"Berani bayar berapa?" Tantang Vanya pada pria yang berpakaian setelan jas yang kini ada di hadapannya.
"Berapa pun yang kamu minta, asal kamu bisa memuaskan ku malam ini." Jawab pria itu sambil mengedipkan satu matanya, lalu menatap seakan siap untuk memangsa Vanya hidup-hidup di atas ranjang.
Vanya tersenyum penuh arti, setidaknya malam ini dirinya kembali berhasil mendapatkan pelanggan yang siap membayar mahal dirinya dengan satu syarat, harus memuaskan di atas tempat tidur. Tentu, itu bukan hal yang sulit bagi Vanya.
Suara erangan dari seorang pria terus terdengar memenuhi kesunyian malam di dalam kamar hotel. Di puaskan oleh wanita membuatnya begitu bagaikan melayang di atas udara, tak rugi ia membayar mahal, karena sang wanita benar-benar lihai dan ahli dalam menjalankan perannya sebagai kupu-kupu malam.
"Ahhh.." Pria itu ambruk, dan langsung menutup mata, setelah cairan kental yang ada dalam tubuhnya berhasil keluar.
Setelah melakukan hal demikian, sang wanita langsung membersihkan diri. Vanya lalu menatap pria yang kini sedang terbaring di atas tempat tidur.
"Dasar pria to*lol." Ucapnya lalu mengambil puluhan lembaran uang yang berada di atas meja.
Vanya mengibaskan uang tepat di wajahnya lalu kemudian mencium aroma uang tersebut, dan di masukkan kedalam tas miliknya.
"Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang." Ucapnya, lalu tertawa dan keluar dari kamar hotel.
Vanya Geraldin. Wanita yang kini berusia 23 tahun, yang saat ini menjadi tulang punggung bagi keluarganya yang berada di kampung. Awalnya Vanya datang merantau ke ibu kota, untuk mencari peruntungan dirinya, berharap bisa bekerja di kota yang besar ini. Namun, ternyata harapannya hanya tinggal harapan belaka, karena sejauh ia melangkah membagikan lamaran kerja, tidak ada satupun perusahaan yang mau menerima dirinya bekerja, apalagi notabene pendidikannya yang hanya tammatan SMA, menjadikan dirinya susah mendapat pekerjaan.
Karena kehabisan tabungan di ibu kota, belum lagi, di tambah biaya hidup adik dan ibunya di kampung, mau tidak mau akhirnya Vanya terjerumus kedunia malam yang menjadikan dirinya sebagai kupu-kupu malam.
"Kalau jalan pakai mata." Tegur seorang pria yang menatap cemoh pada Vanya yang kini berada di sampingnya.
"Pakai kaki pak? Jalan pakai kaki, mata untuk melihat." Jawab Vanya dengan ketus melihat pria yang tampan yang berada di hadapannya.
"Sial." Gumam Bian, lalu kembali melangkahkan kakinya.
Bian bisa menebak, wanita yang keluar dari kamar hotel di jam segini pasti bukan wanita yang baik-baik. Itulah mengapa Bian tidak ingin terlibat lebih banyak perbincangan lagi.
"Dasar pria aneh! Bilang saja jika kamu ingin main denganku?" Kata Vanya sambil menatap kepergian Bian.
••••••
"Ibu bagaimana pun, aku belum siap untuk menikah." Tolak Bian dengan kasar saat sang ibu yang terus mendesak dirinya untuk menikah.
"Belum siap atau kamu belum melupakan Neysia, ha?" Tanya Rossa yang tak mau di kalah dari sang anak. "Ingat Bian, sekarang usiamu tahun ini sudah 32, tapi apa? Menikah pun tidak? Apa kata orang-orang di luar sana?"
"Persetan dengan orang-orang ibu. Aku bilang tidak, yah tidak."
"Kamu pikir ibu bisa tenang mendengar orang bercerita jika kamu kaum pelangi? Kamu pikir ibu tidak sakit hati? Semua orang bilang, kalau kamu kaum pelangi, tapi apa? Apa ibu bisa membelamu? Tidak, untuk saat ini ibu hanya bisa diam, dan cara untuk membuktikan tuduhan itu, hanya satu. Ibu mau kamu menikah." Rossa benar-benar emosi, dan berharap kali ini Bian mau mendengarkan ucapannya. Karena sejujurnya Rossa pun sudah jerah dengan sikap orang-orang di luar sana yang terus mengatakan jika Bian adalah salah satu dari kaum pelangi.
