"Dasar pelakor, berani kamu menggoda suamiku. Bahkan kalian pergi bersama kemarin." Suara keras penuh emosi itu menyentakku, ia mendekat hendak meraih rambut panjang ini akan tetapi dengan gesit aku berhasil menghindar.
Namaku Hanin, aku adik tiri Naura. Wanita yang suaminya telah direbut oleh perempuan murah di depanku ini. Dia adalah Marsya, istri baru Mas Firman. Kadang aku berfikir, ada untungnya juga kala Mbak Naura menikah aku tak bisa menghadirinya, karena kini di usia pernikahan mereka yang menginjak tiga tahun, Mbak Naura dibuang oleh Mas Firman demi sosok perempuan modis berhati iblis, Marsya.
"Kamu sedang membicarakan dirimu sendiri kah?" sindirku pedas. Enak saja, mengatai diriku ini pelakor, padahal dirinya sendiri juga mantan pelakor. Bahkan Haikal ponakanku harus mengalami perundungan di sekolahnya karena menjadi anak broken home. Mas Firman yang doyan selingkuh sejak Haikal berumur dua tahun, itu cerita Mbak Naura. Tapi, jika menurutku; Mas Firman bukan hanya doyan selingkuh tapi juga rada-rada gila. Melihat wanita bening sedikit langsung kedip-kedip.
"Kamu tuh ya? Bawahan gak tahu diri. Kamu sama Mas Firman itu beda, dia itu boss. Beda dengan kamu yang cuma pegawai biasa. Jadi tolong... Jauh-jauh deh sama Mas Firman, apalagi sekarang aku sedang mengandung buah cintanya."
Aku menggaruk pelipis, ia tak lagi mengataiku pelakor, akan tetapi kenapa malah jadi merendahkanku? Untung aku tahu seperti apa wanita itu dari Mbak Naura. Jadi, aku punya senjata jika sewaktu-waktu perang kita dimulai. Seperti hari ini, hari dimana dia pertama kali melabrakku setelah aku pergi dengan Mas Firman kemarin.
"Mbak Marsya yang terhormat, yang katanya istri Mas Firman. Aku memang cuma pegawai biasa, tapi kan gak ada salahnya dengan apa yang jadi profesiku. Toh awalnya Mbak Marsya juga cuma pegawai Mas Firman kan?" tebakku tepat sasaran, mereka menikah setelah Mas Firman berpisah dengan Mbak Nau . Senyum tipis terbit di bibir ini kala melihat matanya membelalak lebar karena ucapanku.
Aku meninggalkannya begitu saja, meladeni Marsya sama dengan menabuh genderang perang. Dan aku masih ingin menyusun skenario untuk itu.
"Heh..." Marsya menarikku saat aku melewatinya.
PLAKK...
Tangan putih itu mendarat bebas di pipi tanpa aku duga. Sempat ingin membalas, tapi aku melihat siluet Mas Firman mendekat.
Auhh...
Aku terduduk memegangi pipi, lalu meraung berdrama. Nadia sampai menahan gelak tawanya demi melihat tingkah absurd-ku ini.
"Ada apa ini?" tanya Mas Firman.
Aku melirik Nadia, lalu mengangguk singkat sebagai kode.
"Bu Marsya nampar Mbak Hanin, Pak. Saya mau misah, tapi katanya gak boleh ikut campur urusan mereka. Bu Marsya ngata-ngatain Mbak Hanin karena kemarin Bapak ngajak Mbak Hanin survey bahan baju," jelas Nadia membuat Marsya menggeram pelan. Tentu saja Nadia berbohong, karena gadis itu juga eneg akan kelakuan Marsya. Aku sepakat memintanya untuk membantuku berdrama.
"Benar begitu, Sya?"
Mbak Marsya hanya menggeleng berulang-ulang, sementara aku merasa puas karena bantuan Nadia. Gadis itu memang berada di pihakku, dibanding membela wanita itu, ia lebih memilih ikut skenario yang aku susun untuk menuntaskan balas dendam.
***
Pulang kerja, aku mampir ke kontrakan Mbak Naura. Melihat Haikal yang menunduk di teras, aku pastikan ada sesuatu yang tak beres dengan kakak perempuanku itu.
