Emperor Of The Sea--adalah nama kapal pesiar yang kini bertengger di pelabuhan kota Boston. Kapal pesiar yang terkenal megah dan begitu mewah. Kapal dengan fasilitas dan hiburan yang berlimpah.
Umumnya, hanya kaum-kaum elite dan berdompet tebal yang mampu berlayar di kapal tersebut, dan meskipun Lucia Winter bukan bagian dari orang-orang berdompet tebal dan sudah pasti bukan bagian dari kaum elite, ia memperoleh keajaiban. Sebuah kesempatan untuk bisa menapakkan kakinya di atas kapal tersebut.
Lucia Winter, seorang gadis muda yang baru menapak usia 22 tahun tersebut, mendapat kesempatan untuk bekerja di sana sebagai pelayan bar. Awalnya Lucia ingin menolak ajakan sahabatnya untuk bekerja di kapal mewah itu. Habisnya, Lucia lebih nyaman bekerja di daratan. Ia merasa lebih aman.
Namun, terima kasih atas persistensi seorang Giana Hills--sahabatnya yang juga seorang pelayan--Lucia pun mendaftarkan dirinya pada pelayaran yang akan berlangsung kurang lebih 3 bulan itu.
Selama ia mendapatkan bayaran, Lucia tidak keberatan.
Lagian, rumornya upah pekerja di kapal mewah ini cukup menggiurkan. Bahkan untuk tukang bersih-bersih kotoran burung di belakang kapal.
"Belum apa-apa aku sudah pusing," Giana--sobat Lucia yang memiliki kantung mata kentara di wajahnya--mengeluh. Lucia mendengar keluhan Giana dengan prasangka kalau daripada mabuk laut, temannya itu sakit kepala karena kurang tidur.
"Kau sebaiknya beristirahat," kata Lucia. Ia mengemas pakaiannya dari tas ke dalam lemari.
Ngomong-ngomong, Lucia berbagi kamar dengan Giana. Kabin di lantai 3 tersebut memiliki dua tempat tidur satu lemari dan satu kamar mandi. Mungkin karena mereka hanya pekerja di sana, kamar yang mereka tempati cukup bertolak belakang dari imej 'mahal dan mewah' yang kapal itu emban.
"Kita mulai bekerja jam 2, kan? Kau masih punya cukup waktu buat tidur satu jam-an lagi."
"Bagaimana denganmu?"
"Aku mau melihat-lihat keluar..." Lucia lalu melingkupi tubuhnya dengan jaket hitam. Ia beranjak menuju pintu sebelum melambaikan tangan perpisahan pada Giana. "See you later."
Setelah meninggalkan kamar, Lucia melenggang menuju geladak utama. Ia menuju pagar dan memperhatikan kalau geladak dasar mulai diisi oleh para tamu-tamu VIP. Mereka disambut dengan penuh penghormatan dan kesopanan, seolah-olah mereka adalah keluarga raja. Melihat pemandangan itu, Lucia sedikit bernostalgia.
Jika bukan karena keserakahan ayahnya, Lucia mungkin masih bisa menjalani kehidupan glamor yang orang-orang di bawah sana tunjukkan. Tidak perlu glamor, jika ayahnya dapat menahan diri, Lucia mungkin tidak perlu merasakan kesengsaraan dari hidup sebagai orang miskin.
Namun, ayahnya adalah bajingan yang serakah.
Lucia merenung sambil menatap ke bawah, menatap kepada kerumunan tamu yang datang bersama barang-barang dan pelayan pribadi mereka. Lucia tidak begitu fokus pada tatapannya, tidak ketika isi kepalanya memutar kenangan lama masa kecilnya. Lucia hanya memandang hampa kepada orang-orang yang baru tiba di geladak dasar.
Hingga kemudian, sepasang iris emerald membalas balik tatapannya. Membuyarkan lamunannya.
Dari jarak yang cukup jauh tersebut, Lucia menemukan seorang pria dalam balutan kemeja biru muda berdiri di antara tiga kawannya. Mereka asik bercengkerama, tertawa besar pada satu sama lain. Sampai kemudian pria itu mendongakkan kepala, mendongak ke arah Lucia.
Detak jantung Lucia seperti terjeda.
Ia menarik dirinya mundur dari pagar balkon itu dan segera berlalu.
"Apa yang kau perhatikan seserius itu, Percy?"
Si pria beriris emerald tersebut menoleh kembali ke arah sahabatnya, surai hitamnya yang tebal bergoyang lembut mengikuti tiupan angin. "Hanya..., langitnya cukup cerah."
Seseorang yang tadi berdiri di geladak utama menarik perhatiannya. Percy tidak tau siapa, tapi perasaan familiar merayap di dadanya.
Surai merah tembaga itu sangat tidak asing.
...----------------...
