“Dia sangat lihai memainkan peran ini, jangan-jangan pernah menjadi simpanan.”
“Ah! Ini artis Calli, aktingnya kurang menjiwai. Pasti dapat peran karena jalur tampangnya saja.”
“Cantik, sih. Tapi, aktingnya terlalu dibuat-buat. Jadi nggak natural!”
“Argh! Mereka semua bukan manusia, siapa yang bisa sempurna dalam melakukan pekerjaan jika bukan aku,” pekik Calli menekan salah satu tombol nada piano di akhir lagu itu. Ingatannya tadi pagi membaca komentar jahat di akun media sosialnya.
Memainkan piano adalah cara untuk mengungkapkan perasaan, melalui nada yang lembut, kadang juga kasar. Baginya alat musik satu ini menjadi media pelampiasan ketika suasana hatinya bahagia maupun terluka. Melodi yang menyusuri jalan perasaannya, bersamaan dengan jari-jari lembutnya menyentuh tombol nada bergantian, tanpa bicara dapat tersampaikan siapapun yang mendengar suaranya.
Calliope Alegra, wanita itu sedang memainkan pianonya di tengah ruangan yang redup cahayanya. Emosional memainkan lagu yang menjadi pengingatnya akan setiap kejadian memilukan di masa lalu maupun sekarang.
“Astaga, bukankah suaraku terlalu kencang? Sudah tahu gampang emosi, tapi dipancing dengan komentar usil dari tangan manusia hina seperti mereka,” kesal Calli.
Calli memijat pelipisnya, kepalanya seakan berdenyut akan meledak. Pembicaraan banyak orang melalui media sosial pribadinya, menghina perannya sebagai seorang selingkuhan mantan suaminya. Padahal dia hanya bermain peran, namun komentar pedas melayang di akun pribadinya. Banyak yang memuji karena dia sukses memerankan peran jahat tersebut, namun juga ada yang terbawa perasaan sampai menghujatnya.
Wanita yang memiliki sifat keras kepala dan mudah terpengaruh itu mengacak rambut panjangnya. Di saat itu juga, pintu terbuka dengan sangat kasar.
“Calli, aku punya dua kabar baik untuk kamu,” ucap Amar, manajer Calli yang antusias.
Tatapan tajam ke depan dan napas Calli yang masih memburu, membuatnya tidak menggubris perkataan Amar. Dia masih sibuk memikirkan penilaian orang lain tentangnya.
“Kamu kenapa? Ada masalah apa lagi?” tanya Amar memperhatikan Calli.
Menghela napasnya panjang, baru dia menanggapi Amar. “Aku sudah bilang, kan. Hubungi aku dulu kalau mau masuk ruangan ini, Kak. Jangan nyelonong!” jawab Calli kasar.
“Aku sudah menghubungimu, tapi tidak satupun panggilan maupun pesan yang kamu balas. Ini penting buat kamu, aku yakin kamu sangat menyukainya,” sahut Amar.
Calli baru sadar, ponselnya tadi dia hempaskan ke lantai, alhasil dia tidak mendengarkan apapun. Dia berjalan mengambilnya kembali, layarnya retak. Dia menunjukkannya ke Amar tanpa merasa bersalah. Calli menganggap Amar bukan sekedar manajernya, namun dia juga sudah seperti kakaknya.
“Ini … maaf aku sangat tidak fokus, sasarannya benda persegi ini. Apa yang ingin Kakak berita tahu? Akankah ada tawaran main drama atau film?” ungkap Calli penasaran dengan ucapan Amar.
“Kabar pertama, kamu masuk nominasi artis terfavorit tahun ini. Kakak harap kamu juga bisa mempertahankan posisi ini seperti tahun lalu,” ucap Amar sekaligus permintaannya.
“Jangan memberiku beban, aku sudah sangat frustasi dengan hinaan penikmat peranku di film terakhir kemarin. Untuk apa mereka menontonnya, jika tidak suka denganku. Kabar kedua?” tanya Calli lagi.
“Kamu harus mendengar dengan baik, kamu dimintai persembahan penampilan piano duet dengan pemenang ajang pencarian bakat penyanyi laki-laki yang diumumkan minggu lalu,” jawab Amar.
“Aku benci harus duet, tetapi apa boleh buat. Aku akan menyetujuinya, bakatku tidak boleh disia-siakan,” ungkap Calli menyombongkan diri.
