Pernahkah berpikir bahwa di kehidupan dunia ada sebuah neraka yang sangat mengerikan? Yang lebih menakutkan daripada kematian. Adalah sebuah rumah yang di dalamnya tidak terdapat keharmonisan. Aura kesedihan, penyesalan, dan amarah cenderung menyelimuti sepanjang waktu di seluruh sudut. Rumah yang telah sangat rusak secara kasat mata dan dipenuhi spektrum merah hingga hitam pekat dari para penghuninya. Itulah neraka di dunia yang sesungguhnya.
Bagi mereka yang dilahirkan di tengah keluarga harmonis dan serba kecukupan materi tentu akan sulit mempercayai keberadaan neraka dunia itu. Mereka biasanya dengan mudah menjudge orang yang depresi dalam menyikapi permasalahan hidup adalah manusia kurang beriman. Padahal ini bukan soal iman apalagi agama. Ini tentang jiwa. Agama diciptakan manusia untuk mengendalikan hukum yang dibentuk oleh penguasa dengan keimanan sebagai pondasinya, sedangkan jiwa berasal dari inti kehidupan itu sendiri. Siapa yang paham? Bahkan sekelas sufi pun belum tentu mampu menyibak tabir misteri dari jiwa manusia. Then who will care if someone survive for high risk broken home? Of course nobody.
Hanya manusia dengan ketidakharmonisan di dalam rumahnya yang bisa menjadi pejuang paling tangguh untuk kehidupan terpelik itu. Tidak akan datang bantuan apapun yang dapat mengurai benang kusut dari permasalahan seperti itu. Orang lain akan mencuci tangan mereka dan memundurkan langkahnya sesegera mungkin untuk menjauh, menghindari banyak hal dengan dalih tidak mau ikut campur. Psikolog kemudian kebanjiran job. Manusia yang menyatakan diri telah kalah oleh masalah di rumahnya sendiri akan berbondong-bondong untuk meminta petunjuk dan solusi padanya. Akhirnya obat penenang menjadi jalan pintas yang diresepkan oleh tenaga medis untuk meredam perjuangan mereka dalam mempertahankan hak sebagai manusia merdeka. Who's know, faktanya orang yang belajar sangat baik dalam bidang psikologi justru adalah orang yang memiliki trauma kejiwaan paling dalam sebelumnya. Dalam arti lain, di samping tuntutan pekerjaan, psikolog pun sama saja dengan pasiennya, sama-sama sedang berjuang untuk jiwa kehidupan yang bebas dan bahagia.
Aku ingin berbagi kisah banyak hal tentang orang-orang yang berjuang dari bahaya broken home di sini, karena ini adalah kumpulan puzle dari sekian banyaknya serpihan kisah masa laluku. Agar dunia sadar, bukan hanya soal pemanasan global saja yang semakin mengancam kehidupan. Agar tidak semakin banyak tali menjuntai bersama dengan lunglainya sesosok tubuh yang telah menjadi mayat. Agar atap bangunan tidak lagi menjadi saksi terakhir dari hidup seseorang. Agar hanya tangan Izrail saja yang menghentikan nafas manusia di alam dunia. Sekali lagi, ini bukan soal iman dan agama. Ini tentang jiwa dan misterinya.
Namaku Aruni Juniarti, kebanyakan orang memanggilku bu dokter. Padahal aku seorang psikolog, bukan psikiater apalagi dokter medis. Saat ini aku menyandang gelar S.Psi. karena pendidikanku di bidang studi kejiwaan baru sebatas sarjana. Banyak rencana yang ingin kurealisasikan selaras dengan profesi ini, terutama keinginanku untuk belajar ke Amsterdam.
Oh iya, usiaku saat ini 35 tahun dan statusku masih single. Aku tidak memiliki impian apapun tentang pernikahan dalam waktu dekat. Sementara aku masih nyaman menghadiri acara undangan pernikahan rekan kerja atau syukutan khitan anak-anak mereka, namun untuk diriku sendiri... entahlah.
