NovelToon NovelToon

Hopeless Reincarnation

Prolog: Tentang Aram

Saat masih muda, Aram pikir kehidupannya akan punya alur indah dan bahagia. Layaknya kisah-kisah romantis dari cerita-cerita picisan yang disenanginya dulu. Pekerjaan yang stabil, kehidupan berkecukupan, atau, menikah muda sebelum usia 22 dengan anak kembar yang imut. Tapi, takdir mudah saja menertawakan itu.

Nyatanya, diusia yang sudah menginjak tiga puluhan, pekerjaan Aram hanya jadi “budak” di perusahaan kecil pinggiran ibukota. Gaji pas-pasan bahkan membuatnya harus kerja lembur di malam Minggu. Lalu, saat seharusnya Aram pulang ke kosan dengan tenang, ia justru menanggung omelan ibunya di telpon.

“Coba foto yang cantik gitu, lho, Ram. Senyum biar kelihatan ramah. Mama, kan, juga bingung ngasih liat ke orang yang mau kenal sama kamu kalau mukamu serem awur-awuran kaya gitu.”

“Lho, bukannya bagus begitu, Ma? Biar mereka lihatnya hati Aram aja, gausah mandang fisik. Apalagi muka Aram yang emang RBF*.”

*resting bi*** face (RBF) mengistirahatkan wajah namun dengan ekspresi yang secara tidak sengaja menimbulkan kesan marah, kesal, atau menghina.

“Rbeef erbeef apalagi istilah kamu itu, aneh-aneh. Dicariin jodoh, kok, ogah-ogan terus. Adek aja minggu depan lamaran, lho.” Aram mengerucutkan bibir, sudah tahu arah pembicaran ini akan ke mana.

“Iya, Ma. Aram masih di perjalanan ke kos. Aram tutup telponnya, ya.”

“Pokoknya kamu jangan lupa pulang ke rumah, ya. Mama kecewa kalau kamu lagi-lagi ga menghargai acara keluarga.”

‘Klik.’

Aram mematikan panggilan itu dengan menghela napas. Perjalanan menuju kosan yang harusnya hanya lima belas menit akhirnya terhenti cukup lama di tempat duduk pinggiran jalan.

Entah kenapa percakapan tadi membuat pikiran jenuh Aram malas melangkahkan kaki untuk pulang. Aram mencoba mencari penghiburan di media sosial.

Sebuah story baru dari teman masa kuliahnya muncul dengan unggahan fotonya dengan gambar make-up acak-acakan, Aram membaca caption “Bridal shower with my cupids”.

Aram bingung, seingatnya acara bridal shower temannya itu diadakan besok malam. Dia ingat karena juga mendapatkan undangannya. Dengan ragu, Aram menelpon nomor temannya.

“Aramm, I’m so so sorry!!” Suara teman Aram dari ujung telepon terdengar tampak sedih yang dipaksakan. “Temen kita yang lain ternyata banyak bisanya hari ini. And u said, busy till late night kalau hari Sabtu, kan? Aku ga enak bilang ke kamu kalau acaranya di reschedule.”

Aram paham, dia tak pernah dianggap di pertemanan itu. “Gapapa kok, aku mau ngabarin kalau besok aku juga gabisa dateng. Ternyata acaramu sudah hari ini, so, it’s okay.”

Aram bohong, dia bahkan sudah menyiapkan kado untuk temannya itu. Tapi, temannya justru memposting acara, yang katanya, dadakan itu di media sosial.

“Okay, Aram. Padahal kamu yang ngejodohin aku sama Brian, I’m still sad you can’t come. Nanti aku rencanain traktiran khusus buatmu, deh.”  Aram mengiyakan dengan setengah hati. Paling hanya rencana basa-basi.

