"Mungkin Tuhan memang bukan mentakdirkan ku dengannya."
Dada Iva terasa sesak kala membayangkan kejadian sore itu.
Diadakannya pertunangan antara Lemusa, seorang pemuda yang sejak menduduki bangku SMA sudah disukai Iva. Dan Atnia, sahabat Iva sendiri sebagai calon tunangannya.
Semua orang berbahagia, kecuali Iva. Meski sudah menunjukkan senyuman, dengan mulut manis yang mendoakan hal baik terjadi pada pasangan ini, nyatanya, di dalam lubuk hati Iva yang terdalam,
ia terluka.
Lemusa dan Nia, sejatinya adalah sepupu silang yang diusahakan bersatu untuk mempererat hubungan baik keluarga.
Dan jelas saja, Iva bukan siapa-siapa selain sahabat baik Nia.
Perasaan suka yang berujung cinta diam-diam, dirasakan Iva saat menduduki bangku SMA. Selama 3 tahun, disuguhkan pemandangan seorang pemuda bertubuh tinggi dengan wajah tampan bak aktris Korea. Mana sifat Lemusa yang baik, sopan dan tampan, sungguh idaman setiap wanita.
Selain itu, karena Iva bersahabat dengan Nia, Iva jadi tau banyak hal tentang Lemusa. Bagaimana sifatnya, cara makannya, koneksi dengan orang lain, hubungan masalalu,
serta kebiasaan kecil lainnya yang dilakukan pemuda itu.
"Asal kamu tau aja, Ai, sejujurnya aku sama sekali ga suka sama si Musa. Dia ganggu banget tau!"
Iva mengingat begitu jelas, bagaimana saat SMA dulu, Nia mengatakan bahwa Ia tidak menyukai sosok Lemusa.
Membuat Iva berpikir, ia memiliki kesempatan mendekati Lemusa. Tapi nyalinya seketika menciut, kala menemukan sosok dingin dan cuek terkubur dalam diri Lemusa.
Di ruang ganti siang tadi, Iva menemani Nia berganti pakaian.
"Katamu kau tidak menyukainya," kata Iva menyindir, namun tetap berusaha menyembunyikan perasaan cemburunya.
Mendapati pertanyaan seperti itu, Nia menggeleng. "Udah berapa kali aku bilang, Iva Tessa… Ini maunya keluargaku. Kapan juga aku suka sama si Musa? Kau kan juga liat, gimana nyebelinnya pemuda itu!" jawab Nia dengan perasaan menggebu.
Iva tau itu. Ia hanya geram dengan takdir, begitu sulitnya semesta menyatukannya dengan Lemusa. Padahal Nia, dengan mudahnya mendapatkan pemuda itu.
Namanya kekuatan orang dalam...
Iva menghela nafasnya dan mengusap kasar wajahnya. Ia masuk ke kamar. Sedaritadi ia berdiri di Rooftop teras sambil menatap langit dengan bintang bulannya.
Derrtttt… Langkah Iva terhenti dan menoleh ke ponselnya yang diletakkan di nakas. Saat melihat siapa yang memanggil, alisnya terangkat.
Atni? Kira-kira, kenapa dia menelepon?
Tidak mau penasaran lebih lama lagi, Iva memutuskan mengangkat telepon.
"Hallo Atni, kenapa kamu–"
"Cepat datang ke restoran Lataret ya. Alamatnya bakal aku Sherlock secepatnya."
"Tapi kenap–"
Tutt..
Kening Iva mengerut, ia sangat bingung dan cemas. "Suara Atni terdengar ketakutan. Sepertinya ada sesuatu yang serius!"
Iva mengambil kunci mobilnya dan buru-buru keluar dari apartement. Ia menuruni tangga, dan mencari mobilnya yang terparkir di basement.
Lokasi restoran Lataret letaknya cukup jauh dari sini. Untungnya jalanan tak terlalu ramai. Iva sangat memfokuskan perhatiannya pada tujuan, dan tak terasa ia sampai ke restoran Lataret dalam waktu 15 menit.
