NovelToon NovelToon

BABYSITTER MENDADAK ISTRI

MENDADAK BABYSITTER

"Aku tak mau tahu, kau harus bisa meredakan tangisan Nuca, Alic! Buatkan ia susu yang baru dan coba berikan lagi kepada Nuca! Jika ia tak mau meminum botolnya, berikan dengan sendok! Lakukan apapun sampai kita mendapatkan ibu susu untuknya. Aku akan segera sampai di rumah!"

Seorang wanita paruh baya masih berbicara di telepon saat tiba-tiba mobil yang membawanya berhenti mendadak hingga ponsel yang digenggamnya terjatuh.

"Rudi, hati-hati! Tunggu! Jangan bilang kalau kita baru saja menabrak seseorang!"

Mima biasa ia dipanggil kini menatap tajam ke arah Rudi sang sopir yang tampak gelisah. Ia bahkan membayangkan adegan dalam film-film yang ditontonnya terjadi, tentang sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti usai menabrak sesuatu. Di sisi lain, Rudi jelas ketakutan, ia merasa bingung sebab asumsi majikannya itu nyatanya benar. Beberapa detik lalu ia telah menabrak seseorang.

"Kenapa melamun? Cepat keluar! Lihat apa yang terjadi! Jangan sampai aku mendapat masalah karena perbuatanmu!" bentak Mima membuat lelaki berusia tiga puluhan itu dengan cepat membuka pintu dan keluar dari mobil.

Mima baru saja bangkit usai mengambil ponsel saat jendela di sampingnya diketuk oleh seseorang dari luar. Wajah pucat Rudi memenuhi jendela, Mima mengerutkan dahi. "Mengapa wajahmu seperti itu?" tanyanya.

"Nyonya besar, ampun!" lirih Rudi.

"Ada apa denganmu? Kenapa harus memohon ampun padaku?" Wajah Mima bertambah bingung saja.

"Ki-ta baru saja menabrak seseorang, Nyo-nya ...."

"Menabrak? Gila!"

Kaki-kaki dengan kulit yang mulai menipis dan urat-urat terlihat di area betis perlahan mulai menapak ke aspal. Mima keluar dari mobil untuk melihat apa yang terjadi.

"Astaga! Kau bisa membuatku di penjara! Cepat bawa wanita muda itu masuk ke dalam mobil sebelum banyak orang melihat kejadian ini!" teriak Mima. Ia mendekati wanita muda yang tergeletak di depan kap mobil dengan darah menetes di pelipis sebelah kanan. Perlahan Mima mengambil tas di atas tubuh si wanita, mendekati pintu dan membukanya lebar agar Rudi bisa dengan mudah memindahkan tubuh si wanita masuk ke mobil.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyo-nya?"

Dua pasang mata kompak menatap gadis tak sadarkan diri yang kini sudah bersandar di kursi mobil. Mima yang duduk di samping si wanita perlahan meraih lengan wanita itu. Ia mulai mengecek Nadinya. "Ia tak meninggal," ucap Mima. Rudi mengangguk.

"Betul, tadi saya juga sudah mengeceknya," kata Rudi.

"Kita putar balik dan bawa dia ke rumah dokter Albert! Aku tak mau masalah ini melebar!"

"Ba-ik, Nyonya." Mobil seketika diputar dan Rudi langsung melajukan mobil itu menuju kediaman dokter Albert, dokter kepercayaan keluarga Ghani.

"Hati-hati saat mengemudi, Rud! Pikiranku sedang kacau lantaran memikirkan Nuca, kini kau justru menambah masalah baru. Apa kau ingin nenek tua ini mati mendadak atau mungkin mendekam di penjara? Apa kau tak kasihan dengan anak dan keluargamu jika ayahnya harus mendekam dalam jeruji besi? Bahkan cucu tercintaku belum menikah! Huh, entah siapa gadis ini? Semoga saja lukanya tak parah!" Mima terus saja bicara. Ia tak menyadari gadis di sampingnya mulai membuka mata.

