Angga Wira Aditya, dikenal sebagai "Wira" oleh teman-temannya, adalah salah satu sosok paling terkenal di dunia bisnis Indonesia. Di usia 35 tahun, dia adalah CEO dari salah satu perusahaan produk olahraga terkemuka di negeri ini. Ketika Anda berbicara tentang sukses, kekayaan, dan pengaruh, tidak ada yang dapat menyainginya. Namun, ada sesuatu yang tidak semua orang tahu tentang Wira.
Di mata publik, Wira adalah citra sempurna seorang pemimpin perusahaan. Tampilan tampan, karismanya, dan kewibawaannya selalu berada pada titik tertinggi. Tapi di balik semua itu, ada aspek kehidupannya yang dijaga dengan sangat ketat dan hanya diketahui oleh segelintir orang.
Setiap hari, di bawah topeng identitasnya yang sesungguhnya, Wira menjalani kehidupan ganda yang tak terbayangkan. Dia adalah seorang playboy yang penuh misteri. Dengan menggunakan berbagai nama samaran, dia menutupi identitasnya yang sebenarnya untuk menjalani kehidupan yang berbeda.
Wanita-wanita yang berpapasan dengannya tidak bisa menahan diri. Mereka merasa seolah terhipnotis oleh pesona dan kekayaan yang dia pancarkan. Bahkan baru saja bertemu dengannya, mereka langsung tergila-gila dan tanpa ragu-ragu memintanya untuk berkencan. Mereka merasa beruntung mendapatkan perhatian dari pria tampan dan sukses seperti Wira.
Bagi Wira, mencari wanita adalah seperti berjalan-jalan di taman bermain. Mereka datang begitu mudah, seperti serangga yang terbang ke dalam jaring laba-laba. Wanita-wanita itu memintanya untuk menghabiskan waktu bersama pria tampan yang bekerja sebagai seorang CEO terkemuka.
Namun, bagi Wira, semua ini bukanlah permainan yang tanpa akhir. Meskipun terlihat bahagia di mata dunia luar, di dalam hatinya, ada pertanyaan yang selalu menghantuinya. "Apakah inilah yang aku cari sebenarnya?" pikirnya seraya duduk sendirian dalam keheningan kamar tidurnya. "Kekayaan, wanita, dan identitas ganda. Tapi di mana arti sejati dalam semua ini?"
Wira Aditya, yang oleh teman-temannya sering disapa sebagai "Pria Sang Penakluk," memang memiliki reputasi yang tak tertandingi dalam hal menarik hati wanita. Ia telah meraih sejuta kisah cinta yang berputar di sekitar pesonanya yang tak terbantahkan. Setiap wanita yang berjalan ke dalam hidupnya tampaknya tak bisa menolak pesona dan kemewahannya.
Pria Sang Penakluk, itulah julukan yang melekat padanya dalam lingkaran pertemanan yang eksklusif. Teman-temannya selalu terpesona oleh cerita-cerita tentang penaklukan-penaklukan baru yang dilakukan oleh Wira. Baginya, dunia cinta adalah seperti taman bermain pribadi yang selalu siap dia jelajahi.
Setiap wanita yang mengenal Wira merasa beruntung bisa menghabiskan waktu dengannya. Meskipun baru saja bertemu, mereka sering kali merasa terpikat oleh kehadiran dan percakapannya. Mereka merasa sebagai sasaran penaklukan yang paling beruntung.
Dalam pergaulan sosial, Wira selalu menjadi pusat perhatian. Pria ini adalah manifestasi hidup dari pesona dan ketampanan. Dia mampu membuat hati setiap wanita berdebar-debar begitu dia melirik mereka dengan mata tajamnya. Tak ada satu pun wanita yang bisa menolak pesona dan kemewahan yang dia pancarkan.
Pada suatu siang, Wira mendatangi salah satu restoran di mana Andi temannya sudah menunggu. Suasana di restoran mewah itu adalah kombinasi sempurna antara kemewahan dan elegansi. Setiap detailnya dirancang untuk memberikan pengalaman kuliner yang istimewa. Ketika waktu makan siang tiba, restoran ini bercahaya dengan pesona yang tak terlupakan.
Langit-langit tinggi ruangan menampilkan lukisan plafon yang indah dan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya dengan indah. Cahaya lembut yang disebarkan oleh lampu-lampunya menciptakan suasana yang hangat dan penuh daya tarik.
