“Aaaa… Tidaaaak!” Seketika Alexa terjaga dan menjarit saat sesosok tubuh besar menimpa di atasnya. Alexa memberontak, meronta ingin lepas dari dekapan pria yang kini sudah mengkungkung tubuhnya.
Alas kasur berantakan akibat jejakan kaki Alexa. Beruntung, Alexa memiliki peluang untuk mengangkat lutut. Saat tubuh mereka sedikit berjarak, Alexa menendang pangkal paha pria bertopeng itu sangat keras.
“Arrggkh…” Pria itu terguling ke lantai sambil meringkuk memegangi aset paling penting miliknya.
Alexa menarik topeng hingga terlepas dari wajah pria itu.
“Kamu?” Alexa terkejut menatap Fauzan, satpam yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumahnya. “Bangsat! Pergi kau dari sini!” pekik Alexa.
Fauzan tersenyum mencemeeh. Sepertinya rasa sakit bekas tendangan sudah mulai berkurang, terbukti ia masih bisa melempar senyum ejekan. Pria itu bangkit berdiri. Dengan sorot memburu ditambah senyum sinis, dia mendekati Alexa, majikan yang kini mengenakan pakaian tidur, bawahan sejengkal dari pinggang, dan tali satu di pundak dengan bahan licin.
Tatapan mata Fauzan yang menyapu penampilan Alexa membuat Alexa mulai merasa ngeri.
“Pergi kau!” seru Alexa. “Tolooooong!”
“Teriaklah! Nggak akan ada yang denger. Rumah ini terlalu megah untuk menampung suara Anda, Nona cantik. Malem ini aku yang tugas, udah aku kondisiin supaya rumah segede ini kosong. Pembokatmu nggak ada satu pun yang ada di rumah. Bahkan si Idris, pria ***** yang juga satpam, sekarang dia lagi keluar, aku menyuruhnya membeli makanan. Ban motornya bakalan kempes sebelum dia kembali, Anda sendirian di rumah ini.” Fauzan tertawa ngakak, mirip kayak penjahat di film laga.
Alexa tidak menyangka jika satpam yang selama ini ia percayai akan berkhianat dan berbuat senekat itu. Ia berjalan mundur, manik matanya berputar mencari barang yang bisa menyelamatkannya. Sayangnya benda paling besar hanyalah bantal, bakal keenakan jika Fauzan dilempar bantal, bisa-bisa malah ketiduran dia.
“Tubuhmu terlalu indah untuk dianggurin, kamu juga sangat cantik, udah lama aku kepengen menidurimu.” Fauzan melompat menangkap tubuh Alexa yang berusaha menghindar saat menaiki kasur. Mereka kembali berguling di atas kasur.
Alexa berteriak sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba tubuh Fauzan ambruk ke samping, menggelinding dan jatuh ke lantai sesaat setelah mendapat tendangan dari arah belakang. Alexa terkesiap menatap sosok pria asing yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya. Hanya beberapa detik saja bagi Alexa untuk bisa mengenali wajah pria itu, tampan. Tendangan pria tampan itu kelihatannya begitu dahsyat hingga Fauzan merintih merasakan bekas tendangan.
“Bang*at! Siapa kau? Beraninya main selonong masuk kamar.” Fauzan bangkit berdiri.
Pria asing itu melepas jaketnya dengan gerakan cepat lalu melemparnya ke arah Alexa.
Refleks Alexa menyambut jaket yang terbang ke arahnya. “Shit!” pekik Alexa karena matanya terkena sambaran jaket, pedih sekali.
Fauzan tidak mau kalah, ia bangkit dan menyerang lawannya.
Sangat tenang, pria itu menangkis tendangan Fauzan. Ia bahkan mampu menangkap kaki Fauzan saat Fauzan melayangkan tendangan berikutnya. Gesit sekali dia memelintir kaki itu hingga kini posisi Fauzan terkapar di lantai dengan satu kaki terpelintir di belakang.
“Tinggalkan rumah ini!” ucap pria itu tenang, namun tegas.
“Memangnya siapa kau kenapa menyuruhku ninggalin rumah ini. Aku security di sini, kau nggak berhak mengusirku,” gerutu Fauzan tanpa merasa bersalah.
“Kau bukan security lagi di sini, sekarang juga aku memecatmu,” sergah Alexa kesal.
“Kau dengar? Pergilah!” Pria asing berbadan tegap itu bicara sangat tegas.
“Iya, tapi lepasin kakiku. Sakit,” rintih Fauzan kesakitan.
“Minta maaf dulu sama majikanmu!”
“Jangan sombong! Beraninya merintah-merintah. Aaargkh..!” Fauzan berteriak merasakan pelintiran di kakinya semakin kuat. “Iya, oke, oke. Aku minta maaf.” Ia akhirnya berdiri setelah kakinya dilepaskan, lalu berjalan mundur menuju pintu.