Bian hanya diam, ia tidak dapat lagi melawan atau membantah ucapan sang ibu, karena Bian tahu, ibunya pun pasti sudah sangat lelah mendengar gosip di luar sana.
Bian menghelah nafas, mungkin saat ini dirinya memang harus menerima perkataan sang ibu tentang menikah dengan seseorang agar tuduhan tentang dirinya tidak terbukti.
"Baiklah, Bian akan menikah. Tapi tidak dengan pilihan ibu. Bian akan menikah dengan gadis pilihan Bian sendiri."
Mendengar ucapan Bian, tentu membuat Rossa begitu bahagia. Rossa hafal betul dengan sang anak yang saat ini belum memiliki kekasih. Tapi, bagi Rossa siapa pun gadis yang nanti kelak akan menikah dengan Bian, Rossa tidak akan memilih dari mana asal usul gadis itu. Yang jelas Bian mau menikah mematahkan omongan orang-orang di luar sana.
"Katakan pada ibu, jika kau sudah memiliki gadis yang ingin kau ajak menikah. Biar ibu yang mengatur semua tentang acara pernikahanmu." Ucap Rossa begitu sangat bahagia.
"Baik bu."
Kini Bian melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamar pribadinya. Sesampainya di kamar, Bian langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bayangan pernikahan dengan mantan kekasihnya kini kembali melintas.
"Neysia." Lirih Bian.
•••••
FLASH BACK
Neysia, wanita yang sangat Bian cintai pergi. Pergi meninggalkan Bian, karena tidak terima kekurangan yang ada di dalam diri Bian. Kepergian Neysia tentu membuat hati Bian begitu hancur, hancur sehancur hancurnya. Bagaimana tidak, pesta pernikahannya kandas sehari sebelum acara ijab kabul.
"Maaf Bian, hubungan ini tidak bisa di lanjutkan lagi." Ucap Neysia sambil menitihkan air mata, dan tak mampu menatap wajah Bian yang saat ini berada di hadapannya.
"Sayang, lihat aku. Tatap mataku, ada apa? Katakan? Besok kita akan menikah, kenapa kau mau mengakhiri hubungan ini?" Tanya Bian sambil menggenggam kedua tangan Neysia.
"Bian. Aku ingin menikah, menjadi istri dan juga menjadi seorang ibu. Lalu, bagaimana bisa aku menjadi seorang istri tapi tidak bisa menjadi seorang ibu."
Ucapan Neysia tentu bagaikan tombak yang tajam yang mampu menusuk jantung Bian.
"Aku dengar semuanya. Aku tahu, kalau kau mandul Bian, aku tahu. Dan aku tidak ingin menikah dengan pria mandul." Lirih Neysia
"Sa-sayang." Ucapan Bian terbata, kini air mata menumpuk di pelupuk matanya. "Maaf, tapi bukan kah kita bisa mengadopsi seorang anak? Apa cintaku tidak bisa membuatmu untuk tidak melihat kekuranganku?" Tanya Bian.
"Maaf Bian, aku tidak bisa. Maaf, hubungan ini harus berakhir. Aku harap kau bisa mengerti dengan perasaan ku." Kini Neysia berjalan menjauh dari Bian.
"Berhenti!" Teriak Bian. "Aku bilang berhenti Neysia. Berhenti!" Kata Bian dan Neysia menghentikan langkahnya. "Jika kau pergi, aku benar-benar akan marah. Jika sekali lagi kau melangkah, aku pastikan ini pertemuan terakhir kita." Kini Bian berharap jika apa yang Neysia ucapkan hanya bualan semata. Bian berharap Neysia mau tetap berdiri di posisinya sampai Bian datang memeluknya dari arah belakang.
Namun, harapan Bian tidak seperti yang ia pikirkan. Kala Neysia kembali melanjutkan langkah kakinya.
"Neysia.." Teriak Bian
"Maafkan aku Bian." Gumam Neysia.
Hancur sudah hati Bian. Hancur sudah harapan yang Bian agan-agankan selama ini. Harapan memiliki keluarga yang bahagia, dengan gadis yang ia cintai harus pupus sudah. Ketika sang gadis yang sangat ia cintai tidak bisa menerima kekurangan yang ada pada dirinya.