Calli keluar dari ruangan itu, segera ke kamar kesayangannya. Mereka sedang belajar, padahal salah satunya sedang tidak enak badan.
“Anak Mama rajin sekali, lagi belajar apa?” tanya Calli mendekati mereka.
“Mama, lihat Arlo selalu mengganggu adik kecil Lova,” ungkap Arlova anak perempuan kedua Calli yang mengadu.
“Arlo hanya memegangnya sebentar, Ma. Salah sendiri manggil nama Arlo, seharusnya Lova memanggil Kakak, kan, Ma,” balas Arlo tidak mau mengalah.
Adik kecil yang dimaksud Arlova yakni jarinya yang berlebih di dekat jari kelingkingnya. Sejak lahir, Arlova memiliki enam jari. Apabila orang lain menganggapnya itu adalah salah satu kekurangan, berbeda dengan pemikiran gadis kecil ini. Ajaran Calli sukses membuat kedua anaknya, termasuk Arlova selalu mensyukuri segala pemberian tuhan padanya. Jarinya itu dia katakan kelebihan yang tidak dimiliki oleh semua orang, bahkan dia sangat bangga bisa berbeda dengan orang biasanya.
“Kalian berdua ini, Arlo salah tetapi Arlova juga salah. Mama tidak bisa membela kesalahan kalian lakukan bersama. Namun, lebih baik kalau kalian akur. Arlo menjaga Lova, sedangkan Arlova menghargai Kak Arlo. Paham?” tanya Calli pada keduanya.
Mereka mengangguk paham, berpelukan di hadapan Calli. Calli pun membuka tangannya lebar, Arlo dan Arlova menghampiri pelukan hangat dari Mamanya. Kasih sayangnya untuk mereka sangat besar, melebihi nyawanya. Dia bisa kuat menjalani kesulitannya, melalui wajah kecil keduanya.
Calli memeriksa badan Arlova, ternyata suhu badannya masih panas. Bagaimana dia bisa meninggalkannya? Apabila dia berpamitan, pasti keduanya akan memperbolehkannya. Akan tetapi, berat untuk Calli meninggalkan anaknya yang sedang tidak sehat.
“Mama kenapa terlihat gelisah?” tanya Arlova yang sangat peka.
“Mama harap besok malam Arlova sudah sehat, ya. Mama akan menghadiri acara penghargaan seperti biasa. Kalau Arlova sehat, Mama bisa tenang di sana,” ungkap Calli.
Arlo merangkul adiknya. “Mama berangkat saja, kami akan bahagia kalau Mama menang. Arlo akan menjaga Arlova,” ucap Arlo meyakinkan Calli.
Keesokan harinya, Calli sudah bersiap untuk penampilannya. Tanpa berlatih terlebih dahulu dengan penyanyi pria yang akan duet dengannya. Namun, dia sangat percaya diri akan bisa menaklukkan panggung itu dengan penampilannya yang memukau.
“Berhentilah menjadi seorang pianis, menjaga diri saja kamu tidak bisa. Pergi dari sini, Mama malu mempunyai anak yang tidak bisa menjaga kehormatannya. Lebih baik, Mama tidak melahirkanmu!” bentak Hana, Mama Calli.
Mengingatkan lukanya ketika diusir oleh Mamanya, Calli hanya bisa merasakan alunannya. Lagu yang dinyanyikan sangat merdu dengan permainan piano Calli yang mengiringinya menambah suasana haru. Suasana meriah menjadi hening terbawa dengan pembawaan arti dari lagu tersebut. Seseorang juga menatap Calli sangat bangga.
“Wanita itu sangat berbakat dalam segala hal,” batin pria tersebut.
Tepukan meriah dari penampilan mereka menggema. Calli sangat senang melihat senyuman semua orang yang menikmatinya. Sekarang acara puncaknya, Calli mengirimkan pesan untuk anaknya. Bahwa dia yakin akan memenangkannya, namun siapa sangka berita mengejutkan tersebar begitu saja. Fotonya bersama anak kembarnya diketahui publik, padahal dia berusaha menutupinya agar anaknya aman, lantaran dia juga belum menikah.
Calli merasakan sesak, pasokan udara sepertinya sudah tidak bisa lagi dia hirup. Di saat bersamaan, namanya disebutkan sebagai pemenang nominasi artis terfavorit tahun ini. Langkahnya yang berat dengan memaksakan senyuman menghadapi penonton, tamu undangan, dan kamera.