Usai memarkirkan mobilnya, ia mencari keberadaan Nia dengan masuk ke dalam restoran. Tapi keberadaan sahabatnya itu tak kunjung ditemukan.
"Dia kemana sih?" Iva memutuskan keluar. Dan matanya terpaku melihat seorang gadis di seberang jalan dengan mobilnya.
"Iva!" teriak Atni sambil mengangkat sebelah tangannya.
Iva menyeka keringatnya dan menyusul Nia. "Kamu benar-benar menyusahkan. Katanya di Restoran Lataret, kupikir kau ada di dalam. Ternyata di luar," katanya protes.
"Sorry, aku lupa. Maaf ya. Jadi gini, aku minta kamu ke sini karna mobilku tiba-tiba mogok. Mana si Lemusa ada di dalam."
"Hah? Lemusa? Kenapa bisa dia ada di situ?" Iva sampai memasukkan kepalanya ke dalam mobil untuk memastikan keberadaan pemuda itu. Dan benar saja, ia melihat wajah tampan Lemusa sedang tidur di sana.
"Tadi keluarga minta kami jalan-jalan di pantai. Tau kan, pantai sebelah hotel tempat tunangan tadi sore?"
Iva mengangguk. Matanya membesar karena serius dan penasaran.
"Nah, tau-taunya keluarga meninggalkan kami di sana dan hanya menyisakan mobilku. Setelah lima menit berkendara, mobil malah mogok. Taulah gimana nyebelinnya si Musa, dia biarin aku dorong mobil ini dan malah tidur enak-enakan di dalam."
Iva menjadi kasihan. "Ya udah. Mobilnya di derek aja. Kalian masuklah ke mobilku."
Tapi wajah Atni berubah cemas. Iva yang memperhatikannya pun mencoba bertanya, "Kenapa lagi?"
"Ah enggak. Ayo kita pasang dereknya."
Setelah mobil Iva menderek mobil Atni, mereka pun memulai perjalan.
"Jadi bukan masalah kalau Musa di mobil kamu, Atni?" tanya Iva kuatir.
"Dia nyebelin gitu. Biarin aja lah. Biar dia rasakan goyangan keras di belakang."
Iva pun mengangguk tanpa menunjukkan sisi cemasnya. "Kita langsung ke bengkel atau…"
"Ke apartemenku. Ayolah, rasanya capek, Iva. Aku mau bersihkan badan, dan lanjut bobo cantik!" Tatapan Nia begitu berseri-seri kala membayangkan betapa nyaman dan tenangnya berada di kamarnya apalagi setelah banyak hal terjadi hari ini.
"Baiklah," balas Iva.
Setelah perjalanan jauh, mereka sampai ke apartemen Nia. Iva di bantu Nia untuk melepas alat penderek. Sementara Nia langsung berbalik setelah mengatakan, "Terimakasih atas bantuanmu!"
Iva sedang kebingungan dengan sosok Lemusa di dalam mobil.
"Atni!" panggil Iva, raut wajahnya begitu kuatir dengan kondisi Lemusa.
Seingat Iva, Lemusa bukan tipe pria yang suka tidur. Ya walau, selama SMA, pemuda itu sering tidur di kelas. Hanya saja mudah dibangunkan, bukan seperti kerbau.
Maksud Iva, jalanan yang mereka lewati banyak tanjakannya. Harusnya Lemusa sudah bangun daritadi.
"Iva!" seru Nia sambil menggoncang bahu sahabatnya.
"Hah? Apa?" Iva mengedipkan mata dan menetralkan nafasnya karena terkejut.
"Hoaaaammm, kenapa memanggilku?" ucap Nia sambil menguap.
"Itu." Iva menunjuk kaca mobil.
"Oh itu. Bawalah dia ke apartemennya. Kan kalian tinggal di apartment yang sama. Paling hanya beda 20 kamar," jawab Nia santai. Ia kemudian berbalik dan berjalan sambil meregangkan badan.
Iva menatap sahabatnya itu, yang bersikap tidak peduli. Membuat Iva menghela nafas dan memanggil Nia. "Atni, di mana kuncinya?"
