NovelToon NovelToon

Misteri Pemutus Cinta Raven

Prolog-Claire Ditinggalkan Papanya

 

“Tabahkan hatimu, Claire!” Raven memeluk pundak Claire dengan sebelah tangannya yang kekar, sementara jari-jemarinya mengusap lembut rambut gadis itu yang terurai berombak sampai ke punggung, dipermainkan angin sepoi-sepoi nan sejuk.

Claire, puteri semata wayang almarhum Derby Harrington, pemilik jaringan hotel berbintang lima yang terkemuka, hanya mampu menunduk dengan wajah pucat. Air mukanya melukiskan kesedihan yang amat sangat, dan seolah-olah ada sesuatu beban berat yang ditanggung oleh gadis cantik itu.

“Aku tak apa-apa,” Claire menyusut air matanya yang hampir kering. Dengan tangan kirinya ia balas menyentuh tangan kekar laki-laki itu yang bersandar di pundaknya. Tanpa berusaha tersenyum, ia melanjutkan, “Mama meninggalkanku ketika aku masih berusia 10 tahun. Dan sekarang Papa menyusulnya, 13 tahun kemudian. Aku sudah siap, Raven! Aku sudah siap bila sekarang aku harus menjadi sebatang kara di dunia yang kejam ini….”

Ucapan gadis itu terhenti sampai di situ, matanya memandang tak percaya pada gundukan tanah yang masih merah di hadapannya. Di sana, adalah tempat peristirahatan terakhir orang yang sangat dikasihinya, Papanya, tempatnya bersandar selama ini. Tempatnya bermanja dan beroleh segala hal yang diinginkannya tanpa pernah sekalipun kekurangan. Karena Derby Harrington, sang Papa sangat mengasihi puteri satu\-satunya itu, sehingga memberikannya segala kehidupan mewah yang bergelimangan tanpa pernah merasa kesusahan.

“Kau tidak sebatang kara di dunia ini, Claire,” Raven mempererat pelukannya, sehingga sekarang bahu gadis itu bersandar pada dadanya yang bidang. “Aku ada bersamamu, dan untuk selamanya aku akan tetap bersamamu. Aku akan menjagamu seperti pesan papamu selama ini. Lagipula, aku sudah berjanji pada papamu untuk menjagamu selalu. Tidak akan kubiarkan seorang pun menyakitimu, Claire.”

Gadis itu tergugu. Dalam isaknya ia menumpahkan segala keluh kesahnya di dada laki-laki yang selama ini selalu ada di sampingnya. Laki-laki yang sudah dibesarkan oleh papanya selama 10 tahun belakangan ini semenjak orang tua laki-laki itu meninggal. Bahkan, papanya selalu berkata kalau Raven itu sudah seperti anaknya sendiri.

“Benarkah itu?” tanyanya bagai tak percaya. “Benarkah kau akan selalu menjagaku, Raven? Kau tidak akan pernah meninggalkanku?”

“Tidak akan pernah, Claire,” jawabnya pasti. “Aku pasti tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu menjagamu. Menjagamu….” bisiknya perlahan.

Kini wajahnya sudah menyentuh kepala gadis itu. Dengan lembut ia mencium kepalanya dan semakin mempererat pelukannya.

Angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut tadi, tiba-tiba berubah kencang dan seperti mendesau. Langit mulai berubah mendung. Tak lama kemudian, hujan turun rintik-rintik. Petir dan kilat berbunyi saling menyambar di atas langit, seolah-olah turut bersedih atas kejadian yang menimpa gadis itu. Juga seolah-olah menjadi saksi atas ucapan Raven untuk menjaga dan tidak meninggalkan gadis itu selamanya.

Kerumuman di sekeliling makam itu bubar dengan sendirinya. Orang-orang berpakaian hitam mencari tempat berteduh, menghindar dari curahan hujan yang kemudian berubah deras.

