Sebagian orang percaya ada dunia lain selain dari dunia yang kita tempati sekarang ini.
Dunia itu di huni oleh mahluk yang sering kita sebut hantu, setan atau arwah yang bergentayangan.
Ada beberapa yang memang senang menganggu manusia, tetapi ada juga arwah-arwah penasaran yang berusaha mencari ketenangan untuk bisa pergi ke alam baka dengan tenang.
Mereka dapat melihat manusia, tetapi tidak semua manusia dapat melihat mereka.
Hanya manusia yang memiliki kemampuan khusus saja yang dapat melihat mereka, manusia yang memiliki Indra ke enam.
Tidak semua manusia yang memiliki Indra keenam perduli dengan penghuni dunia lain, beberapa menganggap mereka sebagai penganggu dan harus di usir, beberapa menganggap mereka sebagai bahan konten untuk meraup keuntungan.
Padahal mereka juga punya cerita yang ingin di bagikan kepada kita. Pada dasarnya, mereka sama seperti manusia hanya saja sudah berbeda alam.
Dari segelintir orang yang memiliki Indra keenam ternyata ada satu orang yang perduli dengan para arwah gentayangan ini.
Seorang pemuda yang hidup dalam kesederhanaan berprofesi sebagai pramusaji di sebuah restoran cepat saji, pemuda ini bernama Indra.
Indra menyadari kelebihannya sejak dia berusia enam tahun. Saat itu dia sangat kesulitan membedakan antara manusia dan arwah.
Dia terbiasa berteman dengan arwah kerena menurutnya mereka lebih menyenangkan, dia terbiasa berbincang-bincang dengan mereka.
Rina adalah arwah gentayangan pertama yang curhat dengan Indra, awalnya Indra mengira kalau wanita yang sedang berdiri di bawah pohon adalah wanita yang tersesat.
Indra menghampirinya untuk membantunya, tetapi ternyata Rina adalah hantu gentayangan. Rina bunuh diri dengan cara mengantung diri di bawah pohon di mana dia berdiri saat ini.
Rina menceritakan kisah pilunya kepada Indra, setelah dia bercerita kepada Indra dia merasa lega dan dapat menerima nasib yang menimpanya.
Indra merasa kisah Rina sangat unik sehingga Indra membuatnya menjadi sebuah novel. Kisah Rina merupakan novel perdana Indra di Novelltoon dan langsung banyak yang membacanya.
Rina adalah hantu yang sangat cerewet kalau dia adalah manusia mungkin Indra sudah menyumpal mulutnya dengan lakban.
Seharusnya Rina sudah dapat pergi ke dunia baka tetapi dia tidak mau, dia mau menolong arwah lain yang bergentayangan untuk bertemu dan curhat dengan Indra.
Rata-rata arwah yang dibawanya adalah wanita kebanyakan merupakan korban pemerkosaan atau pembunuhan ada juga yang bunuh diri.
Setelah mereka curhat dengan Indra mereka merasa tenang dan lega lalu pergi ke alam baka dengan tenang.
Indra juga merasa diuntungkan dengan kisah para arwah ini karena dari kisah mereka Indra mendapatkan inspirasi untuk menulis Novelnya. Dia menambahkan cerita imajinasinya sendiri supaya dapat menghasilkan tulisan yang menarik.
Tidak di sangka tulisannya banyak di sukai oleh para pembaca sehingga kini dirinya sudah dapat menikmati hasil dari tulisannya.
Hari ini Indra mengalami hari yang sangat melelahkan restoran cepat saji tempatnya bekerja sangat ramai pembeli.
Sejak restoran di buka sampai shif nya berakhir dia tidak berhenti mengantarkan pesanan ke meja pelanggan. Tidak hanya mengantarkan pesanan Indra juga harus membersihkan meja dan menata meja kembali.
Setelah shifnya berakhir Indra langsung menuju tempat parkir lalu memacu motor nya secepat yang dia bisa.