SINNER adalah nama bar yang menjadi tempat Lucia dan Giana bekerja. Ketika pukul dua siang, Lucia dan Giana mulai berkumpul bersama pegawai lain untuk mempersiapkan bar tersebut sebelum beroperasi pada pukul lima sore nanti.
Sebagai pekerja di SINNER, mereka diwajibkan memakai seragam berupa kemeja hitam yang dipadu dengan celana panjang berwarna senada dengan atasannya.
Lucia tidak keberatan pada penampilannya, sampai Giana berujar dan membuatnya tertawa.
"Kita seperti burung gagak," kata Giana, ia memantau penampilannya di kaca.
"Kau seperti burung gagak," sahut Lucia, setengah mengejek. Tidak seperti Lucia yang memiliki surai merah seperti tembaga, Giana memiliki surai hitam pekat yang sangat serasi dengan sepasang manik obsidiannya yang sayu.
"Bagaimana bisa aku mendapatkan sugar daddy kalau penampilanku seklise ini?"
"Apa kau berniat mencari sugar daddy?" Lucia agak terpana.
"Bukan berarti aku berniat, sih. Tapi, tempat ini adalah lahan basah untuk itu. Kau bisa menemukan cowok bajingan kaya di tempat ini yang bisa memberikan kita jajan tambahan."
"Aku tidak menyangka kau punya pikiran sampai ke sana."
"Aku tidak naif," keluh Giana. "Lagian, apa kau gak tertarik? Dengan tampangmu, kau bisa menggaet cowok dengan gampang, tau."
Lucia mengikat surai merahnya membentuk cepol. "Aku datang kemari untuk bekerja."
"Kau juga bekerja pas di darat, tapi kau tidak pernah pacaran."
"Aku terlalu sibuk bekerja," kata Lucia lagi. "Aku tidak punya kesempatan buat leha-leha."
"Kau bakal menjomblo sampai tua."
"Rencananya begitu."
"HAAAAH?"
Lucia tertawa. "Apa kau pikir ada cowok gila di planet ini yang mau hidup bersamaku?"
"Kenapa tidak?"
"Kenapa?"
Karena...
"Lucia?" sebuah panggilan menyapa dan menyela konversasi Giana dan Lucia begitu mereka menapak keluar dari ruang loker dan bergabung bersama para pekerja lain dan pengunjung yang mulai berdatangan.
Panggilan itu datang dari Mr. Hayes, atasan mereka. Pria muda dengan tiga tindikan di telinga tersebut adalah orang yang bertanggung jawab atas SINNER.
"Ada apa, Bos?" Lucia mendekati Mr. Hayes.
"Aku punya tugas istimewa untukmu."
"Hmm?"
"Teman-temanku, maksudku, pemilik bar ini akan berkunjung jam 7 nanti. Mereka akan mengisi ruangan spesial di bilik VIP nomor 1." Mendengar kalau pemilik SINNER akan berkunjung, Lucia sedikit gugup. Ia merasa seperti akan dihadapkan pada situasi yang lebih serius.
"Lucia, aku mau kau mendampingi mereka."
"Aku? Aku..., aku tidak yakin aku orang yang tepat..., Mr. Hayes...?" Meski Lucia sudah puas bekerja sebagai pelayan di sana-sini, sudah puas bekerja di dapur, bekerja membersihkan meja dan muntahan tamu di lantai dansa, ini pertama kalinya Lucia melayani tamu VIP. Lucia tidak percaya diri ia akan melakukan pekerjaannya dengan baik.
"Ini hanya pekerjaan yang mudah. Tenang saja. Kau hanya perlu berada di sana, mendengarkan request mereka dan tidak mengutarakan sepatah kata pun."
'Kalau pekerjaan itu mudah, mengapa harus aku?' tanya menyeruak di kepala Lucia, kentara di ekspresinya.
"Well, tidak semudah itu." Mr. Hayes tersenyum kikuk. "Teman-teman bosku adalah pria yang kekanakan. Mereka suka membuat lelucon, tidak ada karyawan yang kuat mental untuk menghadapi mereka."
"Aku tidak kuat mental." sahut Lucia lagi, dan kemudian tersenyum. "Bercanda. Mr. Hayes, aku siap membantu. Hanya saja, aku tidak mengerti mengapa kau secanggung itu?"
"Oh, Lucia. Sebenarnya, aku tidak tau kalau mereka akan berlayar bersama kita." Mr. Hayes menghela napas panjang. Ia tidak mendapat notifikasi apa pun. Tidak sampai tadi sore ia mendapat pesan kalau bosnya tersebut akan berkunjung.
"Kalau saja aku tau mereka akan berlayar bersama kita, aku akan membawa Niko bersamaku."
'Siapa Niko?'
"Apa mereka sangat buruk?"