Meja-meja terbuat dari kayu berkualitas tinggi dan dilapisi dengan taplak meja putih yang bersih. Kursi-kursi yang nyaman dihiasi dengan kain sutra lembut, menciptakan lingkungan yang mewah. Masing-masing meja ditempatkan dengan jarak yang cukup untuk memberi privasi kepada para tamu, sementara masih memberikan kesempatan untuk menikmati pemandangan luar jendela.
Para pramusaji yang berpakaian rapi dan sopan dengan senyum ramah menghadiri para tamu dengan profesionalitas. Mereka sangat berpengetahuan tentang menu dan dan semua yang dihidangkan di restoran tempat mereka bekerja, siap untuk memberikan rekomendasi yang memuaskan. Peralatan makan yang berkilauan dipersiapkan dengan rapi di atas meja, mencerminkan kualitas layanan restoran ini.
Pemandangan dari jendela-jendela yang besar adalah yang memikat. Para tamu dapat menikmati pemandangan kota yang gemerlap, jalan-jalan yang ramai, dan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang di kejauhan. Pemandangan ini memberikan latar belakang yang sempurna untuk waktu makan siang yang istimewa.
Menu makan siang di restoran ini mencakup hidangan-hidangan kelas atas, mulai dari hidangan pembuka yang lezat hingga hidangan utama yang eksklusif. Anggur merah berkualitas tinggi tersedia dalam daftar anggur yang lengkap, menawarkan pilihan yang sempurna untuk melengkapi hidangan.
Ketika para tamu menikmati makan siang mereka, mereka merasakan kombinasi cita rasa yang luar biasa, keindahan lingkungan, dan pelayanan yang sangat baik. Restoran mewah ini menciptakan suasana yang tak hanya memanjakan indera rasa, tetapi juga mata dan perasaan para tamu. Suasana seperti ini membuat waktu makan siang menjadi pengalaman yang tak terlupakan di tengah gemerlapnya dunia mewah.
"Wira." Panggil Andi setelah menyelesaikan makanan dan meletakkan gelas yang baru saja ia teguk.
"Yah kenapa Di?" jawab Wira yang melihat temannya dengan serius.
Sekarang kita sudah tidak muda lagi, aku sebagai sahabatmu dari dulu ingin berbicara serius tentang kehidupanmu yang sekarang."
"Tumben-tumbenan kamu ingin berbicara serius, Bukankah bercanda lebih terlihat asyik." jawab Wira dengan acuhnya.
Mendengar ucapan Wira Andi tidak terlalu mempedulikan, Karena dia sudah sangat paham dengan sikap temannya yang sangat cuek dia melanjutkan pembicaraan.
"Kita sudah tidak muda lagi, sekarang umur kita hampir 35 tahun, aku bersama teman-teman lainnya yang seumuran denganmu sudah menata hidup yang baru bahkan kami sudah memiliki anak. aku bukan mau mencampuri urusanmu tapi sebagai sahabat Tidak ada salahnya untuk mengingatkan, dalam kurun umur yang sudah lumayan menginjak hampir kepala empat, sebaiknya kamu Berhentilah bermain-main, apalagi bermain tentang wanita. sudah saatnya kamu mencari satu wanita yang serius untuk dijadikan sebagai pasangan, karena sejatinya kehidupan manusia harus menikah dan meneruskan keturunan. Bukan tentang harta yang melimpah, bukan tentang wanita yang selalu berganti menemani."
"Iya aku juga memiliki pemikiran ke sana, makanya aku selalu memacari semua wanita untuk mencari wanita yang cocok menjadi pendampingku." jawab Wira dengan wajah cueknya, matanya terlihat jelatan memperhatikan keadaan restoran yang nampak ramai dikunjungi oleh pengunjung, seperti seekor predator yang sedang mencari mangsa.
"Bukan apa-apa memang kehidupanmu secara kasat mata tidak ada yang kurang namun, aku tahu dan aku bisa menebak ada kehampaan di hatimu. kalau ada seorang wanita yang bisa mengerti maka ruang kosong itu akan terisi penuh oleh cinta Dan kehidupanmu akan lebih terarah karena memiliki tujuan atau kebahagiaan yang ingin dicapai bersama pasangan."