Calli menerima piala penghargaan itu dengan tangan gemetaran, mencoba untuk tidak terjadi apa-apa sangatlah sulit. Meskipun dia lihai memainkan setiap peran, tidak untuk yang satu ini. Dia tidak bisa berpura-pura kuat, kepalanya sudah mulai pusing. Gangguan kecemasannya kembali lagi, dia tidak bisa mengendalikannya.
“Kenapa kalian semua menghakimiku?” batin Calli dengan pandangan yang sudah kabur.
Dia ambruk masih, piala tersebut ikut jatuh di dekatnya. Calli menutup telinganya merasakan berisik suara-suara yang menyakitinya. Padahal tidak ada yang mengatakan apapun, semua orang terkejut. Seorang pria melepaskan jasnya, berlari mengarah Calli kemudian menutup wajahnya dengan jas hitam tersebut.
“Dari banyaknya orang, kenapa harus kamu?” gumam Calli mengikuti langkah pria itu.
...-------------...
Terima kasih telah membaca karya ini.
Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan.
Dukungan teman-teman sangat berarti bagi author💜
Jumpa lagi di episode berikutnya;)
^^^Salam Hangat,^^^
^^^Cacctuisie^^^
“Kenapa harus kamu yang muncul?” tanya Calli.
“Maksud kamu? Aku hanya ingin menolongmu. Semua orang menatapmu dengan kebingungan, apa yang kamu lakukan?” tanya pria itu yang ikut bingung.
“Kamu tidak mendengar berita yang sedang beredar?” tanya Calli balik.
Liam Rhapsody, pemilik suara emas yang mampu menghipnotis pendengarnya dengan lagu-lagunya yang terkenal. Bagian dari masa lalu Calli yang telah lama dia hindari. Selama lima tahun berlalu, Calli hanya mampu mengawasinya dari jauh. Mendengar karya-karyanya yang luar biasa, terkadang dia juga menyanyikannya dengan versinya yang diiringi piano kesayangannya di ruangan pelampiasan lara.
“Biasanya kamu selalu profesional dengan pekerjaan, hujatan yang beredar mengenai film terakhir yang kamu perankan? Bukankah sudah biasa mendapatkannya, seharusnya kamu bisa mengendalikan emosimu,” ucap Liam sangat enteng.
Bukannya menjawab Calli malah menangis sesenggukan, Liam makin bingung. Tidak ada siapapun di ruangan itu, hanya mereka berdua. Calli membuang sembarang jas hitam yang masih menempel di kepalanya. Sesekali dia juga memukul dada bidang Liam pelan, dia hanya menerima perlakuan Calli. Apabila dengan melakukan itu dapat menenangkannya, Liam akan membiarkannya.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku, Kak Liam. Kamu tidak mengerti seperti apa kesulitan yang aku alami selama ini gara-gara perbuatanmu,” ucap Calli di sela-sela tangisannya.
Liam terkejut dengan perkataan Calli, dia memegang kedua bahu Calli. Menatapnya seolah bertanya apa yang terjadi.
“Kamu pasti nggak ingat apapun, kan? Hanya aku yang terluka, kamu menikmatinya saja!” Calli menjerit di depan Liam.
“Apa maksud kamu? Aku menikmati apa?” tanya Liam.
Calli tertawa hambar, air matanya masih mengalir. “Benar, kan. Lima tahun berlalu cepat untukmu, tetapi tidak denganku. Aku yang bodoh membiarkan badanku disentuh dengan pria sepertimu,” sahut Calli yang ambigu.
“Katakan semua, Calli. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, lima tahun? Ada apa di tahun itu?” Liam yang bertanya berkali-kali.
Calli memukulnya lagi, bagaimana menyadarkan pria yang dihadapannya ini agar mengingat kesalahannya. Calli memegang puncak kepalanya, menjambak rambutnya yang rapi. Liam menghalanginya, namun dicegah dengan cepat. Dia tidak ingin mendapat sentuhan lagi dari Liam.
Calli menyeringai, bersiap menceritakan luka yang dia timbun sendirian. “Kamu mengingat reuni organisasi musik yang diadakan di Bali? Pasti kamu mengingatnya, kamu datang dan duduk tepat di hadapanku. Sebelumnya aku ragu ingin menghadiri acara itu, karena saat itu aku sedang latihan piano untuk perlombaan yang aku ikuti. Bujukan sahabatku, akhirnya aku datang. Kamu tahu selanjutnya apa? Jangan pura-pura tidak mengingat!” bentak Calli.