Dia sudah tidak sabar membaringkan tubuhnya di kasur yang tidak terlalu empuk, tetapi nyaman di kamar kosannya yang kecil.
KLEK...
Indra membuka pintu kamar kosnya, dalam sekejap harapannya sewaktu dalam perjalanan pulang sirna.
Indra melihat Rina sudah membawa arwah seorang wanita di kamar kosannya.
“Loe membawa hantu baru lagi, Rin?.”
Hantu yang bernama Rina itupun tersenyum dan menjawab, “Iya, dia sudah dua hari jadi arwah gentayangan.”
Indra memandang arwah gentayangan yang di bawa Rina dari ujung kepala hingga kaki,
“dia cantik sekali, sayang dia itu hantu bukan manusia.” Gumamnya dalam hati.
Indra meletakan tasnya di atas meja lalu membaringkan tubuhnya yang sudah penat di atas kasur. Indra memejamkan matanya sejenak memijit tulang hidungnya lalu duduk di pinggir tempat tidurnya.
“Nama loe siapa? Terus bagaimana loe bisa meninggal?.”
“Nama gue Sundari, gue korban pembunuhan, kata Rina loe penulis novel dan loe biasa menulis cerita dari kisah para arwah gentayangan yang curhat ke loe. Gue minta tolong loe tulis kisah gue secara mendetail untuk membantu detektif yang menangani kasus gue.”
“Oh...begitu ya, berat juga misi gue Yach. Baru kali ini ada arwah yang request ke gue. Biasanya sih gue cuma pakai ide ceritanya aja sih untuk alur ceritanya gue karang sendiri.”
“Tapi untuk kali ini loe jangan bikin alur sendiri gue mau loe nulis kejadian yang sebenarnya supaya detektif bisa mengungkap pembunuhan ini.” Ucap Sundari memelas.
Indra berpikir sejenak “astaga nih cewe tahu cara nulis novel gak sih? Ya kalau gue bikin alurnya ikutin ceritanya dia dua bab juga dah kelar.” Gumam Indra dalam hatinya.
Tetapi Indra adalah penulis yang hebat dia tahu apa yang harus dia lakukan, dia menyanggupi permintaan Sundari.
“Gue yakin loe bisa, nanti gue bilang ke Tuhan kirim jodoh buat loe.” Sundari menggoda Indra.
“RINAAA!!!! Loe cerita apa ke Sundari?.”
“He..he...gue keceplosan ndra, lagian juga kan memang faktanya seperti itu loe masih jomblo kan.” Rina menjawab tanpa merasa bersalah.
Ya, kenyataannya memang seperti itu, sampai saat ini Indra masih jomblo karena memang dia sering berbicara sendiri sehingga banyak yang mengira kalau Indra gila tidak ada wanita yang mau mendekat kepadanya.
Indra menarik nafas panjang berpikir sejenak lalu memandang ke arah kedua hantu wanita di hadapannya, lalu dia berkata perlahan,
“Nanti kalau terjadi apa-apa sama gue kalian berdua bisa lindungi gue gak?.”
Indra berkata seperti itu karena apabila dia menulis kisah ini dia akan berurusan dengan pihak kepolisian dan seorang pembunuh.
Rina dan Sundari saling berpandangan “kita akan lakukan apapun buat melindungi loe dan keluarga loe ndra yang penting jasad Sundari di temukan dan penjahat itu di tangkap, gue akan bantu.”
Indra meminta Sundari menceritakan kisahnya secara lengkap dari awal hingga akhirnya dia dibunuh.
Indra membuka laptop nya tetapi dia tidak langsung mengetik kata, dia hanya terdiam memandang layar laptopnya.
“Gue punya pertanyaan, memangnya detektif itu suka baca novel di Novelltoon? Seandainya dia suka baca novel bagaimana caranya membuat dia baca novel gue kan di Novelltoon banyak novel yang lain?.”
