"Tak peduli jika aku harus melakukan hal yang berbahaya sekali pun, asal aku bisa hidup abadi di Surga setelahnya, El. Aku mohon ... Mengapa sulit sekali saat aku yang meminta? Fiona saja sekarang sudah bahagia di sana." Shienna—malaikat berparas cantik itu berlutut. Meminta pada Elena—Malaikat yang memiliki pangkat lebih tinggi darinya.
"Itu karena Fiona berhasil menyelesaikan misinya, Shienna. Lalu apakah kau yakin bahwa kau akan bisa seperti Fiona?" tanya Elena, melipat kedua tangannya di depan dada. Ia berdecih dan memutar bola matanya. "Kau, tugas yang ringan saja selalu ceroboh."
Shienna seketika terdiam. Benar, ia mengakui bahwa dirinya sendiri itu ceroboh, bahkan sangat ceroboh. Berkali-kali ia melakukan kesalahan dalam tugasnya tetapi Elena tidak pernah memberikan hukuman yang berat padanya. Ia benar-benar beruntung mendapatkan Elena.
"El ... aku mohon." Shienna menyatukan kedua telapak tangannya.
Menghembuskan napas, Elena lalu meminta Shienna untuk berdiri. "Maka, hiduplah sebagai manusia dan jalani kehidupan sebagaimana manusia melakukannya setiap hari di bumi. Jika kau berhasil maka kau akan mendapat apa yang kau mau," jelas Elena.
Shienna membulatkan matanya. Ia tak berkedip sama sekali. Antara ingin merasa bahagia atau bingung memikirkan bagaimana ia harus melakukan sesuatu di bumi, tapi yang jelas Shienna pasti akan menjalankan tugas dari Elena itu.
"Bagaimana aku melakukannya? Apakah aku akan mendapat pekerjaan? Atau aku menjadi murid sekolahan? Lalu, apa yang tidak boleh aku lakukan?" pertanyaan-pertanyaan Shienna itu membuat Elena ingin berteriak dengan kesal. Apakah ia tidak bisa menanyakannya satu per satu?
"Jangan jatuh cinta pada siapapun." Ucapan Elena itu membuat Shienna bungkam seketika.
"Lalu ... Bagaimana jika aku malah jatuh cinta?" tanya Shienna ragu-ragu.
"Maka sayap mu perlahan akan rusak di setiap kau merasa jatuh cinta. Apakah kau tahu bagaimana resikonya jika sayap mu rusak sepenuhnya?"
Shienna menggeleng kepala. Matanya begitu memancarkan rasa takut dan khawatir. Andai saja ia bisa memilih tugas sendiri, maka ia akan menghindar dari tugas ini. Ia sangat tidak yakin pada dirinya sendiri.
"Maka kau tidak bisa terbang ke Surga."
—oOo—
Setelah berpikir panjang, akhirnya Shienna memutuskan untuk menerima tugas dari Elena. Dengan penuh kepercayaan diri ia mendatangi dan ia setuju dengan apa yang Elena perintahkan.
"Baiklah El, apa saja yang akan aku lakukan nantinya?" tanya Shienna, menghampiri Elena yang sedang berdiam diri.
"Mana aku tahu. Lagipula, memangnya kau setuju?" Elena malah bertanya balik.
"Aku setuju, El." Shienna mengangguk dengan mantap. Hingga sebuah pertanyaan terlintas dipikirannya. "Tapi tunggu, berapa hari aku harus hidup menjadi manusia?"
"Sembilan puluh sembilan hari," jawab Elena singkat.
Memejamkan mata, Shienna lantas menganggukkan kepala. Ia tersenyum, menatap wajah Elena dengan tatapan yang meyakinkan.
"Baiklah, El. Aku akan berusaha semaksimal mungkin," ucap Shienna pada akhirnya.
"Ya, kau harus."
"Tapi, apakah ada perbedaan dariku saat aku menjadi manusia?"
"Mungkin kemampuanmu akan sedikit berkurang."