"Kal, Ibu mana?" tanyaku langsung saat menghampirinya.
"Ibu marah sama Haikal, Tante!" akunya menunduk.
Aku meremas tali slingbag yang menggantung di bahu lalu menghela napas panjang, "kenapa? Kamu berantem lagi."
Haikal mengangguk, "aku cuma mecakar wajah mereka yang jahat, Tante. Mereka bilang Ibu gila. Ibuku gak gila, ibu hanya sering marah-marah karena aku nakal."
Aku berjongkok di depan Haikal lalu mengangkat wajahnya, "Ibumu gak gila, iya dia cuma marah kok! Tapi itu bentar, nanti juga baikan lagi." Aku mengusap pelan rambutnya, lalu menarik Haikal ke dalam pelukan. Sesak, rasanya sakit hati ini melihat keadaan Haikal dan Mbak Naura.
"Ayo masuk, kamu sudah makan belum? Tante bawain lauk enak nih," tunjukku pada plastik putih yang tenggorok di kursi. Ayam goreng yang aku beli di perempatan ujung jalan, khusus untuk Haikal karena hari ini aku dapat gaji.
"Wah, makasih Tante. Ibu pasti senang," gumamnya dengan mata berbinar bahagia. Hatiku terenyuh dibuatnya, Haikal memang anak yang baik.
Ku gandeng tangan kecil Haikal dan masuk ke dalam, melihat Mbak Naura duduk memeluk lutut, aku pastikan ada sesuatu yang membuatnya kepikiran.
"Mbak?"
Mbak Naura mendongkak, "Nin? Darimana?"
Bukan menjawab, aku duduk di sampingnya dan mengusap lembut bahu rapuh itu.
"Jangan kaya gini, Mbak! Haikal masih butuh kamu. Jangan gampang marah, dia masih terlalu kecil untuk mengerti kerumitan urusan orang dewasa."
"Aku ketemu Mas Firman," akunya.
"Aku malah tiap hari ketemu, kalau bukan karena membalas rasa sakit Mbak, aku ogah kerja di pabriknya."
"Kamu harus membalas dia, Nin. Mbak sakit hati, Mbak sampai gila, Mbak gak mau dia tersenyum sementara kami,--" napasnya tersengal, bahu rapuh itu mulai bergetar. Detik berikutnya, Mbak Naura hanya bisa menangis terisak-isak.
"Mbak nggak gila, aku tegasin sekali lagi Mbak itu enggak gila. Mas Firman yang gila, laki-laki kurang syukur dan nelantarin anak istrinya!" bisikku lalu merengkuh Mbak Naura ke dalam pelukan. Mengisyaratkan Haikal ke belakang, aku berusaha menenangkan Mbak Naura yang semakin menjadi.
Jika sedihnya sudah lupa, ia akan kembali seperti semula. Mengurus rumah dan segala keperluan Haikal dengan baik. Meski ikatan diantara kami berbeda ibu. Ayah dan Ibu kami tak membeda-bedakan kasih sayang. Mbak Naura tetaplah anak sulung kesayangan Ibu pun denganku yang berstatus bungsu.
Melewati makan malam di rumah Mbak Naura dan sempat menemani Haikal belajar. Sekitar jam tujuh malam akhirnya aku pamit. Berjalan kaki ke ujung gang kemudian memesan ojek online.
Sampai di rumah, aku dikejutkan dengan keberadaan mobil disana. Mobil milik Mas Harsa. Laki-laki itu pasti sudah dari tadi menunggu.
"Mas?" sapaku. Benar saja, wajahnya ditekuk masam menyambutku di dalam bersama Ibu yang keluar dari dapur membawa makan malam.
"Dari mana sih, Nduk? Itu Harsa dari tadi nungguin emang ponsel kamu nggak aktif?" tanya Ibu.
Aku hanya meringis kecil merasa bersalah, "maaf ya, Mas? Aku habis dari rumah Mbak Naura."
"Mbak Naura kumat lagi?" tanyanya membuatku melotot tajam.
"Mbak Naura itu nggak gila ya, Mas!" tekanku.
"Bukan gitu maksud aku, Dek!"