Banyak saran, wejangan, hingga berbagai upaya perjodohan telah dilakukan oleh rekan kerja maupun keluarga agar aku segera menikah. Tragis namun menggelitik sekali kan nasibku? Hahaha....
Berbagai kisah asmara beberapa kali ingin memikatku di negeri nyiur melambai, namun selalu gagal menjerat hatiku. Perasaanku masih tertambat pada sebuah titik kecil yang mungkin saja telah hilang di tempat asalnya, namun di diriku masih memercikkan trauma beserta harapan yang kuat. Sepertinya pesona pulau Jawa masih lebih kuat daripada Sulawesi tempatku berpijak saat ini. Buktinya setelah 12 tahun aku berusaha mengasingkan diri sangat jauh dari pulau Jawa, tuntutan profesi memanggilku untuk kembali ke tanah kelahiran. Kakiku menginjak lantai bandara Soetta setelah penerbangan yang cukup melelahkan bersama Lion Air selama lebih dari 3 jam.
Majalengka, I'm coming back to you.
Arif Sunandar....
Bagaimana kabar kakak setelah sekian lamanya kita berpisah?
Apakah kakak telah memiliki anak setelah pernikahan itu? Berapa??
"Dokter, ada pasien yang mengamuk tak terkendali di bangsal anggrek 03." Kata suster Nerviana terburu-buru menghampiriku yang sedang sibuk menginput data di layar monitor.
"Atas nama?" Tanyaku seraya menghentikan aktifitas.
"03521." Jawabnya dengan identifikasi kode pasien.
"Baik, sus. Saya cek dulu riwayat diagnosanya, ya."
"Baik, dok. Terima kasih."
Pasien 03521
Nama: Julia Ramayanti
Jenis kelamin: perempuan
Usia: 35 tahun
Add.: Majalengka
Date in: 27 Mei 2023, BPJS (-) VIP (✓)
PTSD (+)
BAD (+)
Note:
High unconditionaly temptation, high tension, with lung nodule symptoms.
Degg!!!
Sebuah keterangan rekam medis pasien mengingatkanku pada seseorang. Teman lamaku, namanya memang sama persis.
"Suster Nervi, tolong segera berikan pasien 03521 resep Cpm 20mg, ya. Dia pasien VIP di sini, lakukan observasi sampai besok pagi, jika reaksi pasien positif kita tetap lanjutkan perawatan di 03. Kemungkinan fail bisa ada, jika terjadi mau tidak mau harus take out to 07 segera."
"Baik, dok. Apakah sekarang dokter akan melihat pasien itu terlebih dahulu?"
"Besok siang saja, sekalian jadwal kunjungan seperti biasanya."
"Baik, dok."
"Satu lagi, sus. Sampaikan kepada keluarga pasien, tolong jangan membuatnya tersinggung. Jangan memaksa dia untuk berbicara jika tidak mau. Kasih edukasi juga kalau ada demam segera kompres dengan air hangat."
"Iya, dok. Masalahnya...."
"Masalahnya apa, sus??"
"Sejak masuk ke bangsal 03, pasien itu hanya ditemani oleh anak perempuan yang masih kecil. Mungkin usianya sekitar sepuluh tahunan."
"Hah?? Keluarganya yang lain??"
"Tidak pernah terlihat ada yang ke sini untuk menjenguknya, dok. Hanya saja untuk biaya perawatan pasien sudah dibayar lunas pada awal registrasi, uang pembayarannya dibawa oleh anak perempuam itu juga. Mungkin keluarganya adalah orang kaya yang sangat sibuk."
"Astagaaaa!!" Aku menepak kening. Bagaimana tidak, pasien dengan gangguan kejiwaan akut dan penyakit berbahaya hanya ditemani oleh anak kecil di ruang perawatan. Uang memang sangat penting, namun tidak semua hal dapat selesai hanya dengan segepok uang.
Aku tidak habis pikir soal keluarga pasien itu, manusia macam apa mereka sebenarnya. Ini tanggal 1 Juni 2023 kan? April moop sudah terlewat bukan? Aku tidak diprank kan??