Shienna mengangguk. "Kapan aku akan memulai?" tanya Shienna sekali lagi.
"Sekarang."
......................
Shienna menggerutu sedari tadi. Ia belum menyiapkan apapun, tetapi ia sudah dikirim ke bumi saat itu juga. Ia bingung sekali harus pergi kemana. Lagipula, sepertinya ini masih malam hari karena langit masih terlihat gelap dan tidak ada seorang pun di sana selain dirinya yang sedang berjalan tanpa tujuan juga tanpa membawa apapun selain pakaian yang ia pakai.
"El, kau jahat sekali. Ini sangat dingin, mengapa kau tidak membiarkan aku memakai pakaian yang lebih tebal untuk menghangatkan badanku?" Shienna tak mendapat balasan apapun dari Elena. Tentu saja, Elena sedang berada jauh darinya sekarang.
"Aish ... Aku harus pergi kemana? Apakah aku harus menginap di hotel? Tapi aku tidak mempunyai uang atau apapun. Bagaimana jika aku tidur di depan toko sana? Ah, itu tidak mungkin. Bagaimana jika saat esok pagi aku bangun dan orang-orang mengira kalau aku adalah orang gila. Ah, itu terlalu mengerikan."
"Bahkan kau sudah menjadi seorang tunawisma sejak berada di sana, Shienna." Suara Elena tiba-tiba muncul. Shienna langsung mencari ke segala arah, namun ia tidak mendapati keberadaan Elena di dekatnya.
Shienna merasa frustasi. Ia mengacak rambutnya dan menghentak-hentakkan kakinya. Ia terus berjalan meski dengan emosi yang meletup-letup.
"Langit! Berikan aku uang, setidaknya untuk menyewa sebuah kamar di hotel," ucap Shienna sambil mengangkat kedua tangannya. Berharap permintaannya itu akan dikabulkan. Namun, ternyata tidak ada jawaban apapun atau bahkan uang yang turun kepadanya.
"Aish, aku benar-benar bisa gila jika terus seperti ini." Shienna meracau.
Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk menyebrangi jalanan. Tanpa melihat ke kanan dan ke kiri, ia berjalan lurus saja. Sampai-sampai ia tidak menyadari kendaraan beroda empat melaju dengan cepat ke arahnya.
Dan ... Ia pun tertabrak.
"Apa yang aku bilang. Kau ceroboh sekali, Shienna. Aku tidak yakin kau akan terus bertahan. Mengapa kau sangat bodoh, Shienna!?"
......................
"Apakah kau yakin? Ini sudah pukul tiga dini hari, Jeff. Lebih baik menunggu sampai matahari terbit saja, baru kau pulang ke rumah." Suara Jake menginterupsi Jeffrey yang tengah bersiap-siap untuk pulang. Memang keras kepala sekali Jeffrey ini, Jake sampai menggeleng kepala.
"Jika kau mau menunggu dahulu, tunggu saja sendirian. Aku ingin pulang dan tidur dengan nyaman. Jangan meneleponku dahulu sebelum aku bangun." Menggendong tasnya, Jeffrey kemudian pergi meninggalkan Jake yang mendengkus kesal. Baiklah, ia akan membiarkan tuannya itu pergi lebih dahulu darinya.
Memasuki area parkiran, Jeffrey langsung saja memasuki mobilnya ketika sudah sampai. Ingin tidur, itu yang ada di pikiran Jeffrey sekarang ini. Lelah sekali saat ia harus mengurus pekerjaan sampai ia harus melewatkan waktu tidurnya. Ditambah Jake yang banyak berbicara membuat kepalanya lebih pusing.
Meninggalkan kawasan gedung kantornya, Jeffrey mengemudi dengan kecepatan tinggi. Mumpung keadaan di jalanan sangat sepi, sampai tidak ada yang berkendara selain dirinya. Ia juga ingin cepat sampai di rumah. Jeffrey semakin menaikkan kecepatan kendaraan beroda empatnya itu.