Buru-buru Nia menjumpai Iva dan menyerahkan kunci. "Tolong bawa dia ke apartemennya ya. Please… Aku udah capek soalnya." Kali ini Nia memohon dengan benar.
Dan karena itu, Iva tersenyum dan menepuk bahu Nia. "Harusnya kamu melakukannya tadi."
"Hehehe, aku terlalu lelah. Hari ini berat sekali rasanya!" ucap Nia beralasan.
Iva mengangguk paham sambil mencoba membuka pintu mobil.
"Dia tidur atau gimana sih, Nia?" Iva menatap heran sosok pria yang sedari tadi tertidur tanpa bergerak itu. Lemusa duduk sambil memejamkan mata di kursi sebelah pengemudi. Dengan seatbelt yang mengunci pergerakan.
"Paling pingsan," jawab Nia menunjukkan ketidakpeduliannya.
Nia memercikkan air ke wajah Lemusa tapi pemuda itu tak kunjung bangun. "Apa kubilang, dia pingsan." Nia terlihat begitu senang dan bangga akan kondisi Lemusa.
Sementara Iva diam, sudah paham juga dengan tingkah sahabatnya ini terhadap Lemusa.
"Paling kepalanya terbentur waktu naik turun tanjakan. Aku minta tolong antarkan si Lemusa ya? Aku capeeeee kali! Mau cuci muka terus tidur," kata Nia sambil menguap dan meregangkan badan.
"Permintaan ditolak." Jawaban Iva membuat Nia membelalakkan matanya, "Why?" tanyanya terkejut.
"Dia tunanganmu, jadi–"
"Aku tidak mencintainya, tapi kau!"
Iva terkejut mendengar jawaban Nia. Dia tau? Dari mana?
Nia tersenyum miring. Dia dapat membaca isi hati sahabatnya itu hanya dalam sekali lirik. "Semua jelas aja kelihatan. Lemusa kan memang tipemu. Tapi kau terus menutupinya karna ngerasa gak pantas dibandingkan aku yang punya orang dalam yakni keluargaku sendiri. Jadi gini, gimana kalo kita lakuin kesepakatan. Kau ngerasain sentuhannya sebelum nikah sama aku? Dengan begitu, keluarga membatalkan pernikahan konyol ini, dan membuatmu menjadi pengantinnya. Ini kesepakatan yang bagus kan?"
"Gila kamu!" hardik Iva. Ia tidak percaya pemikiran Nia bisa seaneh ini.
"Ga perlu terlalu serius-serius amat. Tadi aku hanya berakting. Gimana, bagus kan? Hahaha…"
Iva sampai menyeka keringatnya karna syok. Sedangkan Nia terus terkekeh membayangkan raut wajah Iva tadi. Nia menepuk bahu Iva sambil berbisik, "Semua omonganku hanya akting kecuali perasaanmu pada Lemusa Natsir."
Saat bisikan itu selesai, Nia mengubah suaranya menjadi normal. Dan ia berkata, "Mau kan?"
"A-apa yang mau?" suara Iva bergetar. Ia bahkan kebingungan dengan maksud sahabatnya itu.
"Itu, bawa si Musa ke apartemen. Ikut pun aku, temani kalian."
"Ya udah."
Iva dan Nia sama-sama memapah Lemusa ke mobil Iva. Jantung Iva berdegup kencang, aroma maskulin yang tercium harum dari tubuh Lemusa membuatnya seketika ingin meleleh saat itu juga.
"Gimana kalo Lemusanya kita bawa ke apartemenmu? Kan lebih dekat, lagian kalian udah tunangan," usul Iva tiba-tiba. Ia mengenyampingkan perasaannya untuk membuktikan bahwa ia tidak masalah jika Lemusa bersama Nia.
"Ah, jangan. Malas aku harus tampung dia di apartku."
"Ya udah." Mau tidak mau Iva mengalah.
Kali ini yang menyetir Nia. Sedangkan Iva di belakang karena tubuhnya tiba-tiba lelah ntah karena apa.