“Kalau masalah itu serahin ke gue, gue hantu yang berpengalaman.” Celetuk Rina dengan penuh rasa percaya diri.
“Oke lah kalau begitu. Sundari sepertinya untuk nama loe dan keluarga loe gue akan pakai nama asli tetapi untuk yang lainnya gue akan pakai nama samaran, gimana loe setuju kan?.”
Sundari setuju dengan usul Indra supaya detektif sadar kalau kisah ini adalah kisah asli.
Indra segera membuka laptopnya, dia bersiap menulis kisah Sundari. Indra meminta Sundari tetap berada di samping nya sambil menceritakan tentang keluarganya.
Dibesarkan di desa kecil tanpa kehadiran seorang ayah sejak dia berusia lima belas tahun membuat gadis bernama Sundari harus membantu ibunya mencari nafkah.
Ayahnya meninggal karena penyakit paru-paru yang sempat melanda desanya. Sejak ayahnya meninggal Ibunya bekerja sebagai tukang cuci di kota yang jaraknya tidak terlalu jauh dari desanya.
Sebagai anak pertama dia memiliki beban untuk membantu ibunya mencari nafkah untuk menghidupi ke tiga adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dengan cara berjualan di depan rumahnya sepulang sekolah.
Beruntung dia adalah gadis yang cerdas sehingga dia mendapatkan beasiswa prestasi dari sekolahnya. sehingga dia dapat menyelesaikan pendidikannya hingga tamat SMK.
Di desa tempat tinggalnya tidak banyak lowongan pekerjaan. Sundari meminta ijin ibunya untuk pergi ke kota besar untuk mengadu nasib di sana supaya ibunya tidak perlu lagi menjadi buruh cuci di kota.
Ternyata mencari pekerjaan di kota besar juga cukup sulit di tambah dia bukanlah seorang sarjana, beruntung ada kerabat yang tinggal di kota besar jadi untuk sementara Sundari tinggal bersama kerabat dari ibunya yang bernama Om Dani.
Om Dani sendiripun hanya bekerja sebagai seorang supir di sebuah perusahaan. Dengan penghasilan dari pekerjaan inilah dia mampu membeli sebuah rumah dengan cara kredit.
Suatu sore sepulang dari bekerja, Om Dani memanggil keponakannya Sundari, “Sundari perusahaan tempat Om bekerja membuka lowongan Cleaning Servis. Apakah kamu mau bekerja sebagai cleaning servis?.”
Meskipun pekerjaan itu jauh dari harapannya, tetapi Sundari menerimanya. Bagi dia yang terpenting sekarang adalah dia mendapatkan penghasilan sehingga dapat membantu ibunya menghidupi ketiga adiknya.
Satu tahun sudah Sundari bekerja sebagai cleaning servis meskipun pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang dia harapkan namun, dia melakukannya dengan penuh tangung jawab. Kini Sundari tidak lagi tinggal bersama Om Dani, dia memilih untuk kos dekat dengan perusahaan.
Pagi hari di hari ini sama seperti pagi hari di hari kemarin dan kemarin, ya setiap pagi memang selalu seperti ini, Sundari datang ke kantor lebih awal daripada karyawan kantor yang lain.
Sundari pergi ke pantry menyalahkan dispenser supaya saat semua orang datang air dalam galon sudah panas siap untuk menyeduh teh atau kopi.
Setelah itu dia berjaga di lobi kantor memastikan lantai tetap bersih meskipun banyak karyawan yang berjalan keluar masuk lobi.
Menjelang siang Tuan Muda Fredy berjalan tergesa-gesa memasuki pintu loby. Melihat pimpinan perusahaan ini datang Sundari segera berdiri. Tuan Fredy berhenti sejenak memperhatikan Sundari lalu bertanya,
“Apa pendidikan terakhir mu?.”