Alih-alih sampai di rumah dengan cepat, Jeffrey malah terkena masalah. Seorang perempuan yang menurutnya tiba-tiba saja melewat membuatnya terkejut dan menabrak perempuan itu karena ia tidak sempat menginjak rem. Sial! Harusnya ia menuruti perkataan Jake tadi.
Jeffrey terdiam seketika. Tak tahu harus berbuat apa. Juga tak ada tanda-tanda perempuan itu bangun atau selamat. Jeffrey mulai panik, ia bingung harus meminta bantuan kemana karena tak ada satu orang pun di sana selain dirinya dan perempuan yang ia tabrak barusan.
Jeffrey segera melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobilnya. Alangkah paniknya ia saat perempuan itu tergelatak miris di depan mobilnya. Jeffrey menghampiri perempuan itu dan menekuk lututnya. Ia cek pergelangan tangan perempuan itu untuk memastikan bahwa nadinya masih berdenyut. Untunglah, perempuan itu tidak kehilangan nyawanya.
Jeffrey lalu merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Cepat-cepat ia mencari nomor kontak Jake untuk menelepon pria itu. Sambil menggigiti kuku jarinya, Jeffrey setia menunggu panggilannya dijawab oleh Jake.
Seketika sambungan telepon terhubung, Jeffrey menarik napasnya terlebih dahulu sebelum berbicara.
"Jake! Aku menabrak seorang perempuan di sini. Mungkin letaknya sekitar satu kilometer dari kantor. Cepat kesini, Jake. Sebelum ada orang-orang yang akan mengetahui insiden ini. Cepat, Jake! Aku panik. Ah, jangan lupa untuk membawa air yang banyak."
"Aish kau ini! Aku baru saja memejamkan mata, tahu."
Tidak peduli Jake mengomel di sana. Jeffrey langsung saja menutup panggilan dan ia mematikan ponselnya.
Karena takut terkena skandal, Jeffrey lantas membopong perempuan itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Masa bodoh dengan darah yang entah keluar dari bagian tubuh yang mana, Jeffrey tidak mau memikirkan itu sekarang ini.
Ia hanya perlu menunggu Jake datang dengan air yang ia pinta dan ia bisa membersihkan darah yang mengalir di atas aspal. Ia berdoa agar Jake bisa datang dengan cepat, sebelum ada polisi atau apapun yang akan menghampirinya lebih dahulu. Juga ia berharap tidak akan ada yang tahu akan hal ini selain dirinya sendiri.
......................
To be continued..
Tak perlu menunggu waktu lama, akhirnya Jake datang dengan membawa beberapa botol air seperti apa yang Jeffrey pinta padanya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat darah korban di atas aspal. Hingga kemudian Jake berdecak. Ia menatap Jeffrey dengan tajam.
"Bagaimana kau bisa seperti ini?" tanya Jake penuh dengan penekanan.
"Aku mengebut. Namun, aku benar-benar tidak sengaja Jake. Aku tidak melihat saat perempuan itu menyebrangi jalan. Itu terjadi begitu saja," jawab Jeffrey dengan gelisah.
"Kan sudah aku bilang, kau tunggu saja di kantor sampai matahari terbit. Coba saja kau menurut padaku, maka kau tidak akan mengalami kejadian seperti ini." Jake memutar bola matanya.
"Maaf, Jake. Tapi aku tidak mau jika sampai masuk penjara jika nanti wanita ini melaporkan aku. Kau tahu? Harapan terbesar ayah adalah aku. Aku tidak mau mengecewakan ayah karena kejadian ini," jelas Jeffrey dengan wajah memelas.
Jake menghembuskan napasnya. Ia cengkram kedua pundak Jeffrey dengan kuat. Sorot matanya begitu dalam, membuat Jeffrey semakin takut pada lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya itu. "Tenanglah! Kau tidak usah panik!"
"Lalu aku harus bagaimana Jake?" tanya Jeffrey masih dengan rasa takut yang besar. Karena untuk pertama kalinya ia menabrak seseorang seperti ini. Ia takut jika akhirnya ia harus dipenjara dan karirnya hancur begitu saja.
