...☽☽☾☾...
“Lihat! Itu dia! Masih berani ya menginjakkan kaki di sekolah ini?”
“Pftt ... tubuh kecilnya membuatku muak! Si Kurus kering!”
“Jangan terlalu kasar! Nanti dia menangis dan mengadu lagi!”
“Dasar cupu!”
Ucapan kasar mengiringi jalan gadis muda berambut hitam sepunggung itu. Dengan langkah kaku dirinya berjalan sambil menunduk, enggan menatap mata orang-orang yang menatapnya jengkel dan rendah.
Hinaan dan cercaan adalah hal yang biasa didengarnya bahkan kekerasan fisik pun sudah biasa dihadapi gadis itu.
Menaiki satu demi satu anak tangga menuju ruang kelasnya gadis itu tetap menunduk. Rambut hitam panjangnya menutupi name tag nama di dada kanannya.
Berusaha datang sepagi mungkin untuk menghindari luka yang didapatnya, namun gadis itu selalu kalah dengan waktu. Ya bahkan sang waktu enggan berpihak padanya membuat gadis itu semakin terpuruk.
“Hei Nak, kamu baik-baik saja?” tanya seorang guru saat gadis itu melewati ruang guru di lantai dua dan hampir menabrak dirinya.
Gadis itu hanya menjawab dengan anggukan kepala dan menunduk sebagai permintaan maaf.
“Luka apa itu?” tanya guru muda di depannya saat melihat perban lusuh melingkar dari pergelangan tangan hingga siku gadis berambut hitam itu.
“Tidak apa-apa Bu ini hanya luka lama. Saya pamit dulu ya, Bu.”
Gadis berambut hitam itu berlalu dari hadapan sang guru sambil menutup rapat lengan bajunya. Menyembunyikan perban lusuh yang menutupi luka yang terus timbul.
Sementara guru muda yang menegurnya tadi hanya terdiam dan tak terlalu peduli menganggap luka dan perban lusuh kemerahan yang baru saja dilihatnya adalah hal yang biasa.
Guru itu segera memasuki ruang guru dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Gadis berambut hitam itu berhenti sejenak di depan pintu kelasnya, menahan rasa ragu untuk menggeser pintu di depannya.
Menghela nafas sejenak gadis itu mulai membuka pintu kelas X-A dengan hati-hati. Gadis itu berharap agar tak ada lagi air yang membasahi tubuh kurusnya namun belum satu detik harapan itu terpetik dalam hatinya sebuah air kotor langsung membasahi sekujur tubuhnya disertai dengan gema ember yang jatuh tepat di sampingnya.
“Pff ... hahaha ... lihat! Tebakanku benar lagi!”
“Tidak belajar dari pengalaman, ya? Selalu kena, tidak bisa menghindar ya, Kamu!”
“Hahaha ... ada yang belum mandi!”
“Ewww ... baunya! Sana pulang!”
Gadis itu hanya melirik sekilas bajunya yang basah dan menatap datar suasana kelas yang menertawakan dirinya.
Gadis itu kembali melangkahkan kakinya ke dalam kelas sampai sebuah penghapus papan tulis datang menghantam kepalanya membuat langkah gadis itu terhenti.
Mata hitamnya menatap orang yang berdiri tak jauh darinya. Dengan wajah yang kesal mata baby blue gadis di depannya tampak mengintimidasi.
“Siapa suruh lo masuk? Pulang sana!” teriak gadis itu menggema sementara siswa di dalam kelas lainnya hanya tertawa kecil.
“Tidak mau!” jawab gadis itu membuat seisi kelas mendadak terdiam.
“Ho? Melawan, ya?”
Suara berat seorang pemuda menggema membuat seisi kelas merinding, sedangkan gadis bermata hitam itu hanya memandang datar. Matanya menyapu seluruh kelas membuat penghuni kelas itu heran.
Gebrakan di meja kembali menarik perhatian sang gadis, mata hitamnya tertuju pada pemuda bertopi terbalik di depannya. Gadis itu tertawa kecil dan kembali menatap pemuda yang kini berdiri tepat di depannya.
“Udah gila, ya? Ketawa sendiri?”
“Nasibnya tidak beruntung sekali!”
“Kita saksikan saja drama baru ini.”
