NovelToon NovelToon

KEHORMATAN YANG TERJUAL

Awal Mula

Sang surya kini kian terik. Bagi semua penduduk yang tinggal di negeri sakura, musim panas merupakan musim yang menyenangkan. Mereka bermain, menyalakan kembang api, mengadakan festival atau event, menonton film horor, bersiap untuk musim taifu, atau banyak hal lainnya.

Beberapa yang lainnya juga memilih untuk fokus bekerja dan mendapatkan uang. Sama seperti halnya gadis cantik nan bertubuh ramping bernama Eleanor Ishikawa, memutuskan untuk tetap bekerja dengan sepenuh hati. Namun, semangat gadis muda itu harus terusik mendengar berita buruk tentang sang mama.

Saat ini wajah Eleanor tampak sangat pucat dan penuh keterkejutan. Ia hampir saja menjatuhkan ponsel yang digenggamnya.

“Apa?" pekik Eleanor. “Bagaimana bisa Mommy masuk rumah sakit?” tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih kecil.

Dari seberang telepon pihak rumah sakit menjelaskan pada Eleanor. Usai mendengar itu, gadis berdarah campuran Amerika Jepang mengembuskan napasnya pelan.

“Baiklah, terima kasih, aku akan segera ke sana. Aku titip Mommy-ku dulu, sebentar lagi aku datang,” ucap Eleanor kemudian menutup sambungan telepon.

Eleanor lantas pergi menemui manajer restoran tempatnya bekerja. Ia menjelaskan keadaan yang sebenarnya jika sang mama masuk rumah sakit dan mau tidak mau ia harus ke sana sebab kondisi mamanya cukup mengkhawatirkan.

Sang manajer mengerti, ia pun memperbolehkan Eleanor untuk pulang lebih dahulu.

"Pergilah! Jika urusanmu sudah selesai, boleh kembali lagi ke sini." Pak Tamada mempersilakan Eleanor meninggalkan restoran.

Usai mendapatkan izin, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu pun lantas bergegas mengganti pakaian dan pergi ke rumah sakit.

“Mom, tunggu aku. Aku akan segera sampai,” gumam Eleanor.

Eleanor berlari kencang menuju rumah sakit tempat mamanya dirawat, ia tidak memiliki kendaraan apa pun. Ia pun tidak mau memakai uangnya hanya untuk memesan taksi sehingga memutuskan menaiki kendaraan umum saja agar bisa cepat sampai tujuan.

Tiga puluh lima menit waktu yang Eleanor tempuh untuk sampai di rumah sakit. Ia bergegas masuk dan menghubungi resepsionis untuk bertanya di mana sang mama dirawat.

“Masih ada di IGD ditangani oleh dokter. Silakan lewat ke sebelah sana, lurus saja di belokan ke empat itulah IGD,” jelas wanita berseragam itu.

“Terima kasih." Eleanor tetap mengucap terima kasih meski dirinya sudah hapal betul tata letak bangunan ini karena ini kali ketiga sang mama dilarikan ke rumah sakit yang sama.

Eleanor mengikuti instruksi dari sang resepsionis dan akhirnya sampai di ruang IGD, dapat gadis itu lihat sang mama dalam keadaan memprihatinkan.

Dokter yang menyadari kedatangan Eleanor pun mendekatinya. "Nona Eleanor."

Eleanor yang melihat itu juga langsung menghampiri dokter dan bertanya, “Bagaimana keadaan Mommy saya, Dok?”

“Keadaannya sangat buruk. Mari, saya jelaskan sedikit tentang kondisi ibumu saat ini,” ajak Dokter Raiden. Ia mengajak Eleanor duduk di kursi yang berada di IGD tersebut.

“Begini Nona Eleanor, dengan berat hati saya harus menyampaikan kabar buruk tentang Nyonya Florance. Kondisi jantung beliau sudah sangat buruk dan tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama. Kami, dari pihak rumah sakit menyarankan untuk melakukan operasi transplantasi jantung secepatnya,” jelas sang dokter.