"A-ku di mana?" Ucapan lirih terdengar. Mima langsung menepuk bahu Rudi. "Rud, dia sadar!"

"Sayang, tolong jangan takut oke! Sopirku tadi tak sengaja menabrak mu, tapi tenang saja kami akan bertanggungjawab." Mima menatap si wanita, ia bicara sambil mengusap lembut lengannya.

"Antar-kan saja aku pulang, Nyo-nya. Aku tak apa-apa," lirih wanita itu membalas ucapan Mima.

"Bagaimana bisa seperti itu, jelas-jelas pelipis mu berdarah dan kau tak sadarkan diri tadi. Tenang saja, kami bukan orang jahat, Sayang!"

"Ini hanya luka kecil. Aku yang salah. Aku melamun saat menyebrang tadi. Aku sungguh tak apa-apa, Nyonya. Aku pingsan pasti karena perutku kosong. Tolong biarkan aku pu-lang ...." Si wanita mengulangi lagi pintanya.

"Perutmu kosong? Apa kau belum makan sebelumnya?" Rasa empati Mima muncul. Ia menatap wanita itu secara seksama. Wanita dengan wajah pucat itu menggeleng menanggapi ucapan Mima.

"Baik kami akan memeriksa kondisimu, memberimu makan, baru setelahnya mengantarmu pulang, oke!"

"Tidak perlu, Nyo___

"Tak ada bantahan! Kau harus menurut!" tegas Mima setelahnya membuat si wanita bungkam. Ia takut.

"Maaf aku tak bermaksud berkata kasar, Sayang. Oh ya, kita belum berkenalan. Siapa namamu, Nak?"

"A-ku Za-leyaa."

***

"Leya, jadi bagaimana? Kau mau kan melakukan permintaan nenek tua ini?" Suara Mima mengagetkan Zaleya yang sedang menatap sebuah bingkai. Semua masih seperti mimpi. Sebulan lalu ia bertemu Mima, membuatnya mendapatkan pekerjaan dan kini Mima tiba-tiba meminta hal yang tak masuk akal baginya, menjadi menantu keluarganya.

"Leya Sayang ...."

"Nuca menangis, ia pasti mencari ku, Nek!"

"Leya ... Leya ... tunggu kau harus menjawab pertanyaanku dulu!"

"Maaf Nenek, seperti ucapanmu Nuca kini adalah tanggung jawabku dan kau tentu tak suka jika aku mengabaikan cicit kesayanganmu itu, bukan?" ucap Zaleya seraya menoleh sekilas. Ia kembali berjalan cepat menuju kamar Nuca setelahnya.

Zaleya terpaksa mengabaikan wajah kecewa Mima. Ia yang beberapa saat lalu bingung bagaimana menolak pinta Mima, kini merasa tenang telah terbebas dari intimidasi Mima usai masuk ke kamar Nuca. Bayi kecil yang kini diasuh, bahkan mendapat asinya.

Cap cap cap

Zaleya tersenyum, mendengar kecapan Nuca yang begitu puas sebab dahaganya terpenuhi sungguh hal terindah bagi Zaleya. Namun senyum itu seketika berubah menjadi bias kesedihan, lantaran disadari hak asi yang seharusnya hanya milik darah dagingnya kini telah ia berikan pada bayi yang tak pernah dikenalnya.

Nayna ... Sayang ... semoga kau bahagia di alam sana. Kau telah pergi bersama papa dan kakekmu meninggalkan mama. Mengapa takdir mama seperti ini? Mengapa mama tidak dipanggil bersamamu saja dalam kecelakaan itu?Oh .... Ampuni hamba Tuhan. Apa yang telah hamba ucapkan.