"Terkadang, mereka bisa sangat buruk. Terkadang tidak. Situasinya tergantung suasana hati mereka. Tapi tenang saja, mereka tidak menggunakan kekerasan..., kok..., ehehe." Jeda di penghujung ucapan Mr. Hayes meragukan Lucia.
"..."
"Lucia, aku memilihmu karena dari semua pekerja di sini, kau yang terlihat paling apatis dan kuat. Aku tau kau perempuan, tapi kalau aku membiarkan pegawai laki-laki, mereka bisa baku hantam di dalam sana."
"Baiklah, aku mengerti."
Sekarang sudah jam setengah enam. Kapal sudah meninggalkan pelabuhan dan bar sudah mulai beroperasi. Lucia tidak punya waktu untuk pilah-pilih pekerjaan. Lagipula, Mr. Hayes adalah atasannya dan ia sudah menandatangani kontrak untuk bekerja di sana. Perintah pria itu mutlak untuknya, ia hanya perlu menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu, Lucia."
'Tidak, terima kasih atas kebaikanmu, Mr. Hayes.'--Lucia tersenyum.
Padahal Mr. Hayes tidak perlu menjelaskan apa pun padanya, tapi pria itu tetap memaparkan penjelasan panjang agar Lucia menuruti kemauannya. Dia benar-benar atasan yang langka. Di tempat kerja Lucia yang lama, mereka hanya perlu bertitah seperti raja dan Lucia tidak punya peluang untuk bertanya apa pun. Hanya boleh ada satu tanggapan, yaitu anggukan.
"Aku harap pekerjaanku malam ini bisa berjalan dengan mulus." Lucia bergumam pada dirinya sendiri, tidak mau mengecewakan kepercayaan yang sudah diberikan Mr. Hayes padanya hari ini.
...----------------...
Percy Duncan adalah nama dari pemilik SINNER. Pria yang begitu Mr. Hayes segani. Pria yang akan berkunjung beberapa menit lagi ke SINNER bersama kawanannya. Pria yang dideskripsikan Mr. Hayes dengan keambiguan bahwa, sebenarnya Percy Duncan adalah pria baik tapi pergaulannya sangat buruk.
'Jika dia baik, dia tidak akan bergaul dengan orang-orang berkepribadian buruk.' pikir Lucia. Ia menelan asumsi itu dan menebarkan senyum palsu.
Sebenarnya, ditugaskan sebagai pelayan yang akan mendampingi Percy Duncan di ruang VIP membuat jantung Lucia berdegup penuh antisipasi dan ngeri. Lucia takut membuat kesalahan di depan atasan dari atasannya tersebut. Lucia takut belum apa-apa, dia akan dikirim kembali ke daratan karena sudah mengecewakan.
Tidak, mereka mungkin akan meninggalkannya di Canada karena sudah menjadi karyawan yang tidak berguna dan lanjut berlayar ke Eropa.
'Haaaah, kenapa aku sangat sial?' batin Lucia meratap risih.
Lucia percaya dia bisa bertahan di bawah pelecehan verbal. Tapi, bila sampai situasinya melibatkan fisik, Lucia tidak yakin ia akan keluar dari bilik VIP itu dalam keadaan baik-baik. Tidak, Lucia mungkin akan diborgol dan dipenjara bersama ayahnya.
"Tidak! Stop overthinking, Lucia! Demi Tuhan!" Lucia menampar pipinya sendiri.
Menjadi kriminal adalah hal terakhir yang Lucia inginkan.
"Kenapa ekspresimu menjadi sesuram itu?" Giana, muncul entah dari mana, menyodorkan sebotol air mineral ke pipi Lucia. "Apa kau sangat gugup harus melayani Mr. Duncan?"
"Mustahil aku tidak gugup, kan?"
"Yah, masuk akal. Pelayan lama yang sudah mengenal Mr. Duncan menyampaikan keprihatinan besar padamu. Aku dengar dari mereka kalau Mr. Duncan dan teman-temannya sangat kuat mengerjai karyawan di sini. Beberapa pelayan yang sempat melayani mereka kebanyakan mengundurkan diri dan mereka kerap bertengkar hebat di kamar VIP."
"Apa seburuk itu?"
"Kepribadian mereka sangat buruk, hanya Niko yang sanggup bertahan bersama mereka." Giana melirik ekspresi Lucia sekali lagi dan menggigit bibir, "Lucy, kau tau..., aku yang sudah mengajakmu bekerja di sini, kan?"
"Mhm?"
"Kalau kau tidak sanggup melayani mereka. Kau bebas mengundurkan diri. Aku akan mengundurkan diri bersamamu juga."
Alis Lucia terangkat sebelah. "Kenapa kau dramatis begitu?"
"Bukannya aku dramatis, bego. Aku bicara seperti ini karena aku peduli. Aku gak mau kau dibully. Kita bekerja di sini bukan sebagai budak, kita punya hak untuk diperlakukan dengan layak."