“Pendidikan terakhir saya SMK Tuan.” Sundari menjawab dengan wajah tertunduk dan suara yang tidak terdengar jelas.
“Hei...!kalau bicara lihat lawan bicara mu jangan melihat lantai memangnya aku semut, ayo angkat wajah mu jawab dengan keras pertanyaan ku tadi, aku belum mendengar jawabanmu suara mu kecil sekali.”
Dengan takut Sundari mengangkat kepalanya perlahan lalu berkata dengan suara sedikit lebih keras, “Pendidikan terakhir saya SMK Tuan.”
“Hmm...bagus kalau kamu lulusan SMK. Ayo ikut aku ke ruanganku!"
Sundari segera mengikuti Tuan Fredy dari belakang sambil tetap membawa alat pel nya karena dia menyangka Tuan Fredy akan menyuruhnya membersihkan ruangannya.
"Tinggalkan alat pel itu di luar! aku ada tugas penting untuk mu."
Sundari meletakan alat pelnya di luar ruangan, dengan wajah yang sedikit bingung dia masuk ke dalam ruangan Tuan Fredy.
"Duduklah di meja itu!," ucap Tuan Fredy sambil menunjuk meja yang ada di salah satu sudut ruangan. Di atas meja itu ada setumpuk dokumen.
"Tugas mu adalah merapikan dokumen itu di masukan dalam satu file holder, tetapi sebelum itu kami harus scan setiap halamannya supaya kita punya soft copy nya."
“Ta...ta...tapi Tuan.”
“Tenang aku akan meminta kepala kebersihan untuk mencari orang mengantikan mu di pintu lobi,” ucap tuan Fredy seolah dia tahu apa yang ada di pikiran Sundari saat itu.
Sundari segera duduk lalu mulai menyalahkan komputer tetapi dia bingung bagaimana cara mengoperasikan scaner.
“Tuan aku tidak tahu cara mengunakan scaner.” Ucap Sundari bingung.
Tuan Fredy lalu memanggil seorang yang bernama Dewi untuk datang ke ruangannya. Dewi adalah sekretaris Tuan Fredy.
“Dewi tolong ajarkan anak itu cara mengoperasikan scaner.”
Wanita bernama Dewi itu memandang remeh ke arah Sundari karena Sundari mengenakan seragam cleaning servis.
“Pak, biar saya saja yang melakukannya jangan sampai nanti kacau dia kan hanya cleaning servis.”
“Bukankah kamu selalu mengeluh kalau pekerjaan mu sudah terlalu banyak? Jadi ajarkan saja anak itu lalu kembali ke meja mu dan selesaikan pekerjaanmu! Lagipula dia itu lulusan SMK dia pasti bisa.”
Dengan berat hati Dewi mengajarkan Sundari cara mengoperasikan scaner. Untunglah Sundari anak yang cerdas dia langsung mengerti dan langsung dapat melakukan hal yang di ajarkan Dewi dengan cepat, padahal Dewi menjelaskan dengan sangat cepat dengan tujuan membuat Sundari bingung dan akhirnya dia yang akan mengerjakan dokumen itu di ruangan itu bersama Tuan Fredy.
Tiba-tiba Sundari menghentikan ceritanya lalu protes kepada Indra.
“Eh tunggu dulu kok loe nulis gitu sih ndra?.” Sundari tampak tidak setuju dengan apa yang di tulis Indra.
“Sundari please gue cuma sekedar kasih bumbu aja biar ceritanya menarik, oke.”
“Terserah loe lah.”
Sundari lalu melanjutkan kisahnya.
“Dah ngerti belum?.” Tanya Dewi dengan nada ketus.
“Iya mbak saya sudah mengerti.”
“Awas kalau nanti loe panggil gue lagi, kerjaan gue banyak gak cuma ngajarin loe doang kalau gak mampu bilang aja ke Pak Fredy.”