“Biarkan Bagas memberinya pelajaran agar tidak melawan lagi.”
Pemuda itu mulai mengayunkan tangannya hendak menampar gadis bermata hitam itu, tetapi gadis itu dengan gesit menghindar membuat seisi kelas terkejut dengan tindakannya.
Gadis itu dengan santai berbalik dan berjalan menuju jendela yang terbuka, melempar tasnya yang basah sembarangan. Kerumunan yang ada disana segera menyingkir saat gadis itu mendekat.
Jemari tangannya membuka jendela lebar-lebar membuat angin pagi memasuki kelas. Mata hitamnya menatap ke arah dasar gedung dari lantai tiga yang ramai oleh lalu lalang. Gadis itu menutup mata sejenak menikmati semilir angin yang membelai wajahnya.
“Mau apa dia?”
“Dia tidak akan lompat, kan?”
“Gak mungkin lah. Dia kan pengecut! Haha ....”
“Heh! Mau buat drama baru lagi lo, Azura?”
Gadis dengan mata baby blue itu berteriak memecah lamunan gadis bermata hitam di depannya. Dengan gerakan anggun gadis setinggi 156 cm itu berbalik menatap kerumunan di belakangnya.
Wajah yang selama ini kaku itu tersenyum kecil membuat kerumunan itu mengerut heran. Gadis bermata baby blue dengan name tag Lani itu melirik pemuda bertopi terbalik di sampingnya yang menampilkan wajah tenang.
“Pstt ... Lo yakin ini-”
“Kenapa?” tanya Azura setelah hening cukup lama.
“Ha?”
“Kenapa kalian membullyku? Apa salahku sampai kalian menghina dan merendahkanku seperti itu?” tanya Azura datar.
Kerumunan di depannya mulai tertawa. Salah seorang yang berdiri di depan bersama gadis bermata baby blue tadi menatap remeh.
Pemuda dengan name tag Bagas itu maju selangkah dan menendang meja di dekatnya menuju Azura, membuat sang gadis terundur dan menghantam keras dinding di belakangnya.
Suara yang cukup keras memecah pagi yang mulai ramai membuat orang yang berada di lapangan menatap kearah jendela kelas yang terbuka.
“Kenapa, ya? Hmmm ... jawabannya tidak ada kami hanya bosan. Jadi, saat kami melihat dirimu kami bisa menghilangkan rasa bosan kami. Bukankah itu baik? Kami mendapatkan hiburan di tengah hidup yang membosankan ini?”
Bagas itu menatap hina gadis di depannya yang menahan rasa sakit pada perutnya. Azura perlahan tersenyum meski permata mulai mengalir dari mata hitamnya. Azura bangkit, beringsut menuju jendela yang terbuka dan mulai duduk dipinggir jendela.
“Begitu, ya? Kalau begitu saatnya mengakhiri drama menyedihkan ini,” ucap Azura pelan, tetapi menggema.
“Apa yang-”
Belum sempat orang-orang dalam ruangan bereaksi Azura perlahan menjatuhkan dirinya. Merentangkan tangannya lebar-lebar sambil menikmati angin yang datang dari bawah tubuhnya dan rasa berdebar yang datang memacu jantungnya.
Haha ... lihatlah wajah panik mereka. Menyebalkan! Batin Azura menatap wajah-wajah yang menatapnya dari jendela.
“Aku tidak akan pernah memaafkan kalian!” gumam Azura pelan dan suara kecil itu terbang dibawa oleh angin.
Mengabaikan teriakan dan seruan atas tindakannya Azura menutup manik hitamnya rapat, dengan senyum yang mekar di wajahnya yang penuh lebam keunguan.
“Selamat tinggal dunia penuh drama. Manusia lemah dan pengecut ini pamit undur diri.”
Detik berikutnya suara benda jatuh membentur kerasnya tanah menggema.
Tak terhitung dengan cairan merah yang menyebar dari tubuh yang sudah tak bergerak itu sementara orang-orang di sekitar panik dan berusaha mencari pertolongan, sedangkan mereka yang berada di dalam ruangan kelas terdiam dengan kepanikan yang mulai menghantui jiwa mereka.
...☽☽☾☾...
...☽☽☾☾...