Ibu menghela napas mendengar perdebatan kami, "makan malam dulu, yuk? Mbakmu udah baikan kan? Haikal gimana?" tanya Ibu.
"Sudah lebih baik, Bu." Aku duduk malas, entah kenapa mendengar pertanyaan Mas Harsa membuat mood-ku berantakan.
"Kenapa Mbak Naura gak ikut tinggal disini saja, Bu? Lebih aman kan?" tanya Mas Harsa, lalu menatap kami bergantian.
"Gak semudah itu, disana lebih aman karena jauh dari jangkauan Firman!" lirih Ibu.
Ibu belum tahu saja, kalau sebenarnya Mas Harsa masih memiliki ikatan saudara dengan Mas Firman. Mungkin jika Ibu tahu, entah apakah beliau akan memberi kami restu atau tidak.
"Ada yang sedang kamu pikirkan, Hanin?" Mas Harsa menarikku duduk di depan rumah. Jauh dari pendengaran Ibu untuk bicara serius.
"Ada, banyak." Aku meliriknya sekilas, wajah teduh itu selalu bisa menenangkanku meski kadang tingkahnya sedikit menyebalkan.
"Tentang Mas Firman?" tanyanya tepat sasaran. Dan aku hanya bisa mengangguk lesu.
"Mas Firman semakin gencar mendekati kamu?" tebaknya membuatku diam beberapa saat.
Lagi, hanya anggukan singkat yang aku lakukan mengingat pertanyaan Mas Harsa benar adanya.
"Apa dia menyentuhmu? Bagian mana yang dia sentuh?" Menatapku lekat, tangan Mas Harsa mulai mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih. Pertanda bahwa kekasihku itu sedang berusaha menahan emosinya.
"Nggak, aku selalu menolak. Karena ada hati yang harus aku jaga. Kakak sepupumu itu benar-benar gila," keluhku.
"Memang, makanya aku selalu mewanti-wanti padamu untuk mengurungkan niat. Dendam itu tidak baik, Hanin."
"Aku tahu, biarkan aku memberinya sedikit pelajaran, Mas! Kamu nggak berniat untuk membocorkan rencanaku kan?"
"Aku lebih takut kamu jatuh cinta sama Firman dan meninggalkanku, Hanin." Ada nada gusar di ucapan Mas Harsa. Aku tahu kekhawatirannya karena dia begitu sayang padaku.
Tapi sekali lagi, dendam ini harus sampai pada akhir.
Membiarkan semilir angin malam menemani obrolan kami beberapa waktu. Mas Harsa akhirnya pamit, karena esok dia harus kembali bekerja.
"Hati-hati, Mas!" teriakku seiring mobilnya yang mulai berjalan keluar dari pekarangan rumah.
Ting...
Bunyi getar ponsel membuyarkan lamunanku, menghela napas karena nama Firman terlihat jelas dari notifikasi atas, beberapa pesan berjejalan masuk.
[ Kamu sedang apa, Hanin?]
[ Apa kamu sibuk? Kenapa pesanku tak kamu balas. Istriku lagi mode ngambek, aku capek bujuk-bujuk. Kekanakan sekali dia.]
Aku menghela napas, "rasain kamu, Mas. Punya istri se-sabar Mbak Naura aja kamu campakan. Sekarang dapat istri modelan kaya gitu kamu bilang capek!" lagi aku meneruskan membaca rentetan pesan-pesan Mas Firman.
[ Kalau aja kita bertemu lebih dulu, Nin? Takdir kenapa sebercanda ini sama kita? Aku suka kamu sejak pertama kali kamu masuk pabrik. Sayangnya, statusku... Kamu tahu lah.]
"Dasar buaya darat, playboy cap kaki lima," umpatku menahan kesal.
"Masuk, Nduk. Ngapain ngomel-ngomel sama Hape? Apa belum puas ketemu Harsa-nya?" goda Ibu melongokkan kepalanya dari dalam rumah.
"Ibu, ishhh..." Rengekku kemudian masuk. Berusaha menutupi semuanya dari Ibu, jangan sampai Ibu tahu rencanaku balas dendam untuk Mbak Naura.