Aku memang dokter yang baru saja bertugas di klinik psikologi ini, sebelumnya selama lebih dari 10 tahun aku ditempatkan di daerah pedalaman Sulawesi Utara sebagai masa awal pengabdianku menjadi PNS. Tiga hari yang lalu aku menghirup kembali segarnya udara Majalengka, kota kelahiranku. Aku baru dua hari memulai pekerjaan di ruangan ini untuk menggantikan dr. Aprilia yang pensiun di akhir pertengahan bulan Juni kemarin. Meski aku telah memiliki pengalaman di bidang medis, namun berpindah tempat kerja tentu saja perlu melakukan adaptasi dari awal lagi.
"Bagaimana, dok?" Tanya suster agak segan.
"Saya ke sana menemui pasien itu."
"Sekarang, dok?"
"Iya."
"Baik, dok. Silakan...."
***
Bangsal 03 dikhususkan untuk pasien kejiwaan akut yang sangat agresif. Di klinik ini hanya terdapat 10 kamar untuk menampung pasien dengan karakter seperti itu. Artinya hanya dapat menerima 10 pasien saja, sehingga untuk keperluan rawat inap akan dibatasi paling lama 7 hari untuk setiap pasien. Kecuali jika keluarga pasien secara khusus memesan pelayanan VIP maka lamanya waktu perawatan akan lebih fleksibel, tergantung perkembangan dari pasien itu sendiri.
Jika setelah diperbolehkan pulang lalu pasien tersebut kambuh lebih parah lagi, maka perawatan dan pemulihan mental selanjutnya akan dilakukan di bangsal 07 yang memiliki kapasitas kamar dan fasilitas lebih lengkap. Begitu juga dengan pelayanan terhadap pasien VIP yang tidak menunjukkan perkembangan signifikan selama dua pekan, maka perawatan akan dilanjutkan di bangsal 07.
Sejujurnya aku enggan berhubungan dengan bangsal 07. Ada kengerian tersendiri saat membicarakannya karena bangsal itu keberadaannya sangat terisolasi dan terletak di lantai B3, di mana itu merupakan lantai paling bawah dari bangunan gedung ini. Bisa dibayangkan bagaimana mencekamnya bangsal itu jika dalam keadaan kosong, atau saat tengah malam tiba-tiba pasien mengamuk tak terkendali.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Pasien 03521 memang Julia teman lamaku. Dulu kami bersahabat dekat.
"Julia...." Ucapku lirih.
"Bu doker tahu nama saya?? Ikh sok tahu. Nama saya bukan Julia, dok. Saya adalah dewi pewangsit, dewi lingga kencana ungu. Hahahahaha...."
"Julia sudah lupa dengan saya??" Tanyaku lirih.
"Ikhh... siapa?? Dokter kok ada jenggotnya ya? Ada telinganya?? Unicorn? Hahaha... dokter unicorn. Ade, sini sayang lihat unicorn...." Jawabnya dengan tingkah aneh. Anak perempuan itu terpaksa memperlihatkan senyuman manis sehingga ibunya terlihat kegirangan. Ada sebulir air mata membasahi pipi gadis kecil itu. Sementara ibunya berjingkrak di atas ranjang lalu menari dengan gerakan tari Jaipong yang sangat luwes, aku mengalihkan perhatian padanya.
"Adek siapa namanya?" Tanyaku mengawali obrolan. Segurat senyum tipis kuperlihatkan untuk menambah keramahan sikap.
"Adelia, bu dokter."
"Oke, Adelia sama siapa di sini menemani ibu?" Tanyaku pada gadis kecil itu kemudian.
"Saya sendirian, bu dokter." Jawabnya ramah.
"Ayahnya ke mana?" Tanyaku lagi semakin menelisik.
"Tidak tahu, bu dokter." Jawabnya dengan diiringi gelengan kepala.
"Adelia masih sekolah?"
"Iya, masih. Tapi tiga hari ini saya izin buat temani ibu."
"Kakek atau saudara ibu yang lain ke mana, sayang?"
"Ada."
"Mengapa mereka tidak ke sini untuk menemami ibu?"
"Mereka takut sama ibu, bu dokter. Soalnya ibu sering mengamuk dan memukul mereka."