Tring! tring! tring!
Sebelum menjawab ungkapan sahabatnya telepon yang berada di atas meja terdengar berdering, dengan segera Wira pun mengambil lalu melihat orang yang meneleponnya, ternyata itu adalah Arwi kakaknya.
"Yah Ada apa kak?" Tanya Wira setelah menempelkan handphone di telinga.
"Kamu malah bertanya ada apa apa? kamu lupa kalau ibu kita sedang dirawat di rumah sakit. Kamu dihubungi dari semenjak seminggu yang lalu tapi kamu tidak pernah menjenguk ataupun menemani ketika ibu dirawat. sekarang kamu puas karena Ibu sudah tiada Ibu sudah meninggalkan kita semua?" jawab Arwi dengan suara yang sedikit terisak, menahan emosi dan kesedihan yang berkumpul di dalam dada seperti hendak meletus melihat tingkah adiknya yang sangat tidak peduli dengan keluarga.
"Wajarlah meninggal pula, karena Ibu sudah tua. Lagian kasihan kalau dia masih tetap hidup, dia hanya menahan sakit yang menyiksanya." jawab Wira tanpa sedikitpun menunjukkan kesedihan, walaupun orang yang meninggal adalah wanita yang sudah melahirkan.
"Aku nggak tahu hatimu terbuat dari apa, aku merasa sedih memiliki adik yang tidak memiliki rasa simpati sedikitpun di dalam hatinya. Aku menyesal memberitahumu tentang kematian ibu, kalau tahu begini jawabanmu." ujar Arwi dengan nada kesal dia menyempatkan waktu untuk mengabari ibunya yang sudah meninggal.
"Sudahlah Kak, Semua orang punya alur cerita masing-masing di dalam hidupnya, kita tidak bisa berbuat banyak, kalau Ibu sudah meninggal sekarang jangan buang waktu mumpung hari masih siang kakak segera cepat cari tempat penguburannya, karena walaupun ditangisi sama sekali kepergiannya, Ibu tidak akan hidup kembali." jawab Wira masih tetap dengan wajah santainya, Tak sedikitpun raut sedih terlukis dalam wajah tampannya, seolah hatinya memang benar-benar sudah mati menjadi batu.
Mendengar perkataan adiknya yang sangat menyakitkan, Arwi dengan segera memutus telepon kemudian dia mengurus kepulangan jenazah ibunya untuk dibawa ke rumah, sedangkan Wira meletakkan kembali handphonenya ke atas meja. Andi yang mendengar pembicaraan mereka menatap heran dengan iblis yang berada di hadapannya, Karena hati Wira memang benar-benar tidak sedikitpun memiliki kelembutan.
"Tante Linda meninggal?" tanya Andi yang masih menatap heran wajah sahabatnya.
"Iya, dia sudah tua mungkin sudah waktunya dia meninggalkan dunia ini. kamu jangan khawatir karena kita juga akan menyusulnya." jawab Wira membuat sahabatnya hanya menggeleng-geleng kepala seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Ya sudah kamu pulang dan urus pemakaman ibumu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena kamu tidak pernah berbakti kepada orang tua."
"Sudah, Sudah aku transfer uang untuk pemakaman Ibu, biarkan Arwi yang mengurusnya." jawab Wira dengan santainya, dia menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan uang.
Mendengar perkataan sahabatnya, Andi tidak berbicara lagi, dia mengambil makanan penutup lalu dimasukkan ke dalam mulutnya, Dia seolah Acuh dengan apa yang menimpa orang tua dari sahabatnya, karena anaknya sendiri terlihat tidak peduli kenapa dia harus repot-repot mengurusi orang yang tidak peduli dengan kehidupannya sendiri.
Wira terus mengajak Andi mengobrol tentang masalah-masalah pekerjaan, maupun wanita yang sedang ia dekati, dia selalu membanggakan dirinya ketika menaklukan hati para wanita, membuat temannya terlihat sangat kesal sehingga dia pun memutuskan untuk segera pergi dan melayat Linda meninggalkan anaknya yang memiliki hati Sekeras Batu.