“Saya sudah ngerti kok mbak.” Sundari menjawab Dewi sambil membalik halaman dokumen yang akan di scan.
“Sombong banget,” Ucap Dewi lirih sambil menatap Sundari dengan tatapan tajam.
Dewi lalu berjalan menuju meja Tuan Fredy,
“Pak, saya sudah mengajarkan Sundari. Apakah ada hal lain yang perlu saya lakukan?.”
“Tidak silahkan lanjutkan pekerjaan mu.”
Dengan langkah yang berat Dewi berjalan menuju pintu, sebelum membuka pintu dia menyempatkan melihat Sundari sekali lagi.
Dirinya semakin jengkel karena memang Sundari dapat melakukan pekerjaan itu. Dengan kesal Dewi membuka pintu lalu melangkah keluar ruangan.
Satu persatu Sundari membalik halaman dokumen yang menumpuk, sedikit demi sedikit tumpukan itu semakin berkurang.
Kruk...kruk...kruk...
Perut Sundari sudah merasa lapar, dengan perlahan dia melihat jam dinding yang ada di ruangan itu, “astaga sudah jam dua belas lewat pantas perut ku lapar sekali.” Ucapnya lirih.
Sundari hanya bisa menahan rasa laparnya sambil terus memandang Tuan Fredy dan berharap bosnya itu menyuruhnya beristirahat.
Cacing di dalam perut Sundari sudah meronta tetapi Tuan Fredy sangat sibuk berbicara di telepon sepertinya itu adalah urusan yang sangat penting.
Merasa ada yang memperhatikannya Tuan Fredy berhenti sejenak melihat jam tangannya lalu tersenyum kepada Sundari,
“Ah...Sundari pergilah beristirahat untuk makan siang. Lain kali kalau sudah jam dua belas siang keluar saja tidak perlu aku suruh karena aku terbiasa melewatkan jam makan siang.”
Dengan sopan Sundari berpamitan untuk beristirahat, dia segera berlari kecil menuju lokernya di ruangan petugas Cleaning Servis. Dia segera mengambil bekal makan siangnya yang sudah dia siapkan tadi pagi.
Setiap hari Sundari selalu membawa bekal makan siang, supaya dia dapat berhemat karena dia harus membayar sewa kos dan mengirim uang kepada ibunya di desa.
Apakah Tuan Fredy suka dengan hasil kerja Sundari?
Apakah Mbak Dewi memang benar-benar merasa cemburu dengan Sundari?
Lanjut baca bab berikutnya ya......
Sementara Sundari sedang menceritakan kisahnya kepada Indra, telah terjadi sesuatu di kantor polisi tempat di mana kasus hilangnya Sundari di tangani.
Seorang pria bertubuh tegap datang ke kantor polisi. Kedatangannya di sambut ramah oleh seorang petugas,
“Selamat siang pak, ada yang bisa Saya bantu?.”
Dengan suara yang berat dan penuh wibawa pria itu menjawab,
“Apakah Kapolda sudah datang? Saya ingin menemuinya, bilang saja teman lama ingin menemuinya.”
Dengan langkah ragu petugas itu berjalan masuk ke dalam ruangan Kapolda, tidak sampai satu menit petugas itu segera keluar dan mempersilahkan pria itu masuk.
Sayup-sayup terdengar dari luar suara tawa pak Kapolda dengan tamunya entah apa yang sedang mereka bicarakan, lalu suasana kembali hening.
“Beres pak, saya akan memerintahkan anak buah saya untuk menghentikan penyelidikan.” Ucap Kapolda dengan penuh rasa hormat.
“Bagus-bagus, aku tahu aku selalu bisa mengandalkanmu. Aku akan segera mengirimkan bonus ke rumahmu.”
Setelah mengatakan hal itu, pria bertubuh tegap itu segera meninggalkan kantor Polda.
Kapolda segera memanggil semua personil yang sedang menyelidiki kasus Sundari yang di laporkan hilang oleh pamannya.