Liam menggeleng lemah, Calli menamparnya. “Dasar pria mesum! Kamu hanya berpura-pura baik kepadaku waktu itu. Aku yang hanya meminum minuman yang mereka sediakan, aku tahu isinya ada alkohol. Sengaja aku minum setetes saja, menghargai usaha mereka yang telah mengadakan reuni tersebut,” ucap Calli berhenti sejenak mengambil napasnya panjang.
Calli menunjuk Liam dengan tegas, tatapan tajamnya menyiratkan amarah yang sangat besar. “Kamu! Kamu meminum kedua gelas itu yang seharusnya kamu biarkan saja, semua orang pulang. Hanya tertinggal kamu yang sudah meracau, sisi kemanusiaanku tidak bisa meninggalkanmu, Liam. Malam itu, kamu merusak masa depanku. Aku tidak bisa melanjutkan impianku menjadi pianis, semua karena kamu, Liam!” ungkap Calli penuh emosi.
“Aku harus meninggalkan Mamaku, beliau tidak bisa menerima kehamilanku. Tinggal di kontrakan kecil, mengubur padat-padat impian yang sudah tidak bisa aku perjuangkan. Mamamu, juga menyuruhku menyembunyikannya, sampai kamu sukses di mata dunia. Akan tetapi, aku tidak pernah ingin muncul lagi,” jelas Calli.
Liam terdiam, semua yang didengar dari Calli membuka kisah lama untuknya. “Aku memiliki anak kembar, semua itu ulahmu,” ucap Calli terakhir kali sembari mengepalkan tangannya.
Bukannya mendapat jawaban maupun penjelasan, Liam meninggalkan Calli yang masih bersedih. Calli meremas pinggiran sofa sangat erat, kalau bisa dia ingin melampiaskannya sampai meredakan amarahnya yang masih meningkat.
Amar yang sejak tadi mencari Calli di belakang panggung, menemukannya. Dia sangat mengkhawatirkannya, melihat keadaannya dari bawah sampai atas. Aman, Calli tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya.
“Kak, aku mau pulang. Aku takut anak-anak tahu berita ini, Arlova juga sedang tidak enak badan,” pinta Calli.
Amar membantu Calli berdiri. “Kamu yakin tidak apa-apa pulang dalam keadaan seperti ini? Setelah ini langsung istirahat saja, jaga kesehatan kamu,” sahut Amar.
Calli mengangguk, dia masih merasakan keterkejutan itu. Namun, tidak masalah untuknya jangan sampai ini berdampak pada kedua anaknya. Di jalan pulang, Calli hanya diam saja, memandang ke arah langit. Dia mengibaratkan bintang yang paling cerah di antara bintang lainnya. Akan tetapi, meski paling cerah dia juga kesepian. Di Sekitarnya hanyalah kegelapan, datangnya sinar lain hanya untuk mengambil cahayanya. Maka dari itu, Calli hanya memiliki satu sahabat saja dan tidak ingin menambahnya lagi.
“Mama … selamat atas kemenangannya,” sambut Arlo dan Arlova dengan senyuman lebarnya berlari mengarah Calli.
Calli memeluk kedua anaknya itu, dia juga memeriksa kening Arlova yang ternyata panas badannya sudah turun. Mereka adalah obat bagi Calli yang paling ampuh menyembuhkan lukanya.
“Terima kasih jagoan Mama, seharusnya kalian sudah tidur,” tegur Calli.
“Arlova tidak mau tidur, Ma. Padahal Arlo sudah memaksanya, tetapi tidak mendengarkan,” sahut Arlo mengadu.
“Kak Arlo menyuruhnya tidak benar, Ma. Masa Arlova yang sedang sakit dijewer kupingnya sampai merah, Lova nggak bisa tidur, lah,” jawab Arlova tidak terima.
“Arlova balas juga, Ma. Kaki Arlo ditarik sampai hampir jatuh dari kasur, Arlo sudah mau tidur padahal,” jawab Arlo lagi.
Amar gemas sendiri dengan kedua keponakannya. “Kalian berdua ini sangat mewarisi sifat Mama, sudah-sudah sekarang masuk kamar dan tidur, ya. Kasihan Mama sudah lelah,” titah Amar.