Ratapan lirih itu terhenti. Zaleya sadar takdir yang terjadi pasti terbaik meski teramat perih dirasakan. Bagaimana tidak, sebuah kecelakaan yang terjadi delapan bulan lalu membuatnya kehilangan orang-orang tercintanya. Ratapan yang kemudian disesali, sebab takdir Tuhan nyatanya tak sepenuhnya buruk. Selain dirinya, ibunya pun selamat. Ya, Zaleya tak sendiri dan masih memiliki ibu. Kendati pasca kecelakaan kondisi ibunya koma, bahkan menurut dokter kesempatan pulihnya sangat lah kecil.

Zaleya mengusap sisa bulir sebelum meletakkan Nuca ke Ranjang. Nuca tampaknya sudah kenyang. Ia tertidur usai dahaganya terpenuhi.

"Leya ... Apa aku bisa masuk?"

Sebuah suara dari balik pintu terdengar. Zaleya segera membuka pintu hingga tampaklah Alicia ketua pelayan berdiri mematung.

"Bibi Alic, apa kau membutuhkan bantuanku?"

"Apa Nuca sudah tidur? Bisa kita bicara berdua?"

Mengapa wajah bibi Alicia begitu tegang? Apakah aku sudah berbuat kesalahan?

..._________...

...Mencoba menulis lagi, yang hiatus perlahan dilanjut. Terima kasih yang ikut membaca kisah ini❤...

USAHA MEMBUJUK ZALEYA

"Apapun itu yang diinginkan Mima darimu, penuhi lah!"

"Ta-pi, Bi?"

"Seperti halnya kau yang bertanggungjawab atas kebahagiaan dan kebutuhan Nuca, aku pun memiliki tanggung jawab itu pada Mima!"

Sepasang mata Zaleya membulat, ia tak menyangka Alicia bisa bicara seperti itu padanya. Di mata Zaleya, Alicia sungguh egois jika memintanya mengorbankan hidup hanya demi keinginan Mima. Zaleya terdiam beberapa saat, hingga ia mulai berasumsi. "Apa kau datang ke sini atas perintah Nenek, Bi?" ucap Zaleya.

"Kau pikir begitu? Sayangnya asumsimu salah! Aku datang karena rasa sayangku pada Mima," lugas Alicia.

"Apa Bibi tahu apa yang diminta Nenek dariku?"

"Apapun itu, pasti sesuatu yang baik untukmu!"

"Bibi tak seharusnya bicara begitu sebelum mengetahui apa permintaan nenek!" tegas Zaleya.

Dahi Alicia berkerut, selama ini belum ada satu pun pelayan yang berani bicara dengan nada tinggi padanya. Maklum Alicia sudah bekerja di rumah itu selama 25 tahun, separuh dari usianya. Ia pelayan paling tua di rumah itu. Orang kepercayaan Mima. "Apa kau sedang mendikteku, Leya?"

"Maaf bukan maksudku begitu, Bibi." Zaleya menyadari kesalahannya, ia menunduk.

"Kau tahu Leya, aku melihat Mima memiliki semangat baru setelah kau datang."

"Karena kebutuhan Nuca kini terpenuhi, bukan?" sergah Zaleya.

"Mungkin itu salah satu alasannya, tapi kupikir ada sesuatu yang lain. Kulihat Mima kini sering tersenyum."

"Ahh Bibi bisa saja, pasti nenek begitu karena cicitnya tak pernah menangis lagi!"

"Kurasa alasannya tak hanya itu!"

Zaleya terdiam dan berpikir. Apakah aku begitu berharganya di rumah ini? Tapi mengapa? Mana mungkin!

"Kau tak perlu banyak berpikir! Hal yang perlu kau lakukan adalah mengiyakan pinta Mima!"

"Meskipun permintaan nenek sangat aneh?"

"Permintaannya menurutku tak aneh!"

Zaleya menatap seksama wajah Alicia. "Kau katakan tadi tak tahu permintaan nenek, tapi kini aku curiga kau sebetulnya tahu dan nenek ada di belakang semua ini! Ia pasti yang memintamu datang untuk meyakinkanku!"

Alicia mematung membuat Zaleya meyakini asumsinya benar.