Eleanor terkejut bukan main mendengar kabar tersebut. Terlebih sang dokter menambahkan kalau operasinya harus dilaksanakan sesegera mungkin dikarenakan kondisi jantung Florance terlalu berbahaya jika dibiarkan dalam jangka waktu yang lama.

“Kira-kira biaya operasinya berapa, ya Dok?” tanya Eleanor.

“Sekitar 80 sampai 200 juta¥,” jawab dokter tersebut. Sejujurnya Raiden berat memberitahu Eleanor terkait biaya operasi, tetapi tak ada pilihan lain selain memberitahunya.

Eleanor semakin syok dengan angka yang disebutkan oleh sang dokter, itu bukanlah uang kecil. Eleanor bingung, bagaimana ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?

Ia tidak punya siapa-siapa. Jika meminjam pada seseorang, siapa yang akan memberinya pinjaman? Uang yang ia butuhkan sangatlah banyak. Kepala Eleanor seketika pusing dan terasa hampir pecah.

“Bagaimana jika tidak melakukan operasi, Dok? Berapa lama Mommy akan bertahan?” tanya Eleanor. Bukan maksud tega atau bagaimana, Eleanor hanya ingin mempertimbangkan, sekiranya bisa ditunda maka ia akan mencari uang dengan giat agar sang mama bisa dapat segera dioperasi secepat mungkin.

“Jika kamu tidak mengizinkan dilakukannya tindakkan operasi pada Nyonya Florance, maka dapat saya katakan harapan hidupnya tidaklah lama, sekitar enam bulan saja,” pungkas Raiden.

Eleanor semakin terpukul mendengar hal tersebut, apa yang harus ia lakukan saat ini?

Mommy tidak boleh pergi!

“Dok, saya minta waktu sebentar untuk mencari uang. Setelah itu baru kita rencanakan tindakan operasi pada Mommy saya."

“Baik Nona. Saya tunggu kabar baiknya." Dokter Raiden menepuk pelan pundak Eleanor sebelum meninggalkan gadis itu.

Eleanor termenung sebentar di sana lalu mendekati tubuh mamanya yang kini dipasangi infus. “Aku harus bagaimana?” gumamnya lirih. Tanpa terasa satu tetes air mata membasahi pipi.

“Tidak usah pedulikan Mommy, Sweetheart.” Suara itu membuat pandangan Eleanor beralih. Wajah pucat itu tengah menatap Eleanor dengan senyuman tipis.

“Mommy sudah siuman? Sebentar, aku panggilkan Dokter dulu,” kata Eleanor yang hendak pergi. Akan tetapi, tangannya dicekal oleh Nyonya Florance. Wanita tua itu menggelengkan kepalanya.

“Ada apa, Mom? Apa ada yang sakit?” tanya Eleanor risau.

“Mommy tidak apa-apa. Mommy sudah mendengar apa yang Dokter Raiden sampaikan padamu,” jawab Nyonya Florance seketika membuat Eleanor menegang.

“Mommy su–sudah siuman daritadi?” tanya Eleanor menatap sang mama cengo.

“Iya, mommy sudah dengar semuanya,” imbuh Nyonya Florance.

Eleanor memegang tangan sang mama lalu mengecup punggung tangannya seraya berkata, “Mommy tenang saja, aku pasti mendapat uang untuk Mommy operasi.” Eleanor tersenyum dan meyakinkan Nyonya Florance, tetapi wanita itu justru kembali menggelengkan kepalanya.

“Tidak usah. Mommy hanya akan menambah bebanmu di kemudian hari. Jika memang mommy tidak bisa bertahan lama maka biarlah. Tidak usah repot-repot mencari biaya hanya untuk operasi mommy. Lebih baik uangnya kamu simpan untuk biaya hidupmu,” timpal Nyonya Florance. Dirinya tidak mau menyusahkan anak semata wayangnya itu. Selama ini sudah cukup dirinya membebani Eleanor dengan penyakitnya.

Nyonya Florance hanya bisa pasrah. Jika memang harus mati maka tak apa, karena itu sudah ketetapan Yang Maha kuasa. Toh anaknya hanya seorang pramusaji, tidaklah mungkin baginya mencari uang sebanyak itu hanya dalam kurun waktu maksimal satu bulan.