"Apakah besarnya cintaku tidak mampu menutupi kekuranganku Neysia?" Lirih Bian sambil memegang da*danya yang terasa sesak dan sakit akibat di tinggal pergi oleh gadis yang sangat ia cintai. Gadis yang sudah beberapa tahun berada di sisinya.
Assalamu'alaikum reader kesayangan autor tercinta. Yukkk, kepoin novel baru autor yang di jamin tulisannya hanya biasa-biasa saja 😂😂😂. Tetap stay menjadi reader setia. Karena autor bakalan bagi-bagi hadia pulsa dan uang tunai untuk reader yang setia yang selalu memberikan dukungan like, komen, dan vote terbanyak🥰🥰🥰..
Dan untuk haters tercinta. Stop komen yang menjatuhkan autor🥰🥰🥰
Sontak Novia kaget, dan marah bahkan teriak histeris kala mendengar Neysia mengatakan jika dirinya membatalkan acara pernikahannya dengan Bian. Padahal hal yang di nanti-nanti Novia sudah berada di depan mata. Menjadi ibu mertua dari menantu yang kaya raya.
"Bagaimana pun, ibu tidak terima Ney. Kamu harus menikah dengan Bian. Ingat! Bian mencintaimu. Dan kamu pun mencintainya."
"Ya, aku memang mencintainya bu. Tapi apakah cinta bisa menyatukan kami selamanya? Apakah cinta bisa menghilangkan rasa kesepian di dalam rumah tangga kami kelak?"
Novia terdiam sejenak mencerna perkataan sang anak yang mengatakan tentang kesepian.
"Tunggu, apa maksudmu Ney?"
"Bian mandul. Bian tidak bisa memberikan ibu cucu. Dan aku! Aku tidak ingin hanya menjadi seorang istri saja. Aku juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, Bu." Jelas Neysia, yang membuat Novian sontak kaget mendengar pengakuan dari sang anak.
Bian, pria yang di kenal begitu kaya, memiliki usaha di mana-mana, memiliki ketampanan bak seorang dewa yang wanita siapa pun melihat pasti akan jatuh cinta akan pesonanya. Ternyata memiliki kekurangan yang tersembunyi di dalam dirinya.
"Ibu. Aku tidak ingin bu. Dan aku harap ibu mau mendengar dan menerima keputusanku ini." Ucap Neysia dengan tegas lalu melangkahkan kakinya menuju kamar.
"Neysia." Teriak sang ibu, namun tidak di gubris sama sekali oleh Neysia. Novia pun langsung meraih ponselnya dan menghubungi calon menantunya.
•••••
Bian mengusap wajahnya dengan gusar, hingga sampai saat ini dirinya masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Masih sampai detik ini, Bian berharap Naysia akan menghubunginya dan akan tetap melakukan pernikahan dengan dirinya.
Beberapa saat kemudian, ponsel Bian berdering.
"Apa?" Tanya Bian saat mendengar ucapan dan sang asisten.
"Tuan, nona Neysia saat ini sedang berada di butik. Nona dan pacarnya berencana melakukan pernikahan."
Sontak ucapan Zam, sang asisten kembali membuat luka di tempat yang sama. Luka di hati, yang belum pulih akibat di tinggal saat sehari sebelum pernikahan. Dan kini Bian kembali mendapat kabar, jika mantan kekasih akan menikah dengan pria lain. Sekejam itukah takdir bermain dengan kehidupan asmara Bian?
"Arrrhhhh..." Bian teriak, sambil melempar ponselnya ke sembarang arah.
Lalu Bian mengambil minuman beralkohol meminumnya hingga tangkas, agar bisa meluapkan emosi di dalam dirinya.
"Neysia!!" Teriak Bian lalu melempar botol minumannya hingga pecah dan berserakan di lantai.
Sang ibu yang kebetulan ingin masuk ke dalam kamar Bian, lanhsung sontak kaget.
"Bian, apa yang terjadi nak?" Tanya sang ibu yang menghampiri Bian, yang kini duduk di sofa.
"Ibu.." Lirih Bian.
"Hey jangan menangis. Ibu tidak pernah mengajarkan anak ibu menjadi anak yang lemah. Sebesar apapun masalahmu, ingat mungkin ini yang terbaik. Jangan pernah menangis hanya karena wanita yang tidak bisa menerima kekuranganmu." Kata Rossa menenangkan sang anak. "Kamu memiliki uang, kekuasaan. Wanita manapun pasti akan memohon akan cintamu. Jadi lepaskan wanita yang tidak mencintaimu."