Dua hari lalu paman Sundari datang ke kantor polisi melaporkan keponakannya yang menghilang. Seorang detektif ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini
Baru dua hari dia menyelidiki kasus ini dan dia masih dalam tahap mengumpulkan informasi tetapi hari ini Kapolda memanggilnya untuk menghentikan penyelidikannya.
“Aneh mengapa tiba-tiba Kapolda memerintahkan menutup kasus ini padahal kasus ini belum selesai, apa yang harus aku katakan kepada paman dari gadis ini?.” Gumamnya dalam hati.
“Maaf Pak, mengapa tiba-tiba bapak menutup kasus ini?.”
“Ah...ini hanya kasus biasa, nanti juga gadis kampung itu akan pulang sendiri, biasanya seperti itu jadi jangan buang energi untuk kasus sepele.”.
“Oke Siap, saya akan menutup kasus ini “ detektif itu pun meninggalkan ruangan Kapolda.
Namun hati kecilnya menangkap sesuatu yang tidak beres. Detektif Heru duduk termenung di meja kerjanya memandang foto Sundari dan kembali melihat berkas penyelidikannya. Sampai tiba-tiba seorang temannya yang juga adalah seorang detektif mendekatinya dan berbisik.
“Detektif Heru apakah tadi kapolra memanggilmu untuk menutup sebuah kasus?.”
“Ya, bagaimana kamu tahu?.”
Rekannya itu menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah detektif Heru,
“Hal ini sudah sering terjadi, dulu juga Kapolda memaksaku menutup sebuah kasus hilangnya seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Tidak hanya itu saja seingat ku beberapa detektif juga mengalami hal seperti itu.”
“Kira-kira mengapa Kapolda meminta kita menutup kasus-kasus itu? Padahal kasusnya belum selesai? Apakah kamu tahu sesuatu?.”
“Entahlah, aku rasa memang ada sesuatu yang tidak beres, sepertinya kasus-kasus itu saling berhubungan.”
“Heru, lebih baik kamu turuti saja perintah Kapolda, tutup kasus ini lalu kamu bisa mengerjakan kasus lain.” Rekannya memberikan saran.
Tetapi detektif Heru tidak menuruti saran temannya dia tetap ingin menyelidiki kasus ini.
Sampai akhirnya dia tahu kalau saat itu ada seorang pria yang datang menemui Kapolda lalu setelah pria itu pergi kalpolda memerintahkan Heru untuk menutup kasus ini.
Detektif Heru semakin tertantang untuk menyelidiki kasus ini, hatinya bertanya-tanya siapakah pria ini, apalagi terdengar desas-desus kalau Kapolda melindungi seseorang.
“Heru apakah kamu berniat untuk tetap menyelidiki kasus ini?.” Seorang rekannya bertanya.
“Ya, aku ingin tahu siapakah pria yang menemui Kapolda tempo hari dan apakah Kapolda juga terlibat. Apakah kamu mau membantuku?.”
“Tidak, aku tidak ingin terlibat masalah. Lagipula aku yakin seratus persen beberapa hari lagi pasti pamannya Sundari akan mencabut laporannya.” Rekannya segera meninggalkan detektif Heru.
Di kediaman Om Poli, paman dari Sundari di sore hari yang tenang seperti biasanya tiba-tiba seseorang yang tidak mereka kenal mengetuk pintu rumah itu.
Istri Om Poli membuka pintu rumah, seorang pria yang tidak di kenalnya sudah berdiri di depan rumahnya,
“Ibu, katakan kepada suami mu untuk mencabut laporan orang hilang di kantor polisi dan terimalah ini sebagai imbalan, ini baru setengah kalau nanti suami mu sudah mencabut laporan nya aku akan mengirim sisanya tetapi kalau suamimu tidak melakukannya, kalian akan menangung akibatnya.”