"Di mana ini?" kata Lemusa dengan suara seraknya. Ia menoleh ke kiri dan kekanan, tampak kebingungan dengan kondisi sekitar.
"Tukang tidur!" sindir Nia menatap jutek Lemusa.
Kening Lemusa mengerut setelah mendengar sindiran tunangannya itu. "Udah malam, pantaslah aku tidur!" balas Lemusa kesal. "Lagian kita lagi di mana? Terus, kenapa ada si Iva di belakang?"
"Banyak tanya!" jawab Nia. "Lebih bagus kau tidur!" nada bicaranya meninggi.
Lemusa sampai menggelengkan kepalanya mendengar jawaban tak sopan dari Nia.
"Ya udah, di mana minum. Aku haus nih!"
"Di situ," kata Nia sambil menunjuk botol air minum 2 liter. Ia menepikan dan menghentikan mobil ketika pemuda itu minum.
"Kenapa berhenti?" tanya Lemusa.
"Nanti ada polisi tidur, minummu terganggu. Proteeeesss lagi sama aku!" jawab Nia.
Setelah beberapa detik sadar, kepala Lemusa kembali pening, dan penglihatannya mulai buram. Sebelum Musa meminumnya, Nia sudah mencampurkan obat tidur yang bertahan hanya beberapa jam. Nia juga melakukan hal yang sama pada Iva, sahabatnya sendiri.
Sudah saatnya menjalankan misi, Nia membatin. Ia menjalankan mobil hingga sampai ke apartemen.
Terlebih dahulu, ia memasuki mobil seorang pria. Robin, namanya.
"Rob, semua udah siap kan?" tanya Nia.
"Tentu aja Bebe." Robin mencium pipi Nia dan tersenyum penuh arti pada kekasihnya itu.
"Ayo kita papah mereka berdua," kata Nia yang tidak ingin melanjutkan cumbuan Robin.
"Siap Beb!"
Robin dan Nia keluar dari mobil, mereka memapah Iva dan Lemusa sekaligus. Sesampainya di depan kamar Lemusa, Nia langsung mengeluarkan kartu kamar milik pria itu. Pintu berhasil terbuka, dan tampaklah keadaan kamar yang gelap dan dingin.
Nia menghidupkan lampu, dan langsung menidurkan Iva di ranjang. Begitupun Lemusa.
Robin dan Nia menarik hembuskan nafas karena lelah.
"Udah selesai kan?" tanya Robin memastikan.
"Belum. Kita harus perhatiin mereka. Takutnya rencana ini ga berhasil. Kan sayang, mana ada kesempatan datang dua kali. Mana ntar lagi aku bakal nikah sama dia! Iiiihhh…" jawab Nia menggebu-gebu.
Robin hanya mengikuti maunya Nia. Tapi setelah menunggu setengah jam, ia mulai kesal. "Kita hanya menonton pertunjukan orang tidur atau gimana ini?"
Tiba-tiba Nia tersenyum malu. sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia berkata, "Oh iya. Aku lupa masukin perangsangnya."
"Bilang lah dari tadi. Aku sampai ngantuk liatin mereka tidur."
"Sorry-sorry." Nia berjalan mendekati Iva. Ia membuka mulut tertutup gadis itu dan menuangkan air campuran pil perangsang ke dalam mulutnya.
"Cepat bantu aku," pinta Nia berbisik. Robin pun segera membantu Nia menjalankan misi.
Setelah semuanya beres, mereka kembali saling bertatapan. "Yakin ini bakal berhasil?" tanya Robin ragu.
"Tentu aja! Pilnya cukup kuat untuk bangkitkan gairah orang dewasa. Sensasinya luar biasa!" kata Nia menjelaskan.
"Udah pernah coba?"
Deg.
Nia terdiam lalu menggeleng, "Ayolah. Aku hanya pernah hb sama kamu, Beb. Bukan siapapun! Masih ingat darah perawanku?" Ia berusaha meyakinkan sang kekasih. "Ini demi pernikahan kita! Aku yakin keluarga bakal batalin perjodohan bodoh ini kalau liat semua yang dibuat mereka berdua."