FLASHON
Satu bulan kemudian.
Kini Bian sudah kembali dengan aktifitasnya. Kejadian sakit hati membuat hati Bian membeku, untuk semua wanita tanpa terkecuali. Kini Bian hanya mencintai dirinya, dan tidak mau sama sekali membuka hati pada wanita mana pun. Namun, tiap hari desakan demi desakan terus terdengar di telinganya. Kala sang ibu, yang terus mendesak agar dirinya segerah menikah.
"Apa nyonya meminta hal yang sama lagi?" Tanya Zam pada tuannya sekaligus sahabatnya.
Bian tidak menjawab, tapi Zam sudah tahu persis jawabannya dari ekspresi wajah Bian yang saat ini terlihat gusar dan juga sedang memijat kepala.
"Bagaimana jika tuan menikah kontrak saja?" Usul Zam, hingga membuat Bian menatap Zam dengan wajah garang. "Tidak! Maksudku, aku hanya ingin melihat mu hidup tenang tanpa banyak lagi desakan di setiap harinya dari nyonya." Jelas Zam karena sejujurnya ia pun bosan, karena hampir tiap hari Rossa menghubunginya dan meminta laporaan apakah saat ini Bian sudah memiliki kekasih.
"Kau pikir aku tidak laku? Sampai aku harus mengontrak orang untuk menjadi istriku? Kau lupa siapa aku?" Ucap Bian, dengan menolak keras ide dari Zam.
"Ya, ya aku tahu siapa kamu. Kamu adalah pria yang di tinggal menikah oleh wanita yang kamu cintai." Ucap Zam tapi hanya di dalam hati saja. Kalau saja ucapan ini terdengar oleh Bian, bisa-bisa Zam hanya tinggal nama. Membayangkan Bian marah saja sudah membuat bulu kudu Zam merinding.
•••••
Malam ini, Bian kembali ke club malam, untuk menenangkan pikiran karena sehari suntuk bekerja di tambah lagi teror dari sang ibu yang terus memaksa dirinya agar cepat menikah.
"Zam, siapa dia?" Tanya Bian saat melihat seorang gadis yang terlihat sangat seksi.
"Dia ratu malam di club ini." Jawab Zam
"Panggil dia. Bayar berapa pun yang dia inginkan untuk mau melayaniku malam ini." Titah Bian yang tak ingin terbantahkan lagi.
Seorang gadis yang tak lain adalah Vanya yang saat ini sedang menghisap sebatang rokok, sambil duduk dan menyilang kedua kakinya memperlihatkan bentuk kaki hingga paha yang begitu mulus, dan dengan baju yang da danya sedikit terbuka sehingga membuat gunung kembarnya seakan ingin keluar dari tempatnya. Itulah mengapa banyak pria yang begitu mengidolakan Vanya, bahkan sampai rela membayar mahal Vanya agar bisa mendaptkan sensasi kenikmatan surga dunia.
"Jadwal ku sudab full." Jawab Vanya sambil menghembuskam asap rokok ke hadapan Zam.
Bukan Zam namanya jima usahanya gagal. "Berapa pun yang kamu minta akan aku berikan tapi layani tuanku dulu." Jelas Zam yang. Dan pasti Zam yakin jika gadis di hadapannya ini akan tergiur dengan tawarannya. Namun sayang, ternyata Vanta tidak tertarik, Vanya berdiri lalu berjalan menjauh dari Zam.
"Lima puluh juta?" Tawar Zam tapi Vanya tetap berjalan. "Tujuh puluh lima juta." Lagi, Vanya pun tidam tertarik. "Baiklah, tawara. Terakhirku. Seratus lima puluh juta." Ucap Zam dengan tegas dan keras, sehingga membuar Vanya menghentikan langkah kakinya, dan menoleh pada Zam. "Sudah aku bilang, semua wanita sama saja. Mata duitan." Batin Zam.
"Sampaikan pada tuanmu itu. Jika malam ini jadwal ku sudah penuh." Setelah menjawab hal demikin, Vanya pun berlalu meninggalkan Zam yang terdiam. Tidak di sangkah tawaran yang begitu banyak di tolak mentah-mentah oleh gadis club malam.
Zam memutuskan untuk kembali ke meja Bian, dan mengatakan jika gadis club itu menolak tawaran yang Zam berikan.