"Bawa saja perempuan itu ke rumah sakit. Biarlah ini menjadi urusanku," jawab Jake lalu menyirami darah-darah di atas aspal dengan air yang ia bawa.
Jeffrey mengangguk dan segera masuk ke dalam mobilnya. Ia menoleh ke jok belakang, memastikan perempuan itu masih bernapas. Kemudian ia pun mengendarai mobilnya dan segera menuju rumah sakit.
Sedangkan Jake ia masih fokus membersihkan sisa-sisa darahnya. Ya, meski ia tahu itu tidak akan benar-benar bersih, tapi setidaknya ia sudah melakukan itu untuk Jeffrey. Dirasa sudah selesai, Jake lalu masuk ke dalam mobilnya dan berencana untuk menyusul Jeffrey ke rumah sakit. Ia tidak bisa membiarkan Jeffrey bertindak sendirian lagi mulai sekarang.
Setelah Jake benar-benar pergi, perlahan darah yang sudah bercampur dengan air itu perlahan menghilang. Tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, hingga jalanan itu kembali seperti semula.
—oOo—
Setelah perempuan yang Jeffrey tabrak mendapat pertolongan medis dalam keadaan masih hidup, Jake dan Jeffrey tentunya bisa bernapas lega. Juga, mereka yang mengajak dokter untuk membuat kesepakatan agar sang dokter dan pihak rumah sakit merahasiakan hal ini, Jeffrey akhirnya bisa kembali tenang. Sang dokter setuju. Ya tentu saja, dokter itu adalah Elena yang sedang menyamar.
Tapi karena takut ada yang mengetahui ia sedang berada di rumah sakit bersama dengan korbannya, Jeffrey memutuskan untuk membawa Shienna ke rumahnya. Lebih tepatnya agar Shienna bisa menjalani perawatan di rumah. Benar, ia harus menyembunyikan Shienna dari publik.
"Jake, urus semuanya. Aku ingin pulang dan beristirahat," ucap Jeffrey sambil berjalan melewati Jake.
Jake membuang napas kasar. Apakah Tuannya itu tidak memikirkannya juga? Ia juga ingin beristirahat tahu. Bukannya mengurus korban kecelakaan seperti ini. Tapi apa yang harus diperbuat lagi? Jika ia tidak mau dipecat, ya ia harus menjalankan tugasnya.
Jake menyiapkan alat-alat yang sekiranya Shienna butuhkan nantinya di rumah. Sampai semuanya sudah siap, Jake langsung membawa Shienna setelah mendapat izin dari pihak rumah sakit dan para dokter yang akan merawat Shienna nantinya.
......................
Hari sudah siang, Jeffrey kini sedang bersiap untuk kembali ke kantornya. Meskipun ia belum cukup mendapat waktu istirahat, ia harus tetap menjalankan pekerjaannya. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Jeffrey lantas keluar dari kamar dan segera turun ke lantai bawah.
Mengecek ke kamar Shienna terlebih dahulu, Jeffrey begitu tidak menyangka dengan keadaan kamar yang ditempati oleh Shienna. Begitu rapi juga dengan alat-alat kedokteran di sana. Ia tidak menyangka bahwa Jake akan sedetail ini dalam mengurus korban tabrakan dirinya.
"Koma ... Lalu bagaimana jika dia tersadar lalu dia menyeret ku ke penjara?" tanya Jeffrey bermonolog.
Ia melamun, tatapannya tertuju pada Shienna yang tengah terbaring. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia begitu takut jika akhirnya ia akan menetap di penjara. Jeruji besi yang selalu membuatnya takut setelah insiden dini hari itu. Ia selalu berpikir, apakah ia benar-benar akan berakhir jika Shienna sudah bangun nantinya.
