"Mohon maaf semuanya, saya mengganggu makan malam ini sebentar." Sisilia berdiri dari duduknya. Bola matanya bergetar gugup lantaran beberapa pasang mata kini memandangi dirinya.
Mereka tak lain adalah suaminya sendiri, Dewangga Mahendra. Lalu ada papa mertuanya, Pak Mahendra, ibu mertuanya Rosita dan adik iparnya yang hampir seumuran dengan Dewangga, Denis Mahendra.
Sisilia berdiri di depan mereka karena ia harus mengatakan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang sudah ia sepakati dengan Dewangga semalam. Hanya saja, ia sedikit mengingkarinya, dan Dewangga tidak tahu itu. Maka bersiaplah dimarahi setelah makan malam nanti.
"Ada apa Kakak ipar? Wajahmu tegang sekali. Apa ada hal penting yang mau kau bicarakan dengan kami sampai mengundang kami datang kemari dihari kedua pernikahanmu dengan kakakku?" tanya Denis.
"Anu," Sisilia mengambil napas dalam. "Iya, ada yang penting yang kemarin belum sempat saya katakan saat kita berkumpul. Emm, saya mau mengatakan bahwa saya sangat senang bisa menjadi bagian dari keluarga ini," Sisilia melirik sedikit pada Dewa yang terus memandangnya. "Saya berjanji akan menjadi istri yang baik untuk mas Dewa mulai hari ini dan selamanya."
Dewa membulatkan matanya mengetahui apa yang dikatakan Sisilia tidak sama dengan yang mereka berdua janjikan kemarin. 'Apa yang kau katakan?' tanyanya dalam hati.
"Astaga, jadi karena ini kau mengundang kami?" Denis tersenyum lembut. "Iya, Kakak ipar, aku tahu kau wanita yang sangat baik dan aku percaya kau akan menjaga dan merawat kakakku ini dengan penuh kasih sayang selamanya."
Sisilia mengangguk sembari mengulum senyumnya.
"Iya Sisilia, kami percaya kepadamu." Ujar pak Hendra.
Denis memukul dahinya tiba-tiba membuat semua orang menoleh kepadanya. "Aku lupa dengan hadiah pernikahan kalian berdua. Aku ambil sebentar di mobil-"
"Tidak!" pak Mahendra menghentikan Denis. "Selesaikan makanmu, satu jam lagi papa ada urusan, jadi kita akan segera pulang."
"Oh, baiklah. Hadiahnya akan aku berikan nanti saja." Denis kembali duduk dan meneruskan makan.
Sisi tersenyum sembari melirik Dewa yang menatapnya dengan tatapan menghunus. Sampai-sampai Sisi kesulitan meneguk ludahnya sendiri karena takut.
Selesai makan malam, keluarga Dewa pamit pulang. Dewa dan Sisi mengantar mereka sampai ke depan rumah sambil memondong hadiah pemberian Denis. Hingga mobil mereka tak terlihat, barulah mereka melangkajkan kaki ke dalam rumah yang baru mereka tinggali satu malam.
Buru-buru Sisi berjalan menjauhi Dewa, tapi Dewa menghentikan langkahnya dengan suara yang lantang.
Sisi membuang napasnya, bersiap mendengarkan amarah sang suami.
"Apa yang kau katakan tadi jauh berbeda dengan yang kita diskusikan semalam. Mau membangkang?
"Maaf Mas Dewa, tapi saya punya banyak alasan untuk tidak bercerai dari Mas Dewa. Posisi saya sulit, tolong dimengerti!"
"Tinggal bilang kau mau pisah denganku di depan keluargaku saja kau tidak bisa. Posisi sulit apa yang kau maksud, hah?"
Sisi menaruh kotak kado biru miliknya di atas meja ruang tamu. Ia berbalik seraya menundukkan kepala.
"Pernikahan ini melibatkan kita berdua. Saya menerima pernikahan ini karena balas budi atas kebaikan ayah yang telah membesarkan saya dan almarhum kakek Anda yang sudah sering membantu keluarga saya. Tolong, mengertilah Mas Dewa. Jangan batalkan pernikahan ini." Meski sebenarnya takut, Sisi tetaplah Sisi, yang selalu berkata jujur apa adanya dan menerima konsekuensi atas perbuatannya.
"Lalu, apa kau juga tidak memikirkan aku. Aku tertekan dengan pernikahan ini. Kau harus tahu, membalas budi tidak hanya dengan cara seperti ini. Ada banyak cara yang bisa kau lakukan untuk membalas budi pada ayahmu atau pada kakekku."