"Apa?" Ucap Bian. Tidak di sangkah, jika seorang gadis menolak dirinya, padahal di luar sana masih banyak wanita yang rela mengantri di hadapannya. Tapi Bian menolak karena hanya mencintai Neysia. Tapi ini? Giliran Bian mencoba untuk membayar gadis club, kenyataan dirinya di tolak mentah-mentah oleh gadis itu.
"Cari tahu tentang gadis itu. Beraninya dia melukai harga diriku." Ucap Bian lalu meneguk minumannya hingga tangkas. Bian lalu tersenyum devil.
"Baik tuan" jawab Zam dengan cepat.
"Bagaimana apa sudah dapat info tentang gadis itu?" Tanya Bian, sambil menatap berkas yang ada di hadapannya.
"Aya, nama gadis itu tuan." Jawab Zam lalu mendundukkan kepalanya, sehingga membuat Bian mengalihkan tatapannya ke hadapan Zam.
"Hanya itu?" Tanya Bian dengan nada emosi.
"Maaf tuan, hanya itu saja yang aku tahu."
Bian yang begitu marah, langsung mengambil berkas yang ada di hadapannya dan melempar tepat ke hadapan Zam sehingga membuat berkas tersebut jatuh berceceran di lantai.
"Cari tahu sekarang juga. Dan jangan coba-coba menampakkan batang hidungmu di hadapanku jika kau tidak becus dalam bekerja." Titah Bian yang tidak ingin terbantahkan lagi.
"Baik tuan." Mendengar nada Bian yang sudah emosi membuat Zam langsung keluar dari ruangan kerja Bian, dan memutuskan untuk mencari tahu lebih detail lagi tentang Aya.
••••••
Jam tujuh malam. Dan hingga sampai saat ini Zam belum menunjukkan batang hidungnya sehingga membuat Bian begitu kesal karena baru kali ini asisten atau sang sahabat bekerja sangat lalai.
"Bagaimana? Apa sudah menemukan calon istri?" Tanya Rossa saat menghampiri Bian yang saat ini sedang duduk di taman belakang sambil menikmati minuman dan menyesap sebatang rokok.
"Ibu." Ucap Bian.
"Ibu malas mendengar ucapanmu yang semuanya hanya janji, tapi tidak terbukti. Besok pergilah bertemu dengan gadis pilihan ibu. Menikahlah dengan gadis itu."
"Tapi ibu. Sudah aku katakan, aku akan menikah dengan gadis pilihanku sendiri." Tolak Bian yang sama sekali tidak suka dengan perjodohan. Dan, terus terang hingga kini di dalam hati kecil Bian masih ada nama yang terukir dengan indahnya, walau sang pemilik nama sudah menoreh luka yang amat mendalam.
"Kapan? Katakan kapan kau akan menikah?"
"Lusa." Jawab Bian dengan spontan. "Persiapkan semuanya, lusa Bian akan menikah dengan gadis pilihan Bian sendiri." Ucap Bian lalu berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan sang ibu seorang diri.
Tentu kabar ini membuat Rossa tersenyum bahagia. "Bian, ibu akan membuat pernikahan yang sangat meriah untukmu" teriak Rossa namun tidak di gubris oleh Bian. Kini Rossa bisa menepis semua rumor tentang anaknya yang selalu di katakan kaum pelangi atau di katakan belum bisa move on tentang masa lalu.
"Baiklah, kita mulai dari mana." Ucap Rossa sambil melihat satu persatu nomor di ponselnya.
Ya, Rossa langsung menghungi pihak WO agar acara Bian bisa terlaksana dengan meriah. Dan untuk biaya, tentu itu bukan masalah bagi Rossa yang notabene nya adalah ibu dari seorang pengusaha yang sangat sukses.
"Tapi bu Rossa, acara ini sangat mendadak. Bagaimana bisa dua hari lagi, dan ibu baru memberi tahu sekarang." Ucap WO di seberang sana saat panggilan terhubung.
"Berapa pun yang kau minta, aku akan bayar. Asal acara bisa sempurna seperti yang aku katakan."
"Maaf bu, bukan soal bayaran. Hanya saja, kami tidak memiliki waktu yang cukup." Mendengar ucapan itu tentu membuat Rossa marah dan langsung memutuskan sambungan.
Zam. Yah, saat ini yang ada di pikiran Rossa adalah Zam.
"Zam persiapkan pernikahan yang meriah untuk Bian." Titah Rossa sehingga membuat Zam di seberang sana langsung menyemburkan minumannya. "Apa kau dengar?"