Gelap, hanya kegelapan yang menyambut dirinya. Azura perlahan menatap riak dirinya yang transparan.
Gaun putih yang digunakannya melambai kesana kemari, tubuhnya terasa ringan bahkan hatinya terasa lapang tanpa beban. Mata hitamnya menatap sekitar yang gelap tanpa cahaya.
Azura mulai berjalan memecah keheningan dengan suara langkahnya. Berusaha mencari keberadaan seseorang, tetapi yang didapatnya hanyalah keheningan yang menusuk.
Kakinya mulai lelah untuk melangkah dan gadis itu berhenti dan mulai merebahkan tubuhnya.
“Apa aku sudah mati?” tanya Azura pelan.
“Belum,” jawab sebuah suara membuat Azura tersentak dan menatap sekitarnya.
“Dimana? Siapa? Siapa itu?”
Azura menoleh mencari sosok yang bersuara tersebut. Namun, hening kembali menyambutnya.
Suara langkah kaki terdengar mendekatinya, sedangkan gadis itu hanya memilih diam di tempat. Mencari pun tak ada gunanya karena hanya kegelapan yang menyambut pandangannya.
“Azura Amaryl. Apa pilihanmu?” Azura mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan itu bergema di sekitarnya.
“Pilihanmu! Hidup atau mati?” Suara itu kembali terdengar saat Azura tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Mati! Bukankah aku ada di sini, karena aku sudah mati?” tanya Azura heran.
“Belum. Jiwamu sedang berada di antara dua dunia.”
Azura mengerutkan keningnya. “Dua dunia?”
“Ya. Apa kamu tidak penasaran dengan dunia yang satunya?”
Azura menggelengkan kepalanya dan menjawab cepat. “Tidak!”
“Kamu percaya dengan teori dunia paralel, bukan? Mungkin saja kamu bisa mencapai kebahagiaan di sana,” ucap suara itu membuat gadis bermata hitam itu terdiam.
Kata bahagia berputar dalam kepalanya, perasaan aneh mulai meliputi hatinya. Bahagia. Adalah satu kata yang tak pernah lekat dalam hidupnya, hidupnya selalu dipenuhi dengan hinaan dan cacian.
Dirinya yang ditinggal seorang diri tanpa seorang pun menemaninya berbagi luka. Menyembuhkan semua luka fisik sendiri, tetapi tidak dengan luka batinnya yang kian menggunung.
Akan tetapi, jika bicara tentang dunia paralel tentu saja Azura pernah mendengarnya. Dahulu, beberapa kali sang abang pernah bercerita hal itu kepadanya.
Seperti teori mekanika kuantum, penjelasan tentang lubang hitam yang menjadi portal menuju dunia lain, atau para ilmuan yang menemukan memar kosmik (titik dingin aneh di semesta) kita dan hal-hal lainnya yang tenggelam dalam memori Azura.
“Jadi bagaimana, hm? Kamu tertarik, bukan?”
Azura tersentak dan kembali menatap ke depan saat suara sosok itu menggema di sekitarnya.
“Sebenarnya kamu siapa?” Azura mendongak menatap kegelapan di depan matanya.
“Kamu akan tahu nanti. Aku anggap jawabanmu iya,” ucap suara itu perlahan menjauh.
“Tunggu-”
Belum sempat ucapan lainnya terlontar cahaya putih menyambut penglihatan gadis itu.
Suasana yang sebelumnya sunyi kini berganti riuh, ruangan yang sebelumnya gelap kini berganti menjadi putih dan manik hitamnya menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih.
Menyesuaikan pandangannya sejenak gadis itu menatap lamat langit-langit ruangan di atasnya.
“Akhirnya kamu bangun! Tidak biasanya kamu susah dibangunkan, Azura.”
Azura menoleh ke arah sampingnya saat mendengar suara serak basah yang cukup familiar baginya. Mata hitam gadis itu melebar menatap pemuda di sampingnya yang memandangnya heran.
“Abang ... Barata?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya menatap reaksi Azura dan tersentak saat sang adik tiba-tiba memeluknya. Samar-samar telinganya mendengar suara tangis kecil dari tubuh sang adik di pelukannya.
Apa dia mimpi buruk? Batin Barata mulai mengelus pelan puncak kepala Azura.