Telpon itu ditutup setelah Aram mendengarkan satu per satu ucapan sedih dari teman-temannya yang lain. Aram tahu mereka tidak sepenuhnya jujur, tapi, dia sudah terlanjur kecewa dan hanya memaklumi sedih pura-pura itu agar tak memperkeruh suasana.

Unggahan yang beberapa menit lalu dilihatnya juga sudah terhapus. Mungkin hanya itu satu-satunya sikap sungkan yang bisa dia lihat dari teman-temannya. Meskipun, Aram ragu jika sekarang tetap menyebut mereka sebagai temannya.

Tak ingin melankolis, Aram melanjutkan melihat postingan lain. Kali ini postingan video dari salah satu ‘teman kerja’ yang, usianya lebih muda tapi jabatannya lebih tinggi, sedang melakukan pesta penyambutan karyawan baru di kantornya. Aram kembali tertawa miris.

Sepertinya, bukan hanya membuat kesal ibunya karena jomlo sampai usia tiga puluh, Aram ternyata juga punya kemampuan tidak terlihat di lingkaran kehidupannya yang sekarang.

Jengah. Aram akhirnya mematikan handphone, namun, pantulan layarnya justru memperlihatkan wajah tak terawat Aram. Kacamata usang menyembunyikan warna matanya, sementara rambut Aram yang dikuncir asal itu mencuat, tak pernah punya model selain segi empat sebahu.

Aram memperhatikan kulitnya yang semula kuning langsat kini mengusam, baju kerjanyapun sudah tiga tahun tak pernah berganti mode baru. Aram menengadahkan wajahnya, dan tertawa. Tawa keras setengah frustasi.

“HA-HA. Takdir goblok!!!

Aram melemparkan makian ke udara kosong. Jalan tengah malam yang sepi membuatnya bisa berteriak sepuasnya. Lagipula, tidak ada yang peduli pada perempuan usia tiga puluhan. Apalagi dengan tubuh tak terawat dan uang pas-pasan dari pekerjaan yang menguras tenaga di akhir pekan.

Semua kesadaran-kesadaran itu seakan memperjelas nasibnya. Di dunia ini, Aram tak lebih hanyalah pemeran pendukung yang melihat cerita-cerita bahagia milik orang lain. Dan, Aram benci peran itu. Karena jika dia tiba-tiba menghilang dari dunia hari ini, tidak akan ada yang tahu.

Aram memejamkan mata, dia tak ingin pulang dan menerima takdirnya sebagai pemeran pendukung. Aram justru berpikir akan lebih baik dia jadi sosok antagonis yang membuat semua orang menderita. Kerena meskipun tak punya akhir bahagia, kepergiannya akan tetap jadi kebahagiaan bagi orang banyak.

Lalu, seperti menerima panggilan putus asa. Takdir itu datang.

'TIINN!!TIIIN!!TIINN!!'

Suara klakson memecah sunyi malam. Aram dengan refleks menoleh ke arah sumber suara dan melihat sebuah truk melaju cepat tak terkendali tepat ke arah dia duduk. Tak ada waktu untuk berlari. Mungkin, dari hati terdalam, Aram juga enggan untuk menghindar.

“Haha,” Aram justru kembali tertawa sambil melebarkan tangan. “Takdir benar-benar membenci diriku. Selamat datang kematian!!”

‘BRAK!!’ Suara tabrakan memecah pendengaran. Pandangan Aram menggelap.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

note:

Selamat bergabung di genre Western Fantasy!! Mulai ep depan sudah mulai masuk cerita di kerajaan isekai (dunia lain).

~Happy Reading~

Siapa Aku?

“AGHHH!!” Suara teriakan kesakitan menjadi refleks tubuhku saat mengantam tumpukan lembut. Tunggu, lembut? Sejak kapan tertabrak truk besar punya sensasi seperti ini?

“Nona, Anda tidak apa-apa? Apa Anda terluka?” Aku mendengar suara panik milik seorang perempuan yang datang mendekat.