“Nona Alexa, saya melakukan semua ini atas perintah Leo, juga atas upah yang lumayan.” Kemudian dengan sorot membunuh, Fauzan mengacungkan jari telunjuk ke pria asing itu. “Awas kau! Liat aja entar!” ancamnya kemudian pergi.
Pria asing itu menatap kepergian Fauzan dengan tatapan tenang.
“Berhati-hatilah, Nona! Jaga diri baik-baik,” tutur pria asing itu tanpa menatap Alexa kemudian melenggang menuju pintu.
“Tunggu!” seru Alexa menghentikan pria itu.
Pria itu berhenti tanpa menoleh.
“Thanks. Kalo nggak ada kamu, entah apa yang terjadi padaku.”
Pria itu menngangguk, lalu kembali berjalan.
“Tunggu!” seru Alexa lagi.
Lagi-lagi pria itu berhenti, tanpa menoleh.
“Siapa namamu?”
“Azlan.”
“Gimana bisa kamu ada di dalem rumahku?” Alexa tidak yakin jika teriakannya menjadi alasan hingga pria itu bisa berada di sana sekarang. Mana mungkin ada orang lewat di jalanan sana yang mendengar teriakannya. Rumahnya sangat besar.
“Kita turun dan bicarakan masalah ini di bawah.” Azlan tidak nyaman berada di satu kamar bersama seorang wanita.
“Hei, aku mengajak kamu bicara. Bisa sopan sedikit? Kenapa kamu nggak ngeliat aku? Tatap mata orang yang mengajakmu bicara, jangan dipunggungin!” seru Alexa kesal.
Azlan membalikkan badan. “Aku melempar jaket itu untuk menutupi tubuhmu, dan kamu nggak memakainya.” Azlan melirik jaket yang teronggok di atas kasur.
Alexa menatap tubuhnya sendiri, mengenakan pakaian tidur yang minim. “Aku yang punya badan, kenapa kamu yang repot?”
“Wajar satpammu kurang ajar, kamu yang memancingnya.”
“Fauzan yang datang ke kamarku, bukan aku yang ngundang dia”
“Maaf, mungkin dalam kehidupan sehari-hari, Anda membuatnya tertarik.” Azlan menyadari wanita yang ada dihadapannya itu tidak perduli dengan penampilannya yang minim di hadapan laki-laki yang bukan muhrim.
“Lancang!” Alexa tersinggung. Merasa dirinya disudutkan, merasa dianggap menjadi akar permasalahan yang terjadi. Ia paling benci disalahkan, apalagi oleh orang asing yang sama sekali tidak dia kenal. Alexa adalah gadis yang paling disegani di kantornya, primadona, pujaan banyak pria.
“Maksudmu, semua ini kesalahanku? Aku yang memancing dia, begitu? Kamu pikir dirimu itu siapa berani mengguruiku, hah?”
Hampir saja Azlan menjawab, namun guyuran air jus yang menyiram wajahnya membuatnya gelagapan, matanya mengerjap dan satu tangannya mengusap wajah. Air jus mengalir membasahi sampai ke dada. Ditatapnya jari lentik gadis di hadapannya yang memegang gelas kosong. Azlan menghela nafas kemudian melenggang pergi.
“Hei, kamu belum jawab pertanyaanku,” seru Alexa melihat Azlan berlalu pergi. “Gimana bisa kamu masuk ke rumahku tanpa permisi. Apa kamu mau maling? Aku bisa menuntutmu karena kamu udah nyelonong masuk ke rumahku tanpa permisi. Shit! Percuma aku teriak-teriak kayaknya dia nggak denger omonganku.” Manik mata Alexa berputar mencari switer atau apapun yang bisa menutup sedikit tubuhnya, namun tidak menemukan apa-apa. Ia pun menyambar jaket milik Azlan dan mengenakannya dengan gerakan terburu-buru.
TBC
“Nur, Janah, Tito, Andi!” Pandangan Alexa mengitari sekitar, mencari keberadaan para pembantunya. Tak satu pun yang muncul. Kaki jenjangnya menuruni anak tangga dengan langkah terburu-buru. “Kemana mereka smeua? Dipanggil nggak ada yang denger. Nggak punya kuping apa? Sial! Apa bener mereka semua nggak ada di rumah?”
“Hei, tunggu!” seru Alexa memaggil Azlan.
Pria itu tak memperdulikan, melenggang pergi. Melintasi pagar rumah menggunakan motor ninja.
“Dasar, pria sombong!” Alexa menggeram kesal. Betapa miris hidupnya yang bergelimang harta, rumah megah, uang banyak, tapi hidupnya terancam. Bahkan sosok yang seharusnya menjaganya pun berbalik membahayakannya.