"Jeff! Ayahmu menelepon." Jeffrey terlonjak kaget saat Jake menepuk pundaknya. Ditambah dengan hal yang disampaikan oleh Jake, membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
Cepat-cepat Jeffrey mengambil alih ponselnya dari tangan Jake dan mengangkat telepon dari ayahnya tersebut. Membiarkan Jeffrey, Jake lantas keluar dari ruangan itu.
"Ada apa ayah?" Tanya Jeffrey dengan nada yang pelan.
"Jeff, bisakah kau pulang dahulu? Ada sesuatu yang harus ayah bicarakan denganmu," suara ayah terdengar parau.
"Baik ayah. Aku akan pulang ke rumah jam satu siang nanti." Jeffrey bernapas lega. Ia sudah berpikiran macam-macam, padahal ayah hanya menelepon untuk menyuruhnya pulang.
"Ayah tunggu." Seketika panggilan pun terputus.
Menghampiri Shienna, Jeffrey ingin melihat lebih dekat bagaimana perempuan itu. Jeffrey tersenyum tipis setelah dengan jelas menatap wajah Shienna. "Cantik," gumam Jeffrey tanpa sadar.
......................
"Apakah kau tidak akan memberitahu Yuri soal ini, Jeff?" Tanya Jake sambil memerhatikan Jeffrey yang sedang memakan sarapan yang kesiangan Tuannya itu.
Menelan makanannya, Jeffrey lalu menatap Jake dengan sorot mata yang tajam. "Mengapa aku harus? Apakah urusan pribadiku ini Yuri harus tahu juga? Memangnya dia siapa?" Tanya Jeffrey berderet.
"Siapa tahu kau mau memberitahunya agar Yuri tidak salah paham dan mengira kau berselingkuh darinya," ujar Jake membuat Jeffrey tersedak.
"Berselingkuh apanya? Sudahlah, Jake. Aku tidak mau membahas Yuri lagi."
Menyudahi kegiatannya, Jeffrey lalu pergi meninggalkan Jake untuk bersiap-siap sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Sampai di kamar, Jeffrey tiba-tiba mendapat telepon dari sang kekasih. Memutar bola mata malas, lantas Jeffrey mengangkat telepon.
"Aku sedang sibuk, Yuri. Jangan meneleponku dahulu sebelum aku yang menghubungimu." Jeffrey cepat-cepat menutup telepon dan mematikan ponselnya. Ia tidak mau mendengar Yuri mengoceh, karena itu akan membuat kepalanya bertambah pusing.
Jeffrey pun mengganti pakaian dan keluar dari kamarnya. Ia hampiri Jake yang masih berdiam di meja makan sambil memainkan ponsel.
"Kau tidak usah ikut, Jake. Jaga saja perempuan itu. Kalau bisa, kau cari tahu identitasnya. Terserah dari mana pun," ucap Jeffrey. Ia ambil kunci mobil dan melangkah meninggalkan rumah.
"Mencari identitas? Aish, menambah-nambah pekerjaanku saja." Jake bangkit dan ia berjalan menuju kamarnya. Mungkin mencari dari internet akan membantunya. Karena ia pikir siapa yang tidak punya internet atau sosial media di era modern seperti ini? Ia berharap saja akan menemukan identitas Shienna di sana.
......................
"Apa yang ingin kau bicarakan, ayah?"
Jeffrey langsung saja bertanya setelah sampai di rumah orang tuanya. Ia duduk di atas sofa berwarna hitam dengan bentuk leter U lalu ia tatap wajah sang ayah yang terlihat sedang termenung.
"Ibu dan adik laki-laki di mana ayah?" tanya Jeffrey lagi setelah menyadari ketidakhadiran kedua orang yang ia tanyakan barusan.
"Ibu sedang pergi keluar. Adikmu pasti sedang belajar di kamarnya karena hari ini ia libur sekolah," jawab ayah, menatap Jeffrey dengan tatapan sendunya.
Jeffrey mengangguk saja. Membuang napas, Jeffrey lantas hanya menunggu sang ayah kembali berbicara. Tidak terlalu penasaran, makanya Jeffrey hanya diam tak bersuara sampai ayah berdehem dan mulai membuka kembali percakapan dengan anak keduanya.