“Sudah, Mommy tenang saja. Aku bisa mencarinya. Lagi pula Mommy sama sekali tidak merepotkan sebab ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang anak. Jasa Mommy kepadaku banyak dan tidak bisa aku balas dengan apa pun. Jadi, izinkan aku berbakti kepadamu sekali saja," ungkap Eleanor. Bibir gadis itu gemetar ketika mengucap kalimat terakhir.

“Mungkin ini cara Tuhan supaya aku bisa membayar semua jasa Mommy dan melihat senyuman bahagia di wajahmu. Lebih baik sekarang Mommy istirahat agar lekas sembuh,” ujar Eleanor menarik selimut hingga sebatas dada.

“Tapi Sweetheart, 200 juta ¥ bukan uang yang sedikit. Dari mana kamu mendapatkan uang itu?” kilah Nyonya Florance.

Eleanor mengela napas. “Mommy, aku berjanji akan mencari uang sebanyak mungkin untuk pengobatanmu. Jangan mengkhawatirkan aku, oke? Sekarang yang harus Mommy lakukan adalah fokus terhadap kesehatan. Selanjutnya serahkan kepadaku biar aku sendiri yang memikirkan jalan keluar dari masalah ini,” balas Eleanor tak mau disanggah.

Meskipun dalam hati sebenarnya Eleanor bingung harus mencari ke mana uang sebanyak itu, tetapi ia tak pantang menyerah. Ia akan berusaha semampunya demi menyelamatkan nyawa Nyonya Florance.

“Aku akan berusaha mencari uang itu. Sekalipun harus kukorbankan nyawa ini, aku rela asalkan Mommy sembuh dan dapat dioperasi," ucap Eleanor lirih seraya menatap mamanya yang perlahan-lahan mulai terlelap di atas ranjang pasien.

...***...

Usaha Eleanor

Eleanor berjalan terseok-seok menuju restoran tempatnya bekerja. Setelah mendengar kabar yang sangat mengguncangkan, tubuh Eleanor terasa sangat sakit dan badannya melemas seperti tak bertulang. Hanya restoran tempatnya bekerja inilah yang bisa ia harapkan guna membantu menyelamatkan nyawa sang mama yang berada di ujung tanduk.

Eleanor memasuki restoran dan menyapa beberapa temannya sekaligus bertanya di mana bosnya berada. Setahu Eleanor di jam seperti ini sang bos pasti datang dan mengecek keadaan restoran.

Sebagian dari mereka menunjuk bahwa sang bos tengah berada di dapur mengecek keadaan di sana.

"Terima kasih, Teman-Teman. Kalau begitu, aku permisi dulu." Eleanor segera bergegas menemui sang bos.

“Permisi, Tuan Akeno,” kata Eleanor saat sudah berada tepat di belakang bosnya.

Si bos berbalik dan menatap Eleanor. “Eh, kamu Eleanor. Bagaimana keadaan ibumu? Saya dengar dari Pak Tamada, ibumu masuk rumah sakit lagi?” balas pria berusia 50 tahun.

“Benar, Tuan. Ini kali ketiga Mommy dilarikan ke rumah sakit. Untuk itulah saya pergi mencari Anda," ujar Eleanor seraya meremas telapak tangannya gugup.

Akeno paham dan mengajak Eleanor untuk bersamanya pergi ke ruangan pribadi si bos di restoran tersebut. Sampai di sana Eleanor dipersilakan duduk di sofa.

“Jadi apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Akeno pada Eleanor.

“Begini Tuan. Saya mau minta maaf sebelumnya, mungkin nanti perkataan saya akan terdengar lancang, tetapi hanya inilah satu-satunya cara yang bisa saya lakukan demi menyelamatkan nyawan Mommy saya,” ungkap Eleanor menunduk. Ia sama sekali tidak mampu menatap wajah sang bos.

Bos Eleanor seolah paham. Ia berkata dengan lembut. “Katakanlah!" titahnya pada salah satu anak buahnya itu.