"Kau kedengaran seperti aktivis buruh sekarang."
Giana meninju lengan Lucia pelan. "Kau tau maksudku, kan? Kalau kau tidak sanggup..."
"Aku tau," potong Lucia. Ia memamerkan cengiran jenaka. "Aku tau kapan aku harus menyerah. Tenang saja."
"Baguslah kalau begitu."
Setelah bertukar obrolan singkat dengan Giana, Lucia pun beranjak menuju pintu masuk SINNER. Lucia menghampiri Mr. Hayes yang baru saja memanggilnya dengan isyarat telunjuk, mengisyaratkan bahwa Mr. Duncan dan kroninya telah tiba.
Pekerjaan Lucia di mulai dari sini.
...----------------...
Percy Duncan adalah pria jangkung yang memiliki surai hitam pekat yang begitu kontras dengan kulitnya yang pucat. Dia begitu tinggi, dan tubuhnya yang cukup kekar membuatnya hadir dengan aura yang sangat mendominasi. Sepasang manik emerald berteduh di bawah alis tebalnya, nampak tenang tak terbaca. Hidung mancungnya, dan bibir tipisnya yang melukiskan seringai jenaka begitu ia menyapa Mr. Hayes, membuat Lucia terpana.
Mempunyai wajah setampan itu seharusnya ilegal!
Melihat kedatangan Percy, Lucia merasa kerongkongannya kering dan kaku.
Bukankah rumornya pria itu adalah bajingan? Mengapa ia hadir dengan tampang yang begitu rupawan?
Yah, bukan berarti ada korelasi di antara ketampanan dan kepribadiannya. Akan tetapi, paras pria itu sangat tidak pas untuk dikategorikan sebagai 'pembully'. Dia terlihat sangat karismatik dan dominan, sangat..., sekali lagi, menawan.
"Andai saja aku tau kau akan berlayar bersama kami, aku akan menyambutmu lebih awal."
Selagi Mr. Hayes mengajak Percy bicara, Lucia mengamati kawan-kawan yang berada di sisi Percy. Dua orang pria dan satu wanita. Satu pria berambut ikal berwarna cokelat gelap, satu lagi memiliki rambut panjang berwarna oren terang (Lucia percaya warna itu tidak natural), dan si wanita memiliki rambut cokelat dengan potongan pendek di bawah telinga.
Mereka semua..., kelihatan seperti anak-anak konglomerat.
Konklusi itu muncul di benak Lucia begitu ia menyadari cara empat serangkai itu berpakaian dan bersikap. Brand yang melekat di tubuh mereka adalah brand ternama, datang dari designer langka. Oh, dan jangan lupakan arogansi yang menguar kentara di udara. Kepercayaan diri setinggi itu tidak mungkin ada, tidak terkecuali mereka mempunyai backing-an yang mendukung kesombongan itu.
"Jika aku ingin kau menyambutku, aku sudah pasti mengabarimu," suara baritone milik pria itu menarik atensi. Lucia menoleh kembali ke arah Percy dan terkesiap ketika sepasang emerald pria itu menyorot ke arahnya, nampak terpana.
"Ngomong-ngomong, di mana Niko? Karena kami sudah di sini, dia seharusnya menyambut kami, kan?" Gregory River, si pria bersurai cokelat gelap melayangkan tanya.
"Belum apa-apa kau sudah mencarinya..." Aiden Forrest, si rambut jingga mengimbuhi.
"Karena dia temanku, aku merindukannya."
"Mau main lempar bola lagi dengannya?"
"Ahahaha, bagaimana kalau menyuruhnya menari seperti waktu itu?"
Menyadari kalau kawan-kawan Percy mencari keberadaan Niko, Mr. Hayes menghela napas berat. Ia bergeser selangkah dari hadapan empat serangkai pembuat masalah itu untuk memberikan Lucia ruang untuk menunjukkan diri.
"Karena aku tidak mengantisipasi kedatangan kalian sama sekali, aku tidak membawa Niko kemari." Sejujurnya, alasan Mr. Hayes meninggalkan Niko di daratan adalah karena dia takut empat orang ini akan berkunjung ke bar utama SINNER.
Namun..., siapa yang menyangka situasi seperti ini malah terjadi?
"Sebagai ganti Niko, Lucia akan mendampingi kalian hari ini."
Diperhatikan oleh empat sekawan itu, Lucia membungkuk sopan dan kaku. Lucia berdoa dalam hati ia tidak akan membunuh siapa pun malam ini.
"Heeeeh???" Greg melangkah mendekat, ekspresi penuh minat. "Siapa ini? Cantik sekali!"
"Lucia," potong Mr. Hayes. "Silakan menuntun tamu kita ke ruang VIP yang sudah dipersiapkan."
Lucia mengangguk, ia melempar tatapan singkat pada Percy sebelum berbalik dan membiarkan empat serangkai itu mengikuti.