Azura mencengkram erat baju sang abang saat merasakan tangan pemuda itu terus mengelus puncak kepalanya. Rasa rindu membuncah di dalam hatinya dan memori tentang kematian Barata di kehidupan sebelumnya memenuhi hatinya.
Rasa sakit karena kehilangan Barata masih terasa jelas di dalam hatinya, sedangkan Barata yang melihat sang adik terus menangis mulai melepaskan pelukan Azura dari tubuhnya. Mata coklat gelap pemuda itu menelisik wajah Azura yang basah oleh air mata.
Jemari tangannya bergerak menghapus air mata di wajah sang adik. “Ada apa, Azura? Kamu mimpi buruk?”
Azura hanya diam dan berusaha menghentikan tangisnya. Barata yang berada di depannya kembali memeluk sang adik dan berusaha menenangkannya.
Azura yang mulai bisa mengendalikan dirinya itu melepaskan diri dari pelukan sang abang dan menatap wajah Barata.
“Sudah tenang? Apa wajah tampan abang ini bisa membuatmu tenang?”
Azura mengerutkan keningnya dan memukul pelan perut Barata. Pemuda itu hanya tertawa kecil dan segera mengajak Azura untuk makan pagi bersama. Azura menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arah Barata yang keluar dari kamarnya.
Manik hitam Azura menatap jemari tangannya dan segera berlari ke arah cermin di dalam kamarnya.
Gadis itu terdiam menatap pipinya yang sedikit berisi, rambut hitam sebahu, dan juga mata hitamnya.
Azura melirik kalender yang berada di kamarnya dan menatap tahun yang 20xx yang terpampang jelas. Kembali melirik penampilannya di cermin Azura tersenyum tipis.
Penampilan dirinya saat berumur empat belas tahun. Mata hitam Azura mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Suasana kamar yang dirindukannya dan juga wangi lavender yang samar-samar masih tercium.
Ini benar-benar dunia paralel? Batin Azura ke arah pintu kamar dan melirik Barata yang baru saja lewat menuju kamar mandi.
Gadis itu berjalan menuju jendela kamarnya dan menatap lalu-lalang tetangga di sekitar rumah.
“Aku berumur empat belas tahun, itu artinya ayah tetap meninggal? Sayang sekali, aku tetap tidak bisa merasakan pelukannya.”
Azura kembali berdiam diri menatap lantai kamarnya dan kembali tersentak saat kepala Barata yang muncul dari balik tirai kamarnya.
"Ayo, Azura! Jangan melamun lagi!"
...***...
“Tumben kamu makannya sedikit? Apa kamu sakit, Sayang?”
Azura menatap sang ibu yang bertanya di depannya. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis dan menanti jawaban putri bungsunya, sedangkan Barata yang berada di samping Azura melirik sang adik yang terus bertingkah aneh.
“Sejak tadi kamu bertingkah aneh. Kamu baik-baik saja, Azura?” Azura tersentak dan segera melirik Barata di sampingnya.
"Bertingkah aneh bagaimana?" tanya sang ibu menatap putra sulungnya.
Barata meminum air di dalam gelasnya dan menatap sang ibu. "Pagi-pagi dia sudah menangis tak jelas dan dia menatap kamarnya seperti orang bingung."
Wanita paruh baya itu kembali menatap cemas Azura. "Azura, apa kamu sakit? Kamu baik-baik saja, Sayang?"
Azura segera menganggukkan kepalanya dan kembali menatap sang ibu dengan senyum di wajahnya. Gadis itu melirik kesal Barata yang terus melanjutkan makannya.
Sang ibu yang menatap senyum di wajah Azura memutuskan untuk diam dan kembali memakan makanan di dalam piringnya.
Mata wanita itu kembali menonton siaran berita pada televisi di depan mereka, sedangkan Azura menatap sang ibu dan sang abang yang berada di dekatnya.
Aku akan merubah masa depan buruk keluarga kita dan akan aku pastikan mereka semua mendapat balasannya. Batin Azura mulai menyuap makanan di dalam piringnya.
Mata hitam Azura menangkap senyum merekah di wajah sang ibu dan candaan Barata yang mengisi hangatnya suasana makan pagi bersama mereka.
Saatnya untuk menyusun rencana pembalasan untuk mereka yang sudah menorehkan luka padanya.