“Dokter mengatakan kondisi Mommy sangat buruk dan kemungkinan tidak akan bertahan lama. Dokter bilang jika tidak segera dioperasi, nyawanya tidak tertolong,” ungkap Eleanor. Semakin meremas kedua telapak tangan yang berada di atas pangkuan.

“Hubungannya dengan saya apa?” tanya Akeno untuk memastikan dugaan sementaranya. “Kamu mau meminjam uang untuk biaya pengobatan ibumu?” imbuhnya.

“Betul Tuan, jika berkenan saya ingin meminjam uang untuk biaya operasi Mommy saya,” jawab Eleanor. Kepala perlahan mendongak ke atas hingga wajahnya yang cantik jelita beradu tatap dengan bos pemilik tempatnya bekerja.

“Berapa memang yang kamu butuhkan?” tanya Akeno seraya menyenderkan punggung ke sandaran sofa lalu kedua tangan terbentang di atas kepala sofa.

“200 juta ¥, Tuan," jawab Eleanor sedikit ragu.

Mendengar nominal yang cukup besar Akeno menggebrak meja di depannya hingga membuat tubuh Eleanor berjingkat kaget dibuatnya.

“Apa kamu bilang? 200 juta ¥. Apa saya tidak salah dengar?" pekik pria paruh baya berambut keperakan.

Eleanor semakin menundukan kepalanya ke bawah. Sumpah demi apa pun, rasanya ia ingin sekali menangis dibentak sedemikian rupa oleh atasannya ini. Namun, demi sang mama ia rela menahan diri untuk tidak menangis dan menebalkan muka di depan orang lain.

“Kamu jangan gila Eleanor, 200 juta bukanlah nilai sedikit. Itu sangat besar, kamu sadar akan hal itu, ‘kan? Lalu kamu meminjam uang ke saya sebanyak itu? Eleanor, jika kamu meminjam uang setaraf dengan gajimu atau lebih sedikit, saya bisa memberikannya, tetapi uang yang ingin kamu pinjam itu sangatlah tinggi. Bagaimana bisa saya meminjamkanmu uang, hah?" sembur Akeno dengan wajah merah padam.

Bagaimana tidak marah, Eleanor meminjam uang sebanyak 200 juta¥, setara dengan 1,380 ribu dollar sementara pemasukan dari restorannya saja tidak sampai sebanyak itu.

“Maaf Tuan, saya sadar betul saat mengatakannya. Saya minta maaf jika dirasa sudah sangat lancang meminjam dalam nominal yang cukup besar,” ucap Eleanor. Gadis itu bahkan bangkit berdiri lalu membungkukkan sedikit badan di depan Akeno sebagai tanda permintaan maaf.

Mendesah pelan. “Eleanor, saya benar-benar turut prihatin atas keadaan ibumu saat ini, tetapi saya juga tidak bisa membantu. Uang sebanyak itu, selain saya tidak memilikinya, saya juga akan sangat sangsi jika kamu bisa membayar semua hutang itu pada saya. Kamu hanya seorang pelayan di sini. Bagaimana mungkin kamu bisa membayarnya. Gajimu saja tidak akan cukup,” jelas Akeno panjang lebar.

Eleanor tertunduk sedih, apa yang dikatakan oleh bosnya memang benar, ia sendiri pun sangsi jika bisa membayar uang tersebut. Bekerja serabutan pun belum tentu bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

“Ada lagi yang ingin kamu bicarakan?” kata Akeno, merasa percakapan mereka harus terhenti sampai sini saja.

“Tidak. Sekali lagi saya minta maaf, Tuan, atas kelancangan saya barusan. Ehm, apa saya boleh meminta izin untuk beberapa hari ini tidak masuk bekerja?” tanya Eleanor waswas. Takut jika sang bos akan memarahinya lagi.

“Sudahlah, lupakan saja. Anggap kamu tak pernah mengatakan hal itu pada saya. Kamu boleh cuti selama tiga hari, setelah itu kamu harus kembali bekerja, saya tidak mau mendengar alasan apa pun!” tandas Akeno.

Eleanor mengangguk, ia tak lantas menyerah begitu saja. Masih ada cara untuk mendapatkan uang tersebut.