Sisi menundukkan kepala semakin dalam. "Aku tidak memiliki apa-apa, jadi tidak ada cara lain selain ini. Maaf."
Sisi meraih kotak kadonya lalu perlahan meninggalkan Dewa.
"Berapa uang yang kau butuhkan. Aku tahu kalian selalu ada di samping keluargaku karena uang kan? Berapa?!"
Sisi berusaha tidak mempedulikan ucapan Dewa meski sebenarnya ia tersinggung dengan kalimat yang keluar dari mulut Dewa. Sisi dan ayahnya bukanlah keluarga matre, dan Dewa jelas tidak memahami arti balas budi yang dimaksudkan Sisi tadi.
Dewangga dan Sisi. Dua insan yang kini telah terikat ke dalam hubungan pernikahan. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya karena Dewangga belajar di Jerman dan baru satu tahun ini ia berada di Indonesia. Sementara Sisi baru saja lulus SMA tahun ini. Usianya baru menginjak 19, terpaut 8 tahun dengan Dewangga.
Karena perjodohan ayah Sisi dan kakek Dewangga itulah yang membuat mereka menikah.
Pernikahan mereka tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dekat mereka saja dan tidak diumumkan ke publik meski keluarga Mahendra adalah salah satu keluarga terkaya di kota mereka.
Dan hari ini adalah hari kedua pernikahan mereka. Dewangga telah merencanakan makan malam ini agar keluarganya mendengar pengakuan Sisilia yang ingin bercerai dan mengakhiri hubungan palsu mereka. Namun rencananya sepertinya gagal gara-gara Sisi yang merubah alur. Dan sepertinya pertemuan malam ini malah semakin mengikat erat hubungan pernikahan mereka.
Seminggu sudah Sisi dan Dewa menjadi sepasang suami istri. Namun mereka berdua tidaklah satu kamar. Dewangga berada di kamar utama lantai dua, sementara Sisi ada di kamar tamu lantai bawah. Dan selepas makan malam beberapa waktu lalu, Dewa tidak menegur Sisi sama sekali.
"Sisi, berikan coklat panas ini pada Dewa." Pinta bibi Rumi, asisten rumah tangga mereka yang dulunya adalah pengasuh Dewa sejak Dewa dilahirkan.
"Mas Dewa tidak akan mau menerima pemberian saya Bibi."
"Kalau terus diam, kapan kalian akan menjadi suami istri sungguhan. Cobalah memperbaiki keadaan, terima nampan ini dan berikan pada Dewa. Dia ada di kamarnya."
'Mungkin ini kesempatan bagiku untuk berbuat baik kepadanya.' Akhirnya Sisi menerima nampan itu dan membawanya ke lantai dua.
Langkah kaki Sisi terhenti di depan pintu kamar Dewa yang terbuka. Ia bisa melihat saat ini Dewa tengah sibuk di depan layar laptopnya yang menyala. Mungkin karena besok dia sudah mulai masuk kerja sehingga dia memeriksa beberapa pekerjaan untuk ia gunakan sebagai persiapan masuk kerja.
"Saya bawakan coklat hangat untuk Anda."
"Lain kali kau tidak perlu membawakannya untukku. Aku muak melihatmu." Jawab Dewa tanpa melihat ke arah Sisi sedikitpun.
Sisi menghela napasnya. Ia letakkan segelas susu coklat itu di atas meja, dekat dengan laptop Dewa.
"Mas Dewa, besok saya izin pulang sebentar ya. Ada beberapa barang yang tertinggal di rumah."
Dewa tak menjawab, hingga Sisi hampir keluar ia kembali bersuara.
"Tidak perlu izin, tidak perlu mengatakan apapun padaku. Lakukan saja apa yang kau mau, dan aku akan melakukan apapun yang aku mau."
Sisi hanya mengangguk, kemudian kembali ke dapur.
"Apa Dewa mau menerimanya." Tanya bi Rumi yang menyambut Sisi dari lantai bawah.
Sisi tersenyum dan mengiyakan, tanpa ia bicara akan sikap Dewa terhadap dirinya.
"Syukurlah. Semoga kalian semakin akrab setelah ini."
'Mudah-mudahan.'
**
Keesokan paginya, dengan naik taksi Sisi pulang ke rumah. Kebetulan ayahnya, Rudi Nugraha sedang bekerja, satu kantor dengan Dewa.
Dulu Rudi adalah tangan kanan kakeknya Dewa, dan sekarang ia berganti posisi menjadi manajer keuangan setelah kakek Dewa meninggal. Juga merupakan penasehat bagi Mahendra yang saat ini menduduki kursi pemilik utama perusahaan Maha Endra.