...☽☽☾☾...
Hai ... Hai ... White Blossom disini 🌺
Aku ucapkan terima kasih untuk yang sudah mampir dan jangan lupa tinggalkan like dan komentar nya ya ... 🌺
...☽☽☾☾...
Azura memulai harinya dengan senyum dan tekad membara di dalam jiwanya. Satu minggu sudah dirinya berada di dunia baru ini, Azura dengan segera menggali informasi di sekitarnya, mulai dari pekerjaan sang ibu, aktivitas sang abang saat ini dan juga lingkungan sekitarnya.
“Kamu baik-baik saja, Azura?”
Azura menoleh saat menatap sahabat kecilnya yang selalu menemaninya, Adema Lise. Gadis dengan rambut hitam sepinggang itu menatap bingung Azura yang hanya diam.
Azura menggelengkan kepalanya dan tersenyum lembut ke arah Adema, sahabat yang dulu pernah dirinya suruh untuk menjauhi dirinya di kehidupan sebelumnya. Adema ikut tersenyum kecil dan mulai mengajak Azura untuk menghabiskan waktu di taman dekat rumah mereka.
“Apa tubuhmu sudah lebih baik? Aku dengar dari bang Barata kamu demam tinggi.”
Azura menoleh ke arah Adema dan menganggukkan kepalanya. Kejadian itu tepat sebelum dirinya datang ke dunia ini.
Apa itu artinya dirinya di dunia ini sudah meninggal karena demam tinggi tersebut dan digantikan oleh dirinya dari dunia lain?
Mata hitam Azura menatap lalu-lalang orang-orang di depannya. Taman itu mulai ramai oleh anak-anak balita yang bermain dengan sepeda bersama orang tua mereka.
Adema mengajak Azura untuk duduk di salah satu kursi taman sambil menikmati langit senja di atas mereka.
Adema sekali lagi melirik Azura dengan kedua jemari tangannya yang terus bergerak gelisah membuat Azura menoleh ke arahnya.
“Ada yang ingin kamu tanyakan, Adema?”
Adema sedikit tersentak dan tersenyum canggung. “Bagaimana kabar ibumu? Apa pesanan kuenya lancar?”
Azura kembali tersenyum menatap kepedulian Adema kepadanya. Gadis itu menganggukkan kepalanya dan menatap langit di atasnya.
“Ibu baik dan pesanan kue kami juga lancar. Ibu sangat senang saat mendapatkan komentar positif dari para pelanggannya.”
Adema tersenyum menatap Azura yang bersemangat bercerita kepadanya. Gadis itu menunduk menatap tanah di bawahnya dan kembali memainkan jemarinya.
“Syukurlah, aku juga senang mendengarnya.” Adema kembali mendongak dan menoleh ke arah Azura. “Kita akan selalu bersama kan, Azura? Saat SMA nanti … kamu tidak akan meninggalkan aku, kan?”
Azura tertawa kecil mendengar kalimat Adema. “Tentu saja. Kita sudah berjanji untuk bersama. Kita akan menjadi sahabat selamanya dan saling membantu satu sama lain.”
...***...
Azura menatap jalan di depannya dan ramainya mobil yang lalu-lalang di sekitarnya. Gadis itu merapatkan jaket hitam berhoodie yang digunakannya dan kembali memandang rumah mewah lantai dua di depannya. Pagar hitam rumah itu menjulang tinggi dan menutupi bagian dalam rumah.
Manik hitam Azura memandang mobil sedan hitam yang terparkir di garasi rumah. Telinganya samar-samar mendengar suara tawa riang seorang gadis dengan rambut hitam sebahu yang sedang bermain dengan ponsel pintarnya.
Ketemu. Itu pasti dia, Lani Phimela. Batin Azura saat melihat gadis dengan rambut hitam sebahu itu menoleh ke arah luar pagar.
Mata baby blue itu bertemu dengan mata hitam Azura yang memandang datar.
Azura yang berada di seberang jalan itu tetap duduk tenang dan berpura-pura memainkan ponsel pintarnya sambil terus mengamati Lani yang tertawa dengan seseorang di dalam sambungan teleponnya.