"Silakan mengikutiku," tutur Lucia.
"Dinginnya, aku hampir beku." suara-suara jenaka terdengar di belakang Lucia, tapi Lucia tetap memasang punggung acuh tak acuh di sana.
"Itu karena kau jelek, idiot. Orang miskin pun tidak tertarik dengan tampangmu."
"Mustahil..., kalau ada orang jelek di sini, itu sudah pasti kau. Rambut oren itu adalah fashion terjelek di Bumi, aku lebih baik mati daripada mempunyai rambut seperti itu."
"Haaaa? Orang yang tidak punya selera fashion tidak punya hak untuk bicara.."
"Selera fashion, pantatku. Percy..., sadarkan temanmu yang satu itu, dia terlalu delusional sampai mengira dirinya punya selera."
"Kalian terlalu berisik," suara wanita menegur dua pria yang sejak tadi bercekcok. Dia adalah Marcella Camden, satu-satunya wanita di lingkar pertemanan Percy. "Kalian membuat cowok-cowok tampan enggan menoleh ke arahku, sialan! Mereka pasti mengira aku bagian dari sirkus tolol ini!"
"Kalau kau gak mau menjadi bagian dari kami, jalan saja sendiri, jal4ng. Tidak ada yang mengajakmu kemari."
"Siapa yang kau panggil jal4ng, kepala jeruk?"
"Kau, mak lampir!"
Sementara kawan-kawannya menyemburkan bisa pada satu sama lain, Percy melangkah tenang sambil memperhatikan punggung Lucia. Seratus persen, Percy merasa begitu familiar pada gadis bersurai merah tersebut. Entah di mana, Percy merasa pernah melihat wanita itu di masa lalu, pernah menarik minat pada sepasang manik aqua-nya yang beku.
"Silakan masuk," ucapan Lucia menghentikan kericuhan yang berada di belakangnya. Lucia menoleh dan menatap empat sekawan tersebut (minus Percy), nyaris berjambak-jambak. Meski mereka terlihat lebih dewasa, entah bagaimana, Lucia merasa kalau usia mereka tidak sepadan dengan mental kekanakan yang mereka tunjukkan.
Itu agak..., memalukan?
Mendekati Lucia, Greg yang memiliki suara begitu jenaka, berujar. Sepasang iris hitamnya menyiratkan godaan. "Nah, Lucia..., namamu Lucia, bukan?"
"Y-ya?" Lucia merasa perubahan atmosfir di udara, jiwa penuh canda yang pria itu pamerkan seperti memudar di hadapannya, luntur dalam ekspresi bahaya.
"Mau melebarkan kakimu untukku?"
"..."
"Aku akan membayarmu lebih mahal kalau kau mau memanaskan ranjangku."
"Maaf, aku...," Lucia menarik selangkah mundur, menahan diri untuk tidak menampar pria itu dengan daun pintu.
"Aku tidak tertarik dengan pria." ujar Lucia, ia membalut ucapannya dengan dusta.
"Pffttttt..." si rambut oren tertawa. "Ahaha..., lihat, saking jeleknya tampangmu, dia rela menjadi gay daripada tidur denganmu."
Tidak, daripada buruk rupa, pria bersurai cokelat itu, Gregory, mempunyai kepribadian buruk. Jika saja dia baik hati, Lucia percaya akan banyak wanita mengejar tumitnya. Rela mengangkanginya.
"Lucia, Lucia..." si pria bersurai cokelat nampak tenang meski sudah ditolak dan dihina oleh kawannya. "Kau harusnya memilihku. Di ruangan ini, tidak ada pria yang lebih baik dariku. Bukan begitu, Percy?"
"Kurasa, kau memang lebih baik daripada aku, Greg." Percy menimpali sambil melabuhkan bokongnya di sofa tunggal yang seperti singgana raja. Ia menatap ke arah Lucia, mengamati gadis itu dengan keingintahuan yang sama.
Hingga kemudian, sesuatu seperti 'klik' di benaknya, mencerahkan
Benar..., bukankah gadis itu...,
"Lucia Winter?" Percy menggumamkan nama itu untuk dirinya sendiri, seperti memperoleh wahyu dari langit. Namun, kendati ia menggumamkan nama Lucia seperti bisikan, Lucia mendengarnya dengan sangat jelas. Sangat-sangat keras.
"Ahaaa.." Membaca ketegangan pada reaksi Lucia, Percy berdiri dan menghampiri gadis itu dengan ekspresi terpana.
"Lucia Winter..." ulang Percy, kali ini penuh keyakinan dalam suaranya. Lucia berdiri di hadapannya, mata membola dan tubuh membeku sampai ke tulangnya.
"Bagaimana bisa kau masih hidup?"
"???"