Amar berpamitan pulang, Calli sendiri langsung membersihkan badannya. Memeriksa keduanya anak kembarnya sudah tidur, Calli bisa merasakan lega. Dia tidak ingin terganggu dengan berita tersebut, namun sekalipun ingin mengabaikannya tidak bisa. Calli gelisah bukan main.
Amar menghubunginya, mengenai masalah ini Calli disuruh untuk membuat klasifikasi untuk meredakan perbincangan panas. Calli tidak keberatan, demi anaknya dia akan membuatnya. Dia tidak mendengarkan manajernya, apabila harus membuat pernyataan bohong. Calli lelah menyembunyikan Arlo dan Arlova, bahkan dia tidak pernah secara langsung mengantarkan anaknya ke sekolah.
Besok, Calli akan mengungkapkan kebenarannya di depan publik. Semua konsekuensinya akan Calli terima, dia yakin karirnya akan terpengaruh.
“Terserah, aku tidak kuat lagi dengan semua ini, anakku berhak bahagia juga tanpa disembunyikan. Aku akan mengatakannya, apapun pendapat mereka tentangku, aku akan menerimanya,” gumam Calli berusaha meyakinkan dirinya.
Meskipun dia sudah meyakinkan diri, pilihannya bukanlah keputusan yang mudah. Dia tidak tidak pernah tahu siapa yang akan menetap dan meninggalkannya.
...----------------...
Terima kasih telah membaca karya ini.
Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan.
Dukungan teman-teman sangat berarti bagi author💜
Jumpa lagi di episode berikutnya;)
^^^Salam Hangat,^^^
^^^Cacctuisie^^^
“Arlova, lihat buku gambar kamu selalu saja kamu taruh di meja Kakak. Ambil dan bereskan,” titah Arlo.
Mereka sudah siap berangkat sekolah, namun Arlo sangat tidak bisa melihat meja belajarnya berantakan. Kebiasaan buruk Arlova, ketika sudah mengerjakan sesuatu tidak diletakkan kembali pada tempatnya, kadang karena lupa kalau tidak memang dia ingin menyuruh Arlo marah. Keduanya memang sering mengganggu satu sama lain.
“Baik Kakak Arlo, sebentar Arlova sedang memeriksa kembali buku yang dibawa hari ini,” jawab Arlova.
Keduanya sudah siap, berjalan seperti pasukan baris berbaris mengarah ke meja makan. Laporan terlebih dahulu dengan Calli yang sudah menunggu kedatangan mereka. Calli selalu terhibur dengan tingkah Arlo dan Arlova.
Arlo memberi hormat kepada Calli dan memberikan tasnya. “Lapor, Mama. Arlo sudah memasukkan buku untuk belajar hari ini,” ucap Arlo.
Calli mengikuti drama kedua anak kembarnya, mengambil tas mereka dan melihat buku-buku mereka.
“Laporan diterima, semuanya lengkap. Silahkan mengambil tempat duduk dan sarapan dimulai,” sahut Calli.
Arlo dan Arlova makan dengan sangat lahap, Calli yang sibuk dengan pertimbangannya untuk membuat video klarifikasi. Dia akan berencana memasukkan kedua anaknya masuk dalam video tersebut. Namun, Calli tahu dia akan mengecewakan Amar yang telah memberikan arahannya agar tidak mengakui kedua anaknya. Calli memutuskannya sendiri.
“Mama, ayo dimakan nasinya. Kenapa Mama melamun terus?” tegur Arlova.
“Maaf, ya. Mama nggak melamun, kok. Mama lagi mengunyah dengan sangat pelan, biar makanannya hancur,” kilah Calli.
Tiba-tiba saja, Amar sudah bertamu saja di pagi hari itu. Amar menyapa kedua anak menggemaskan itu, mencium mereka satu per satu. Dia sangat mengkhawatirkan kesehatan Calli, lantaran dia pernah melakukan hal gila jika sudah mendapatkan hujatan dari para penggemar maupun netizen yang membencinya. Mengunci diri berhari-hari dan pernah sampai Amar frustasi mengurus pekerjaannya yang sudah menjalani syuting.
Arlova mengusap pipinya. “Om Amar, kumisnya kasar. Nanti pipi Arlova terluka karena terlalu lembut,” kesal Arlova.
