Nazril menghempaskan tubuhnya ke kursi kerjanya, sambil menghela nafas berat. Dia sangat kesal karena pada rapat dengan klien hari ini ia gagal mengambil proyek.
"Sabar Ril, kita kan cuma sekali ini kalah dengan timnya Bimo," ucap Indra rekan kerja yang juga teman Nazril dari SMA.
"Iya sih Ndra, anggap saja kita rehat sejenak," ucap Nazril, walaupun dalam hatinya penuh dengan kekesalan.
"Hai Ril, Ndra," sapa Bintang yang juga teman mereka, dia adalah seorang model ternama di kota itu.
"Hai Bin," sahut Indra, sedangkan Nazril masih sibuk dengan laptopnya.
"Biasalah, lagi bad mood dia, makan siang yuk Bin, laper nih," ajak Indra.
"Yuk, ayolah Ril, kita makan siang sama-sama, aku kangen sama kamu," ucap Bintang yang dengan manja memeluk pundak Nazril
"Kenapa sih dia, mukanya kaya ditekuk gitu?" tanya Bintang pada Indra.
Nazril yang merasa risih memandang Indra memberi kode agar Indra segera membawa pergi Bintang menjauh darinya.
"Ayo Bin, jadi makan siang ga sih, yuk, biarin tuh si Aril sendirian dulu, fokus sama proyeknya," Indra menyeret teman perempuannya itu keluar dari kantor Nazril.
Sepeninggal mereka, Nazril mengambil ponselnya, mencari kontak seseorang dan menghubunginya.
"Halo, Pah," Nazril menyapa papanya.
"Halo, iya Ril, ada apa?" tanya papa Mirza di seberang sana.
"Papa jadi mau bangun gedung rawat inap paviliun baru?" tanya Nazril.
"Iya, nunggu kamu, katanya kamu masih sibuk," sahut papa Mirza yang merupakan pemilik sekaligus direktur rumah sakit Medika Utama.
"Aku kalah dari Bimo Pah, Bimo yang dapat proyek desain jembatan kota itu," ucap Nazril dengan lesu.
"Okelah, jangan kecewa, rumah sakit ini juga rumah sakit milik mu, kamu desain saja sesuai selera kamu, papa percaya sama kamu," tutur papa Mirza.
"Baik pa, terima kasih," ucap Nazril.
"Eh, Ril, tadi mamamu bilang mau mampir ke kantor kamu, sudah nyampe sana?" tanya papa Mirza.
"Mama? Oh itu, baru masuk kantor, kalau begitu aku tutup dulu pa," ucap Nazril mengakhiri panggilan teleponnya.
"Assalamualaikum Aril anak Mama," sapa mama Elsa, yang duduk di sofa ruang kerja Nazril.
"Waalaikumussalam," sahut Nazril yang menyusul sang mama duduk di sofa, dia cukup terkejut melihat mamanya, sepulang dari umroh mama Elsa mulai belajar memakai jilbab.
"Mama, pakai jilbab?" tanya Nazril.
"Iya, menutup aurat wajib bagi seorang muslimah, walaupun mama belum pandai agama, tapi namanya kewajiban ya harus dilaksanakan," jawab mama Elsa.
Keluarga papa Mirza yang merupakan seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, dari dulu memang tidak terlalu menekankan agama pada keluarganya, yang penting anak-anaknya sehat dan berprestasi, bagi mereka sudah cukup.
Namun semenjak umroh kemarin, mereka merasakan hidup mereka jauh lebih tenang dengan berusaha terus untuk belajar agama.
"Kaget ya lihat mama tambah cantik kalau pakai jilbab?" tanya mama Elsa.
"Ga juga sih, mamaku dari dulu memang cantik, eh jangan bilang kalau Mba Ziva juga pakai jilbab sekarang?"
"Eh, kamu bener lho, belum ketemu kamu sama Zivanna?" tanya mama Elsa. Zivanna adalah kakak satu-satunya Nazril yang berprofesi sebagai dokter kandungan di rumah sakit keluarga mereka.