Wira tidak bergiming sedikitpun dia seolah menikmati Suasana siang begitu memikat. Cahaya matahari yang lembut masuk melalui jendela-jendela besar, menerangi setiap meja dengan kehangatan. Meja-meja yang dilapisi kain putih bersih, didekorasi dengan bunga segar yang harum. Musik klasik yang lembut mengalun di latar belakang, menciptakan atmosfer yang santai.
Pelayan-pelayan berpakaian rapi dengan senyum ramah mengantar menu-menu berkualitas tinggi. Suara tawa dan bisikan para tamu yang menikmati percakapan santai, di sela-sela suara lembut aliran air mancur dekoratif yang mengalir dengan tenang.
Makanan yang disajikan adalah sebuah karya seni kuliner. Hidangan-hidangan gourmet disusun dengan indah di atas piring-piring cantik. Aromanya yang menggoda menstimulasi selera makan, dan setiap suapan memberikan pengalaman rasa yang tak terlupakan.
Restoran ini adalah tempat sempurna untuk merayakan momen istimewa, bersantai dengan teman atau keluarga, atau bahkan untuk pertemuan bisnis yang penting. Suasana yang mewah dan ramah ini menciptakan kenangan tak terlupakan bagi siapa pun yang mengunjunginya. Namun itu tidak berlaku bagi Wira karena dalam sisi hati yang paling dalam, Dia merasakan kesedihan yang bercampur aduk dengan rasa kesal, karena semenjak orang tuanya bercerai dia tidak pernah sekalipun mengunjungi keduanya, karena dia sangat kesal dengan orang tua yang tidak bisa menjadi figur bagi anaknya, mereka meninggalkan kewajiban yang harus mengurus anak.
Wira terus menunggu di tengah-tengah keramaian dan kemewahan, namun dia merasa sendiri tidak ada orang yang mampu menemani dan mendengarkan isi hatinya yang sangat sedih, dia selalu mencari kesenangan dengan bermain bersama para wanita, untuk mengaburkan perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya pria dengan postur tubuh yang tegap membangkitkan dari tempat duduknya kemudian dia berlalu pergi meninggalkan restoran menuju parkiran karena makanan sudah dibayar oleh Andi.
Setelah berada di dalam mobil, matanya menatap kosong ke arah depan menampilkan restoran yang begitu megah, namun tatapan itu hanyalah tatapan yang tidak memberikan arti karena khayalannya sudah terbang ke mana-mana terbang ke tempat yang jauh tanpa ada penghalang.
Merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan Wira mengambil handphone dari dasbornya, kemudian dia menelepon Arwi untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pengurusan jenazah.
Setelah mendapat informasi, Wira menekan tombol start, dan mesinnya pun hidup dengan halus. Ketika mobil melaju keluar dari restoran, cahaya matahari mencerminkan keindahan mobilnya yang elegan.
Perjalanan menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) terasa berat. Wira merenung tentang ibunya, mengenang semua kenangan indah yang mereka bagikan bersama. Air mata pun mengalir di pipinya saat dia mengemudi dengan hati yang berat. Musik lembut dari sistem audio mobilnya mengiringi perasaan yang campur aduk. Meski dia membenci dengan sikap kedua orang tuanya namun Wira tetaplah manusia yang memiliki sisi kelembutan dalam dirinya.
Saat tiba di TPU, Wira melihat kerumunan orang yang telah berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan terakhir kepada sang ibu. Dia memarkir mobil dengan hati-hati dan berjalan menuju upacara pemakaman. Wira berdiri di tengah kerumunan di pemakaman Linda dengan wajah yang tampak datar. Dia mengenakan pakaian seadanya tidak yang sesuai dengan tradisi pemakaman, dan ekspresinya nampak dingin, seolah-olah dia sedang mencoba keras untuk menahan emosinya.
Seiring dengan kata-kata penghiburan yang disampaikan oleh ustadz dan doa-doa yang dibacakan, Wira terlihat sepenuhnya terfokus pada prosesi pemakaman. Dia menahan perasaan kesedihan dan rasa kehilangan yang mendalam, sehingga orang di sekitarnya mungkin tidak bisa membaca ekspresi sejati di wajahnya.
Tak satupun air mata yang jatuh dari mata Wira. Dia merasakan perasaan kesedihan yang dalam, tetapi dia memilih untuk mengungkapkannya dengan caranya sendiri, yang lebih tenang dan introvert. Teman-teman dan anggota keluarga mungkin mengira dia tidak merasakan apa-apa, tetapi dalam hatinya, dia merindukan ibunya dengan sangat ia cintai.