Percy menyentuh wajah Lucia seperti menyentuh benda terapuh di dunia. Ia bertanya-tanya, apakah ia berhalusinasi atau gadis ini adalah sosok Lucia Winter yang asli?
Hingga kemudian, ujung jemarinya menyentuh kulit Lucia, hangat tubuh gadis itu menyebar di ujung jarinya.
Menyadarkan ia, bahwa, gadis itu..., nyata.
"Kupikir kau sudah mati..." gumam Percy, sepasang manik emeraldnya berkilat penuh ekstasi.
...----------------...
Sejujurnya, Lucia tidak pernah berniat menyembunyikan identitasnya sebagai seorang Lucia Winter. Hanya saja, karena kebencian dan rasa malu yang memenuhi dadanya, setiap kali orang menanyakan namanya, ia berhenti sampai sebatas Lucia.
Hanya Lucia.
Nama belakang Winter yang dulu Lucia dekap dengan bangga, berubah menjadi kutukan baginya. Lucia perlahan-lahan, menghapus nama itu dari identitasnya. Hanya bila nama itu diperlukan, barulah ia menyebutkan identitas hina itu dengan lantang.
Bahwa, ia adalah seorang Lucia Winter. Puteri dari Philip Winter, pria yang sempat menjadi sorotan media karena kasus korupsinya. Pria yang kini di penjara, dan meninggalkan Lucia dengan hutang ratusan juta. Hutang yang diperhitungan Lucia, tidak akan pernah lunas terkecuali ada keajaiban dunia.
Mengesampingkan kreditur bank dan rentenir yang selalu menagih bayaran padanya tiap bulan, Lucia tidak menyangka akan ada orang lain yang masih mengingatnya. Terlebih ketika orang itu adalah Percy Duncan, pria yang omong-omong, baru pertama kali Lucia jumpai. Pria yang tidak pernah sekalipun melintas di hidupnya, tapi mengenalnya.
"Kupikir kau sudah mati..." gumaman Percy menyapa telinga Lucia, sedikit membingungkannya. Kenapa Percy berasumsi seperti itu?
"Apa ada alasan mengapa kau berpikir aku sudah mati?" Lucia menimpali dengan pertanyaan. Tak hanya ia merasa risih pada ucapan Percy, Lucia pun menepis turun sentuhan pria itu di pipinya.
Demi Tuhan, jangan bilang kalau ayahnya juga berhutang pada pria ini!
"Bukankah kehilangan segalanya cukup untuk membuatmu mau mati?"
"..."
"Princess yang tumbuh dengan kemewahan dan kekayaan, anak emas yang paling disayang..., kau adalah permata di keluarga Winter, kau terlahir dengan memiliki segalanya. Idealnya, ketika semuanya sudah dirampas habis darimu, anak manja sepertimu akan berakhir depresi dan bunuh diri."
"Apa kau akan bunuh diri kalau kau tidak memiliki apa-apa?"
"Haaa..." Percy terkekeh, ia memperhatikan wajah Lucia dan kembali mengingat hari pertama dan hari terakhir ia menjumpai gadis itu.
Hari itu adalah hari terakhir persidangan kasus korupsi Philip Winter. Percy hadir bersama saudaranya hanya untuk menonton kasus yang saat itu sedang naik daun. Sambil memainkan rubik kotak di telapak tangannya, ia memperhatikan ketika putusan juri diumumkan di dalam ruangan.
Lucia yang saat itu masih berusia 17 tahun, menangis putus asa melihat ayahnya diseret meninggalkan aula. Tangisnya pecah, wajah memerah. Lucia tak berdaya, segala kemewahan yang melekat di tubuhnya kehilangan makna. Philip Winter adalah pendosa dan Lucia tidak bisa melakukan apa-apa selain melihat sosok yang paling ia banggakan, kini disorak dengan cemoohan.
Lucia yang menangis begitu menawan. Percy tidak bisa memalingkan pandangan. Percy terpukau pada pemandangan yang tersaji di hadapannya. Pada raut duka Lucia yang bergelinang air mata.
Bagaimana bisa penderitaan terlihat begitu jelita di wajah Lucia? Percy sempat mengira kalau dirinya gila. Bagaimana bisa senyumnya melebar begitu ia melihat hidup Lucia hancur lebur?
"Hei, Claude, apa aku bisa menghancurkan seseorang sampai seperti itu?" Percy ingat pernah bertanya pada saudara sulungnya.
"Untuk menghancurkan sesuatu, kau harus memastikan benda itu berada di dalam genggamanmu terlebih dahulu." Claude menimpali tanpa tertarik.
"Bagaimana dengannya?"
"Kau tidak bisa menghancurkan seseorang yang sudah remuk, Percy. Gadis itu sudah tidak punya masa depan lagi."
"Apa menurutmu dia akan mati?"
"Apa menurutmu dia punya alasan untuk hidup?"