***
Pagi hari, karena terlambat aku jadi tak sempat sarapan. Bergegas pergi setelah ojek pesananku datang. Aku menuju pabrik milik Mas Firman yang berjarak lima kilo meter. Langkahku tergesa memasuki gerbang bercat biru tua itu.
"Mbak Hanin telat ya?" tegur satpam jaga.
Aku hanya mengangguk sambil meringis, "iya nih, Pak. Boleh masuk kan?" tanyaku.
"Boleh, tadi Pak Firman pesan kalau Mbak disuruh menemui beliau di ruangannya kalau sudah datang."
Aku mengangguk singkat.
Berjalan pelan memasuki area pabrik konveksi, aku menghempas tubuhku di kursi kerja.
"Mbak Hanin, tumben telat? Nyiapin naskah drama dulu?" goda Nadia berbisik.
"Kebetulan belum, gak tau nanti bakal dapat kejutan apa? Aku ke ruangan Mas Firman dulu, ya?" Aku bangkit, meninggalkan Nadia dengan segala kekepoannya.
Berjalan ke arah kantor, aku mengetuk pintu berulang. Hingga pelakor itu muncul dengan wajah tersenyum aneh.
"Pagi-pagi udah nyamper suami orang, gak ada kerjaan kamu?" hardiknya menatapku tajam.
"Mas Firman memanggilku, jadi aku harus segera masuk." Aku tersenyum simpul, dia pasti kesal karena aku memanggil suaminya dengan panggilan 'Mas' yang terdengar menyebalkan baginya.
"Panggil suamiku 'Pak', dia bossmu!" tegasnya bersedekap.
Mengabaikannya, aku memilih menerobos masuk dan mendapati Mas Firman keluar kamar mandi tanpa memakai baju.
"Oh sial, apa dia habis melakukan sesuatu dengan wanita murah itu? Sepagi ini? Di kantor? Apa dia sengaja memanggilku untuk melihat ini semua, agar Marsya bisa menjatuhkanku. Aku harus memikirkan cara."
"Maaf, Pak." Aku bergegas membalikkan badan dan menunduk, akan tetapi Marsya justru mendorongku masuk.
"Kamu suka dengan Mas Firman kan? Lihat lah tubuhnya, lihat. Dia tampan bukan? Kamu pasti suka, aku berbaik hati membiarkanmu melihatnya," sinis Marsya dengan senyum menjengkelkan.
Mas Firman menatapku terkejut, kemudian melirik istrinya. "Sya, apa-apaan sih? Pagi-pagi sudah ribut, hal kaya gini kamu sampai niat banget manggil Hanin. Kamu dah janji kan semalam gak akan bikin masalah lagi?"
Aku tertegun, memanggil Hanin? Apa dia sengaja meminta tolong satpam agar aku datang ke ruangan ini? Dia pasti sengaja agar aku terlihat bodoh. Tiba-tiba tenggorokanku terasa sangat kering, aku sungguh terlihat konyol di depan mereka.
"Ehem, lain kali nggak usah pesan ke satpam, Mbak. Kalau mau pamer! Pakai segala minta aku suruh datang ke ruangan Pak Firman." aku menekan kata Pak Firman di depannya, Mas Firman menatapku tak enak, gegas aku memanfaatkan keadaan dengan memilih segera pergi dari sana.
"Nin... Hanin..." Mas Firman memanggilku berulang-ulang. Aku memilih tak mendengarnya dan kembali ke tempat kerjaku.
"Ribet ya kalau jatuh cinta sama atasan. Minimal sadar diri lah Mbak, kamu dan Pak Firman itu cuma ibarat 'pungguk merindukan bulan', sindir Maya melirik sinis ke arahku.
"Kamu benar, May. Dan aku bulannya, begitu kan?" Aku tersenyum menatapnya dengan senyum mengejek. Bisa-bisanya semua orang mengenal baik Mas Firman sampai-sampai menilai bahwa laki-laki itu si paling sempurna? Kalau mereka tahu, kelakuan minus-nya yang menelantarkan Haikal dan Mbak Naura demi seonggok sampah yang dipuja-puja, mereka mungkin akan geleng-geleng kepala.