"Belum ma, aku kemarin-kemarin masih sibuk dengan persiapan proyek desain jembatan, tapi ternyata kalah sama tim nya Bimo, desain tim Bimo yang dipilih Pemkot," jawab Nazril lesu.
"Bimo saingan kamu dari kuliah itu?" tanya Mama Elsa. Nazril hanya mengangguk.
"Sabar, anak mama, karya kamu di kota ini maupun di luar kota sudah banyak, anggap saja kamu sedang istirahat sejenak," ucap sang mama mencoba menenangkan putranya.
"Iya Ma, tapi aku sudah bilang papa, mau buatkan desain buat gedung paviliun rumah sakit yang baru," ujar Nazril.
"Iya, sayang, nanti kamu pulang cepat ya, kita makan malam bareng, mama akan masakin makanan kesukaan kamu," tutur mama Elsa.
"Iya Ma, eh Mama ke sini sebenarnya mau ngapain? Tumben banget," tanya Nazril, memang mamanya itu sangat jarang mengunjungi kantor Nazril kecuali ada keperluan penting.
"Oh itu, mama mau minta tolong, mama kan sekarang kursus membaca Al Qur'an, kamu mau ikut juga?" tanya mama Elsa, sebenarnya dia ingin putranya ini berubah, menjadi orang yang taat beragama, namun mama Elsa juga tidak mau terlalu menekannya.
"Aku sibuk ma, beneran mama cuma tanya itu?" Nazril merasa mamanya hanya basa-basi.
"Iya sih ada lagi, itu guru les mengaji mama itu anaknya teman lama mama, pemilik toko buku di dekat rumah sakit kita, dia itu baru lulus kuliah, jurusannya desain interior, mama pengen nitip dia buat kerja di sini, dia sudah kirim lamaran kemana-mana, tapi semua orang memandang sebelah mata dengan penampilannya, padahal dia sangat rajin lho," tutur mama Elsa.
"Memang bagaimana penampilan dia?" tanya Nazril.
"Dia memakai jilbab lebar dan gamis," sahut mama Elsa.
Nazril melihat luar ruangan kantornya, dari tiga rekan perempuan, hanya satu yang memakai jilbab, tapi tidak ada yang memakai gamis, mereka memakai celana ada yang rok pendek, walaupun semua orang muslim di sana.
"Ribet juga lihat dia kerja pakai pakaian begitu, lagian desain interior kami sudah ada tiga," ucap Nazril yang intinya menolak permintaan mama Elsa.
"Ah kamu Ril, mama mohon sama kamu, mama jamin kerja dia bagus, dia rajin, dan berprestasi, dia lulusan terbaik di jurusannya, lulusan universitas negeri juga," mama terlihat memelas meminta tolong pada Nazril, entah apa tujuan mama Elsa sampai memohon-mohon pada Nazril seperti itu.
"Untuk desain interior sudah penuh ma, ada juga bagian umum, pegawai yang lama aja cuma sebulan bertahan, apa sanggup dia, bikin kopi, beres-beres, pokoknya dia bantuin semua orang tugasnya, apa dia sanggup?" tanya Nazril, sengaja agar mamanya mengurungkan niat untuk membawa gadis itu ke kantor ini.
"Mama yakin pasti bisa, dia ulet dan terampil kok, sabar banget ngajarin mama baca Al Quran," mama Elsa tetap keukeuh pada keinginannya.
"Ya udahlah terserah Mama," ucap Nazril.
"Besok, suruh datang ke sini jam delapan pagi," Nazril juga akhirnya menyerah dengan sang Mama. Dia tidak ingin ribut dengan mamanya, karena hari ini mood dia sudah berantakan.
"Okelah, mama pulang dulu, jangan lupa nanti makan malam di rumah ya Ril," pesan mama Elsa sebelum pergi.
"Iya Ma," sahut Nazril.
Setelah mama Elsa pergi, Nazril kembali fokus dengan pekerjaannya, ide-idenya ia tuangkan dalam rencana desainnya. Tangannya bergerak melukis imajinasi dan pemikirannya. Sejak kecil Nazril suka menggambar gedung-gedung dan jembatan, gambarnya bagus juga tulisannya rapih, sehingga dia memilih menjadi arsitek ketimbang dokter seperti papa dan kakaknya.