"Adek juga pernah dipukul ibu?"
"Pernah, sering...." Terangnya dengan sangat lugu. Dia lalu memperlihatkan beberapa bekas luka lebam di tangan dan punggungnya.
"Ade udah makan?"
"Udah, tadi disuapin ibu."
"Mau pulang ke rumah tidak sore ini? Saya bantu antarkan Adelia pulang ya, mau??"
"Mau di sini saja temani ibu, bu dokter. Saya ingin menemani ibu sampai sembuh, baru pulang. Kalau ibu pulang belum sembuh nanti ibu dirantai lagi tangan dan kakinya oleh kakek."
"Baiklah. Nanti kalau ada apa-apa tinggal panggil ibu suster saja ya. Besok kita bertemu lagi."
"Iya, bu dokter. Terima kasih."
"Sama-sama, sayang...."
Setelah memberikan obat penenang kepada Julia dan dia terlihat mulai mengantuk, aku memberi intruksi kepada suster Nervi agar lebih memperhatikannya. Tidak lupa aku pun menyelipkan selembar uang ratusan ribu ke tangan gadis kecil itu dan menyuruhnya untuk membeli jajanan di sekitar klinik.
Dadaku sesak dengan kenyataan ini. Sepanjang karirku, ini kali pertama aku merasa sangat down saat bertemu pasien.
Oh, Julia... sekejam dan sepahit apa jalan hidupmu selama ini?
Bukankah dua belas tahun yang lalu kamu sangat bahagia dengan pernikahanmu, lebih tepatnya mengatakan sangat bahagia dan menjadi perempuan yang paling beruntung di dunia??
Di mana kak Arif, suamimu itu sekarang?
Aku berjalan menuju ruang kerja dengan sebuncah air mata yang berusaha kutahan untuk tidak menetesi pipi. Suster Nervi kulihat memendam sebuah tanda tanya besar terhadap sikapku barusan.
"Maaf bu, boleh saya bertanya?" Tanya suster Nervi dengan berbagai keraguan dan rasa segan. Aku menatap wajahnya yang begitu lugu. Dia lalu menundukkan tatapan matanya.
"Silakan."
"Apakah ibu mengenal pasien barusan??" Tanyanya dengan sedikit tersendat. Dia memperbaiki posisi duduknya untuk mengalihkan kecemasan akan pertanyaan yang mungkin berarti sebuah kelancangan. Aku tersenyum simpul melihat tingkahnya.
"Pasien 03521 maksudnya, sus?"
"Iiiyya...."
"Wajahnya memang mirip dengan orang yang pernah saya kenal dulu, barangkali saya salah orang." Ucapku berbohong. Jelas-jelas pasien itu adalah teman lamaku, Julia. Aku hanya tidak mau mengungkit masa lalu yang justru akan menjadikanku lebih sakit hati dari saat ini.
"Ooohhh.... Berarti saya salah menduga, maaf ya bu."
"Menduga??"
"Pasien itu mengalami depresi berat sejak tiga tahun lalu, sebelumnya dia sering konsultasi dengan dokter April. Beberapa tahun tidak terlihat, eh ke sini dalam keadaan seperti itu. Dia selalu menanyakan keberadaan Aruni dan Aksa. Selain anak perempuan yang selalu bersamanya, hanya dua nama itu yang diingat oleh pasien."
"Benarkah??"
"Iya, bu. Sayangnya catatan khusus pasien dibawa oleh bu April, di situ lengkap keterangannya. Bu April menjadikan catatan itu sebagai pendukung rekam medis, biasanya berupa personal character dari pasien yang tidak ada hubungannya dengan diagnosa."
"Saya pun akan melakukan hal serupa, sus. Bantu saya ya untuk meneruskan jejak bu April dalam menangani pasien."
"Tentu saja, bu. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya juga."
"Ke depannya kita akan lebih akrab ya, sus. Jangan sungkan menghubungi saya jika ada urgensi di bangsal ini."
"Siap, bu. Hehehee...."
Julia....
Apakah aku mampu membantumu? Bekas luka di diriku masih menyisakan sakit yang menusuk.