Setelahnya Eleanor pun berpamitan untuk kembali ke rumahnya. Namun, ia tak benar-benar pulang ke rumah, gadis itu justru berjalan-jalan di atas trotoar sambil terus berpikir.

“Apa harus aku pergi ke sana?” gumam Eleanor.

Berpikir sejenak, hingga akhirnya memutuskan pergi ke Tokyo menemui adik dari mendiang papanya. Bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya harapan Eleanor.

Gadis itu menaiki kereta cepat dari Yokohama menuju Tokyo dan hanya memerlukan waktu dua puluh menit saja ia tiba di tujuan. Sesaat setelah tiba, ia mulai melanjutkan perjalanan menuju rumah pamannya.

“Permisi,” kata Eleanor seraya mengetuk pintu.

Awalnya tak ada sahutan, setelah satu menit barulah terdengar langkah kaki mendekat dan membukakan pintu. Eleanor tersenyum gembira, ia berharap jika niatnya bertandang ke rumah ini dapat diterima dengan baik oleh mereka.

"Selamat siang Obasan, apa ka--"

"Mau apa kamu datang ke sini? Pergi! Kehadiranmu tidak diharapkan di sini!" seru Hanako--tante Eleanor seraya menatap tajam ke arah keponakannya.

"Tapi Obasan, aku ke sini mau--"

"Diam! Sudah kukatakan, enyahlah dari hadapanku sekarang juga!" Tanpa menunggu waktu lama, Hanako menutup kembali pintu rumahnya. Ia tak sudi menerima seseorang yang masih ada hubungan darah dengan Florance, sumber masalah bagi keluarga Ishikawa karena gara-gara wanita tua itu, ayah Eleanor meninggal dunia karena kecelakaan.

Eleanor hanya terdiam dengan pandangan kosong, padahal ia belum mengatakan tujuan kedatangannya, kenapa sang bibi justru bersikap seperti ini?

Dengan langkah gontai Eleanor berjalan tak tentu arah di Tokyo, sekarang harus ke mana lagi. Uang yang ia pakai untuk ke sana juga tidak sedikit, haruskah kembali ke kota asal tidak membawa hasil apa pun.

Di tengah kebingungan yang melanda, Eleanor teringat pada salah satu temannya yang dulu satu SMA dengannya dan kebetulan bekerja di Tokyo. Ia menghubungi temannya itu dan mengajak ketemuan.

"Sekarang kamu di mana, biar aku menyusulmu," ucap Mitsuko, teman satu SMA Eleanor.

Eleanor mengedarkan pandangan ke sekeliling, tempat ini cukup asing sebab ia telah lama sekali meninggalkan kota tersebut semenjak sang papa kembali menghadap Sang Pencipta.

"Aku ada di kawasan Ginza sekarang, di depan sebuah toko buku."

"Tunggulah di sana, aku akan menyusulmu! Kebetulan aku berada di kawasan yang sama denganmu."

Singkat cerita mereka pun bertemu di sebuah restoran cukup mahal di sekitaran Ginza, Mitsuko yang tak lain merupakan teman Eleanor, sangat bahagia melihat kedatangan temannya, ia pun mentraktir Eleanor beberapa makanan.

“Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan padamu,” kata Eleanor dengan wajah sendu. Makanan lezat yang masuk ke dalam mulut terasa hambar sebab pikirannya bercabang ke mana-mana.

“Ada apa? Katakan saja padaku, siapa tahu aku bisa membantumu," tanggap Mitsuko. Hubungannya dengan Eleanor cukup baik, sejak zaman sekolah dulu mereka memang akrab.

Lantas, Eleanor pun menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi pada Mitsuko bahkan tentang pengusiran yang sang bibi lakukan padanya. Mitsuko mengelus punggung Eleanor pelan guna menenangkan gadis yang saat ini hampir menangis tersebut.

“Aku turut prihatin atas apa yang menimpamu, tapi aku tidak bisa membantu karena yang bosmu katakan itu benar, dua puluh milyar bukanlah angka yang kecil,” ucap Mitsuko.

Eleanor menganggukkan kepala ketika perkataan Mitsuko menelusup ke relung hati. Bagi orang miskin seperti mereka 200 juta memanglah jumlah yang sangat besar.