Di kafe dekat kantor Nazril, Indra dan Bintang sedang makan siang.
"Kenapa sih Aril sekarang susah banget diajak gabung sama kita..." keluh Bintang yang merasa kesal.
"Dia fokus sama pekerjaannya Bin," sahut Indra.
"Kita selalu sama-sama dari SMA, kuliah walaupun jurusan aku beda, tapi kampus juga sama, sampai dia ambil gelar master di luar negeri, kita bertiga baru pisah, sekarang bertemu lagi, tetap aja dia sibuk," gerutu Bintang.
"Ga pengen apa kata yang lain, ada waktu main, pacaran, kaya kamu, berapa kali sudah kamu pacaran, sedangkan Aril...hmmm...dari lahir ngejomblo aja, kaya aku..." Bintang jadi sedih.
"Kamu ga capek apa dari dulu ngejar-ngejar Aril," sahut Indra yang tentu saja tahu Bintang sangat menyukai Nazril dari dulu.
"Ga tau Ndra, bagiku Aril segalanya, aku suka banget sama dia dari dulu, tapi dia kenapa ga pernah sedikitpun melirik ke arahku... Apa sebenarnya orientasi seksual dia bermasalah?"
"Hush ngawur aja kamu, gimana bisa dia dapat pacar, setiap kali dekat dengan cewek, kamu rundung cewek itu habis-habisan, ya takutlah mereka yang mau deketin Aril, dan Aril itu nganggap kamu saudara perempuannya, kamu itu cantik loh Bin, banyak juga cowok yang suka sama kamu, kenapa kamu ga pilih salah satu dari mereka saja?"
"Entahlah Ndra, aku juga ga tau kenapa aku sesuka itu pada Aril,"
.
.
Seperti biasa selepas Maghrib, mama Elsa kursus mengaji, mama Elsa memanggil putri temannya yang bernama Zahra itu untuk mengajarinya membaca Al Qur'an.
Mama Elsa membaca walau masih terbata-bata, Zahra menyimaknya dengan baik, dan sesekali mengoreksi bila ada bacaan yang salah.
Sampai adzan isya berkumandang, Zahra pun mengajarkan pada mama Elsa cara menjawab adzan, dan membaca doa setelah adzan.
Mereka berdua kemudian sholat berjamaah di musholla rumah. Sayup-sayup terdengar bacaan Alfatihah dan surat pendek, Nazril yang pulang kerja mendengar suara indah itu karena untuk ke kamarnya, ia harus melewati depan musholla itu.
Nazril segera membersihkan dirinya, berganti pakaian, dan turun ke bawah untuk makan bersama orang tuanya.
Namun ia melihat pemandangan tak biasa di meja makan, ada seorang gadis yang bergabung bersama papa mamanya.
"Ril, duduk sini," panggil sang papa.
"Baik Pa," sahut Nazril yang dari dulu selalu menurut pada papanya, sebenarnya pada sang mama juga menurut, walau kadang harus ribut bertengkar dulu, ujung-ujungnya Nazril yang menyerah pada mamanya.
"Kenalin ini Zahra Ril, yang ngajarin mama ngaji," ujar mama Elsa.
"Oh...Nazril," ucap Nazril menganggukkan kepalanya pada Zahra.
"Zahra," sahut Zahra yang juga menganggukkan kepalanya.
Mereka kemudian makan dengan khidmat, suasana menjadi sepi, saat semua sibuk dengan makanannya.
"Jadi ini Ma, yang mau kerja di kantor Nazril?" tanya Nazril memecah keheningan.
"Iya, gimana Ra? Sudah siap besok kerja di kantor Aril?" tanya mama Elsa.
"Iya, Tante in syaa Allah," sahut Zahra.
"Mama titip Ara ya Ril... Ra kalau Aril sewenang-wenang sama kamu, laporin saja ke saya ya, biar saya yang kasih pelajaran," ujar mama Elsa.
"Apaan sih ma, masa anak sendiri dikasih pelajaran," gerutu Nazril.
"Makanya ntar jangan galak-galak sama Ara, kalau gak, awas aja kamu," tukas mama Elsa.