Ada apa dengan diriku??
Awal semester 2 kelas X SMA adalah momen terindah dalam hidupku. Tahun 2004 ini menjadikanku gadis yang ceria dan penuh semangat di sekolah, prestasiku semakin gemilang seiring suasana hati yang selalu berbunga-bunga setiap hari. Apalagi penyebabnya jika bukan soal laki-laki dan jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada kakak kelasku, Arif Sunandar, tak disangka cintaku berbalas. Kak Arif adalah ketua OSIS tampan yang sangat cerdas. Bukan rahasia lagi jika kak Arif menjadi siswa terpopuler di sekolahku, bahkan seluruh guru ikut menyetujui fakta ini tak terkecuali guru laki-laki. Aku mendapat keberuntungan terbaik sebagai pacarnya meskipun harus siap menghadapi serangan hater fanatik yang telah sangat tergila-gila dengan paras kak Arif.
Namaku Aruni Juniarti. Sesuai dengan clue pada namaku, aku dilahirkan pada bulan Juni tahun 1988. Aku termasuk gadis pendiam dan pemurung yang sakit-sakitan.
Dua tahun lalu ayah menikah lagi hanya selang tiga bulan setelah ibuku meninggal dunia karena serangan jantung. Istri barunya itu adalah selingkuhan ayah yang telah dinikahi secara sirri saat ibu masih hidup.
Ayahku bernama Rubianto, dia seorang juragan tanah di Cigasong dan Rajagaluh. Sebenarnya ayah berasal dari keluarga pas-pasan di Cirebon namun kemudian pindah ke Majalengka karena ikut ibu. Rumah dan tanah yang ayah kuasai saat ini seluruhnya milik ibu. Secara hukum waris, seharusnya ayah sudah tidak berhak lagi terhadap tanah dan rumah ini, karena bukan harta gono-gini tapi harta bawaan ibu yang diwariskan oleh kedua orang tuanya.
Bukan ayahku namanya jika tidak bersifat licik dan penuh ambisi dalam memenuhi keserakahannya. Aku dipaksa menandatangani surat pernyataan memberikan kuasa kepada ayah untuk mengelola semua aset milik ibu. Setelah itu ayah membawa masuk perempuan itu ke rumah ini yang di kemudian hari memposisikan dirinya sebagai nyonya rumah.
ART dan tukang kebun yang dulu bekerja di sini semuanya diberhentikan, pekerjaan mereka semua lalu dibebankan kepadaku. Air mata dan tangisan sudah menjadi teman setiaku setelah ibu tiada.
***
Jum'at sore awal bulan Juni 2004, gerimis mulai reda setelah hampir seharian tiada henti membasahi bumi. Mungkin ini hujan-hujan terakhir menjelang datangnya kemarau panjang, namun entahlah karena musim tropis sekarang telah banyak perubahan karena tercemarnya udara oleh polusi.
Kegiatan Pramuka yang kuikuti baru saja selesai. Sekolah kembali lengang dari hiruk pikuk kakak Bantara dan para adik juniornya.
Aku berjalan menuju lantai dua gedung laboratorium komputer. Di sekolahku gedung laboratorium komputer terdiri dari dua lantai. Labkom di lantai satu untuk ruang media pembelajaran siswa. Sedangkan labkom di lantai dua digunakan sebagai ruang rapat guru, OSIS, Pramuka, Paskibra, maupun PMR. Di ujung lorong labkom terdapat anak tangga menuju menara pengawas sekolah yang mirip mercusuar dengan ketinggian yang lebih pendek. Menara ini digunakan sebagai pos jaga bagi dua orang satpam saat jaga malam. Maklum sekolahku langganan terjadi tindakan pencurian saat malam hari.
Seluruh ruangan di sepanjang menara ini hanya berjumlah tiga bagian saja. Setiap ruangan memiliki lubang terbuka dengan pengaman pagar besi setinggi satu meter sebagai pembatasnya. Sebenarnya tidak ada yang diperbolehkan naik ke menara ini, pemegang kunci gerbang masuknya pun hanya satpam dan ketua komite saja. Aku bisa masuk ke sini karena mengetahui model dan kode kunci menara yang selalu dibawa oleh satpam ke manapun, aku membuat duplikatnya. Konsekuensi jika aku ketahuan naik ke sini dengan kunci duplikat ya tentu saja sangat berat, bisa skorsing atau DO.