Setelah upacara pemakaman selesai, Wira tetap menjaga wajah datarnya. Dia membantu mengucapkan terima kasih kepada semua yang hadir. Dalam keheningan, ketika semua orang telah pulang, dia duduk di makam ibunya ditemani oleh Arwi yang masih terlihat nampak kesal dengan sikap adiknya, yang tak sedikitpun menunjukkan rasa simpati dengan wanita yang sudah melahirkannya .
"Kenapa kamu masih diam? apakah kamu menyesal sudah ditinggalkan oleh wanita yang melahirkan karena kamu belum sempat membahagiakannya. jangankan untuk membahagiakan datang menjenguk ketika di hari rawat di rumah sakit kamu tidak lakukan." Ujar seolah menumpahkan semua kekesalan yang menumpuk di dalam dada.
"Tidak, aku tidak menyesal karena aku tidak merawat ibuku. namun aku menyesal karena aku telah dilahirkan dari rahim seorang ibu yang tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangganya, sehingga anak-anaknya harus menjadi korban terlantar dan berjuang sendirian. aku masih duduk di sini dan terdiam bukan meratapi kehilangannya namun aku duduk di sini untuk melihat bagaimana orang yang sudah menelantarkan anak ketika meninggal, siksaan apa yang akan dia terima.
Mendengar perkataan itu Arwi hanya menggeleng-gelengkan kepala seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, karena dia tidak melihat sedikitpun sosok manusia yang hinggap di dalam tubuh adiknya, Wira terlihat nampak seperti iblis yang tidak memiliki perasaan.
"Sebelum meninggal ibu titipkan ini padamu dan Tolong kamu rapikan semua perabotannya." ujar Arwi sambil melemparkan sebuah kunci kemudian dia pun pergi tidak kuat berlama-lama bersama adiknya, dia takut tidak bisa mengontrol emosi sehingga dia bisa melakukan hal yang tidak diinginkan.
Wira hanya menatap kunci yang baru saja dilemparkan di hadapannya, tepat di atas Pusara sang Ibu. Wira menatap gundukan tanah merah yang baru saja dibuat, menatap kayu nisan yang bertuliskan Linda binti Atmajaya. kenangan-kenangan indah mulai terputar kembali dalam memori otak, meski dia sangat membenci keluarganya namun masih ada kenangan yang terkenang sampai sekarang.
"Selamat jalan ibu, semoga kamu bisa tenang di alam sana, maafkan anakmu yang kurang berbakti karena itu bukan murni kesalahanku, itu adalah kesalahan ibu dan bapak yang tidak mau mengurus anaknya, kalian lebih mementingkan ego daripada merawatku dengan penuh kasih sayang, sehingga aku menjadi orang yang sangat sukses dan bergelimang harta." ungkap hati Wira Tak sedikitpun menurunkan kesombongan dalam dirinya, dia masih tidak merasakan rasa bersalah meski dia tidak sempat bertemu ketika nafas-nafas terakhir yang dihempaskan oleh sang ibu, karena semua biaya pengobatan kadang kebutuhan lainnya dialah yang menanggung.
Suasana kala itu, matahari mulai merunduk ke horizon dan menciptakan cahaya senja yang lembut di langit. Pemakaman umum tampak tenang, dengan makam-makam yang tertata rapi di antara pepohonan tua. Di kejauhan, pohon-pohon tinggi membentangkan dedaunan mereka di atas makam-makam, memberikan rasa sejuk dan teduh.
Suara burung-burung kecil yang terbang di antara ranting pohon mengisi udara dengan nyanyian lembut mereka. Burung-burung ini menyemarakkan suasana dengan serangkaian melodi yang penuh haru dan keindahan. Suara mereka seperti lantunan alam yang meresap ke dalam hati siapa pun yang berada di sana.
Tampak beberapa pengunjung pemakaman, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda. Beberapa dari mereka sedang berdiri di depan makam yang mereka kunjungi, merenung dalam. Mereka membawa bunga segar dan menghormati kenangan orang yang telah pergi. Yang lain duduk di bangku-bangku batu yang tersebar di sekitar pemakaman, mencari ketenangan dan refleksi dalam suasana yang damai ini.