Akhirnya Robin tersenyum yang membuat Nia lega, kekasihnya itu cepat percaya padanya.
"Yuk Beb, kita liat CCTV dari ruang kendali," ajak Nia.
"Di mana letaknya?"
"Di sebelah sana." Nia menunjuk sebuah dinding yang bahkan tidak ada pintunya.
"Memang ga mungkin kelihatan. Tapi di balik dindingnya ada ruangan. Ikuti aku aja," ajak Nia.
"Ya udah."
Keduanya pergi ke ruang pusat kendali tempat tinggal Lemusa. Nia tahu hampir seluruh isi tempat tinggal Lemusa ini karena Tebazile–Mamanya Lemusa sangat ingin Nia yang mengendalikan putranya yang kaku dan dingin itu.
Di tempat tidurnya Lemusa, Iva terbangun karena merasa tubuhnya panas, dan libidonya meningkat ntah karena apa. Menyadari hal itu, Iva turun dari ranjang, dan mencari saklar lampu.
"Hmmm…" Langkahnya gontai, sambil menggaruk perut. Matanya terpejam, karena belum sadar di mana dia berada.
"Mana lampunya? Mana mungkin berpindah," gumam Iva sambil terus meraba dinding.
"Ah, bodo amat. Aku mau keluar," gumam Iva sambil mencari pintu. Ia merasa aneh sebenarnya dengan ruang tidur tempatnya berada saat ini. Tapi alam bawah sadarnya berpikir, ini pasti imajinasi.
"Hm, ini pintunya." Iva tersenyum senang, dan berusaha memutar gagang pintu. Pintu yang dikunci membuatnya seketika sadar dan panik. "Lah, aku di mana?"
"Emh…"
Iva membalikkan tubuh dan bersikap siaga lantaran mendengar suara seorang Pemuda.
Glek.
Ia menelan ludahnya sendiri kala melihat Pemuda itu mulai bangkit dari tidur, dan duduk sambil mengucek mata.
Dari bentuk badannya sih, itu Lemusa. Tapi kenapa kami berdua ada di sini? Dan, badanku, kenapa rasanya panas...
Iva seolah terhipnotis ketika Lemusa membuka baju, yang memperlihatkan siluet bentuk tubuh sedikit berotot. Alam bawah sadarnya berpikir bahwa ia ingin sekali menyentuh tubuh itu. Sungguh, kakinya tak dapat dikontrol hingga ia melangkah sesuai alam bawah sadarnya.
Lemusa dalam keadaan berbaring, ia terkejut karena seseorang sedang menyentuh tubuhnya. Di saat yang sama, libidonya naik hingga dia membalas sentuhan itu dengan menc•umnya.
Malam panas itu terjadi dalam keadaan gelap. Mereka terlihat begitu menikmatinya, hingga mengulangnya 3 kali.
Keduanya tidur saling memeluk, hingga subuh tiba.
Iva terbelalak, nafasnya seolah terhenti kala melihat wajah seorang Pemuda yang disukainya, Lemusa Natsir, tidur dengannya di satu ranjang.
Jadi semalam itu bukan mimpi?! Jujur saja, Iva merasa kelakuannya semalam adalah mimpi. Mimpi yang terasa nyata, termasuk sentuhan, aroma, bahkan rasa sakit ketika Lemusa pertama kali memasukinya.
Tidak tahunya, hal yang dikiranya mimpi adalah kenyataan. Ia melepas keperawanannya pada Pemuda yang dicintainya. Harusnya dia senang, tapi Lemusa tak lama lagi akan menikah dengan sahabat Iva sendiri.
"Aaaaaaa…" Iva berteriak sambil mendorong Lemusa dengan kedua lutut, dan kakinya. Pemuda itu sukses jatuh ke lantai.
"Akh!" Lemusa menggulung tubuhnya, sambil memeluk perut. Ia menahan sakit karena tendangan Iva.