Ibunya telah tiada beberapa tahun silam, meninggal setelah dibunuh. Dan ayahnya sedang ke luar kota, bukan urusan bisnis, melainkan jalan-jalan bersama mama muda yang sudah setahun terakhir menjadi mamanya Alexa. Wanita itu tinggal di luar kota, dan Alexa jarang bertemu dengannya.
Hidup Alexa terasa kosong, terlihat sempurna di mata semua orang, namun hampa dalam kesendirian.
Lima belas menit mondar-mandir, akhirnya Alexa berhenti saat menatap Idris memasuki area halaman rumah dengan mengendarai motor. Pria itu memarkirkan motor di garasi khusus motor dan berjalan menuju Alexa.
“Nona, kenapa di luar? Hawa malam tidak baik untuk Nona,” tutur Idris sopan.
Alexa tidak menjawab, sorot matanya tertuju ke kantong plastik yang ditenteng pria itu.
“Apa itu?” tegas Alexa dengan nada jutek.
“Nasi bungkus, Non. Tadi Fauzan yang minta dibelikan.”
Manik mata Alexa beralih mengawasi seragam security yang Idris kenakan. “Bosmu di sini Fauzan atau aku?” hardiknya membuat Idris tercengang dan bingung.
“Tentu saja Nona,” jawab Idris gugup, menyadari majikannya itu sedang kesal. Ia pasti dinilai melakukan kesalahan meski belum tahu kesalahannya apa.
“Kau tau di sini tugasmu apa?”
“Iya, security.”
“Jadi kenapa ngeluyur?”
“Saya tidak meninggalkan pos security dalam keadaan kosong. Ada Fauzan yang berjaga saat saya keluar. Kami bergantian.”
“Fauzan udah kupecat.”
Idris mengernyit tak mengerti.
“Apa kau melihat Fauzan ada di sini? Lihat! Pos kosong!” Alexa menunjuk pos security. “Kau bahkan nggak tau ada penyusup masuk ke rumahku bukan?”
“Penyusup?” kejut Idris merasa bersalah telah lengah.
“Dia mengaku bernama Azlan.”
“Ooh… Itu… Dia bukan penyusup, Non. Dia adalah teman saya, dia datang kemari ingin melamar pekerjaan. Kebetulan dia sampai di rumah ini saat saya tadi sedang dalam perjalanan, dan saya menyuruhnya menunggu saja di rumah ini.”
Alexa mengernyit. “Lain kali jangan tinggalkan rumah ini kalau tanpa seijin aku, paham?”
“Baik, Non.”
Alexa bergegas masuk ke rumah. Langkahnya terhenti di ujung anak tangga saat melihat sebuah map teronggok di lantai. Ia memungut map tersebut lalu membukanya. Tertera nama Azlan Ubaidillah, lengkap dengan data-data yang dibutuhkan sebagai seorang pelamar kerja. Mungkin tanpa sengaja Azlan menjatuhkannya saat berlari ke kamar. Alexa membaca data-data tersebut sambil berjalan menaiki anak tangga.
***
Alexa keluar dari ruangan kantornya tepat pukul sepuluh malam. Bukan karena lembur gadis itu meninggalkan kantor di waktu yang tidak wajar. Melainkan karena ketiduran. Entah kenapa ia bisa ketiduran di sana, sepertinya efek kelelahan. Ia menyampirkan tali tas ke pundak polosnya. Ia bertemu Jesy, temannya setelah keluar dri lift. Jesy telat pulang kantor karena lembur.
Sesampainya di koridor, Alexa berpisah dengan Jesy. Mereka saling melambaikan tangan. Jesy pulang menggunakan mobilnya yang sudah lebih dulu dia keluarkan dari area parkir.
Di parkiran, angin malam berhembus kuat menyapu kulit pundak Alexa, lengan, paha, serta bagian kulit tubuhnya yang terekspos. Sapuan angin di kulit tubuhnya mengingatkannya akan satu hal, switernya tertinggal di ruangan kantor. Tapi ia tidak perduli. Ia akan pulang dengan menyetir mobil, jadi tidak masalah tanpa switer. Ia memasuki mobilnya yang terparkir di sudut parkiran khusus bos. Ia adalah salah satu direktur di perusahaan tempatnya bekerja.
“Shit! Sial! Sial!” Alexa mengumpat kesal sembari memukul bundaran setiran yang dia pegang. Mobilnya bermasalah dan tidak menyala. Ia kemudian membuka resleting tasnya untuk mengambil ponsel. Sekali lagi ia mengumpat panik saat tidak menemukan ponsel di tasnya. Ponselnya tertinggal di ruangan kantornya. Sial!