Nazril sekilas melirik ke arah Zahra, dalam hatinya siapa sih gadis itu, kenapa mama bisa sayang banget sama dia, sampai segitunya nyariin kerjaan dan pesan aku buat jagain dia....
.
.
.
Keesokan harinya sesuai pesan Nazril, Zahra datang pukul delapan pagi Zahra memasuki kantor perusahaan Nazril.
Di depan terlihat Mba resepsionis sedang membersihkan meja kerjanya.
"Selamat pagi Mba, ada yang bisa kami bantu?" tanya Maya resepsionis itu.
"Saya Zahra, saya diminta pak Nazril untuk datang ke kantor jam delapan pagi," sahut Zahra.
"Oh, iya Mba Zahra pegawai bagian umum yang baru, mari ikuti saya Mba," ucap Maya.
"Baik Mba," sahut Zahra mengikuti Maya ke dalam kantor.
"Pak Nazril berpesan ke saya untuk menunjukkan tugas kamu," ucap Maya.
"Kok masih sepi Mba..." ucap Zahra yang melihat kantor masih sepi, hanya ada dia, Maya, dan seorang cleaning service yang sedang menyapu.
"Iya, jam kerjanya mulai jam sembilan di sini," sahut Maya.
"Nah ini dapurnya, kalau pagi masak air pakai teko listrik ini, lalu bikin yang sesuai dengan data di sini," Maya menunjuk selembar kertas yang tertempel di pintu lemari es.
"Setiap pegawai punya selera sendiri-sendiri, terutama pak Nazril, jangan sampai salah, mug mereka ada nama masing-masing, jangan sampai keliru," pesan Maya.
"Airnya pakai air mineral ini, jangan pakai air kran, pak Nazril bisa sakit perut kalau minum air kran, kalau habis, kamu bisa ambil di gudang," lanjut Maya.
"Di kulkas, ada camilan, boleh ambil satu orang satu Snack perhari, setiap mau pulang kerja kamu harus isi lagi, stoknya ada di kulkas, kalau habis kamu belanja di mini market sebelah, uangnya minta Mba Nesya bagian keuangan," Zahra dengan cekatan mencatat pada buku catatan kecilnya, sambil mengikuti dan memperhatikan Maya.
"Kemudian, ini meja kamu, kalau kamu sudah selesai bikin minuman, duduk aja di sini, dan di sebelah kamu itu, ruangan pak Nazril, jadi jangan sampai kelihatan menganggur apalagi sampai ketiduran, karena pak Nazril akan langsung melihat kamu dari sana,"
Zahra melihat meja dan kursi dengan papan nama Nazril beserta gelar pendidikan dan jabatannya sebagai CEO perusahaan arsitektur ini, di dalam ruangan kaca tembus pandang di sebelahnya.
"Mba Maya resepsionis, tapi kok sudah fasih banget jelasin kerjaan bagian umum," ucap Zahra.
"Iyalah, bagian umum yang betah paling lama cuma sebulan, gimana ga hafal, kan tiap bulan ada anak baru yang perlu dijelasin," sahut Maya.
"Kenapa bisa gitu Mba?" tanya Zahra.
"Iya, macem-macem sih alasannya keluar, yang terakhir itu dipecat gara-gara ganjen sama pak Nazril, pak bos ga suka cewek ganjen, kamu hati-hati kerjanya, semoga betah, biar saya ga repot jelasin lagi kerjaan bagian umum ke anak baru," ucap Maya.
"Baik Mba, makasih ya sudah jelasin saya tugas dan pekerjaan saya di sini," ucap Zahra.
"Iya, segera bikin minuman, sebentar lagi pada dateng pegawainya,"
Zahra segera melakukan apa yang ditugaskan kepadanya, sejenak kemudian, satu persatu pegawai datang dan mulai memenuhi meja, Zahra mengantar minuman yang telah ia buat ke para pegawai sesuai dengan nama di mug dan nama di meja kerja.
Dan Nazril pun datang, melihat Zahra membawa nampan berisi mug minuman miliknya.
"Ra, ikut saya ke ruangan saya," perintah Nazril.