Aku duduk di teras menara paling atas, menatap langit senja berlatar belakang perbukitan dan kelip lampu di sekitar wisata Paralayang. Teras menara yang kutempati saat ini dikenal angker oleh hampir seluruh siswa, bahkan satpam yang bertugas malam pun tidak pernah berani menginjakkan kakinya di teras ini. Bagiku justru itu menguntungkan karena bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat rahasia untuk menyendiri dari semua beban pikiran. Hembusan angin sore menyibak kerudung cokelatku, sehingga melambai-lambai. Aku terngiang perkataan ibu tiriku sebelum berangkat sekolah tadi pagi.
"Dasar anak malas, nyuci piring saja tidak bisa bersih. Perempuan sialan itu dulu bagaimana sih mendidikmu?!!" Bentak ibu tiriku sambil membanting piring yang masih sedikit berminyak karena noda rendang kesukaannya.
"Mau bikin rumor angker menara sekolah ini semakin santer ya? Mau jadi hantu-hantuan??!!!" Bentak seseorang membuyarkan lamunanku. Aku sangat kaget dan berspekulasi bahwa rumor itu kini benar adanya namun bulu kudukku tidak merinding sedikitpun, berarti suara manusia pikirku.
"Jawab!!!" Sentaknya lagi sembari memegang kedua pundakku. Aku memberanikan diri untuk menengok.
"Kkkakkk... Arrriiifff...."
"Iya, aku Arif. Ngapain kamu di sini??"
"Aku..."
"Mau loncat??"
"Tidak atuh, kak. Aku cuma lagi males aja kalau langsung pulang ke rumah."
"Ooohhh...."
"Lah kakak ngapain ke sini??"
"Ya gara-gara melihat kamu di sini. Aku kira mau bundir, makanya cepat-cepat naik ke sini."
"Dih... siapa juga yang mau bundir? Aku biasa kok ke sini, kak. Aku baik-baik saja."
"Oke, syukur kalau baik-baik saja."
"Iya. Maaf sudah membuat kakak khawatir."
"Ya udah turun kalau baik-baik saja mah, ngapain masih duduk manis di sini sore begini. Sebentar lagi Maghrib loh, pamali."
"Iya kak, duluan aja. Aku duduk sebentar lagi."
"Aku temanin, mau??"
"Ehhh, teu kedah atuh kak. Iya deh iya turun."
"Ya udah ayok cepetan. Kamu turun duluan."
"Iyaaa...."
"Ngagawekeun pisan jelema teh!" Gumamnya sambil menyalakan senter mini untuk menerangi anak tangga. Aku berjalan mendahuluinya.
"Mau langsung pulang??" Tanyanya setelah sampai di lorong lab komputer.
"Iya, kenapa memangnya?"
"Kita ngobrol dulu sebentar. Aku ada perlu."
"Oohhh...."
"Kamu tidak takut denganku??"
"Tidak."
"Pantas saja dapat julukan cewek aneh, kamu memang aneh sih ternyata. Sedikit pun tidak ada hormatnya sama kakak Bantara. Ya udah masuk labkom dulu, kita bicara."
"Oke."
"Yang seperti tadi itu bukan menyelesaikan masalah. Mulai sekarang kamu boleh curhat apapun padaku, rahasiamu aman terjamin kok." Katanya dengan ramah setelah kami duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan layar monitor. Aku mengernyitkan kening. Sebelumnya aku menilai kak Arif terkenal hanya karena ketampanan dan kecerdasannya, ternyata dia memiliki sesuatu yang lebih misterius. Belum sempat kutanggapi perkataannya, dia meninggalkanku lalu menelpon seseorang.