Raven menerima payung besar yang diberikan oleh orangnya Claire. Lalu dengan payung itu ia melindungi gadis itu dari siraman air hujan. Berdua, mereka berjalan beriringan di bawah payung menuju tempat perteduhan….

 

* * *

Bab 1.

 

“Nona Claire sedang tidak enak badan!” kata pengasuh yang sudah menjaga gadis itu selama belasan tahun belakangan ini, semenjak mama gadis itu meninggal.

“Oh ya?” Raven tampak cemas mendengar berita yang menyambutnya ketika langkahnya sampai di pintu utama rumah megah bagai istana itu. Rumah yang selama sepuluh tahun ini dihuninya bersama Claire, papanya Claire, pengasuh, dan belasan pelayan yang selalu siap sedia melayani mereka sampai untuk hal-hal yang kecil sekalipun.

Rumah itu sangat mewah. Berdiri di atas lahan seluas tiga hektar. Pagar besar dengan deretan beberapa pohon tinggi di depannya. Garasi mobil besar untuk memuat tiga buah mobil bahkan lebih. Halaman yang sangat luas di sekeliling rumah itu. Taman depan di hiasi tanaman-tanaman hias. Pintu utama yang besar dan megah. Juga beberapa pintu samping. Ada teras depan dan teras belakang. Di dekat teras belakang ada kolam renang besar.

Memasuki rumah itu, lengkap dengan ruangan-ruangan yang nyaman dan asri. Kamar tidur ada belasan buah. Tentu saja, kamar tidur Claire adalah kamar tidur utama dan terletak di lantai dua. Sedangkan kamar Raven berseberangan dengan kamar Claire. Juga ada ruangan kerja bekas papanya Claire yang dilengkapi dengan pernak-pernik, perpustakaan, meja, komputer dan laptop. Juga ada laboratorium pribadi.

Karena Raven bekerja di perusahaan papanya Claire dan tinggal di rumah papanya Claire, maka dia juga punya sebuah ruang kerja pribadi yang tak kalah lengkapnya. Raven sering berkutat dengan komputer dan laptopnya di malam hari selepas kerja. Raven ikut berjuang membantu papanya Claire yang telah berbaik hati menampungnya semenjak dia menjadi seorang yatim piatu 10 tahun lalu.

Ia tidak mungkin bisa membalas semua budi baik orang tua itu yang telah membesarkan dan menyekolahkannya di sekolah terfavorit sampai mendapatkan gelar kesarjanaan. Dan sekarang, di usianya yang menginjak 24 tahun, lebih tua satu tahun dari Claire, ia sudah dipercaya menjadi tangan kanan orang nomor satu di perusahaan.

Beberapa tahun belakangan ini ia sudah belajar banyak selama berada di samping papanya Claire. Belajar banyak tentang seluk-beluk perusahaan yang amat kompleks dan menguras pikiran. Tapi ia rela, karena hanya dengan kesungguhan yang ia tunjukkanlah ia bisa membalas budi baik orang tua itu sedikit demi sedikit.

Sekarang, orang tua itu telah tiada, dan meninggalkan seorang puteri kesayangan yang harus ia jaga dengan sepenuh hati. Tapi puteri itu sedang sakit.

“Apakah serius Ma’am?” tanya Raven. Ia biasa memanggil pengasuh setengah baya itu dengan sebutan Ma’am, seperti orang-orang di rumah itu memanggilnya begitu. Claire juga demikian.

“Tampaknya cukup serius,” jawab wanita yang dipanggil Ma’am itu. Langkah kakinya tergopoh-gopoh mengiringi langkah-langkah kaki Raven yang tegar dan cepat. Tampaknya ia agak kesusahan karena kaki-kakinya yang gemuk cukup terbebani oleh berat badannya yang berlebih.

“Tadi Dokter Aaron sudah datang,” kata wanita itu lagi. Mereka berjalan menuju tangga untuk ke lantai dua.

“Apa katanya?” tanya Raven. Dokter Aaron adalah dokter pribadi keluarga Harrington.