Gadis cantik berdarah Jepang Amerika menatap Mitsuko dalam. "Kamu semakin cantik dan penampilanmu pun semakin menarik. Semua yang melekat di tubuhmu dari barang-barang branded." Eleanor terpukau dengan tubuh ideal sang teman. Belum lagi penampilan Mitsuko yang terlihat begitu seksi dibalut pakaian dan barang-barang mewah lainnya. Padahal dulu Mitsuko termasuk murid tak mampu di sekolah, lantas mengapa sekarang kehidupan gadis itu berubah drastis.

“Ini ... sebenarnya semua ini karena pekerjaaanku,” jawab Mitsuko jujur.

“Sungguh? Memang apa pekerjaanmu?” tanya Eleanor penasaran.

“Syut! Ke marilah,” kata Mitsuko melambaikan tangan, meminta Eleanor mendekat dan mulai berbisik, “Aku bekerja sebagai wanita penghibur di salah satu klub malam yang berada di kawasan Kabuchiko,” bisik Mitsuko yang sukses membuat Eleanor terkejut.

“Wanita penghibur?” tandas Eleanor memastikan pendengarannya. Ia bahkan menutup mulut menggunakan telapak tangan.

“Iya, kamu pasti tahu apa tugasku. Itulah kenapa penampilanku jauh lebih glamour dibanding dulu karena aku bisa membeli apa pun dengan jerih payahku sendiri sebagai wanita penghibur."

...***...

Tuan Muda Kingston

Eleanor meneguk habis minuman dingin miliknya hingga tak tersisa. “Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan, kamu ... bekerja jadi wanita penghibur? Oh gosh, apa aku sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan aku sekarang juga."

Mitsuko tersenyum tipis, wajar saja jika Eleanor seterkejut itu, karena ia sendiribtidak menyangka sudah memasuki dunia yang begitu kejam padanya.

Menghela napas berat seakan ada beban di pundaknya. "Mau bagaimana lagi? Aku tidak punya pilihan, bertahan hidup di kota besar seperti Tokyo tidaklah mudah, hanya menjadi pekerja di sebuah kantor atau pelayanan di rumah makan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku. Aku lelah hidup dalam kemiskinan, El," ujar Mitsuko. Ada perasaan bersalah dalam dirinya sebab memilih menjadi kupu-kupu malam demi terbebas dari keterpurukan ekonomi.

Eleanor mengangguk paham akan apa yang disampaikan oleh Mitsuko, jangankan Mitsuko, ia sendiri pun merasakan betapa susahnya mencari uang. Padahal ia hanya tinggal di kota yang tak terlalu ramai seperti di Tokyo.

“Aku mengerti, pasti berat bagimu memilih jalan ini. Sudahlah, lupakan saja anggap kita tak pernah membahasnya," sahut Eleanor yang dibalas anggukan oleh Mitsuko. Lalu keduanya kembali berbincang, membicarakan segala macam topik pembicaraan selain pekerjaan Mitsuko.

Saat sedang asyik berbincang, dering telepon milik Mitsuko berbunyi, segera saja ia mengangkatnya dan ternyata itu dari tempat ia bekerja.

"Baik, aku segera ke sana sekarang!" Kemudian memasukan telepon genggam ke dalam tasnya.

“Eleanor, aku harus segera pergi ke tempat kerjaku, tapi aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini. Apa kamu mau ikut bersamaku? Tenang, nanti di sana kamu bisa istirahat di kamarku untuk sementara waktu agar pikiranmu tenang,” tutur Mitsuko seraya mencari kartu ajaib dari dalam dompet. Ia hendak membayar pesanannya.

Berpikir sejenak, Eleanor pun memutuskan untuk ikut bersama dengan sang teman sebab, ia tidak punya pilihan lain. Uang saku yang ia bawa sudah habis setengahnya dan ia harus memutar otak untuk bisa kembali ke kota asalnya.

"Oke, aku ikut denganmu. Aku butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku. Terima kasih sudah memberi izin padaku untuk ikut denganmu." Eleanor membungkukkan sedikit badannya di hadapan Mitsuko.