Pandanganku yang buram tak bisa mengenalinya. Aku meraba-raba sekitar, mencari tanda jalanan beraspal dan pecahan kaca yang seharusnya berserakan disekitar tubuhku, namun, hanya sensasi bulu-bulu lembut mengitari.

“Maaf Nona, saya hidupkan dulu lampu kamar.” Suara perempuan itu masih bergema disekitarku.

Siapa yang dia panggil nona, sih? Lagipula, meskipun mengerti artinya, kenapa aku merasa asing dengan bahasa yang dia gunakan?

‘PATS’

Sinar lampu seketika menerobos penglihatanku. Pelan-pelan aku membiasakan mataku dengan bias cahaya. Namun, hal yang selanjutnya kulihat bukanlah tempat kejadian kecelakaan, bukan juga dunia akhirat yang seharusnya menantiku,  aku justru terduduk di sebuah karpet bulu yang tebal.

“Nona, apa Anda terluka? Bagaimana bisa Anda terjatuh dari kasur yang sangat luas?” Suara perempuan yang sedaritadi kudengar mulai terlihat wujudnya. Lucunya, dia berpakaian seperti seorang pelayan di rumah-rumah gedongan yang dulu sering kulihat di sinetron jadul.

“Kau?” Aku bertanya bingung, mencoba mengerti situasi.

“Ma..mafkan saya, Nona.” Tiba-tiba saja suara pelayan tersebut bergetar ketakutan. Sebelah alisku naik, kenapa dia jadi setakut itu?

“Saya tidak bermaksud mempertanyakan hal remeh. Mari saya bantu Anda kembali ke atas kasur.” Pelayan itu segera membantuku bangkit, dan, disaat itulah aku tersadar pada rambutku yang terurai menutupi pandangan.

Rambut panjangku menyentuh lantai dan berwarna pirang? Sebentar, sebentar, sejak kapan rambut hitam lepekku jadi pirang!? Apa benar aku masih di dalam tubuh asliku?

“Cermin. Bawa aku menuju cermin!” Perintahku pada pelayan yang kebingungan namun takut bertanya itu. Dia akhirnya hanya menurut dan tergopoh memapahku menuju ke cermin besar di ujung ruangan.

Masih dengan pandangan samar, aku mendekat ke cermin dan tak percaya dengan apa yang kulihat di dalamnya. Wajah yang dipantulkan cermin itu adalah wajah yang aku kenal selama tiga puluh tahun. Namun, lebih muda, lebih cerah, lebih indah. Juga, berambut panjang dengan warna pirang keemasan. Siapa sebenarnya orang ini?

Aku kembali terduduk di lantai penuh karpet bulu. Pelayan yang kebingungan itu akhirnya kuminta untuk membuatkan teh hangat. Aku perlu mencerna hal aneh ini sendirian.

Aku memikirkan banyak kemungkinan, bagaimana aku, seorang pekerja kantoran kesepian dan berusia tiga puluhan, bisa terlempar ke diriku yang lain, yang muda dan berambut pirang?

Hah? Tunggu dulu. Bukankah sinopsis ini tipikal dengan cerita-cerita romansa yang jaman muda dulu sering aku baca? Isekai? Transmigrasi? Mungkinkah aku yang seharusnya mati tertabrak truk justru diberi kesempatan menjalani kehidupan kedua di dalam sebuah cerita roman? Klise sekali!

Mungkinkah aku masuk ke salah satu cerita yang pernah aku baca dulu dan bisa mengubah nasib cintaku?

“Hah? Haha!” Aku menertawakan imajinasiku sendiri. Aku pasti sudah gila, lalu sedang berada di fase skizofrenik akut.

Rambut pirang keemasan adalah tipikal seorang tokoh protagonis. Tapi, mana ada protagonis bermuka sangar seperti wajah asliku. Bukankah seharusnya mereka memiliki senyum indah sampai-sampai penggambarannya diharuskan ada bunga-bunga mekar.