Istirahat makan siang tinggal lima menit lagi. Mas Firman datang menghampiriku dengan box makan siang merk restorant junk food ternama.
"Hanin, gimana kerjaan hari ini? Kain oke kan? Masuk sama permintaan order?" tanyanya basa-basi.
"Oke, Pak."
"Kenapa panggil Pak lagi? Kan aku sudah bilang, kalau kamu bisa memanggilku dengan,---"
"Mas?" tanyaku sarkas.
"Ya, biar lebih akrab."
Aku membalikkan badan, melirik sebentar ke arah Maya yang memperhatikan gerak-gerikku. Lalu pada Nadia yang malah asyik menonton kami seolah menemukan drama tontonan baru.
"Akrab dalam artian?" tanyaku masih membelakanginya.
"Aku ingin lebih dekat denganmu, mungkin jika suatu hari nanti aku tidak tahan dengan kelakuan Marsya. Aku akan memutuskan untuk mengejarmu," akunya terang-terangan.
Aku membalikkan badan, lalu menatapnya tersenyum.
"Aku menunggu saat itu tiba." aku harap, Maya mendengar percakapan kami dan melaporkannya pada Mbak Marsya, biar tahu rasa wanita itu melihat suaminya menggoda wanita lain. Bahkan terang-terangan di depan pegawainya.
"Oh iya, ini makan siangmu. Tadi aku keluar, lalu inget kamu jadi sekalian aku beliin makan siang."
"Seharusnya kamu gak perlu repot-repot, Mas. Apalagi aku orangnya gampang terharu," ujarku.
"Hanya makan siang, kamu gak perlu khawatir kalau Marsya akan datang dan melabrakmu hanya karena hal sesepele ini. Dan kalian..." tunjuknya pada Maya, Nadia, Ririn si paling pendiam.
"Jangan sampai ada yang laporan, atau tanggung sendiri akibatnya," ancam Mas Firman.
"Ck dasar buaya, bilang aja takut diamuk Marsya," umpatku dalam hati.
Menatap box makan siang itu dengan antusias, aku membawanya keluar area gedung dan memilih makan di taman. Menarik Nadia, setelah memastikan Mas Firman sudah kembali ke ruangannya.
"Wah lumayan Mbak, dapat chiken gratis." Nadia menatapku berbinar.
"Kamu aja yang makan, kita tukeran."
"Yakin nih, gak sayang gitu?" tanya Nadia. Ia bukan gadis seegois itu untuk meminta makan siangku mesti kepengen.
"Aku nggak nafsu, hari ini kamu bawa apa?"
"Ini, ayam geprek sambel ijo. Tapi ala-ala rumahan."
Nadia meraih box makan siangku dengan wajah berbinar, sementara aku hanya tersenyum melihatnya. Sejenak ia menatapku sebentar dengan kening berkerut seolah ingin menanyakan sesuatu.
"Kenapa sih, Mbak Kalau dapat makan siang dari Pak Firman selalu ditukar dengan milikku? Gak mungkin kan Mbak gak nafsu makan berkali-kali?"
Aku menghela napas tersenyum, "ah andai kamu tahu Nad, kalau aku selalu teringat dengan Haikal jika makan makanan enak dari Mas Firman. Hanya di waktu bedua dengannya saja aku mau makan makanan darinya."
"Haikal?" tanya Nadia heran.
"Ya, Haikal."
Nadia diam, dia mungkin sedang menerka-nerka siapa Haikal hingga ucapan terakhirnya berhasil membuatku tersedak sambal.
"Aku tahu, Mbak merasa bersalah karena di belakang Mas Haikal dekat dengan Pak Firman. Tapi Mbak, jodoh kan gak ada yang tau..."
"Sudah makan, nanti ketahuan!" tegasku setelah batuk ini mereda.
Pukul lima lebih, aku keluar gedung setelah mendengar bell tanda pulang. Setengah berlari aku bergegas pergi, Mas Harsa sudah menungguku di depan. Hingga cekalan tangan Mas Firman membuatku tersentak.
"Kenapa harus lari?" tanyanya mengejutkanku. Aku gelagapan, takut kalau Mas Firman tahu keberadaan Mas Harsa di depan nanti, jadi sebisa mungkin aku harus membuatnya menjauh.