Dua menit setelahnya, Lemusa mengerutkan kening karena melihat seorang gadis menangis mulai menangis tanpa menunjukkan wajahnya.
"Siapa kau!?" tanya Lemusa siaga. Ia mengucek mata, dan menyugar rambut. Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, ia pun berdiri, tapi siluet tubuhnya terlihat melalui kaca jendela. Kedua netranya sontak membesar. Ia syok.
"Badan?" Ia meraba dada dan perutnya secara bersamaan, secepat kilat berlari ke kamar ganti dan mengunci diri di sana.
"Siapa perempuan itu?" monolog Lemusa.
"Si cerewet Nia, mana mungkin. Rambutnya kan pirang, bukan hitam lebat gitu. Ah, bodo amatlah. Baju, mana baju?" Lemusa membuka lemari dan cepat-cepat berganti pakaian.
"Ngintip dulu kali ya?" Ia membuka sedikit pintu dan menyipitkan matanya kala melihat kembali sosok perempuan asing yang ada di kamarnya.
"Lah, untuk apa aku siaga gini? Wong ini kamarku." Tanpa rasa takut lagi, Lemusa keluar dari kamar. Dia berhenti sambil berkacak pinggang.
Sementara Iva menangis karena membayangkan betapa buruknya dia sebagai sahabat.
Sahabat mana yang tidur sama tunangan sahabatnya? Untuk sekarang, Nia tidak lagi memikirkan perasaannya pada sosok Lemusa. Tidak lagi memikirkan kesuciannya yang telah hilang.
Tatapan Lemusa tertuju pada noda darah di seprai. Dia masih perawan? Sungguh, rasa bersalah mulai merasuk ke dalam hati Lemusa. Aku pasti udah ngerusak masa depannya.
"Siapa namamu?" tanya Lemusa dengan suara lembutnya.
"Hah?" Iva mengangkat kepalanya karena tidak percaya, suara Lemusa bisa terdengar selembut ini.
"Kamu?" Lemusa terbelalak, sontak menunjuk Iva. Sontak keningnya mengerut tidak percaya.
Glek.
Lemusa menenggak salivanya sendiri. Ia sangat marah sekarang. "Kau naik ke ranjangku untuk apa?!" teriak Lemusa.
Na-ik? Naik ranjang apa? Pikiran Iva seketika plong.
"Jawab! Kenapa kau bisa melakukannya!" tanya Lemusa lagi. Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas karena tak habis pikir, sahabat tunangannya dapat melakukan hal sekotor ini, setelah peresmian hubungannya dengan Nia.
"A-aku ga ngelakuin apapun." Iva berusaha membela diri.
"Bohong! Mana mungkin kau bisa ada di sini kalo ga datang, manfaatin kondisiku yang lagi mabuk. Buktinya, malam itu, kau datang dari pintu. Sentuh-sentuh badanku sampai aku terangsang!"
"Aaaaaaa!!!!!!! Tuduhanmu sama sekali ga berdasar! Diam aja! Aku pusing!" Tangis Iva semakin keras mendengar semua tuduhan dari pemuda dingin, yang baru kali ini menunjukkan sisi tempramentnya.
"Aku juga pusing! Sekarang, aku hanya mau kau, jangan kasih tau siapapun tentang malam itu!"
Tak lama setelah mengatakan isi hatinya, Lemusa mengeluarkan lembaran uang dari nakas dan menyodorkan kartu kredit miliknya sambil berkata, "Ini uang, sila pergi kemana pun sampai kau ga kelihatan lagi di mataku, keluargaku, ataupun sahabatmu si cerewet Nia! Kalau masih menampakkan diri, apalagi kasih tau semua yang kita lakuin, aku ga segan-segan buat permaluin kamu juga!"
Mata Iva memerah marah karena Lemusa berani menganggapnya sebagai p•lacur.
Plak! Ia menampar pipi Lemusa dan melempar kartu yang disodorkan Lemusa.