"Pernikahan? Siapa yang akan menikah nyonya?" Tanya Zam untuk memastikan kembali jika dirinya hanya salah dalam mendengar.
"Lusa. Tepatnya tanggal sembilan november."
"Bian mau menikah nyonya?"
"Lakukan yang terbaik, jangan sampai ada yang salah. Aku ingin membuat pesta pernikahan yang meriah." Kata Rossa, dan belum sempat Zam menjawab Rossa sudah memutuskan sambungan telponnya.
Zam hendak menghubungi Bian untuk mencari tahu apakah benar apa yang dikatakan nyonya Rossa tentang mempersiapkan pernikahan. Namun, tak jadi Zam lakukan saat melihat Vanya sudah berada di dalam club malam.
"Itu dia." Kata Zam, dan tanpa membuang waktu lagi Zam langsung menghampiri Vanya.
Vanya mengembuskan asap rokok tepat ke wajah Zam saat Zam sudah duduk di hadapannya. "Bayar berapa?" Tanya Vanya, tanpa basa basi.
"Seratus lima puluh juta." Jawab Zam sambil menatap tajam pada Vanya.
Vanya tersenyum lebar karena selama ini hanya bayaran inilah yang sangat fantastik.
"Bagiaman kau setuju?" Tanya Zam, lalu ponsel Zam berdering. Melihat siapa yang menghubunginya Zam pun langsung menjawab.
"Bagaimana pun caranya. Ajak wanita itu untuk menikah kontrak denganku lusa. Kau mengerti Zam?"
Zam terdiam sambil menatap Vanya yang terus saja menghisap rokok di hadapannya.
"Zam. Tawaran berapapun. Asal dia mau menikah selama kurang lebih enam bulan."
"Baik tuan." Jawab Zam.
"Siapa? Bosmu? Apa dia yang ingin membayarku?"
"Katakan berapa yang kau minta, tuanku akan memberikan semuanya. Tapi tugasmu bukan untuk semalam."
"Lalu?" Kini Vanya benar-benar sangat penasaran dengan pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria yang tampan dengan tubuh yang sempurna.
"Menikah kontrak lah dengan tuan. Maka apapu dan berapa pun yang kau inginkan maka tuan akan memberikan semuanya."
HAHAHAHAHAH. Tentunya saja ucapan Zam membuat Vanya tertawa karena bagi Vanya itu adalah ucapan lelucon yang sangat-sangat tidak masuk di akal. Menikah kontrak dengan pria yang tidak di kenalnya sama sekali.
"Ganteng mana, kau atau tuanmu?" Tanya Vanya.
Bukannya menjawab, Zam justru memberikan kartu namanya. "Keputusan mu besok. Jika besok kau tidak menghubungiku maka semua yang aku katakan malam ini anggap tidak pernah terjadi." Kata Zam lalu pergi.
Vanya tidak melihat kartu nama itu hanya menyimpannya di dalam tas.
"Siapa dia? Apa dia pelanggan kita nanti?" tanya Mia sahabat Vanya.
"Bukan."
"Vanya, malam ini aku tidak bisa. Jadi tidak usah terima tamu yah."
"Baiklah."
••••••
"Zamuel." Terian Bian saat Zam menceritakan apa yang terjadi.
"Bian ayolah. Kenapa juga harus mengajak perempuan itu untuk menikah kontrak?" jawab Zam dengan santai tanpa melihat tatapan mata Bian yang begitu tajam setajam silet yang siap mengupas seluruh kulit tubuh Zam.
"Siapa yang memberikan aku ide gila untuk menikah kontrak? Katakan siapa?" teriak Bian.
"Oke, oke itu aku. Tapi tidak dengan perempuan seperti dia juga Bian. Masih banyak perempuan di luar sana. Kau hanya perlu berdiri di jalan dengan setelan mu maka semua perempuan di luar sana pasti akan mengantri Bian."
"Bo doh!" Ucap Bian lalu menyesap minuman beralhokonya. "Biarlah hanya aku yang tahu alasan kenapa memilih dia. Jadi kalau sampai dia tidak menghubungimu, maka aku pastikan kau bekerja tanpa ada gaji sepersen pun." Ancam Bian sehingga membuat Zam menelan salivanya secara kasar.
Sudah dapat Zam bayangkan jika ancaman kali ini benar-benar nyata. Dan Zam tidak ingin gajinya tidak di bayarkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!