“Katanya Nona kecapekan. Mungkin karena terlalu sedih ditinggal oleh almarhum Tuan Besar, sampai Nona menangis setiap hari. Nona terus mengurung diri di kamar semenjak kematian papanya, jarang mau makan sampai-sampai sakit dan mengigau.

Raven tidak bertanya lagi. Sekarang yang ada di benaknya adalah segera sampai di kamar Claire dan melihat gadis itu. Memang, selama seminggu ini ia tidak pulang ke rumah. Semua perkerjaan papanya Claire terbengkalai selama tiga hari mereka berkabung dengan tidak melakukan aktivitas apapun. Jadi setelah masuk kantor di hotel itu, banyak sekali yang harus ia benahi. Siang dan malam ia bekerja di perusahaan sampai tidak sempat pulang ke rumah dan bermalam di kamar khusus yang memang disediakan di hotel itu.

“Claire…,” Raven membuka pintu kamar Claire dan segera melangkahkan kakinya ke dalam disusul oleh si pengasuh.

Wajah cantik yang tampak kuyu itu menoleh. Sejenak, ia tersenyum, tetapi senyumnya begitu hambar.

“Raven…,” ucapnya kecil dengan suara serak. “Akhirnya kau datang…. Aku sudah lama menunggumu….”

“Maafkan aku, Claire,” Raven segera menempatkan diri di sisi pembaringan. Ia berjongkok di sana dan meraih tangan gadis itu dalam genggamannya.

“Maafkan aku…,” ulangnya lagi. “Aku tidak pulang selama seminggu ini. Aku ada di kantor, Claire. Banyak perkerjaan papamu yang terbengkalai yang harus aku benahi. Hari ini aku memaksa untuk pulang karena mendapat telepon dari Ma’am yang mengabarkan kalau kau sakit dan terus mengigau memanggil namaku. Kau mencariku? Ada apa? Maaf ya, Claire, sekarang aku sudah ada di sampingmu. Kau harus sembuh ya?”

Claire tersenyum. Kali ini, senyumnya tidak lagi hambar. Mulai ada setetes kebahagiaan di sana setelah mendengar penjelasan dari laki-laki itu.

“Aku pikir kau melupakanku, Raven,” katanya manja dengan suara lemah.

“Tidak mungkin, Claire. Aku sudah berjanji padamu bukan?”

Claire tersenyum lagi. Raven mencium lembut tangannya.

Seorang pelayan masuk, membawa beraneka macam makanan untuk Claire yang tersaji di tempayan. Pengasuh itu menerimanya dan pelayan itu keluar.

“Kau harus makan, Claire,” kata Raven lalu menerima makanan itu dari si pengasuh. “Kata Ma’am, kau jarang mau makan selama beberapa hari ini. Jangan begitu ya, kau jangan terus-terusan bersedih. Banyak yang menyayangimu. Aku, Ma’am, dan semua orang di sekelilingmu menyayangimu. Kalau kau sakit, kita semua akan sedih. Terutama lagi papamu yang mungkin mengawasimu dari atas sana.”

Ma’am membantu mendudukkan Claire yang sedang berbaring. Dia meninggikan bantal besar tempat Claire bersandar dan merapikan rambutnya.

Raven menyendok makanan dari mangkok dan menyuapkannya ke mulut Claire.

Dengan perlahan Claire membuka mulutnya dan mencicipi makanan yang disuapkan oleh Raven. Mulutnya terasa kaku dan kering karena sudah lama tidak digerakkan.

“Aku mau minum…,” katanya terbata. Makanan itu hampir saja tersekat di kerongkongannya dan ia terbatuk sesaat.

Pengasuh itu cepat-cepat mengambilkan minuman untuk Claire.

Claire melanjutkan makannya. Setelah beberapa suapan, Raven berhenti.

“Obatnya diminum ya, Nona!” kata Ma’am. Lalu dia memasukkan beberapa butir obat yang diberikan oleh Dokter Aaron tadi ke dalam mulut Claire.