Di kejauhan, matahari terus meredup, menciptakan siluet pepohonan dan makam yang indah. Suasana pemakaman umum pada pukul 03.00 sore ini memancarkan keindahan dan ketenangan yang sangat dalam, meskipun saat yang sedih, suara burung-burung yang terdengar dari arah pohon memberikan sentuhan kehidupan dan harapan di tengah perasaan duka yang mendalam.
Setelah beberapa saat berlalu Wira pun membangkitkan tubuhnya untuk berdiri namun sudut matanya menangkap masih ada kunci yang tergeletak di atas Pusara yang dilemparkan oleh Arwi kakaknya, merasa penasaran dia pun mengambil kunci itu lalu memperhatikan sesaat setelah diteliti dan ditebak mungkin kunci itu adalah kunci rumah susun ibunya.
"Aku tidak butuh warisan yang hanya apartemen butut karena apartemenku lebih bagus dan lebih mewah." gumam hati Wira sambil hendak meletakkan Kembali kunci yang baru ia ambil, namun itu tidak jadi dia kerjakan karena mungkin kedepannya itu akan bermanfaat.
Wira pun meninggalkan tempat bersemayam terakhir ibundanya, keluar menuju mobil mewah yang terparkir di area parkir pemakaman. banyak mata wanita yang tertuju menatap kagum dengan mobil yang ia miliki, namun Wira yang biasanya merasa sangat senang ketika mendapat perhatian lebih, kala itu nampak berbeda Dia seolah Acuh dengan ikan yang disuguhkan.
Setelah menyalakan mobilnya Wira pun meninggalkan pemakaman, ia berkeliling kota Jakarta Menikmati keindahan sore yang memukau matahari masih cukup tinggi di langit, tetapi cahayanya sudah mulai redup. Lalu lintas di jalan-jalan kota masih ramai, namun ada sedikit hentakan dari kemacetan lalu lintas siang hari.
Orang-orang yang bekerja telah mulai meninggalkan kantor dan bergerak menuju rumah atau tempat-tempat nongkrong, Beberapa dari mereka berjalan kaki atau naik sepeda di sepanjang trotoar yang mulai diberikan naungan oleh bangunan-bangunan tinggi. Di tengah kota, pencakar langit megah menunjukkan siluet yang indah dengan cahaya matahari yang berkilau di kaca-kaca mereka.
Pedagang kaki lima mulai membuka warung mereka, menawarkan berbagai makanan lezat dan minuman tradisional. Aroma nasi goreng yang menggugah selera dan sate yang menggoda bisa tercium di udara. Orang-orang berkerumun di sekitar warung untuk menikmati makanan khas Jakarta.
Di taman-taman kota, orang-orang berkumpul untuk bersantai. Anak-anak bermain di taman bermain sementara orang tua duduk di bangku-bangku taman sambil berbincang santai. Suasana sore yang hangat dan tenang membuat orang merasa nyaman untuk berinteraksi dan merasakan kebahagiaan sederhana.
Pada pukul 16.00, langit masih biru dan indah, dan matahari memberikan warna keemasan pada bangunan-bangunan. Saat petang berlanjut, cahaya matahari mulai meredup, menciptakan suasana yang lebih romantis dan damai. Malam mulai mengintip dengan perlahan, dan lampu-lampu jalan mulai bersinar, memberikan kehidupan baru pada kota ini.
Sore hari di Jakarta pada pukul 16.00 memberikan kombinasi unik antara kesibukan perkotaan dan keindahan alam, di mana orang-orang bisa menikmati momen sejenak sebelum memasuki malam yang penuh aktivitas. Begitu juga dengan Wira yang masih berputar-putar di sekitaran Kota Jakarta, merasa bosan berputar Akhirnya dia pun memutuskan untuk pulang ke rumah namun ketika di perjalanan Wira tiba-tiba berubah rencana dia ingin berkunjung ke rumah ibunya, sehingga dia pun memutarkan kemudian berbalik arah menuju Selatan pusat kota.
Wira terus terfokus menatap ke arah depan kilauan cahaya matahari menambah kemewahan mobil yang sedang ia kemudikan, sunroof yang dibuka memamerkan ketampanan dan kegagahan, membuat wanita-wanita yang Mengendarai mobil di sampingnya membunyikan klakson menggoda agar bisa satu mobil dengannya, namun Wira tetap terfokus tidak tergoda sedikitpun seperti orang yang tidak membutuhkan sosok seorang wanita.