"Ra, ikut saya ke ruangan saya," perintah Nazril.
"Baik Pak," sahut Zahra kemudian mengikuti Nazril ke ruangannya.
"Duduklah," pinta Nazril yang juga duduk di sofa, Zahra duduk di sofa sebelahnya.
"Kamu sudah diberi tahu Maya mengenai tugas kamu?" tanya Nazril.
"Iya, sudah," sahut Zahra.
"Baik, kamu belum punya mug untuk minum ya?" tanya Nazril.
"Belum, saya belum bawa, Pak," sahut Nazril.
"Pakai punya saya yang lama, bentar aku ambilkan," Nazril berdiri menuju mejanya dan membuka salah satu lacinya, ia mengambil mug warna hitam di sisinya tertulis nama Nazril dengan tinta emas.
"Ini buat kamu, hadiah dari Mama pakailah, aku masih punya yang itu, dari pada mubazir, kamu pakai aja, kalau kamu yang pakai mama pasti ga akan marah," ucap Nazril.
"Baik Pak, terima kasih," sahut Zahra menerima mug indah itu.
"Dan tugas pertama kamu, tolong susun proposal yang sudah dicetak ini menjadi satu bendel yang bagus, jumlahnya ada lima puluh bendel, satu bendelnya ada sembilan belas halaman, kamu urutkan, minta stapler dan lakbannya ke Anita ya, yang di sana yang pakai jilbab itu," tutur Nazril seraya menunjuk ke arah Anita.
"Oh baik Pak," sahut Zahra. Yang segera menemui Anita untuk meminta peralatan yang tadi Nazril sebutkan. Dan Nazril sudah kembali ke balik mejanya, dan sibuk dengan komputernya.
"Maaf Pak, apa saya harus menyusun lembaran proposal ini di sini? Takutnya saya malah mengganggu Pak Nazril," ucap Zahra.
"Di sini lantainya paling luas, kalau kamu kerjakan di meja pasti kesulitan, karena kertasnya banyak, kalau di lantai luar sana, banyak yang lewat, di sini saja paling aman, asal jangan berisik," sahut Nazril.
"Baik Pak," Zahra kemudian segera menyusun dan mengurutkan halaman proposal itu, dan tiba waktu menyetapler, dia nampak kesulitan. Nazril yang melihatnya, langsung berdiri, membuka kancing tangan bajunya,dan dilipatnya sedikit.
"Ga kuat Ra?" tanya Nazril yang ikut berjongkok di samping Zahra.
"Ah...i...iya Pak, maaf," sahut Zahra.
"Kalau ga kuat bilang, minta tolong, jangan diam saja, ntar ditanya mama kamu bilang aku kasih pekerjaan berat..." Nazril meraih stapler dari tangan Zahra dan membantu Zahra.
"Nggak kok pak, saya ga akan bilang begitu," ucap Zahra.
Ketika Nazril membantu Zahra, Indra mengambil foto keduanya, atas permintaan seseorang, siapa lagi kalau bukan mama Elsa. Mama Elsa khusus meminta Indra untuk mengawasi Nazril agar bersikap baik pada Zahra pegawai barunya.
Mama Elsa di rumah tersenyum-senyum melihat foto Nazril sedang berjongkok membantu Zahra.
Setelah mendapat separuh dari target bendelan proposal, Nazril berdiri meminum kopi yang dibuatkan Zahra pagi ini. Nazril merasakan kopi ini tidak seperti biasanya, namun rasanya bertambah enak, dan dia menyukainya.
"Kamu minum dulu Ra, dari tadi belum istirahat," ucap Nazril.
"Iya Pak," sahut Zahra, namun tak beranjak dari lantai. Nazril baru sadar, kalau mug yang tadi ia berikan pada Zahra masih utuh di atas meja, kosong karena Zahra belum sempat membuat sebelum ia beri tugas tadi.
"Minum air dulu, aku lupa tadi kamu belum sempat bikin minuman untukmu sendiri," ucap Nazril yang mengambil botol air mineral di meja, yang biasanya untuk tamu, dan dia berikan pada Zahra.