Setelah mengatakan hal itu orang itu segera pergi meninggalkan istri Om Poli yang diam terpaku. Orang itu melesat pergi dengan mobil pribadinya tetapi istri Om Poli tidak memperhatikan nomer plat nya.
Setrlah tersadar Tante Lina memandang bungkusan yang ada di kedua telapak tangannya, dengan sangat hati-hati dia membuka bungkusan itu. Namun dia tersentak saat melihat isi bungkusan itu lalu dia berteriak memanggil suaminya.
“Poli...poli....”
Om Poli segera menghampiri istrinya, wajah istrinya terlihat pucat “Lina ada apa mengapa wajah kamu pucat? Siapa tadi yang datang?.”
Tanpa berbicara Lima langsung memberikan bungkusan yang ada di tangannya kepada suaminya. Dengan perlahan Poli menerima bungkusan itu lalu membukanya perlahan,
“Astaga Lina, darimana kamu dapatkan uang sebanyak ini?.”
“Da...da...dari tamu yang datang tadi tapi dia bilang kamu harus mencabut laporan orang hilang di kantor Polisi. Jumlah yang sekarang ini baru setengah nanti dia akan berikan sisanya kalau kamu sudah mencabut laporannya.”
“Apa?? Kurang ajar, orang itu pasti yang telah menculik Sundari aku curiga jangan-jangan mereka adalah komplotan perdagangan manusia. Aku tidak akan mencabut laporan itu, aku mau keponakanku di temukan.” Ucap Poli geram.
“Ta...ta ...tapi...orang itu sudah mengancam kalau kamu tidak melakukannya maka kita akan menangung akibatnya.”
Lina menangis tersedu dia memohon kepada suaminya untuk mencabut laporannya karena dia kuatir kalau orang yang baru saja datang akan membunuh mereka sekeluarga.
Poli kemudian menghubungi detektif Heru dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Mendengar cerita Poli, detektif Heru langsung datang ke sana.
“Nyonya Lina apakah anda melihat wajah pria itu?.” Tanya detektif Heru saat tiba di sana.
“Maaf detektif Heru saya tidak dapat melihat wajah pria itu karena dia memakai masker dan kacamata hitam serta topi, bahkan saya tidak memperhatikan nomer plat mobilnya, maafkan saya detektif.”
“Detektif apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita mencabut laporannya? Sejujurnya saya tidak mau mencabut laporan itu.” Ucap Poli.
Detektif Heru berpikir sejenak karena sebenarnya tidak ada gunanya kalau poli tidak mencabut laporannya karena kasus ini sudah di tutup jadi tetap saja kasus ini tidak dapat di tangani.
“Tuan Poli kalau boleh saya sarankan lebih baik anda mencabut laporannya karena resiko yang akan di tanggung Tuan Poli sekeluarga terlalu besar tetapi saya akan tetap menyelidiki kasus ini sampai tuntas.”
Setelah Poli mencabut laporannya, detektif Heru mengintai dari dalam rumah untuk menangkap basah pria misterius itu saat dia mengantarkan sisa uang yang dia janjikan.
Terdengar suara pintu di ketuk kali ini poli yang membukakan pintu, seorang anak muda pengantar Pizza tersenyum kepada Poli,
“Selamat siang Om, saya mau mengantarkan Pizza.”
“Tapi saya tidak memesan Pizza.”
“Saya di minta untuk mengantarkan Pizza ini ke alamat rumah ini dan juga ada titipan kotak ini untuk Bapak Poli.”
Poli menerima kiriman Pizza dan bungkusan kotak kecil lalu memberikan tips kepada pengantar pizza itu.
Setelah di buka kotak kecil itu berisi uang dengan secarik kertas yang bertuliskan, “terima kasih sudah mencabut laporan di kantor polisi.”
“Kurang ajar, rencana ku gagal total.” Ucap detektif Heru dengan kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!