“Nona Arabella. Jangan terlalu lama duduk di karpet yang dingin. Mari saya antar kembali ke kasur.” Pelayan yang tadi kembali datang membawa teko teh dan memanggilku dengan sebuah nama.

Ara siapa? Ara..bel..la? Apakah namaku di dunia ini bernama Arabella? Aku menatap lekat wajah dari pantulan cermin itu. Wajah yang mirip punyaku namun juga asing.

“Nona Arabella? Apakah Anda baik-baik saja?” Pelayan itu mendekat, kembali memanggil namaku.

“Kau tadi memanggil aku siapa?” Aku bertanya mencoba memastikan.

“Maafkan saya Nona!” Lagi-lagi saja suaranya kembali ketakutan, tubuhnya bahkan setengah menunduk seakan minta pengampunan. “Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan calon putri mahkota. Maafkan ketidasopanan hamba.”

Waw, bukan hanya seorang Lady, aku bahkan punya gelar calon putri mahkota?

“Ha-ha. Tidak mungkin?!” Lirihku sambil bergerak menjauh dari cermin. Mana mungkin aku benar-benar masuk ke dunia lain! Dalam kekalutan tak percaya aku menjelajahi ingatanku tentang novel, manga juga manhwa yang dulu banyak kubaca.

Tapi, Arabella? Siapa itu? Aku kembali menatap pelayan yang masih menunduk ketakutan. Dan, kenapa pula pelayan itu sangat ketakutan setiap kali aku berbicara?

“Aku tidak akan memarahimu, jika kau memberitahu siapa nama panjangku.” Yap, salah satu cara bertahan di isekai adalah mengorek informasi tanpa terlihat mencurigakan. Pelayan yang ketakutan dihukum sepertinya adalah sumber pertamaku untuk mengetahui siapa pemilik dari tubuh ini.

“Na..nama Nona adalah Arabella Heinstrein, putri pertama dari Duke Severin Heinstrein. Calon tunggal istri Putra Mahkota Thierry de Diamant.” Pelayan itu tergagap namun dengan lancar mengenali siapa aku.

Seperti gelar dan segala nama di dalamnya harus dihafalkan di luar kepala. Dan juga, sepertinya aku tidak asing dengan putra mahkota bernama Thierry dan Kerajaan Diamant.

Aku menyamankan diri di atas karpet berbulu, berusaha menjelajahi memori genre bacaan masa usia awal dua puluhan yang kugemari, yaitu, fantasi barat.

Entah kenapa aku justru teringat dengan satu cerita yang membawaku ke genre ini, yaitu, novel yang ditulis oleh pengarang anonim berjudul ‘My Chiara. Cerita yang punya hubungan cinta-benci denganku karena alurnya yang klise dengan akhir yang sudah tertebak. Tapi, tetap saja aku tidak bisa berhenti dan membacanya sampai akhir.

Intinya, ‘My Chiara’ bercerita tentang hubungan romansa dari anak bangsawan miskin bernama Chiara dengan Thierry, putra mahkota Kerajaan Diamant yang berhati dingin dan kejam. Tapi, namaku tentu saja bukan Chiara dan gelarku sekarang adalah calon tunggal dari putri mahkota.

Tubuhku gemetar, sepertinya, aku ingat siapa itu Arabella. Aku kembali merangkak mendekatkan wajahku cermin. Meski asing dengan penampilanku sendiri, aku teringat penggambaran satu karakter yang mirip.

Iris mata hitam gelap yang tak cocok dengan rambut pirang, wajah dengan ekspresi bosan sekaligus selalu terlihat kesal. Ditambah lagi, pelayan yang selalu ketakutan setiap kali dia berbicara.

Bodoh! Seharusnya aku sadar kalau itu bukanlah respon saat melihat protagonis! Sebaliknya, itu adalah respon wajar saat berhadapan dengan si antagonis!