"Bagaimana keadaan perusahaan?" Tanya ayah untuk berbasa-basi. Jeffrey tahu itu, tidak mungkin ayahnya akan langsung bicara pada intinya.
"Selama ini baik-baik saja, tidak ada kendala apapun yang membuat kacau. Hanya saja Yuri yang selalu sulit untuk ku ajak pemotretan. Hanya itu saja," jawab Jeffrey. Memang benar, kekasihnya itu selalu sulit saat ia minta untuk melakukan pemotretan bagi desain terbaru dari perusahaannya. Perempuan itu selalu mengeluh dan selalu mau menang sendiri.
"Sudah ayah bilang, kan? Harusnya sejak awal kau tidak perlu menjalin hubungan dengannya." Ayah menepuk pundak Jeffrey pelan.
"Tidak perlu membicarakan Yuri, ayah. Kita obrolkan saja apa yang ingin ayah bicarakan."
"Begini, Jeff. Jiddan kemarin meminta ayah untuk memberikan perusahaan padanya. Ia ingin mengambil alih semua. Bagaimana menurutmu?" tanya ayah, mulai membicarakan intinya.
"Tapi Jiddan masih sekolah, ayah. Bagaimana dia bisa mengambil alih perusahaan? Yang benar saja," jawab Jeffrey sambil berdecak. "Bagaimana bisa anak SMA memimpin sebuah perusahaan?" tanyanya kemudian.
"Itulah masalahnya. Sangat tidak masuk akal, bukan? Tapi bisa saja dia mengambilnya saat sudah lulus."
"Tidak. Pendidikannya belum cukup jika hanya lulus SMA saja. Aku tidak akan menyerahkan perusahaan begitu saja padanya."
"Jadi bagaimana?"
Jeffrey berdiri, "Biar kutemui Jiddan sekarang," ucapnya lalu segera pergi ke lantai atas, di mana kamar adik lelakinya terletak.
Jeffrey langsung saja membuka pintu kamar tanpa mengetuk dahulu, membuat Jiddan sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Jiddan bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Jeffrey yang berdiri di ambang pintu.
"Tidak biasanya kau kesini, kak. Apa kau mau membicarakan soal perusahaan?" tanya Jiddan, menyunggingkan senyum.
"Kau pikir, kau pantas memimpin perusahaan di usia remaja mu itu? Apa kau yakin bisa? Pendidikan mu saja belum cukup, Jiddan. Kau tidak akan bisa mengambil alih perusahaan sampai kau benar-benar pantas. Lagipula kau belum lulus sekolah, kan?" Jeffrey berucap panjang lebar.
"Lantas apakah setelah aku lulus kau akan langsung memberikannya padaku?!" tanya Jiddan dengan nada tinggi. Membentak Jeffrey, kakak lelakinya sendiri.
"Jiddan! Sejak kapan ayah dan ibu mengajarkanmu menjadi seperti ini!? Apa kau pikir kau sopan membentak kakakmu seperti barusan?" balas Jeffrey dengan emosi yang masih ia tahan.
"Kak! Aku hanya ingin perusahaan, mengapa susah sekali?" tanya Jiddan dengan resah. Ia memegang keningnya sambil menatap Jeffrey dengan melas.
"Sudah ku bilang kau belum pantas, Jiddan. Harus kubilang berapa kali lagi?"
"Lalu jika aku sudah pantas, apa kakak akan menyerahkannya begitu saja? Tidak, kan? Aku harus menunggu sampai kapan, kak!?"
"Tunggu saja sampai waktunya tiba."
"Lihat saja! Aku tidak akan diam saja sambil menunggu tanpa mendapat kepastian. Aku akan mengambilnya dari kakak dengan cara apapun."
......................
Kepala Jeffrey bertambah pusing karena Jiddan. Ia kembali pulang ke apartemennya lagi karena terlalu malas untuk membicarakan soal perusahaan dengan seorang remaja labil seperti Jiddan.