Sementara itu, masih di negara yang sama, tetapi tempat yang berbeda, ada seorang pria tampan nan gagah yang baru saja keluar dari ruang meeting. Wajahnya yang tegas itu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi segan.

Andrew Kingston namanya, pria asal Amerika yang kini tinggal sementara di Jepang karena harus mengurus anak cabang perusahaannya yang ada di negeri matahari terbit tersebut. Selama urusannya belum selesai maka ia tidak akan menetap di Jepang.

“Bagaimana dengan jadwalku selanjutnya?” tanya Andrew pada sekretarisnya.

"Ada beberapa berkas yang harus Anda tandatangani dan diperiksa ulang, Tuan Kingston. Lalu di sore nanti ada meeting dengan kolega dari China,” jawab sang sekretaris.

“Memangnya kamu tidak bisa memeriksanya ulang? Kenapa harus aku?” tanya Andrew sembari memijat kepalanya yang terasa pening.

“Saya sudah memeriksanya, Tuan,” ucap sang sekretaris. “Menimalisir adanya kesalahan maka berkas tersebut harus dicek ulang oleh Anda,” imbuhnya.

“Kamu memerintah saya?” tanya Andrew sengit. Kepala rasanya mau pecah. Sejak menginjakkan kaki di negeri Sakura hingga detik ini, selalu disibukkan oleh setumpuk pekerjaan yang tak pernah ada habisnya.

“Tidak, tidak, bukan begitu Tuan, tap–“

“Sudahlah, saya mau istirahat sebentar,” potong Andrew lalu melengos meninggalkan sekretaris yang terlihat kesal.

“Namanya juga CEO, bukankah memang seharusnya begitu mengurus ini dan itu terkait pekerjaan? Jika aku yang mengerjakannya lalu ada yang tidak sesuai, bagaimana? Aku lagi yang kena,” gumam Clara, sekretaris pribadi Andrew. Ia bingung sendiri dengan sikap Andrew yang sering membuatnya sakit kepala.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. “Awas didengar Tuan Kingston. Jika itu terjadi maka kamu akan dipecat,” ujar laki-laki tersebut lalu menyusul Andrew.

“Ck! Kedua pria itu sama-sama menyebalkan," gumam Clara lalu menyusul kedua orang itu pergi ke ruangannya.

Andrew menyenderkan punggung di kursi kebesarannya, memejamkan matanya dan mencoba mengatur napas. “Huh melelahkan sekali,” katanya lirih.

Pintu ruangannya diketuk, sukses membuat Andrew membuka matanya. “Siapa?” teriaknya.

“Saya Tuan, Alfred,” jawab laki-laki yang ada di luar sana.

“Masuk!”

Alfred sang asisten pribadi Andrew masuk ke ruangan, ia berjalan ke arah atasannya dan menyerahkan satu berkas dari klien mereka.

“Silakan Anda cek dahulu Tuan, kontrak yang akan kita jalin bersama perusahaan Victory’s Company,” jelas Alfred.

Andrew mendesah sebal, ia pun membuka file tersebut dan langsung menandatanganinya. Alfred yang melihat itu pun tersenyum tipis, mengerti jika sang tuan tengah kelelahan bekerja.

“Sudah selesai bukan? Aku sungguh lelah dengan pekerjaan yang menumpuk ini." Andrew terus memeriksa berkas pemberian Alfred. “Mengapa masih ada orang yang berpikiran kalau menjadi CEO itu hal yang mudah? Tinggal mengatur orang lalu dapat uang? Hah, pendek sekali pemikiran mereka,” keluh Tuan Muda Kingston.

Andrew terkadang melihat di sosial media para anak muda di sebagian negara menganggap jika menjadi CEO adalah hal yang mudah, padahal tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ia dituntut mengerjakan segala urusan terkait perusahaan dalam waktu sesingkat mungkin.

“Bagi beberapa orang mungkin pangkat tersebut merupakan hal yang sepele, tapi mau bagaimana lagi stigma itu telah melekat di benak khalayak umum," timpal Alfred.