“Hahhh…” Aku menghela napas panjang sambil menelungkupkan tanganku ke wajah. Arabella de Heinstrein atau tubuh yang kurasuki sekarang adalah calon putri mahkota yang tegas dan kompeten dengan kepribadian sama kejamnya dengan Thierry. Dan dia adalah seorang antagonis dengan nasib tragis.

Di akhir cerita, Arabella dianggap telah melakukan penghianatan dengan tuduhan berlapis. Hal yang paling utama adalah, mencoba untuk meracuni calon putri mahkota yang baru, Chiara. Dia kemudian mati di penjara bawah tanah sebelum hukuman gantungnya dilaksanakan.

“No..Nona Arabella, apa Nona baik-baik saja.” Pelayan itu tergagap kembali menanyakan keadaanku.

Aku memandang pelayan itu sambil tertawa pasrah. Teringat harapanku sesaat sebelum tertabrak truk. Menertawakan kenyataan kalau keinginan terkonyol sekalipun akan dikabulkan jika menjelang ajal.

'My Chiara'

Mari menarik nafas yang dalam…lalu, keluarkan perlahan.

“Hufffffff….” Pikirkan takdir kejam macam apa yang menjadikanku antagonis di cerita yang judulnyapun adalah nama pemeran utamanya.

Apa aku diberi kesempatan untuk menghilangkan nasib buruk itu? Bukannya Mereka salah orang kalau memilih manusia pesimis sepertiku?

Lagipula, ingatanku tentang cerita ‘My Chiara’ sudah cukup samar, bagaimana juga otak manusia biasa bisa mengingat cerita yang dibaca lebih dari dua belas tahun itu? Aku harus menulisnya kembali agar tetap ingat.

“Ah sebentar, aku lupa namamu.” Aku bertanya ke pelayan yang sedaritadi menunggu di dekatku. Kalau sesuai reputasinya, Arabella tidak perlu sungkan melupakan nama dari para pelayannya.

“Nama saya Lanna, Nona. Saya baru bekerja tiga bulan dan menjadi pelayan pintu malam.”

Ah, satu lagi. Arabella bahkan tidak punya pelayan pribadi karena tidak membutuhkan belas kasih mengatasnamakan loyalitas. Karena itu, dia memiliki banyak pelayan dengan pekerjaan spesifik.

“Oke, Lanna, bantu aku duduk di meja sebelah sana.” Aku menunjuk meja kerja yang tak jauh dari cermin. “Dan juga, bawakan aku beberapa kertas, aku harus menulis sesuatu.”

Lanna, yang seperti diselamatkan dari hukuman berat, dengan hati-hati membantuku berdiri dan duduk di meja kerja di kamar itu, lalu, bergegas keluar untuk mengambil beberapa kertas.

Aku memandangi luas kamar Arabella yang besarnya hampir menyamai satu rumah kost tempat aku tinggal di pinggiran kota. Sepertinya, menjadi pemeran antagonis bergelar tinggi juga tidak terlalu buruk.

Tak lama, Lanna membawa kertas dan perlengkapan menulis sesuai permintaanku. Tapi, aku harus menulis dengan bahasa apa? Bahasa di dunia ini masih terasa asing.

Aku membuka sebuah buku di depanku, mencoba membaca isinya yang terdiri dari tulisan yang melingkar-lingkar. Aku mengangguk-angguk, tulisan itu terasa asing namun tidak ada kata yang tidak aku mengerti, mungkin karena berada di tubuh asli Arabella aku jadi bisa memahami artinya.

Lalu, aku menulis beberapa kata dalam Bahasa Indonesia secara tak beraturan di kertas, dan beberapa bahasa lain yang aku tahu. Tanganku terasa asing, namun, aku tetap bisa membacanya dengan baik.

“Lanna, kau bisa mengerti tulisanku di sini?” Aku menyodorkan kertas ke Lanna, memastikan apakah bahasa di sini berbeda dengan duniaku.