"Terima kasih Pak," ucap Zahra yang kemudian meminum air itu.
"Pak Nazril ini seorang CEO, arsitek yang sudah punya nama juga, tapi kenapa mau bantuin saya kerjain hal remeh semacam ini?" tanya Zahra.
"Hmm..." Nazril duduk di sofa untuk istirahat sebentar.
"Kamu lihat sendiri, rekan kerja saya tidak banyak, dan mereka sudah ada tugas sendiri-sendiri, biasanya pekerjaan ini memang bagian umum yang kerjain, dulu yang kerja kebanyakan cowok, jadi kuat kerja sendiri, tapi mereka sudah pada resign, mungkin sudah dapat pekerjaan yang lebih baik," jawab Nazril. Zahra hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Nanti jam dua proposalnya aku bawa ke rumah sakit untuk dirapatkan dengan dewan direksi, kamu ikut ya, bantuin bawa snack dan minuman, kamu sudah pesen belom snacknya?" tanya Nazril.
"Belum Pak, pesannya dimana ya?" Zahra balik bertanya.
"Di depan ada toko kue, kamu tanya aja Windy, itu yang di sana," Nazril melihat ke arah Windy yang juga sibuk dengan komputernya.
"Baik Pak, tapi saya mau izin sholat dulu, sudah adzan dhuhur," ujar Zahra karena memang reminder adzan di ponselnya sudah berbunyi.
"Iya sih, sudah jam makan siang juga, iya kamu istirahat," ucap Nazril.
"Baik Pak," Zahra kemudian sholat di gudang belakang. Selesai sholat, Zahra keluar dari gudang, ia heran kenapa kantor tampak sepi, hanya tinggal Nazril di dalam ruangannya.
"Maaf Pak, teman-teman pada kemana ya?" tanya Zahra pada Nazril.
"Lagi makan siang, sini duduklah, aku sudah pesan nasi bento, makanlah," ucap Nazril. Ia rupanya bersungguh-sungguh menepati janjinya pada sang mama untuk menjaga dan memperlakukan Zahra dengan baik.
Dengan ragu Zahra duduk di lantai dan meraih kotak nasi bento dari hoki-hoki benti itu.
"Duduklah di sofa, kamu bukan pelayan Ra," ucap Nazril.
Zahra hanya bisa menuruti kata bosnya itu.
"Kalau lagi ga ada siapapun di kantor, atau pas di luar, jangan panggil aku pak ya, kelihatannya aku udah tua banget, panggil Nazril aja, atau Aril," ucap Nazril.
"Tapi pak Nazril memang beberapa tahun lebih tua dari saya, saya ga enak manggil nama saja, saya panggil kak Aril boleh?"
"Iya, terserah kamu saja," sahut Nazril.
"Dan kalau cuma kita berdua di kantor, apa tidak akan jadi fitnah pak...eh maksud saya kak Aril,"
"Kamu lihat itu, cctv mengarah ke sini, dan di seluruh ruangan, kecuali kamar mandi dan gudang belakang, ada cctv semuanya, kalau aku macam-macam sama kamu, bisa dilihat di rekaman cctv," jawab Nazril dengan santai sambil menikmati makan siangnya.
"Oh begitu," sahut Zahra.
"Pak, untuk besok, biar saya bawa bekal dari rumah saja Pak, eh Kak," lanjut Zahra, dia tidak ingin merepotkan Nazril, apalagi sampai karyawan lain tahu, dia tidak ingin dicap sebagai anak emas bosnya.
"Baiklah," ucap Nazril, ia melihat sekilas ke arah Zahra, setelah sholat mengapa wajahnya semakin bersinar, teduh, dan Nazril merasa nyaman melihatnya.
Deg ....sholat...sesuatu yang Nazril hampir lupakan dalam hidupnya, selama ini dia sibuk belajar dan mengejar kenikmatan dunia, sampai lupa untuk bersujud kepada Pemilik hidupnya. Ia sudah lupa bagaimana caranya sholat, kapan terakhir ia mendirikan sholat. Karena hari-hari ia lewati begitu saja, semua materi dia dapat, tetapi kebahagiaan hati sulit dia dapatkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!