Sisi tersenyum melihat keadaan rumahnya yang lumayan berantakan. Maklumlah, hanya ayahnya yang tinggal. Ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu karena sakit kanker rahim. Dan ayahnya tidak menikah lagi.
Segera Sisi mengambil sapu dan menyapu lantai, juga membersihkan dapur.
Dilihatnya dalam kulkas tidak ada bahan makanan apapun, kecuali telur dan mie instan. Ayahnya memang tidak terlalu pandai memasak. Selama ini dialah yang memegang seisi dapur untuk mengisi perut.
"Ayah, maafkan aku." Katanya.
Selesai ia meringkas pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, Sisi berbelanja di supermarket terdekat.
Beberapa bahan makanan ia ambil, lalu kemudian keperluan kamar mandi dan apa saja yang dibutuhkan di rumah.
Saat ia mengantri di kasir, ada seorang gadis yang kebingungan mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Sebenarnya aku menaruhnya dimana? Perasaan tadi aku bawa!" ucapnya sembari terus mengaduk seisi tas.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" Sisi menawarkan bantuan pada wanita itu.
"Ah, aku mencari dompetku yang berisi kartu kredit dan lainnya. Tapi sepertinya tidak ada. Aku juga harus segera membayar belanjaanku. Aku buru-buru."
"Akan saya bayar agar Anda tidak terlambat."
"Aku tidak mau merepotkan. Tidak apa, aku tidak jadi belanja." Wanita itu meletakkan belanjaannya dan hendak pergi.
"Tidak merepotkan. Mbak, tolong belanjaan ini jadikan satu saja dengan belanjaan saya."
"Kau sepertinya masih sangat muda. Tapi baik sekali. Terima kasih kau sudah menolongku."
"Sama-sama."
"Aku buru-buru, ada urusan yang harus aku kerjakan, aku pergi dulu ya, aku harap kita bisa bertemu suatu saat nanti agar aku bisa membalas budi baikmu." Wanita itu bergegas melambai pada Sisi dan meninggalkan supermarket.
Sebentar lagi Rudi akan pulang kerja, begitupun Dewa. Jadi Sisi menelpon ayahnya dan mengatakan kalau dia sudah menyiapkan makan malam.
Lalu ia buru-buru pulang menyiapkan makanan untuk suaminya.
"Kau sudah kembali?"
"Sudah Bibi, saya hanya mengambil beberapa baju saja. Apa mas Dewa sudah kembali?"
"Belum. Mungkin sebentar lagi."
"Baiklah, saya akan menyiapkan makan malam untuk mas Dewa."
"Istirahat saja dulu, biar bibi yang menyiapkan."
"Tidak, biar saya saja."
Sisi memakai apron di tubuhnya, lalu mengambil daging ayam yang tadi ia beli.
Ia memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu membuatkan bumbu marinasi dan melumurkannya pada potongan ayam tersebut. Ia simpan di dalam lemari es, jika Dewa kembali ia akan menggoreng nya nanti.
Sekarang, ia akan memasak sayur berkuah tanpa penyedap dan MSG tentunya.
"Kau rajin sekali," puji bibi Rumi yang membantu Sisi menyiapkan makanan.
"Tidak, hanya kewajiban saja yang memang harus saya lakukan."
"Aku tidak percaya kau baru lulus SMA."
Sisi tertawa. "Memangnya kenapa Bibi, apa saya terlihat sangat tua?"
"Bukan itu, tapi sikapmu yang sangat bertanggungjawab pada tugas itulah yang membuatmu dewasa, Nak."
"Jangan banyak memuji Bibi, saya masih harus banyak belajar."
Makan malam telah selesai. Sudah ada beberapa menu yang terhidang di atas meja. Harusnya Dewa sudah kembali, tapi sampai sekarang dia belum juga datang.
Sisi berpikir mungkin Dewa ada pekerjaan lain yang belum selesai. Maka Sisi memilih membersihkan diri lebih dulu di kamar mandi. Badannya sudah sangat lengket.
Selesai mandi, sembari bersenandung, ia merias sedikit wajahnya dengan bedak dan juga lipstik untuk memerahkan bibir. Meski sebenarnya ia tak nyaman dengan keadaannya di rumah ini. Tapi untuk apa diratapi. Ia hanya perlu menghadapinya saja.
Jam dinding sudah menunjuk angka 9 malam, tapi Dewa belum juga pulang. Sisi duduk menunggu di ruang makan, menanti suaminya kembali.
"Anda dimana?"
**
Di sebuah taman, yang indah dengan bunga-bunga bermekaran mengelilingi taman, seorang pria dan wanita berdiri berhadapan, saling memandang penuh intens.