"Kau sangat egois, Bibi! Kau seperti halnya nenek tak memikirkan hidupku! Perasaanku! Kalian hanya ingin menahanku di rumah ini, bukan? Kalian takut jika suatu hari aku pergi meninggalkan Nuca yang mulai bergantung padaku? Kalian hanya memikirkan hal yang menurut kalian benar tanpa mempertimbangkan baik buruknya semua untukku! Kenapa kalian begitu? Apa karena aku hanya orang miskin jadi kalian pikir bisa mengintimidasiku? Memintaku melakukan ini dan itu? Entah di masa depan hal-hal tak masuk akal apa lagi yang akan nenek minta dariku!"

PLAK!

"Bi-bi?"

Zaleya kaget. Sebuah tamparan baru saja mendarat di pipinya. Ia menyentuh pipinya yang terasa panas.

"Kau keterlaluan, Zaleya! Aku tak menyangka mulutmu sangat tajam! Mima telah mengangkat derajatmu dengan membawa, memberimu makan, juga memberimu pekerjaan di rumah ini, tapi kau nyatanya tak memiliki nurani! Dengar Zaleya, kami di rumah ini tak seburuk anggapanmu! Kau seharusnya bersyukur sebab Mima begitu menyayangimu, ia mempercayakan cicitnya dan kini ia juga percayakan cucunya padamu!" tegas Alicia.

"Ta-pi .... Bagaimana dengan kebahagiaanku?"

Tatapan tajam Alicia tak beranjak dari wajah Zaleya. "Kebahagiaan apa yang kau maksud? Belum cukupkah kau mendapat materi sebanding sebagai ganti asimu? Tak cukupkah kau mendengar kabar bahwa kondisi ibumu semakin membaik? Bahagia apa lagi? Kita orang kecil Zaleya, kau sangat beruntung bisa berada di sini, bahkan dipercaya menjadi menantu keluarga ini! Tolong jangan kecewakan orang yang sudah mengangkat derajatmu atau kau akan menyesal selamanya!"

"Tunggu Bi-bi, katamu tadi keadaan ibuku semakin mem-baik?"

"Jadi kau belum tahu? Benar!"

Mulut Zaleya terbuka, sepasang matanya berkaca. Ia kaget, begitu bahagia dengan berita yang baru saja didengar.

"Jangan berpikir ibumu membaik begitu saja, Zaleya! Semua terjadi karena peran Mima!" tegas Alicia membuat wajah Zaleya yang menunduk langsung terangkat.

"Peran ne-nek?"

"Mima telah mencari dokter terbaik dan mengusahakan agar ibumu cepat pulih!"

"Benar-kah? Bibi ma-af, bahkan aku telah berasumsi buruk pada Nenek ta-di." Tangisan Zaleya pecah, ia menyesali semua ucapannya. Alicia mendekat, ia usap lembut bahu Zaleya.

"Oleh karenanya jangan tolak keinginannya. Mima sangat tulus padamu, Zaleya."

"Ta-pi, apa cucu nenek akan suka padaku? Aku bukan seorang gadis, Bi. Alangkah baik jika nenek mencari wanita yang belum pernah menikah saja untuk cucunya dan bukan a-ku ...."

"Mima pasti telah mempertimbangkan segalanya. Satu hal yang perlu kau tahu Zaleya, cucu Mima sangat baik dan berbakti. Kurasa ia pasti menerima keputusan Mima."

"Ta-pi ... Itu berarti aku mengkhianati mendiang suamiku, Bi-bi."

"Pengkhianatan itu untuk orang yang masih hidup. Suamimu sudah tiada. Dia pasti akan bahagia jika kau bisa melanjutkan hidupmu dengan baik."

***

"Sayang ... kau jadi pulang besok, bukan?"

"Tentu, Mima. Aku begitu merindukanmu dan Nuca. Tunggu, aku sampai lupa berterima kasih karena kau telah mendapatkan ibu susu untuk Nuca. Ahh putra kecilku, aku sungguh tak sabar untuk menggendongmu."