Claude beranjak dari tempat duduknya dan menepuk pundak Percy ringan, "Jangan ungkit topik ini di depan Ibu, nanti. Aku tidak mau diceramahi."
"Oh, aku seratus persen akan mengungkitnya."
"Kau sangat senang membuat Ibu menangis, ya."
Percy menimpali ucapan Claude dengan cengiran lebar. "Bukankah itu menyenangkan?"
Kembali pada masa sekarang, pada Lucia yang kini lebih dewasa, jauh berbeda dari gadis yang ia jumpai lima tahun lalu. Percy mengulum senyum usai mendengar pertanyaan yang Lucia lontarkan.
"Aku tidak akan bunuh diri," jawab Percy akhirnya.
"Kalau begitu, kau tidak seharusnya berasumsi aku akan mati setelah apa yang terjadi."
Saat itu pula, jauh di benaknya, Lucia berusaha mengingat-ingat siapa gerangan Percy Duncan? Kebanyakan orang hanya mengingat si pendosa Philip Winter. Tidak ada yang mengingat Lucia, tidak terkecuali mereka adalah rentenir dan kreditur.
"Apa kalian saling mengenal, Percy?" Setelah dari tadi menyaksikan tanpa melibatkan diri, Marcella akhirnya bersuara. Ia bersandar di bahu sofa sambil memperhatikan interaksi Percy dan Lucia.
Di saat bersamaan, Gregory River yang sejak tadi tiada henti mengusili Lucia, si pria tampan dengan surai cokelat gelap, menjentikkan jari. "Kau bilang namanya Lucia Winter? Aku ingat seseorang bernama belakang yang sama...,"
"Siapa?" sahut Aiden Forrest, nampaknya agak penasaran.
Sebelum Greg memberikan jawaban, Percy menoleh ke arah Aiden dan memberikan tanggapan. "Philip Winter," kata Percy. Ia berbalik menuju sofa dan kembali melabuhkan bokongnya di sana.
"Greg pasti ingat. Ayahnya adalah jaksa yang mengurus kasus itu."
"Aaaaahhh, si koruptor itu?" Aiden dengan cepat mengingat. "Aku berada di Polandia saat situasi itu terjadi."
Melihat empat serangkai itu mendiskusikan masa lalunya seperti kisah itu adalah hal sepele yang tak bermakna, Lucia mengerutkan keningnya. Ia bingung luar biasa. Terlebih lagi, si pria bersurai cokelat itu..., Gregory River adalah anak dari jaksa yang menangani kasus ayahnya? Anak dari Thomas River?
"Ohooo..." Greg mengembangkan seulas senyum ceria, ia menghampiri Lucia dan merangkul gadis itu mendekat ke arah kawanan mereka. "Bukankah ini kebetulan yang luar biasa?"
Greg mengedipkan sebelah matanya pada Lucia. "Kau dan aku di ruangan yang sama..., kita seperti..., ditakdirkan bersama, bukan?"
Lucia mau muntah.
Mengapa Greg sangat bertolak belakang dari ayahnya? Seingat Lucia, Thomas River adalah pria yang sangat tegas dan penuh karisma. Mengapa anaknya malah sangat flamboyan dan centil?
"Bagaimana kabar ayahmu? Apa dia masih seperti dulu? Kau tau..., seperti pecundang?"
"..."
Greg lalu melempar perhatiannya pada Aiden.
"Asal kau tau, saat kasus itu masih dalam penyelidikan awal, Ayah anak ini memohon-mohon di kaki ayahku. Dia sampai menawarkan uang tutup mulut. Hahahaha. Uang tutup mulut untuk keluargaku! Serius saja?! Haaaah~ Apa dia pikir keluarga River sangat miskin? Aku agak tersinggung."
Greg mencebik cemberut.
Aiden dan Greg kemudian asik bercerita, bernostalgia mengenai kasus Philip Winter dan bagaimana keluarga River terlibat dalam meringkus tikus berdasi tersebut. Meski cerita mereka berbaur dengan cemoohan, Lucia menahan ekspresinya tetap tenang. Dia sudah puas mendengar caci-maki yang dilontarkan orang-orang pada keluarganya di masa lalu, mendengarnya sekali lagi tidak akan membuatnya kehilangan kontrol diri.
Lucia percaya dia bisa bertahan sampai manik emerald Percy kembali menghujam ke arahnya, meliriknya.
Kenapa? Tanya itu menyeruak di benak Lucia, penasaran pada makna tatapan pria itu yang menyorotnya ambigu.
Percy lalu melibatkan diri dalam obrolan teman-temannya. "Mendengar cerita Greg, sepertinya Philip Winter adalah pria yang gampang bersujud di kaki orang lain."
"Kalau sudah putus asa, harga diri tidak ada gunanya." Aiden menyahut dengan nada jenaka.