“Ingin sekali aku menampar mereka dengan kumpulan file yang harus kukerjakan,” kesal Andrew mencengkeram erat pinggiran map berkas tersebut. “Oh ya, apa untuk meeting nanti sore bisa ditunda? Aku sangat lelah dan ingin istrirahat sebentar."

Pria berusia tiga puluh tahun itu sudah sangat tidak tahan melihat begitu banyak tumpukan berkas dan jadwal meeting yang tak kunjung selesai.

“Mohon maaf Tuan, hal itu tidak bisa karena waktunya tinggal satu jam lagi dan kemungkinan perwakilan dari perusahaan Victory’s Company sedang dalam perjalanan menuju ke mari,” jawab Alfred. Tentu saja ia sudah terlebih dahulu mengkonfirmasi tentang hal ini pada Clara, guna menimalisir kejadian seperti ini.

"Aah, shiit! Aku sungguh sangat lelah." Andrew menjambak rambutnya dengan frustrasi. "Cepat bawakan ke mari berkas-berkas yang harus aku periksa dan tandatangani, aku ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan yang sangat membosankan ini, setelah itu kamu harus antarkan aku ke suatu tempat!" ujarnya menahan kesal.

Alfred menganggukkan kepala, berjalan keluar dan menghampiri Clara di ruangan untuk meminta berkas-berkas yang dimaksud. Clara sebenarnya ingin protes karena itu merupakan tugasnya, tetapi kenapa Alfred terus yang Andrew perintahkan?

“Sudahlah, lebih baik kamu menurut saja, daripada nanti Tuan murka,” ujar Alfred begitu menyadari raut wajah Clara berubah masam.

Setelah mendapatkan berkas-berkasnya, ia pun menyerahkannya pada Andrew. Laki-laki itu dengan sigap memeriksa satu per satu berkas dan menandatanganinya.

Setelah itu mereka lanjut bertemu klien dan saat selesai Andrew langsung meminta Alfred untuk mengantarkannya ke salah satu klub yang berada di kota Jepang.

"Antarkan aku ke sana, sekarang juga!" titah Andrew tanpa mau dibantah. Toh semua urusan pekerjaan telah selesai dan dia bebas melakukan apa pun yang ingin dilakukannya.

Bersamaan dengan itu, Eleanor sudah sampai di klub tempat Mitsuko bekerja. Selain mengantarkan temannya, ia juga diajak untuk beristirahat sementara seperti yang Mitsuko tawarkan sebelumnya.

“Ini klub tempat kamu bekerja?” tanya Eleanor sembari menatap ke sekeliling ruangan.

Gemerlap lampu-lampu, bau alkohol yang menyengat, beberapa perempuan dengan busana terbuka bahkan ada yang hampir tak mengenakan sehelai kain pun menjadi pemandangan langka bagi Elenaor sebab dirinya tak pernah pergi ke tempat seperti ini. Fokusnya hanya bekerja, bekerja, dan bekerja saja setelah ditinggal pergi sang papa untuk selamanya.

Eleanor meneguk ludahnya kasar, bagaimana bisa Mitsuko bisa bertahan di lingkungan seperti ini?

“Iya, sangat besar bukan? Nanti di lantai dua sebelah kanan adalah kamarku, biasa aku gunakan untuk menerima klien, tetapi karena kamu di sana mungkin aku akan gunakan kamar lain,” jelas Mitsuko. “Oh ya, kamu tidak keberatan bukan kuajak ke sini?” tanyanya.

Eleanor menggeleng. “Tidak, lagi pula aku sendiri yang ingin mengantarkanmu pergi bekerja."

Mitsuko pun mengangguk dan kembali melanjutkan langkahnya dengan Eleanor di belakang. Gadis itu asyik melihat sekeliling hingga tak sadar menabrak seorang pria hingga tubuhnya hampir terjungkal ke belakang.

Untung saja pria itu dengan sigap menarik pinggang Eleanor agar tidak jatuh ke lantai. Sekian detik mata mereka saling menatap dan keduanya terpesona pada satu sama lain.

“Apakah ini sudah di surga?” gumam Eleanor terbengong sambil terus memandangi paras rupawan di hadapannya.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!