
"Tidak masalah," Hana hanya menyahut singkat.
Mereka masuk kedalam rumah setelah Akemi mengantarkan Hana ke samping untuk mengikat tali kudanya di pohon samping rumah.
"Kau sudah makan malam?" tanya Akemi.
"Sebenarnya belum, tapi aku punya bekal untuk makan malam," jawab Hana.
"Ah, sebaiknya simpan bekalmu atau kalau mau kau panaskan silakan. Ini aku tadi berburu kancil dan berhasil menangkap satu mari makan," tawar Akemi.
"Ah, aku benar-benar merepotkan,"
"Atau kalau kau mau besok biar aku tambah bekalmu dengan daging kancil ini," tawar Akemi lagi.
"Terima kasih Akemi,"
"Makanlah," kata pemuda itu lalu mengajak Hana untuk duduk di lantai memakan makanan seadanya yang dia masak tadi.
-
Malam akhirnya terlewati, Hana terbangun saat mendengar suara air dibelakang rumah tempatnya menginap itu. Segera wanita itu beranjak lalu keluar menuju pintu belakang yang semalam hanya dia lihat samar-samar.
"Kau ingin mandi Hana, kemarilah aku sudah menyiapkan air untukmu mandi, disana kamar mandinya," ucap Akemi. Terlihat pemuda itu membawa ember-ember kayu berisi air yang dia ambil dari menimba di sumur.
"Terima kasih Akemi,"
"Kau selalu berterima kasih sejak semalam, sudahlah ini karena aku hanya ingin membantumu dengan tulus, ayo,"
Hana mengikuti pemuda itu pergi menuju kamar mandi karena ini mengetahui letaknya. Setelah mengetahui dimana letaknya dia kembali masuk kedalam untuk mengambil satu setel pakaiannya.
Selesai mandi Hana disuruhkan dengan hamparan piring berisi makanan sederhana yang disiapkan Akemi.
"Silakan makan Yang Mulia Permaisuri. Maafkan atas kelancangan Hamba yang menganggap jika Anda bercanda, dan sekali lagi juga Hamba meminta maaf hanya bisa menghidangkan makanan seadanya," ajak pemuda itu, dia langsung duduk diatas tikar tempatnya menghamparkan makan.
"Tidak masalah Akemi, aku bukan orang yang mencari popularitas juga kemarin aku awalnya berniat menyamar tapi karena lelah aku menjawab tanpa sadar. Bagaimana kau bisa yakin jika aku tidak bercanda?" Hana ikut duduk di tikar.
"Aku melihat lencana yang tergantung pada kalung kudamu, dan aku tahu jika itu adalah kuda milik Kekaisaran Langit, Kekaisaran Bulan dan Kekaisaran Matahari yang kini menjadi satu," jelas pemuda itu.
Hana mengangguk, "itu benar untuk sementara waktu Kekaisaran akan menjadi satu dengan nama Kekaisaran Langit, karena kami belum memiliki kandidat yang cocok untuk menjadi pemimpin,"
"Jadi kenapa Yang Mulia pergi sendiri, bukankah berbahaya apalagi yang didatangi bukanlah tempat biasa?"
"Ini demi adikku, aku tidak mungkin mengorbankan suami yang merupakan Kaisar dua wilayah atau juga orang lain untuk pergi karena aku tahu wilayah ini," jelas Hana.
Akemi tidak menjawab lagi, dia hanya mengangguk saat melihat Hana yang mulai mengambil makanan dan menyuapinya. Ada rasa segan saat berhadapan dengan wanita nomor satu di negerinya hingga enggan hendak berkata saat makan karena dia tau itu bukan hal yang santun.
Selesai makan Akemi langsung menyiapkan beberapa potong daging kelinci bakar yang dia janjikan semalam kedalam kotak bekal untuk diberikan kepada Hana.
"Ini Yang Mulia, hanya ini bantuan yang bisa saya berikan pada Anda, maaf jika apa yang saya suguhkan dan sediakan kurang berkesan bagi Yang Mulia," pemuda itu menyerahkan kotak bekal Hana yang sudah dia bungkus dengan kain lalu diikat.
"Astaga Akemi, kau tidak perlu repot seperti ini, aku sudah menyiapkan perbekalanku, dan ini cukup untuk seminggu, lagi pula tidak sulit bagiku untuk berburu seekor kancil atau burung di hutan," ucap Hana.
"Tidak apa Yang Mulia, Anda tamu saya sudah sepatutnya saya memberikan yang terbaik," balas Akemi.
"Jika begitu terima kasih," lalu dua melompat naik keatas kuda.
"Anda berbeda dari para pejabat atau petinggi Kerajaan, jika mereka biasanya akan bersikap angkuh dan tidak pernah berucap terima kasih, tapi kau yang derajatnya sangat jauh dari mereka justru sangat sering aku mendengar kalimat itu kau ucapkan,"
Hana hanya tersenyum, lalu mengucap, "aku pergi,"
Akemi hanya mengangguk.
Kuda dipacu pelan karena kakinya masih belum kuat untuk berlari, walau tidak dalam, tapi darahnya keluar banyak kemarin. Hana tidak ingin dia kehilangan Uma yang sudah menemaninya sejak dulu.
Uma adalah kuda yang dulunya miliki Akihiro saat pria brengsek itu menyerangnya di gua, dan entah kenapa Hana benar-benar jatuh cinta pada kuda betina itu. Uma sendiri sudah pernah dipasangkan dengan kuda baru milik Eiji dan memiliki beberapa anak, mungkin setelah pulang dari sini Hana akan mengistirahatkan Uma dan hanya akan dipelihara tidak lagi digunakan untuk perjalanan.
"Kau masih kuat Uma?"
Khihkhihkhihk...
Ringkik kuda itu seakan menyahut pertanyaan tuannya.
Hana hanya tersenyum dan terus mengarahkan Uma untuk menuju arah yang benar.
Sekitar dua jam perjalanan pelan akhirnya Hana sampai ditepi hutan. Mengumpulkan segenap keberanian yanh entah kenapa tiba-tiba hendak menguap, menarik napas sedalam-dalamnya Hana akhirnya melangkah.
"Tunggu Yang Mulia," seru seseorang diiringi dengan suara hentakan kaki kuda yang menapak tanah begitu kencang.
Langkah kaki kudanya melayang saudara sebelum akhirnya berhenti dan berbalik melihat orang yang memanggilnya.
"Akemi?" mata wanita itu membola tidak menyangka pemuda itu akan menyusulnya.
"Syukurlah Anda belum masuk,"
"Ada apa? Kenapa kau menyusulku?"
"Hormat Yang Mulia Permaisuri Kekaisaran Langit, semoga Yang Mulia panjang umur,"
"Ada apa Akemi?" tanya Hana mengulang pertanyaan yang sebelumnya.
"Tidak Yang Mulia, aku hanya seorang pemuda yang hidup sebatang kara setelah kakekku meninggal satu minggu yang lalu," sahut Akemi yang tidak searah dengan pertanyaan Hana.
"Aku turut berduka, tapi apa maksudmu menyusulku seperti ini? Apa ada barangmu yang hilang terbawa olehku?" Dahi wanita itu mengerut dengan pertanyaannya sendiri. Tidak ada satu pun dia mengambil barang milik Akemi kecuali pemuda itu sendiri yang memberikan kotak bekalnya dengan selembar kain sebagai pembungkus
"Eh, tidak bukan begitu," Akemi menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung menjawab pertanyaan Hana.
"Lalu apa?"
"Izinkan aku jadi pengikutmu Yang Mulia,"
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!