"Itu bukan hal sulit untuk Mima-mu ini. Aku juga tak sabar menunggu kedatanganmu, Cucu tampanku. Selain itu, aku juga punya kejutan untukmu!"

Mima bicara dengan wajah berbinar. Belum lama tadi Zaleya telah datang dan menyatakan kesanggupannya menerima permintaan Mima. Kini Mima sangat bersemangat untuk mempertemukan cucunya dengan Zaleya. Wanita baik yang diyakini akan memenuhi rumahnya dengan banyak cinta.

"Kejutan? Mengapa perasaanku mendadak tak baik, ya ...."

"Hai Anak nakal, kau pikir Mima-mu ini nenek sihir yang akan membebanimu dengan sesuatu yang buruk hum?"

"Just kidding, Mima. Kau adalah nenek terbaik. Kau segalanya bagiku. Aku mencintaimu dan akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu."

"Ahh bahagianya aku mendengar ucapanmu, Sayang. Semoga esok perjalananmu lancar dan kita akan bertemu."

"Amiinn. Jaga kesehatanmu, Mima. Love you."

"Love you too, Honey ...."

"Aku senang melihat binar bahagia di wajah anda. Akan tetapi, apa anda yakin tuan Rayyan akan menyukai Leya, Mima?" Mima yang baru saja meletakkan ponsel ke atas meja menoleh mendengar tanya Alicia. Alicia memang sedang menemani Mima di kamarnya.

"Aku saja bisa menyukai Leya, aku yakin Rayyan pun akan menyukainya."

"Boleh kutahu alasan anda memilih Leya?"

"Kita sama-sama tahu Rayyan begitu menyayangi Nuca seperti anaknya sendiri. Dan Leya, ia sangat baik menjaga Nuca. Aku yakin ia akan menjadi ibu hebat untuk Nuca. Rayyan dan Zaleya akan menjadi orang tua sempurna untuk Nuca. Selain itu juga__

"Selain itu apa, Mima?"

Sebelum menjawab Mima tersenyum. "Aku seolah sedang berkaca melihat wanita muda itu. Ia baik dan ceria meski sedikit keras kepala. Kami sama-sama bukan berasal dari keluarga berada, namun takdir mengubah kehidupanku. Aku bertemu dengan mendiang suamiku, Rain. Kau tahu Alic, saat aku menikah dengan Rain, posisiku juga seorang janda. Aku bukan gadis, namun Rain yang berasal dari keluarga terhormat tak mempermasalahkan masa laluku."

...________...

...Semoga suka. Bubu sedang ikut even pernikahan manis - bersatu karena anak❤...

KISAH MASA LALU

Nayena ... Nayenaa ... jangan menangis, Sayang. Mama datang. Nayena ... Nayenaa ... jangan pergi ...! Jangan tinggalkan Mama ... Nayenaaa ....

Oekk .... Oeee ... Ma ma ma .... Oeee ....

"Nuca, Nuca menangis ...."

Zaleya bangkit. Ia segera menuju ranjang Nuca. Diraihnya dengan lembut tubuh berisi Nuca. Ia yang begitu mengantuk membawa Nuca ke ranjangnya dan mulai memberi asi yang dibutuhkan Nuca. Tangisan itu terhenti. Zaleya spontan mencium Nuca, ia merasa bersalah membuat Nuca sampai menangis sesenggukan menunggu kedatangannya.

Zaleya tertegun, tangisan Nayena dalam mimpinya seolah nyata. Namun ia sadar bukan Nayena yang benar-benar ada melainkan Nuca. Zaleya menetralkan emosinya, ia harus ikhlas dengan kepergian sang putri.

Kini, Zaleya kembali menatap Nuca. Ia usap dengan lembut kening Nuca yang berkeringat.