Amar dan Calli sontak tertawa. “Sayang, siapa yang bilang pipi Lova lembut?” tanya Calli menahan tawanya.
“Miss Iva yang bilang, kulit Arlova bagus, lembut, dan gembul. Tidak boleh dicubit, apalagi kumis Om Amar menyakitkan,” jawab Arlova sambil mencebikkan bibirnya.
Calli kembali terkekeh dengan jawaban Arlova. Amar memperhatikan Calli, dia lega melihatnya. Calli bisa mengendalikan dirinya, pasti karena mereka berdua. Amar duduk di hadapan Arlova, sedangkan anak gadis itu memalingkan pandangannya.
Arlova turun dari kursi. “Kak Arlo, cepat nanti telat. Mama, Arlova sama Arlo berangkat dulu, ya. Dadah,” pamit Arlova.
Arlo juga ikut berpamitan, Arlova berhenti melihat Amar dengan tatapan tajam. Amar hanya bisa menahan dirinya untuk menghadapi kegemasan Arlova.
Arlo melewati Arlova yang membuat kepalanya mengikuti pandangannya melihat Arlo juga pamit dengan Amar. “Huh! Arlova sebenarnya marah dengan Om Amar, tapi Arlova tidak mau kalah sama Kak Arlo,” ujar Arlova mengangkat tangan kanannya untuk bersalaman.
“Kamu akan mengunggahnya hari ini, kan? Aku tahu ini berat, tapi kamu juga harus mempertahankan reputasi yang sudah lama kamu bangun dengan susah payah, Calli,” tutur Amar.
“Kak Amar tidak perlu khawatir, aku akan membuatnya hari ini, secepatnya. Aku ingin ke ruang latihan dulu, untuk mempersiapkan diri,” pamit Calli.
Tidak ada kecurigaan dari Amar, dia membiarkan Calli mengasingkan diri. Amar memilih pergi dari rumah itu. “Semoga kamu tetap kuat dan berdiri tegak, Calli,” ucap Amar sambil menutup pintu.
Calli mematikan lampu, membuka kain penutup jendela besar tersebut. Cahaya yang masih Calli nikmati sebentar, sebelum bertarung dengan alat musiknya. Menutup matanya, membayangkan setiap lukanya. Dengan seperti ini, dia akan mudah menjiwai permainan pianonya.
Memecah keheningan dengan menekan tombol nada bergantian, suaranya memenuhi ruang itu. Nada yang dimainkan Calli, seolah menceritakan isi hatinya saat ini yang sedang dia tahan. Getaran emosi yang menciptakan ketegangan dan sesekali dia mengekspresikan kesedihan. Permainan jarinya semakin cepat, air matanya mengalir begitu deras. Dia tidak mengatakan apapun dengan bibirnya, namun pergerakan dari badan hingga wajahnya semuanya tertuang dalam lagu itu.
Calli mengakhiri latihannya, tangannya bergetar hebat bersamaan dengan keringat yang jatuh perlahan. Tanpa ekspresi Calli keluar, minum air putih dengan napas yang memburu. Dia akan mengecewakan Amar, karena tidak menuruti perintahnya.
“Maafkan aku, Kak. Aku ingin anakku diakui,” ungkap Calli.
Sebentar lagi, Arlo dan Arlova akan segera tiba. Calli sudah bersiap-siap untuk mengambil video. Benar, kedua anak kembarnya itu sudah memasuki rumah bersama dengan pengasuhnya. Senyum lebar mereka berlari menghampiri Calli.
“Mama, cantik sekali. Mama mau keluar?” tanya Arlova memegangi Calli.
“Tidak, sayang. Mama akan memperkenalkan pada dunia, bahwa Mama memiliki malaikat kecil seperti kalian. Sekarang Arlo dan Arlova istirahat, makan, dan Mama akan menunggu di ruang tengah. Kita akan mengumumkan hal penting,” tutur Calli.
“Wah … berarti kita tidak lagi bersembunyi ya, Ma? Bisa jalan-jalan dengan bebas,” balas Arlo yang sangat menusuk hati Calli.
Calli mengangguk, dia membiarkan kedua anaknya mempersiapkan diri. Calli sudah menunggu di sana sambil membuka media sosialnya. Tangannya terkepal kuat membaca komentar pedas. “Aku akan membungkam mulut busuk itu dengan tanganku sendiri, andai saja tidak ada yang aku jaga,” kesal Calli.