"Bro, duluan aja ya. Kasih tahu Aksa sama Deni juga jangan nunggu aku soalnya masih ada berkas lain yang harus diketik. Tidak usah dibantuin, aku pengen ngerjain sendiri." Katanya di telepon menyuruh teman-temannya agar segera pergi dari lingkungan sekolah. Dia sangat menjaga privasi dan reputasinya, jelas dia tidak ingin ada yang tahu tentang keberadaanku bersamanya saat ini. Image cerdas yang melekat padanya memang bukan sekedar gosip dan penilaian subjektif. Dia memang cerdas. Mampu memperhitungkan dengan baik sebuah akibat dari sesuatu yang mungkin kurang penting baginya adalah salah satu ciri dari orang yang cerdas.
"Kamu percaya orang-orang dengan indigo bawaan sejak lahir??" Tanyanya padaku kemudian.
"Iya...."
"Aku ini salah satu dari mereka. Aku indigo sejak kecil. Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kemampuanku ini juga yang membuatku bisa dengan tepat waktu datang menemuimu di menara itu barusan."
"Seharusnya tidak usah menemuiku, kak. Aku tidak butuh simpati." Ucapku acuh menanggapi. Setelah bertubi-tubi penderitaan hidup yang aku terima, aku berubah menjadi pribadi yang apatis dan tak berperasaan.
"Kamu korban orang tuamu??"
"Hahh.... kok bisa tahu??"
"Sudah aku katakan kan, aku ini indigo."
"Akuuuu...."
"Beberapa menit sebelum aku menemuimu di atas sana, rencana bundir itu ada di otakmu."
"Hahhh... seakurat itu??"
"Sekarang tidak perlu ada lagi yang disembunyikan dariku, neng. Selama kamu masih ada rencana seperti itu, kamu ada dalam pengawasanku." Katanya menegaskan. Kali ini dia memanggilku dengan sebutan: neng.
"Kak Arif...."
"Ya?"
"Apa untungnya melakukan itu untukku?"
"Kelebihanku ini ada efek terburuknya, neng. Saat aku telah dengan jelas mengetahui bahaya mengintai seseorang dan melalaikan itu seakan aku tidak tahu, aku akan sakit keras. Bahkan...."
"Bahkan??"
"Aku akan menjadi gila karena dihantui oleh penglihatanku sendiri."
"Separah itu??"
"Iya."
"Setahuku kalau indigo tidak memiliki efek seperti itu, kak. Teh Risa contohnya...."
"Indigo itu banyak jenisnya, neng. Yang aku miliki ini memiliki efek seperti itu."
"Mengapa tidak dilepaskan saja? Dihilangkan??"
"Tidak bisa. Aku hanya bisa menggunakannya dan mengendalikan diriku sendiri jika aku mampu. Selebihnya akan berjalan sebagaimana kehendak penglihatanku."
"Ooohhh...."
"Kamu siapa namanya, neng?"
"Aruni Juniarti, kak."
"Bagus namanya. Harusnya kamu mencerminkan diri pada namamu."
"Emang ada apa dengan namaku??"
"Namamu artinya kan matahari yang berarti di bulan Juni. Jadi kamu harus lebih semangat untuk bertahan hidup."
"Iya, kak. Terima kasih sarannya."
"Lahir di bulan Juni kan?"
"Iya."
"Sesuai namamya. Orang tuamu pasti ingin mengenang momen kelahiranmu lewat nama itu."
"Iyyaa... barangkali...."
"Mau pulang atau??"
"Aku mau pulang, kak."
"Aku antar ya. Udah jam segini, takut ada apa-apa di jalan."
"Terima kasih...."
"Ke mana pulangnya?"
"Nanti aku pandu arahnya, kak."
"Oke."
Obrolan kami malam itu adalah awal kisah cintaku dengan kak Arif Sunandar. Kisah cinta yang sangat indah dan melegenda di kemudian hari. Di hidupku yang sangat malang, aku masih memiliki lelaki sepertinya yang sangat baik bagai malaikat. Sekolahku dibuat geger setelah itu, hubungan kami menjadi trending topik. Berbagai godaan dan gosip miring tak henti menerpa hubungan kami, namun perasaan cinta yang begitu kuat selalu tetap berhasil menyatukanku dengan kak Arif.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!