"Dunia itu begitu aneh. Kau tahu Nuca, usia putriku yang telah tiada tak jauh darimu. Ia pergi dan takdir mempertemukan ku denganmu. Kau ... Kudengar kedua orang tuamu telah tiada. Kau sungguh malang Nuca. Kau bahkan kini mengandalkan ku yang sejatinya bukan siapa-siapa mu, tak memiliki hubungan kekerabatan denganmu. Kau tahu Nuca, kehadiranmu adalah anugerah untukku. Setiap bersamamu kesedihanku seolah sirna, aku merasa begitu berharga. Kau pula yang membuat aku memiliki keluarga. Ya, kini semua orang di rumah ini adalah keluargaku. Oh ya Nuca, kau tahu nenek memintaku menikah dengan pamanmu. Entah seperti apa pamanmu, tapi menurut bibi Alic ia lelaki baik."

Zaleya menghentikan kalimatnya dan tersenyum. Ia melihat sepasang mata bulat Nuca terus menatapnya seolah memahami setiap ceritanya.

"Ahh Sayang kau ini. Sudah berhenti menatapku! Kau pasti mengantuk, bukan? Maaf aku mengganggumu. Ayo tidur, Sayang!"

Nuca melepas penyegar dahaganya sesaat. "Ma ma ma," celotehnya membuat Zaleya tak tahan ingin menciumnya lagi dan lagi.

"Sudah minum lagi dan tidur, oke! Jangan sebut lagi panggilan itu padaku, aku bukan mamamu, Nak ...."

Nuca adalah bayi delapan bulan yang belum memahami apapun. Setelahnya ia kembali meminum asi Zaleya hingga keduanya yang mengantuk kompak tertidur bersamaan.

***

"Sayang kau sudah datang?"

"Penyambutan macam apa ini? Kau tak mengabari jika kondisimu sedang tak baik, Mi-ma?"

Lelaki tegap yang yang tak lain adalah Rayyan si cucu kesayangan telah kembali. Ia langsung mencari sosok sang nenek di kamarnya, namun ia terkejut saat dilihatnya si nenek sedang terbaring di ranjang. Ia pun berasumsi bahwa nenek tercintanya itu sedang sakit.

"Kata siapa aku tak baik, aku hanya sedang bersantai di kamar," ucap Mima berusaha meraih sesuatu di atas meja.

"Oh Tuhan, mengapa wajahku terlihat pucat. Pantas saja cucuku mengira aku sedang sakit," gumam Mima.

Rayyan tersenyum getir. "Bahkan dalam keadaan pucat pun kau terlihat sangat cantik, Mimaku." Rayyan memeluk Mima, Mima seketika melepaskan cermin dalam genggamannya. Ia membalas pelukan Rayyan.

"Honey ... katakan, jika aku tiba-tiba dipanggil Sang pencipta apa kau akan melupakanku?" Rayyan melepaskan pelukannya dan menatap Mima.

"Apa yang kau bicarakan ini? Aku tak menyukainya, Mimaku." Rayyan menoleh. Ia tatap tirai yang bergoyang tertiup hembusan angin. Seketika ingatannya terbawa pada peristiwa lima belas tahun silam yang menjadi awal pertemuannya dengan Mima.

Udara pagi itu begitu cerah, tapi tidak dengan suasana hati penghuni rumah dalam kawasan padat penduduk di sebuah kota di barat laut Turki bernama Bursa. Bursa adalah salah satu pusat industri negara Turki. Produksi otomotif juga sebagian besar dilakukan di kota ini, sehingga kota ini menjadi kota terpadat keempat di Turki.

Dua insan duduk termenung, merasa dilema, bingung dan bimbang atas nasib keluarganya kelak. Penyesalan itu letaknya memang di akhir, artinya semua hanya menjadi kesedihan tiada tara jika kita sampai terjerumus hal yang dilarang dan tak memiliki arah lagi setelahnya.

Ditatapnya bangunan rumah bernuansa abu yang sebelumnya dipenuhi barang-barang lux, kini tampak kosong sebab semua yang ada telah ditarik oleh Bank. Tawa canda pun bagai angin di siang bolong. Hinggap sekejap dan hilang entah kemana.