Mobil sedan hitam di dalam rumah itu tampak menyala dan Azura menatap familiar pria yang keluar dari dalam rumah dengan baju batik putih hitam dan celana dasar hitam, di tangannya terdapat tas kulit hitam yang berkilau terkena cahaya.
Mata hitam Azura menyipit menatap Lani yang bangkit berdiri dan hendak bersalaman dengan pria yang tak lain adalah ayahnya itu. Kecanggungan yang terlihat jelas dan raut wajah Lani yang tampak masam.
Itu kepala sekolah? Jadi ayahnya seorang kepala sekolah? Pantas saja dia berkuasa sebelumnya. Batin Azura kembali menatap layar ponselnya saat mobil sedan hitam itu keluar dari halaman rumah mewah itu.
“Apa susahnya memuji anak sendiri?”
Azura yang hendak berdiri itu terdiam mendengar teriakan samar-samar Lani dari halaman rumahnya.
Gadis dengan mata hitam itu tanpa sadar menyeringai dan menemukan poin penting yang bisa digunakannya untuk membalas dendam kepada Lani.
...***...
“Rumah ini tampak kosong.” Azura bergumam menatap rumah lantai tiga di depannya.
Gadis itu melirik rumah sekitarnya yang juga sepi. Komplek perumahan mewah itu seperti tak berpenghuni.
Azura mengikatkan kembali tali sepatunya yang lepas sembari menurunkan hoodie jaket hitamnya.
Sesekali mobil melintas di depannya dan Azura mulai berlari pelan seperti seseorang yang sedang lari sore.
Mengamati keadaan sekitarnya yang sepi mata Azura tetap terpaku kepada rumah tiga lantai di sampingnya, rumah dari Bagas si pembully dirinya.
Setengah jam duduk santai di trotoar di seberang rumah tersebut, Azura mengerutkan keningnya saat tak kunjung mendapati pergerakan dari rumah tersebut.
Gadis itu merenggangkan jemarinya dan memutuskan untuk pulang sebelum mendapat kemarahan Barata dan juga ibunya.
Azura melirik jam di pergelangan tangannya. “Jika aku lari santai dari daerah ini butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai rumah. Tidak apa-apa, kan?”
Azura mengedarkan pandangannya menatap langit senja di atasnya kepalanya. Gadis itu mulai berlari dan sesekali melirik kanan-kiri, memastikan tidak ada mobil yang akan menabraknya.
Saat sampai di taman yang biasa disinggahinya dengan Adema, Azura mulai menghembuskan nafas lelah sambil menyeka keringat di dahinya.
Saat itulah Azura menatap seorang pemuda yang duduk santai di atas ayunan. Bajunya tampak berantakan, ada memar samar di pipinya, bekas darah di sudut bibirnya dan matanya tampak basah oleh air mata.
Azura yang cukup jauh dari pemuda itu hanya diam dan mundur perlahan. Gadis itu bersembunyi di balik pohon di dekat taman dan menelisik wajah sang pemuda.
Itu Bagas, kan? Kenapa dia ada di daerah ini? Batin Azura sambil mengusap keringat di dahinya.
Dua menit kemudian Azura tersentak saat melihat sebuah mobil avanza hitam berhenti di depan taman dan dari dalam mobil itu keluar seseorang dengan jas putih dan rambut hitam dengan ujungnya berwarna abu-abu berlari ke arah Bagas.
Azura mengamati setiap ekspresi dan tindakan keduanya. Pelukan dan usapan yang diberikan pria itu kepada Bagas membuat Azura bingung dengan situasinya.
Azura melihat pria itu menunjuk tas punggung di dekat kaki Bagas saat keduanya terus berdebat. Azura kembali menyembunyikan dirinya saat kedua orang itu mulai berjalan menuju mobil sang pria.
Apa dia kabur dari rumah? Batin Azura saat melihat Bagas membawa tas punggung yang cukup besar.
Mobil hitam itu segera berlalu dari depan taman dengan Bagas yang ikut di dalamnya. Mata hitam Azura menatap mobil yang menjauh dan melirik kembali taman yang kosong.
“Hmm … aku harus mencari lebih dalam lagi. Semua rencana harus sempurna agar balas dendamku bisa terlaksana dengan baik!”
...☽☽☾☾...
Jangan lupa tinggalkan like dan komentar ya ... 🌺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!