Video itu sudah dibuat tanpa mengeditnya, dia langsung mengunggahnya tanpa peduli lagi. Arlo dan Arlova sangat bahagia, apalagi Calli mengatakan bahwa Papa mereka akan mengetahui ini. Mereka berharap bisa bertemu dengan sosok Papanya, bukan hanya melihat di layar ponsel.
“Apakah ada orang yang jahat menyakiti Mama?” tanya Arlo.
Arlova mencoba mencerna pertanyaan Arlo. “Tidak ada, sayang. Mama hanya membuka jalan, agar Papa bisa menemui kalian,” jawab Calli menjelaskan.
Unggahan tadi sudah Liam lihat, dia mengingat kembali masa reuni itu.”Kenapa sama persis dengan kejadian itu? Hah?! Aku melupakan satu hal, bahwa pagi harinya aku hanya mengenakan selimut putih dan bayangan wanita meninggalkanku. Aku yakin, dia Calli. Berarti anak itu …” Liam menghubungi Calli melalui media sosialnya, karena dia tidak memiliki nomor pribadi Calli.
“Baru sekarang dia sadar, baiklah kita memang harus bertemu,” gumam Calli membaca pesan dari Liam.
Malam ini, dia akan bertemu dengan Liam dengan membawa si kembar. Calli merias kedua anaknya dengan tangannya sendiri. “Mama harap kalian nanti tidak nakal dan tetap menjaga sikap,” pesan Calli yang langsung mendapat anggukan dari keduanya.
Liam sudah memesankan tempat tertutup yang bisa mempermudah pertemuan mereka. Calli membuka pintu, Arlo dan Arlova terperangah melihat bahwa penyanyi yang sering mereka dengar lagu-lagunya itu, yakni Papa mereka.
“Ternyata Papa sangat tampan kalau dilihat secara langsung,” ungkap Arlova.
Calli membantu kedua anaknya duduk di kursi tersebut. Liam masih sulit mempercayai bahwa dia sudah memiliki anak dari Calli. Suasana canggung macam apa ini, mereka hanya saling tatap. Si kembar tidak melepaskan tatapannya dari Liam, matanya berkedip berkali-kali, sudah lama menanti hari ini tiba.
“Ayo! Kita menikah, demi kebaikan Arlo dan Arlova. Mereka calon bintang, jangan disembunyikan,” ajak Liam pertama kali membuka suaranya. Calli membulatkan matanya sempurna. “Menikah?” jawab Calli spontan.
“Kita bisa tinggal bersama, menjaga kedua anak kita,” balas Liam.
“Papa, mau tinggal dengan Arlo dan Arlova? Mama ayo cepat menikah, Arlo ingin kita bersama-sama,” celetuk Arlo. Liam langsung mengangguk keras, tersenyum ke arah mereka.
Calli bingung, tidak mungkin dia menolak langsung di hadapan kedua anaknya yang sangat berharap. “Oke, tapi aku punya persyaratan yang harus kamu penuhi,” jawab Calli.
“Apapun itu aku akan mengabulkannya,” ucap Liam dengan keyakinannya.
...***...
Dua hari setelah itu, pernikahan yang mewah dilaksanakan secara diam-diam. Hanya dihadiri oleh keluarga saja, lantaran Calli tidak mempunyai seseorang yang diundang selain sahabatnya, Tamika. Calli juga sudah bisa berkumpul dengan Mamanya, Lana. Entah bagaimana Liam sangat mudah menemukan Mamanya, janjinya setelah pernikahan ini, ternyata lebih cepat dari dugaannya. Di acara yang sangat bahagia ini, Calli bisa mendapatkan maaf dari Lana.
Arlo dan Arlova berada di antara mempelai ini, tawa dan cerianya mereka tidak pernah Calli melihatnya. Ternyata seperti ini kebahagiaan yang mereka inginkan bisa bersama dengan Papanya. Di tengah sukacita ini, hubungan Calli dengan Amar sedikit bermasalah karena video klarifikasinya kemarin. Setelah ini, Calli akan memperbaikinya dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
“Apa ada masalah lain? Kamu terlihat murung dari awal acara,” bisik Liam mendekati Calli.
...-------------...
Terima kasih telah membaca karya ini.
Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan.
Jumpa lagi di episode berikutnya;)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!