“Maaf, Nona. Saya tidak mengerti jika Nona menulis sesuatu, saya juga tidak begitu paham dengan apa yang Nona gambar.” Lanna mengembalikan kertas tersebut, dia bahkan tidak mengenali huruf abjad dan mengira aku menggambar sesuatu.

“Tidak apa-apa, Lanna. Kalau begitu kau boleh pergi. Nanti aku akan memanggilmu lagi jika sudah selesai.”

“Apa saya perlu mengambilkan kanvas untuk Nona melukis?” Entah aku harus merasa terhibur atau tersinggung dengan ucapan polos itu.

“Tidak, aku lebih senang menggambar di kertas.” Lanna yang tak ingin bertanya macam-macam akhirnya mengangguk dan mundur ke luar kamar.

Aku merenggangkan tanganku bersiap menulis namun merasa aneh karena pegal menjalar disekujur tubuhku.

Apa aku tertidur cukup lama? Hmm, ah sudahlah, akan kutanyakan ke Lanna kalau aku sudah mengerti plot cerita di dunia ini.

Aku mulai dengan menulis judul dari novel itu, ‘My Chiara’.

Cerita ini bertempat di Kerajaan Diamant. Kerajaan dengan wilayah besar yang hampir menyaingi kekuasaan kekaisaran saat itu. Sesuai judulnya, cerita berfokus pada Chiara, seorang anak dari bangsawan miskin dengan gelar Baron dan memiliki wawasan luas serta sangat peduli pada nasib rakyat.

Di awal cerita, Chiara bahkan punya ide untuk membangun lembaga yang bisa menjadi wadah apresiasi untuk rakyat ibukota kerajaan.

Aku mengingat-ingat rupa Chiara yang dideskripsikan dalam ceritanya,

kulit seputih salju, rambut hitam mengkilap, bibir merah…

Hmm.. ternyata Chiara adalah Snow White era kerajaan. Bahkan, musuhnya pun sama, seorang (calon) ratu yang jahat. Aku tersenyum dengan leluconku sendiri.

Karena gelarnya yang rendah, Chiara dirundung saat datang ke perjamuan musim semi di kerajaan. Para nona dari keluarga bangsawan lain dengan sengaja menjatuhkan gelas kaca ke tangannya hingga terluka.

Chiara lalu masuk ke balkon paling ujung untuk mengobati lukanya, tempat seharusnya tidak ada orang yang lewat ataupun peduli. Namun, Thierry sang Putra Mahkota tidak sengaja salah masuk ke balkon tempat Chiara yang terluka.

Thierry, putra mahkota yang terkenal dingin dan kasar itu, entah kenapa memutuskan membantu Chiara yang hampir menangis untuk mengobati lukanya.

Thierry de Diamant, rambutnya sehitam jintan. Iris matanya yang coklat keemasan berpadu dengan tatapannya yang kejam. Tubuh tinggi atletisnya menambah pesona pada punggung bidangnya. Meski ekspresi wajahnya dingin, namun, jika dia tersenyum gigi taringnya yang cukup panjang itu terlihat seksi.

Ehem.. aku berusaha menghindari imajinasi liarku. Bukankah cukup menyebalkan membayangkan laki-laki yang nantinya akan membuangku karena cintanya berpindah haluan ke wanita lain. Lanjut..

Pertemuan klise mereka sebenarnya diisi dengan obrolan menarik. Chiara yang baru saja debutante tidak kenal siapa Thierry dan akhirnya berbicara santai. Chiara bahkan mengkritik kerajaan yang mengadakan perjamuan mewah sementara masih banyak rakyat yang menderita kemiskinan.

Thierry tertarik dengan pendapat Chiara dan mereka mulai berdebat tipis tentang berbagai hal. Saat keluar dari balkon, Chiara dan Thierry bertemu dengan Arabella yang memanggil Thierry dengan gelar Yang Mulia. Disaat itulah Chiara langsung menunjukkan perasaan sungkannya.