Yang laki-laki sangat tampan dengan tubuhnya yang menjulang tinggi, dan wanitanya juga tinggi, berambut panjang dan berpakaian modis. Sangat cocok jika dilihat-lihat.
Mereka tak lain adalah Dewa, dan kekasihnya, Zaskia.
"Aku merindukanmu." Dewa menyingkirkan juntaian rambut Zaskia ke belakang kuping agar ia dapat melihat dengan jelas wajah cantik yang sejak setahun ini menghiasi hari-harinya.
Zaskia Arneta. Gadis itu berusia sekitar 25 tahun. Penampilannya yang selalu modis selalu membuat Dewa jatuh hati kepadanya.
Sikapnya yang juga dewasa, serta mapan pun menjadi alasan kuat Dewa sangat mencintai Zaskia.
"Tumben. Kau seperti tidak melihatku beberapa tahun saja, Dewa. Ini tempat umum, jangan sok mesra seperti itu."
"Kau benar. Hari-hari ini aku serasa jauh darimu."
"Aku memang ada di luar kota. Jelas saja aku jauh darimu."
Zaskia menyingkirkan tangan Dewa yang melingkari pinggang rampingnya.
Pandangan Zaskia mengarah pada seorang penjual es krim yang tengah dikerubuti banyak anak kecil. Dan kebetulan tenggorokannya kering sekarang. Ia pun mengajak Dewa ke sana dan membeli dua porsi es krim bercampur toping buah dan juga roti.
"Sibuk apa sampai tidak menghubungiku?" tanya Zaskia setelah menyuapkan satu sendok penuh es krim ke dalam mulutnya.
"Ya, ada kesibukan kerja." Dewa berbohong. Untuk saat ini ia tak berpikir akan mengatakan tentang pernikahannya dengan Sisi.
Dewa belum siap hubungannya dengan Zaskia putus. Dia hanya perlu waktu untuk melepaskan Sisi dan menikah dengan Zaskia, wanita yang sudah dia pilih untuk melahirkan anak-anaknya kelak.
"Cari uang untuk nikah kita?!" Ledek Zaskia sembari tertawa kecil.
Dewa tak henti-hentinya memandangi wajah Zaskia. Senyumnya, gerak lembut wanita itu benar-benar telah menyihir mata dan hati Dewangga.
"Malam ini sangat indah. Aku senang kita bisa bertemu seperti ini. Besok bertemu lagi ya?!" Ajak Dewa seraya membukakan pintu mobil untuk pujaan hatinya.
"Baiklah, tempatnya kau saja yang menentukan."
"Ok. Aku antar kau pulang sekarang."
Mobil melaju membelah kota malam bertabur kerlip lampu jalanan. Begitu indah, membahagiakan dan suasananya sudah tak bisa dirangkai dengan kata-kata lagi. Itulah yang dirasakan Dewa sekarang, hingga ia tak sadar, Sisi masih menungguinya di rumah. Menanti penuh kesetiaan dan kesabaran.
"Sudah jam 12, mas Dewa belum juga kembali." Katanya sembari mengintip dari balik tirai jendela.
Desiran angin dingin membelai dirinya. Tangannya perlahan memeluk tubuhnya sendiri yang berbalut piyama panjang.
"Dingin. Aku akan ambil jaket."
Baru dua langkah ia mendengar suara klakson berbunyi. Gegas Sisi mengintip dari jendela dan melihat mobil Dewa memasuki gerbang rumah mereka.
Senyumnya merekah. Segera ia membuka pintu dan menyambut kedatangan Dewa.
"Apa?" Tanya Dewa dengan ketusnya.
"Saya akan menghangatkan sayur dan menggorengkan ayam untuk lauk Anda. Anda pasti lelah karena barusan lembur."
"Kau menungguku? Siapa yang menyuruhmu?"
"Tidak ada. Saya hanya ingin-"
"Lain kali tidak perlu. Lagian aku tidak lapar, simpan saja makanannya untukmu sendiri besok."
Sisi terdiam. Kecewa? Iya. Ia hanya berusaha untuk menjadi istri yang baik untuk Dewa. Apalagi Dewa adalah tulang punggung keluarga, jadi dia ingin memberikan yang terbaik untuk Dewa walau hanya memberikan gizi berupa makanan yang sehat. Apa Sisi salah?
Langkah Dewa cepat menaiki tangga meninggalkan Sisi yang memandanginya di lantai bawah.
Buru-buru Sisi mengejar Dewa. "Akan saya buatkan coklat hangat."
Dewa berbalik memandang tajam Sisi. "Tidak perlu. Kembali ke kamarmu dan tidur saja."