"Aku punya pekerjaan, bahkan uang yang lebih banyak dari kartu sialanmu ini! Jadi, aku juga ga sudi bocorin yang terjadi malam itu. Karena percuma juga, itu sama aja permalukan nama aku di mata orang-orang! Aku masih punya otak, dan asal kau tau Lemusa Natsir, aku bukan merangkak naik ke ranjangmu. Kita terjebak. Itu pasti! Jadi, jangan menunduhku asal. Pake otaknya, selidiki baik-baik!"
Kekesalan Iva sedikit reda setelah menyampaikan unek-uneknya. Gadis non perawan itu turun dari ranjang, dan berjalan tegas, meski harus menahan rasa sakit yang luar biasa.
Pertempuran panas mereka, meninggalkan sakit yang luar biasa di area selan•kangannya tanpa merasakan nikmatnya berc•nta.
Lemusa menatap kepergian Iva dengan perasaan kesal luar biasa. Tapi dia sedang merangkai kata dalam kepalanya.
Sebelum keluar, Iva mengambil dan memakai asal pakaiannya. Tapi saat membuka pintu, pintu itu masih dikunci.
"Lihat Lemusa! Aku pertama bangun sebelum kamu di malam itu, dan aku mau keluar, tapi pintunya kena kunci! Terus kamunya bangun, dan aku ngerasain libidoku naik waktu kamu buka baju! Dan malam itu terjadi gitu aja!"
Aku pikir perempuan itu si cerewet Nia, batin Lemusa.
Sebenarnya, pemuda ini sudah menyukai perempuan yang dijodohkan dengannya, yaitu Nia; karena adanya proses kebersamaan meski karena paksaan dua keluarga. Dan malam itu terjadi begitu aja.
"Aku yakin kita dijebak, Lemusa! Libidoku ga mungkin naik tanpa sebab. Kamarmu penuh AC, tapi panasnya luar biasa! Kau pasti juga gitu! Kita dipasangi perangsang, ntah oleh siapa. Jadi jangan tuduh macam-macam tentang aku!" ucap Iva berusaha menjelaskan opini yang mungkin saja merupakan kenyataannya.
Namun Lemusa tidak dapat percaya begitu saja. "Memang ada orang yang menginginkan kita bersama?!"
"Nia. Dia mungkin aja pelakunya. Dia tawarin aku biar tidur sama Kamu. Dan sekarang, dia bahkan ga ada di sini, dan dia ada sama aku waktu antar kamu ke apartemen. Ya pasti dia masukin obat tidur ke aku dan kamu, makanya kita sukses tidur waktu di mobil. Soalnya aku ngantuk banget waktu itu!"
Tapi, meski sudah dijelaskan panjang×lebar×tinggi, Lemusa tetap kekeuh terhadap pendapatnya.
Pemuda itu berjalan mendekati Iva setelah mengambil kunci dan membukakan pintu kamar untuk perempuan itu.
"Udah, jangan terlalu berhalu. Aku tau kau pembuat komik. Alur ceritamu kan memang rada mind blowing. Jadi, sila keluar, dan tutupi semua kejadian malam ini. Kau ga mau terima uangku, jadi jangan minta pertanggungjawaban tentang keperawananmu. Oh ya, kalau hamil, jangan minta aku jadi ayahnya ya. Karena anak yang bakal aku anggap adalah anak dari calon istriku, Nia Risa! Kau, hanya sahabat kejam yang menusuk dari belakang!"
"Aku juga mana sudi bertemu dengan orang dingin, kejam dan kasar sepertimu!" kata Iva sebelum melangkah keluar dari kamar apartement milik pemuda itu.
Saat menuruni tangga, Iva terus menyeka air matanya. Aku telah salah memilih pujaan hati. Ntah berapa doa kupanjatkan kepada Tuhan supaya menikah dan beranak pinak dengannya. Kuharap Tuhan takkan membuatku bertemu dengannya. Mulutnya, wajahnya. Dan kejadian hari ini benar-benar menyakiti hatiku.
Saat sampai di depan kamarnya, Iva sudah berkomitmen dalam hatinya untuk melupakan pemuda yang sebentar lagi akan menikah dengan sahabatnya itu.
Aku harus keluar dari kota ini secepatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!