Berusaha melepas cekalan tangannya, aku menunduk. "Ada urusan."
"Ayo aku antar?" tawarnya.
"Kurang kerjaan banget ya, Mas? Mbak Marsya tar ngamuk, drama lagi. Aku dilabrak lagi. Aku gak mau ya jadi orang ketiga." Aku melipat bibir, pura-pura ngambek, padahal aslinya aku gedeg banget dengan tingkahku sendiri yang kelewat nekad.
"Tapi, Nin..." Mas Firman tampak keberatan hingga akhirnya kaki ini memilih berhenti tak melanjutkan langkah.
"Apa Mas? Alasan apa yang buat Mas nekad sementara sudah memiliki Mbak Marsya?"
"A-ku, aku suka sama kamu!" bukan di tempat romantis, bukan pula di taman, melainkan di depan gedung Firman menyatakannya. Perasaan menggebu-gebu yang dirasakan kala melihat Hanin. Firman menyukai gadis itu dengan segala sikap dan penolakannya.
"Suka, hahaha... Mas Firman jangan bercanda deh," balasku seolah tak percaya. Padahal aslinya, aku senang karena itu artinya langkahku membalaskan dendam Mbak Naura semakin lancar.
"Aku serius, kalau kamu mau aku akan meceraikan Marsya agar dia tak lagi seenaknya sama kamu," jelas Mas Firman membuatku membelalakkan mata, akan tetapi sejurus kemudian aku berhasil menguasai diri dan memasang senyum menggoda.
"Aku mau, kalau begitu aku kasih Mas waktu dua minggu." Aku berlalu cepat meninggalkannya yang seperti terkejut mendengar jawabanku. Tak lagi memperdulikan hal itu, aku masuk ke dalam mobil milik Mas Harsa yang menungguku agak jauh dari jalan depan pabrik dan memintanya membawaku pergi sesegera mungkin.
"Kenapa? Panik gitu? Mas Firman ngejar kamu lagi?" cerca Mas Harsa. Aku hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menetralkan diri.
"Gak tau, tadi reflek lari karena merasa seram aja, Mas. Kayak gimana ya? Terlalu mainstream gak sih rencanaku?"
"Mas gak tau, ya! Yang jelas bukan cuma kamu aja yang gak tenang, Mas juga. Sebelum semuanya kejadian mending stop aja, Nin. Dendam itu gak baik, jangan jadi pelakor."
Hanin melotot sempurna, "Mas ngatain aku pelakor? Aku ini pacarmu loh kalau gak lupa. Aku bukan pelakor, meskipun yang aku lakukan untuk merusak rumah tangganya," kesalku melipat tangan di dada.
Aku memalingkan wajah ke jendela, emosi sendiri meski aku paham apa yang Mas Harsa takutkan. Aku selalu menganggapnya berlebihan, padahal kalau dipikir-pikir memang itu lebih baik. Artinya dia beneran cinta kan?
"Dua minggu, Mas. Setelah itu, aku akan angkat tangan dan lebih fokus ke hubungan kita. Kamu mau ngajak nikah pun hayo," lirihku seraya mengusap lembut bahunya.
"Aku tahu itu, dan aku percaya. Sekarang makan dulu," ajak Mas Harsa. Tanpa terasa mobilnya sudah berbelok ke salah satu resto viral yang terkenal dengan menu sederhananya.
Itu yang aku sukai dari Mas Harsa, ia selalu memprioritaskan diriku bahkan tak segan memilih tempat dimana aku merasa nyaman. Padahal, dia bisa saja makan di restoran mewah dengan masakan khas luar.
"Dua minggu ya, Nin." Mas Harsa menatapku lekat, diraihnya jemari mungil ini lalu menggandengku masuk dan memilih tempat duduk. Bernapas lega, karena resto dalam keadaan lenggang. Mas Harsa memanggil pelayan setelah menulis pesanan kami di kertas. Setelahnya ia kembali menatapku lekat-lekat.
Aku merasakan degup jantungku dua kali lebih cepat dari biasanya, Mas Harsa masih menatapku. Bersama dengan itu, makanan yang dipesan pun datang.