"Biarkan saya melakukan tugas saya." Sisi memandang lekat pria yang kini telah menjadi suaminya itu. "Walau ... hanya sekedar membuatkan Anda segelas susu coklat. Biarkan saya melakukannya." Sisi memohon dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak akan meminumnya meskipun setiap malam kau membuatkannya untukku!"
"Tidak apa-apa," Sisi tersenyum. "Itu hak Anda, yang penting saya bisa melakukannya."
"Dasar keras kepala."
Sisi merebus air di atas kompor. Sembari menunggu airnya mendidih, Sisi meracik bubuk coklat ke dalam gelas. Ia tak menambahkan gula lagi dalam gelas itu karena menurutnya bubuk coklat itu sudah cukup manis.
Selesai meracik, ia bawakan gelas itu ke dalam kamar Dewa. Nampak Dewa baru saja mandi dan menggunakan pakaian piyama berlengan pendek bercelana panjang warna biru. Rambutnya yang basah ia tarik ke belakang, semakin membuatnya tampan saja. Bibirnya yang tebal dan merah muda, kulitnya yang putih membuat Sisi sulit mengalihkan pandangan.
"Taruh di meja dan pergilah. Dan jangan melihatku seperti itu, aku benci."
Sisi masih berdiri tanpa menghiraukan keinginan Dewa untuk pergi.
"Kenapa diam saja. Pergilah!"
"Apa hubungan ini tidak bisa dibenahi?"
"Tidak. Jangan berharap lebih dari hubungan ini. Kalau kau tidak ingin berpisah, maka aku sendiri yang akan bilang pada keluarga kalau kita akan berpisah."
Dewa mendekati Sisi. "Umurmu masih sangat muda, kau bisa memilih pria yang benar-benar menyukaimu." Dewa semakin memandang wajah gadis itu lalu memujinya. "Kau sangat cantik, tapi aku tidak menyukaimu."
"Kalau begitu, saya tetap akan mempertahankan pernikahan ini dengan cara saya sendiri. Walau Anda tidak setuju, tapi saya tidak akan mau menyakiti hati keluarga yang telah mendukung pernikahan ini!"
"Yaampun, wanita macam apa kau ini?!" Dewa frustasi mendengar kalimat Sisi barusan. "Apa kau tidak paham artinya di tolak?"
"Tapi saya juga punya prinsip!"
"Prinsip macam apa yang kau miliki itu. Dasar tidak waras."
"Baiklah baiklah, saya minta maaf. Anda minum ya coklatnya mumpung masih hangat. Saya permisi dulu."
"Dasar tidak waras." Dewa menutup dengan keras pintu kamarnya sambil merutuki Sisi yang menurutnya adalah wanita aneh. "Apa gadis muda itu seperti itu? Jika punya keinginan harus dituruti. Kekanak-kanakan sekali."
**
"Kenapa murung. Apa ada masalah?" tanya Denis. Ia menarik kursi dan duduk di depan meja Dewangga.
"Selama ini kau mengenalku kan?"
"Tentu saja, kau kakakku."
"Kalau aku tidak suka pada sesuatu, apa keputusanku selanjutnya?"
"Melepaskannya, membuangnya."
"Itupun akan aku lakukan pada gadis kecil itu. Aku tidak suka padanya."
"Apa?" Denis terkejut. "Jangan macam-macam. Kalian sudah terikat dengan pernikahan."
"Manfaat dari pernikahan ini apa? Kalian sama sekali tidak memahami perasaanku. Aku tidak suka sama gadis itu."
"Sisi namanya. Jangan sebut dia 'gadis itu' terus." Denis menjentikkan jarinya. "Dengan pernikahan kalian, keluarga kita tidak memiliki hutang budi lagi pada keluarga Sisi."
"Hutang budi apa itu?"
"Yang aku tahu ayah Sisi sudah mengabdikan dirinya di perusahaan kita cukup lama. Tiap ada masalah, beliau cukup andil untuk menyelesaikan masalah itu. Wajar kalau kau tidak tahu. Hidupmu baru setahun di sini."
"Hemmm, tapi bukan dengan pernikahan cara untuk membalas budi. Kenapa pikiran kalian sama seperti gadis itu?"
"Sisi Dewa, Sisi-"
Tok tok tok
Ucapan Denis terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. Lalu ia bangkit dan membuka pintu itu.
"Mama, ada apa?"
"Biarkan mama masuk dulu."
"Oh iya, baik-baik. Masuk Ma."
Rosita berdiri di dekat kedua anaknya.
"Dewa, persiapkan Sisi untuk besok. Mama akan mulai memperkenalkannya ke publik."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!