Tak lama diantaranya mobil Wira pun tiba di salah satu parkiran apartemen yang terlihat kumuh, cat luar bangunan itu terlihat mengelupas bahkan di sebagian dinding terlihat hanya menunjukkan warna dasar semen. Wira memperhatikan keadaan sekitar yang terlihat sangat kurang nyaman bagi orang yang bersih, karena sampah jajanan terlihat berserakan di mana-mana. dengan menarik nafas dalam Wira pun masuk ke lobi lalu menuju lift yang hanya satu-satunya, Wira sebenarnya tidak yakin kalau lift itu masih berfungsi Karena dia sudah lama tidak berkunjung ke rumah ibunya.
Pria tampan dan gagah itu menarik nafas lega ketika dia sampai di depan pintu lift, terlihan baru saja ada orang yang keluar. dia pun masuk ke dalam tercium lah aroma yang menyengat memenuhi hidung, aroma kencing tercium begitu kuat sampai Wira menggunakan baju jas yang ia kenakan untuk menutup hidungnya, Sebenarnya dia hendak keluar kembali namun itu tidak ia lakukan karena Dia sangat malas untuk menaiki tangga.
Wira menahan nafas untuk beberapa saat sampai akhirnya terdengar bunyi diikuti dengan pintu lift yang terbuka. dengan segera dia pun keluar kemudian berjalan melewati koridor yang nampak sempit tak seluas koridor yang berada di apartemennya, penerangan sangat kurang memadai karena banyak lampu yang putus, ditambah dengan lantai yang sedikit kotor karena kurangnya perawatan.
Dengan perjuangan yang begitu berat, akhirnya Wira pun tiba di salah satu pintu kamar, dengan segera dia pun mengeluarkan kunci lalu membuka pintunya nampaklah keadaan dalam rumah yang tidak jauh berbeda ketika ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. televisi berukuran 14 in masih berada di atas nakas yang sudah terlihat tua, foto keluarga tergantung di dinding dengan senyum lebar menandakan keluarga itu sangat bahagia.
Langkah Demi Langkah Wira Terus masuk semakin dalam Dia pun akhirnya tiba di kamar ibunya yang sama tidak ada perubahan yang signifikan. di dekat kasur terlihat ada kursi roda milik ibunya ketika sedang sakit. Wira terdiam agak lama membayangkan kembali aktivitas ibunya Selama masih hidup, namun matanya tetap tertuju kepada kursi roda Entah mengapa tiba-tiba dia pun ingin mencoba kursi roda itu untuk merasakan bagaimana rasanya beraktivitas menggunakan roda.
Wira mulai mendekati tempat duduk yang beroda itu dengan dipenuhi kehati-hatian, dia pun mulai duduk di atasnya lalu mencoba memutarkan roda yang berada di samping kanan dan kiri, sehingga kursi itu bergerak menuju tempat yang diinginkan.
Wira terus memainkan kursi roda itu keluar dari kamar menuju ke dapur, dia mengikuti dan membayangkan apa yang pernah ibunya lakukan. merasa Tangannya sudah lelah dia pun berhenti di salah satu rak susun tempat penyimpanan barang-barang milik ibunya. di rak itu terlihat ada tape yang selalu memutarkan lagu Ketika dirinya masih kecil, merasa kangen dengan kejadian Masa Lalu Wira pun mengambil tape itu kemudian memasukkan kaset pita sehingga musik pun terdengar mengalun dari speakernya, Wira terlihat memainkan tangannya mengikuti alunan musik yang semakin lama semakin terdengar kencang.
Pintu yang tidak tertutup membuat suara musik itu terdengar kencang sampai keluar membuat tetangganya merasa risih, sehingga dia pun keluar lalu mengetuk pintu apartemen Milik ibu Wira, namun Wira yang sedang asyik mendengarkan dan mengikuti lagu yang sedang diputar tidak bergeming sehingga wanita itu masuk lalu menepuk Wira dari arah belakang.
Wira yang terkaget dia pun menoleh ke arah orang yang menepuknya, terlihatlah wanita cantik dengan tatapan mata yang indah, membuat Wira menganga tak mampu mengeluarkan suara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!