Alexa kemudian turun dari mobil dan berjalan dengan langkah lebar keluar dari area perkantoran, melintasi pos security.
Malam itu begitu sepi. Alexa tidak bertemu siapapun kecuali security yang berjaga. Alexa berdiri di tepi jalan menunggu taksi. Sepuluh menit berlalu, ia mulai bosan dan menggerutu. Biasanya ada banyak taksi yang melintas, tapi malam itu sepi.
Sembari menunggu taksi yang melintas, Alexa berjalan menelusuri trotoar. Ia mencari tempat yang nyaman untuk duduk manis. Kaki jenjangnya melangkah cepat, ingin segera sampai di bangku panjang tak jauh dari sana.
TBC
Muup cut sembarangan. wk wk
Alexa terkejut saat tiba-tiba ada yang menarik tasnya dari arah samping, entah dari mana datangnya sesosok pria tinggi besar yang kini telah berhasil merampas tasnya itu.
“Hei… Balikin tasku!” Alexa menjerit sambil berlari mengejar.
“Aku, utusan Leo,” seru perampok sambil membawa tas milik Alexa yang ia yakini berisi banyak barang bermanfaat yang menghasilkan uang.
Leo lagi! Alexa hampir stress mendengar nama itu. Selalu dia yang menjadi biang kerok.
Tiba-tiba tubuh si perampok terjungkang saat sebuah motor lain yang melaju kencang dari arah depan menyerempetnya. Ia terkejut saat tas yang seharusnya ada di tangannya, sudah berpindah ke tangan pria berhelm yang kini mengegas motornya dan berlalu pergi.
Alexa terbengong melihat pria berhelm merah itu melakukan perampasan tas dengan aksi heroik. Motor yang dinaiki pria berhelm merah menuju ke arahnya.
Pria berhelm merah itu kemudian menghentikan motor tepat di hadapan Alexa dan menyerahkan tas kepada pemiliknya.
“Thanks.” Alexa menyambut tas. Ia membuka resleting tas lalu menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. “Buatmu.”
“Enggak. Makasih.” Pria itu bersiap hendak mengegas motornya.
“Tunggu! Bisa buka kaca helmnya?” tanya Alexa ingin melihat wajah pria itu.
Pria itu diam saja.
“Siapa namamu?”
Pria itu tetap diam.
Alexa menatap dada pria itu dan ia menemukan khas dada bidang. Kini ia tahu siapa pria di hadapannya itu. Azlan. Tanpa pikir panjang dan tanpa menunggu jawaban pria itu, Alexa langsung naik membonceng di atas motor pria itu. “Let’s go!”
“Aku bukan ojek,” sarkas pria itu dingin.
“Malam ini baru satu kejadian buruk menimpku, bisa aja nanti ada hal yang lebih buruk lagi terjadi menimpaku, kan? Entah berapa lama lagi aku mesti nungguin taksi di sini kayak orang ****. Ayo, jalan!” Alexa memperhatikan motor yang ia naiki, ia ingat motor itu adalah motor yang sama yang dinaiki sosok pria yang pernah menolong anak kecil yang hampir tertabrak mobil di pinggir jalan. Kejadian dua hari yang lalu tepatnya masih terekam di kepalanya. Aksi heroik pria itu begitu mumpuni hingga membuat Alexa mengenang proses penyelamatan yang menakjubkan mata. Sekarang ia tahu siapa pria yang memboncengnya itu. Postur tubuhnya juga sama seperti saat beberapa hari yang lalu ia bertemu dengan si penyelamat bocah. Sepertinya Tuhan memang mengirimkan pria itu ke dunia untuk dijadikan sebagai seorang pahlawan.
“Jadi kamu menyuruh aku untuk mengantarmu pulang?” Tanya Azlan.
“Tentu. Apa lagi?”
“Kau yakin aku pria baik-baik?”
“Nggak ada penjahat yang mau menolong bukan? Aku sangat yakin kau pria baik-baik.”
Pria itu diam saja.
“Go go go!” seru Alexa.
Motor melaju.
Alexa melingkarkan satu tangannya ke pinggang pria itu dengan entengnya supaya tidak terjatuh karena ia duduk miring. Telapak tangannya merasakan kerasnya tubuh pria yang dia pegang, perut rata, six pack, dan harum. Alexa juga merasakan tubuh Azlan menegang saat merasakan sentuhan tangan wanita di perutnya.
“Lepasin tanganmu!” titah Azlan sembari melirik jemari lentik di perutnya.
Dasar pria sombong! Jual mahal.
TBC
Kuy dukung cerita ini dengan ketik vote yak. penulis butuh dukungan. hanya nge klik doang kok gk bayar. je he he heee.
makasih buat yg pada baik udah ngeklik vote.
tengkyuh muah muah muah
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!