"Ayo makan, aku tahu kamu diam karena lapar," serunya mencoba mencairkan suasana.
Aku tersenyum, setelah pelayan pergi tanganku terangkat mengusap lembut pipinya.
"Mas Harsa ganteng."
"Nin, mulai lagi. Jangan bikin aku salah tingkah. Masa kamu gombalin aku," lirih Mas Harsa. Pipinya bersemu merah, dia memang laki-laki yang menggemaskan jika sudah salah tingkah. Kentara sekali dari pipinya yang merona tiap kali aku memujinya. Padahal kan dia memang ganteng, jauh sekali kalau dibandingkan dengan Mas Firman.
"Ya, emang ganteng kok. Kan aku jujur," seruku kemudian menarik tangan, akan tetapi dia malah meraih tanganku dan mendaratkannya kembali di pipi.
"Gantengan mana sama Mas Firman?" tanyanya membuatku tersenyum tipis. Dilihat dari pertanyaan Mas Harsa, aku tahu kalau dia cemburu dengan Mas Firman. Selain itu, dia juga tak ingin aku berpaling darinya, mungkin.
"Jadi sebenarnya Mas cemburu sama Mas Firman?"
"Aku selalu cemburu, Hanin."
Lagi, aku tersenyum mendengar pengakuan Mas Harsa. Takut tiba-tiba terkena diabetes karena ucapannya yang menurutku manis, meski cuma pengakuan rasa cemburu. Aku senang karena bersama Mas Harsa aku merasa sangat dicintai.
Semalaman dilanda gusar karena permintaan Mas Harsa membuatku tak bisa tidur dengan nyenyak. Permintaan untuk berhenti itu berulang-ulang, membuatku jadi bimbang apakah aku harus melanjutkan rencanaku atau berhenti saja.
"Aku mohon, Nin. Berhenti, kamu tahu Firman dan istrinya seberapa mengerikan? Aku tak ingin terjadi sesuatu buruk denganmu. Aku sayang sama kamu, Nin. Please, kita bisa berusaha bersama untuk membuat Mbak Naura dan Haikal bahagia." Mas Harsa menatapku lekat dan masih jelas sekali di ingatanku malam itu.
Keheningan menerpa kami. Dia dengan ketakutannya dan aku dengan keegoisanku.
Egois? Apa iya aku seegois itu?
Grep...
"Hanin, apa Harsa yang menyuruhmu mendekatiku, hah?"
Aku tersentak, lamunanku buyar saat jalanku sudah lagi berarah ke pintu masuk konveksi. Mas Firman mencekal tanganku erat, membuatku meringis menahan sakit.
"Lepas, Mas!" Aku meronta, berusaha melepaskan diri dari cekalan tangannya.
"Gak akan, sebelum kamu jawab. Apa tujuanmu masuk sini untuk menarik perhatianku, apa itu karena Harsa? Kamu membantunya membalas dendam istri pertamaku? Hah?"
Glekkk...
Aku hanya bisa diam seribu bahasa, rasa takut menyelimuti. Bukan takut kepada Mas Firman, tapi takut bahwa dia tahu rencanaku ini karena dendam Mbak Naura.
"Maaf, aku tidak tahu siapa istri pertama Mas Firman, aku memang mengenal baik Mas Harsa, tapi aku tidak tahu menahu apa yang terjadi diantara kalian. Atau..." Aku membungkam bibir pura-pura terkejut, "jangan-jangan Mas Firman mencampakkan istri pertama demi Mbak Marsya? Oh Ya Tuhan!!"
Mas Firman gelagapan, "siapa bilang? Aku tidak pernah mencampakkan siapa pun. Tapi, kalau kamu bersekongkol dengan Harsa untuk mengusikku. Aku tak akan segan."
Cekalan di tangannya menguat, aku hanya bisa menahan diri untuk tak mengamuk atau mencakar wajahnya. Dia laki-laki, terlalu kuat untuk aku lawan sendiri.
"Apa ini yang kamu bilang suka denganku, Mas? Bahkan baru sehari kamu bilang akan menceraikan Mbak Marsya," gumamku lirih mengiba. Dan bisa aku lihat, raut wajah Mas Firman yang berubah drastis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!