"Mhm..., karena itu, aku jadi penasaran. Bagaimana denganmu, Miss. Winter?"
Apa maksudnya?
Ada apa denganku?"
Percy menyilangkan kaki, duduk dengan gaya yang penuh arogansi. "Apa kau sanggup bersujud di kakiku?"
"Hah?" Gila, ya?
"Aku tidak punya alasan--"
"Kau punya banyak alasan," Greg memotong ucapan Lucia. sepasang iris hitamnya berbinar jenaka. "Lagipula, Percy adalah putera pemilik ICARUS Group. Kau tau, kan, perusahaan tempat ayahmu mencuri habis-habisan. Berkat ayahmu, perusahaan mereka menghadapi kerugian besar. Sampai sekarang, masih banyak proyek yang belum terselesaikan."
"Haaa..." Lucia menghela napas panjang-panjang. Betapa konyol, pikirnya.
"Aku mengerti ayahku sudah menciptakan masalah besar, tapi..., mengaitkan situasi itu padaku agak..."
Lucia lalu menjelaskan. "Aku sudah menanggung segala hutang ayahku, termasuk hutang kerugian yang dia berikan kepada ICARUS Group. Meskipun aku belum melunasi semuanya, aku membayar tagihan itu tiap bulan dengan tepat waktu. Aku tidak di posisi untuk harus bersujud di kaki siapa pun."
Juga, untuk apa dia bersujud? Memohon ampun agar hutangnya dihapus? Mustahil terjadi!
"Bayaran recehmu perbulan tidak cukup untuk mengganti rugi apa pun," timpal Percy kembali.
Memang, ucapan Percy masuk akal. Kerugian yang mereka terima begitu besar. Terlalu besar untuk Lucia mampu tutupi dengan upahnya yang tidak seberapa. Tapi, regulasi yang meminta Lucia untuk tetap membayar rugi, entah seberapa receh pun itu tidak berubah. Lucia hanya menjalankan kewajibannya.
"Bersujud di kakimu pun tidak mengganti rugi apa pun. Jadi, poinmu?"
"Hmmm, dia pemberani..." Aiden memprovokasi dari samping.
"Bagaimana kalau kubilang bersujud di kakiku akan memberikanmu sedikit keuntungan?"
Lucia memicingkan mata, skeptis pada ucapan Percy yang menyiratkan bahaya.
"Sebagai hiburanku, kalau kau bersujud di kakiku, aku akan memberikanmu 50 juta." Percy menantang Lucia, menantang gadis itu untuk menanggalkan harga dirinya.
Percy percaya, gadis yang terlahir dalam sangkar emas seperti Lucia akan memiliki arogansi setinggi dewa, dia tidak akan segampang itu menundukkan kepalanya. Bahkan setelah ia kehilangan segalanya, gadis itu masih berani menentangnya, masih berani bersikap tinggi ketika ia tidak memiliki apa pun sebagai pijakannya.
Percy tertarik ingin melihat Lucia putus asa.
"Ugh, ini memuakkan. Aku akan keluar duluan." Tidak mau menjadi saksi kegilaan teman-temannya, Marcella menarik diri keluar dari sana. Ia mencari aman dengan menutup mata pada apa pun yang terjadi di dalam ruangan penuh bajingan tersebut.
Setelah Marcella pergi, Lucia menaruh atensinya kembali pada Percy. "Apa kau serius?"
Pertanyaan Lucia membuat perubahan tak kasat mata mengatmosfer di udara. Suasana menjadi lebih suram, mencekam.
"50 juta, apa kau serius?" Lucia kembali bertanya.
Percy mengulum bibirnya, jari mengepal di atas pangkuannya. "Aku bukan pria humoris." tutur Percy.
"Kalau begitu, buktikan." Lucia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menyerahkan nomor rekeningnya. "Transfer 50 juta ke rekeningku sekarang dan aku akan bersujud di kakimu seberapa lama pun yang kau mau."
50 juta tidaklah cukup untuk melunasi hutangnya yang berjumlah ratusan juta, tapi uang sebanyak itu masih cukup untuk mengurangi sebagiannya. Bahkan bila uang itu hanya mampu mengurangi 1 persen beban hutangnya, Lucia rela menaruh keningnya di lantai marmer yang berkilau mahal tersebut.
"Apa kau akan bersujud?" Percy bertanya dengan kening terangkat sebelah, sedikit..., marah?
"Kalau kau membayar 50 juta, aku akan bersujud." Lucia menantang Percy kembali, seringai merekah tipis, sinis. Ia kemudian menapak lebih dekat ke arah Percy yang masih menatapnya dengan misteri yang memancing iritasi.
Lucia menyama-ratakan tinggi mereka dan memamerkan cengiran palsu yang jenaka.
"Jadi, Mr. Duncan, apa kau akan memegang ucapanmu atau kau hanya menggertakku?"
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!