Memasuki kamar Shienna, Jeffrey mendapati Jake sedang menunggu di sana. Memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, Jeffrey lalu mendekati brankar, tempat di mana Shienna terbaring.
"Bagaimana Jake? Apa kau sudah menemukan identitasnya?" tanya Jeffrey langsung saja. Alisnya terangkat satu, begitu penasaran ia terhadap perempuan di hadapannya itu.
"Tidak. Aku bahkan sudah mencari di internet dan media sosial. Namun, aku tidak menemukan apapun. Satu fotonya saja tidak ada," jawab Jake sekenanya. Tentu saja ia tidak menemukan apapun. Memangnya ada malaikat yang mempunyai akun media sosial?
"Ah, itu membuatku frustasi. Memangnya tidak ada yang mencari dirinya? Seperti keluarga atau teman-temannya? Tidakkah mereka merasa kehilangan?" tanya Jeffrey sambil mengacak rambutnya.
"Bagaimana aku tahu?" Jake mengangkat kedua bahunya. "Apa jangan-jangan—" Jake menggantung ucapannya setelah Jeffrey mendelik padanya.
"Apa? Jangan-jangan apa?!" tanya Jeffrey dengan mata yang melotot.
"Dia itu hantu? Atau makhluk yang berasal dari dunia lain? Bisa saja begitu."
"Tapi itu masuk akal juga. Saat itu, dia tiba-tiba saja menyebrangi jalanan. Memangnya siapa yang akan berkeliaran sendirian di pukul tiga dini hari? Apalagi dia perempuan. Saat itu juga dia memakai baju putih. Apa jangan-jangan, dia benar-benar seorang hantu?" Jeffrey terlihat berpikir.
"Tapi tidak mungkin. Jika dia seorang hantu, mungkin saat itu juga ia akan menghilang. Buktinya, dia masih terbaring di sini, kan?"
Jeffrey mendengkus. Ia lalu menatap wajah Shienna dengan seksama. Mengamati setiap inci dari karya Tuhan yang nyaris saja sempurna itu. Ia sangat fokus, hingga ia mendapati sesuatu yang janggal dari wajah Shienna.
"Lihat Jake!" seru Jeffrey sambil menunjuk wajah Shienna. "Kemarin ada bekas luka di pelipisnya, tapi sekarang itu sudah hilang dan tidak ada bekas sama sekali," lanjutnya membuat Jak segera mengecek wajah Shienna.
Setelah menyadarinya juga, Jake kemudian mendongak. Ia dan Jeffrey saling bertatapan. "Jadi, bagaimana? Apakah dia bukan seorang manusia?" tanya Jake dan Jeffrey menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu, Jake." Jeffrey masih menatap Jake dengan lekat, begitu pun sebaliknya.
"Jadi, apakah kau akan membiarkan dia tetap tinggal di sini?" Jake lalu bertanya dan membenarkan posisinya.
"Tentu saja. Aku tidak mempunyai tempat lagi untuk dia tinggal. Aku akan menunggu sampai ia bangun dan akan langsung menanyakan identitas langsung padanya," jawab Jeffrey. Jake hanya mengangguk. Meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Telepon dokter yang menangani dia kemarin! Aku ingin tahu bagaimana kondisinya." Jeffrey memberi perintah.
Membalikan tubuh, Jeffrey lalu meninggalkan Jake dan Shienna begitu saja. Lelaki itu keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Menutup pintu ruangan, Jeffrey membuang napas panjang dan berdiam sejenak.
"Jika dia bukan manusia, lantas apa?" tanyanya bermonolog. Pikirannya begitu campur aduk. Semuanya bersemayam di kepalanya. Itu membuat kepalanya tambah pusing dan juga bebannya semakin bertambah setelah Shienna tinggal di rumahnya.
Menggelengkan kepala, Jeffrey lalu pergi ke kamarnya untuk menenangkan kembali pikirannya. Ia sudah begitu lelah dengan semuanya.
......................
To be continued..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!