Thierry yang bingung dengan rasa penasarannya pada Chiara akhirnya menghabiskan malam itu bersama Arabella. Malam panas yang penuh dengan adegan dewasa…

Hahhh iya benar juga, ‘My Chiara’ adalah cerita yang diunggah di platform illegal dengan penulis anonim. Tentu saja ceritanya punya beberapa adegan dewasa. Ditambah lagi Arabella yang kurasuki ini akan jadi pemeran pertama yang melakukannya.

Diawal cerita aslinya, Arabella hanya muncul saat Chiara dan Thierry keluar balkon dari tempat yang sama. Tentu Arabella yang punya harga diri tinggi itu tidak peduli dengan Ciantra. Aku mengingat kesan Arabella yang ditampilkan di novel. Arabella memang tidak pernah digambarkan cantik dan manis, tapi lebih ke arah cantik yang seduktif. Caranya menggoda Thierry untuk menghabiskan malam panas bersama juga terkesan menarik bagi beberapa orang.

Awalnya, banyak pembaca yang tidak setuju dengan karakter plin-plan Thierry di awal cerita. Namun, setelah pendekatan Thierry dengan Chiara terjalin, mereka mulai memahami  sifat kaku dan dingin Thierry hingga akhirnya mendukung hubungan mereka berdua.

Cerita sebenarnya baru dimulai sehari setelah Perjamuan Musim Semi. Chiara yang sedang berusaha mendirikan lembaga swadaya sering datang ke istana bagian kerakyatan di bawah pengawasan Thierry.

Thierry yang sebelumnya disindir halus oleh Chiara tentang tidak peka terhadap kepentingan penduduk akhirnya mengajukan diri untuk melihat kinerja lembaga milik Chiara. Hal ini membuat hubungan mereka menjadi pelan-pelan mendekat.

Aku memperhatikan lembaran kertas rangkuman ceritaku tentang ‘My Chiara ’, beserta ilustrasi ala kadar tentang bayanganku mengenai mereka. Ada perasaan berdebar saat bisa mengetahui karakter-karakter dari cerita favoritku jadi nyata. Meskipun wajahku yang ternyata adalah wajah Arabella adalah pengecualian.

“Lanna? Kau masih ada di luar?” Aku memanggil Lanna.

“Ya, Nona Arabella?” Lanna segera muncul di balik pintu.

“Lanna, apa ada acara khusus yang harus kuhadiri dalam waktu dekat?” Para pelayan Arabella, apapun tugasnya, harus mengetahui acara-acara penting yang akan Arabella hadiri. Penting bagiku untuk hadir di Perjamuan Musim Semi, sebagai awal dari cerita ini bermula.

“Selain Perjamuan Musim Semi yang diadakan seminggu yang lalu, akhir bulan ini Nona perlu menghadiri undangan minum teh dari Duchess..”

“Seminggu lalu?” Aku memotong ucapan Lanna. Perjamuan Musim Semi, awal dari cerita ini dimulai sudah kulewati?

“Apa aku hadir di Perjamuan Musim Semi?”

“Ya, Nona menghadiri acara sampai selesai, namun sepulangnya mengalami demam tinggi sehingga sulit beraktivitas. Dokter kerajaan bilang Nona kelelahan.”

Mulutku menganga. Bukan hanya melewati awal cerita. Tapi, aku juga melewati kejadian-kejadian penting yang membuat kedua tokoh utama menjadi dekat.

Selama seminggu aku telah membuat Chiara  dan Thierry dekat dengan sendirinya dan membawa nasib burukku semakin nyata.

“Ha..ha..ha.”

Oke.. oke, mari kembali menarik nafas panjang Hahhhhh…dan berteriak, “Takdir bajingan!!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!