Sebongkah tas berada dalam genggaman. Setidaknya itu yang tersisa. Penutup tubuh para penghuni rumah tersebut. Tangisan bocah kecil menjadi satu-satunya suara saat itu. Saat lelaki dewasa yang dipanggilnya ayah tiba-tiba melontarkan akan membawa dirinya dan sang kakak ke tempat sang nenek.

Pilihan nyatanya hanya dimiliki orang yang merdeka dan bebas. Sedang merdeka itu sendiri adalah wujud atas usaha manusia. Kini dia sang ayah hanya bisa pasrah, saat solusi yang diharap tak sesuai rencana. Anak yang seharusnya menjadi harta paling berharga, nyatanya hanya bernilai sebagai bahan pertukaran sebongkah materi.

“Tidak Ayah, jangan tinggalkan kami di sini!” kata Rayyan kecil, namun langkah ayah dan ibunya semakin menjauh. Mereka seolah tuli setelah tas berwarna biru yang diberi sang nenek sampai ke tangan mereka. Rayyan kecil menangis di pelukan sang kakak, sampai seorang wanita tua datang dan membawa mereka ke istana nan megah.

“Rayyan, ada apa? Ka-u menangis?” Sebuah suara mengaburkan cerita masa lalu yang terputar. Ia menatap sepasang mata yang juga sedang menatapnya. Pancaran teduh itu menggambarkan kasih sayang dan rasa khawatir. Rayyan seketika tersenyum.

“Menangis? Kau salah lihat Mima, aku tersenyum. Lihat ini!” Deretan gigi putih berbaris rapi, menambah kesempurnaan di pemilik wajah.

“Ya, kau tersenyum. Cucuku begitu tampan saat tersenyum.”

“Dan kau harus selalu sehat agar bisa melihat senyumku! Mima, berjanjilah tak akan meninggalkanku! Jangan pernah mengucapkan kalimat yang akan menghancurkan ku! Kau selamanya harus ada di sisiku!” Mima kini yang tersenyum.

“Anak nakal! Kematian itu keniscayaan! Tak bisa kau tawar!”

“Jika itu harus terjadi, biarkan aku yang pergi lebih dulu hingga aku tak akan merasakan sakitnya kehilanganmu!” Rayyan mengakhiri kalimatnya dengan mengecup jemari Mima.

Mima memang laksana peri. Hadir membawa sejuta kebahagiaan dan kasih sayang usai badai itu datang. Goresan takdir yang tak ia sukai perlahan menjadi mimpi yang begitu sempurna. Mima memberi apa yang Rayyan dan Alena kakaknya butuhkan. Mima memang bukan orang sembarangan.

"Oke kita sudahi pembicaraan ini. Mima, sekarang tunjukkan kejutan yang telah kau siapkan!” Mima kembali tersenyum.

"Rupanya kau sudah tak sabar hmm?" Rayyan mengangguk.

“Tolong ambilkan amplop putih dalam laci itu!” Rayyan menurut, tak lama amplop putih yang dimaksud sudah berada di tangan Mima.

“Kejutanku ada di sini. Kuharap kau menerimanya dengan suka cita!”

“Boleh aku buka sekarang?” Rayyan menatap amplop yang diletakkan Mima ke tangannya.

“Tentu saja.”

Rayyan membuka amplop dengan sangat hati-hati. Setiap pemberian Mima selalu meninggalkan kesan untuknya. Ia pun tak ingin kehilangan momen spesial itu, tak ingin merusak isi amplop tersebut apapun bentuknya.

“Apakah ini sebuah foto?” tanya Rayyan usai amplop terbuka. Mima mengangguk.

“Foto siapa?”

“Lihat lah!”

Beberapa saat setelahnya.

“I-ni?”

...________...

...Happy reading semua, Sayang kalian banyak-banyak. Jangan lupa like dan komennya yaa ❤...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!