Sesaat, Raven membiarkan Claire tenang sejenak. Dia membantu gadis itu membaringkan tubuhnya kembali.

Suasana dalam kamar tidur Claire yang besar benar-benar memberikan nuansa sejuk dan nyaman dalam desain kemewahan yang super lux. Pasti banyak orang yang beranggapan bahwa Claire adalah seorang gadis muda multijutawan yang amat beruntung, karena hidup dalam kemewahan dan mewarisi seluruh kekayaan orang tuanya.

Tetapi sebenarnya Claire tidak begitu beruntung. Karena mamanya meninggal pada saat ia masih berusia 10 tahun, dan papanya juga tidak selalu ada di sampingnya. Beliau terlalu sibuk mengurus bisnis besarnya.

Sejak mamanya tiada, dia diurus oleh seorang pengasuh yang dengan setia selalu menemani dan melayaninya bak seorang tuan puteri yang tak ternilai harganya. Selain itu juga ada belasan pelayan yang memasak, membereskan rumah dan melayani pemilik rumah itu.

Claire kecil kehilangan kasih sayang seorang ibu, dan juga kekurangan kasih sayang dari seorang ayah. Di saat kebanyakan orang bergembira bersama keluarganya, Claire kecil lebih banyak diam di rumah, bermain sendirian.

Tetapi untunglah di saat usianya 13 tahun, papanya membawa pulang seorang teman untuknya. Seorang laki-laki beranjak remaja yang tampan dan hampir sebaya dengannya. Yaitu Raven.

Papanya Raven yang adalah asistennya papa Claire, meninggal 10 tahun lalu dalam kecelakaan mobil, sedangkan mamanya Raven menyusulnya kemudian karena bunuh diri.

Mengingat Raven adalah putra dari seorang bawahannya yang dengan setia telah mengabdi padanya selama puluhan tahun ini, maka dengan hati ikhlas dan tangan terbuka Derby Harrington menampung anak itu di rumahnya, sekaligus menjadi teman bermain putrinya.

Mulai hari itu, Raven dan Claire tinggal di rumah yang sama. Bermain bersama, bersekolah di sekolah yang sama, dan kemana-mana selalu bersama. Raven selalu melindunginya dari kejahilan siapapun dan tidak membiarkan seorang pun menyakitinya.

Tetapi beberapa tahun belakangan ini, Claire merasa Raven telah menjauh darinya. Semenjak Raven beranjak dewasa dan mulai terjun dalam bisnis besar mengikuti jejak papanya Claire, dia jadi jarang ada di rumah dan jarang menemani gadis itu. Setiap hari dia lebih banyak ada di samping papanya Claire, menemani ke mana saja Beliau pergi, dan mempelajari langkah-langkah bisnisnya. Kadang dia dipercayai menangani suatu proyek besar dan dari sanalah dia belajar menjadi lebih pintar.

“Aku ingin mengajukan satu permintaan padamu, Raven,” kata Claire kemudian.

“Ohya? Permintaan apa itu?” tanya Raven tertarik.

Claire diam sejenak. “Aku ingin…, belajar bekerja di perusahaan. Aku ingin bekerja seperti Papa. Tapi…, aku tidak tahu apakah aku mampu, karena sedari dulu aku tidak pernah aktif di perusahaan. Kau tahu kan, aku terlalu dimanja oleh Papa sampai-sampai tidak bisa melakukan apa-apa kecuali belajar terus.”

Raven tersenyum. “Itukah permintaanmu, Claire?” tanyanya merasa geli. Tuan Puteri ingin bekerja. Tuan Puteri yang selama ini hanya tahu kuliah, bersenang-senang, dan menikmati kemewahan, kini ingin bekerja.

“Tapi jurusan yang kau ambil di universitas, bukan di bidang ekonomi, tidak seperti aku, Claire. Aku juga heran, kenapa kau sampai mau mengambil jurusan eksakta, dan setiap hari melakukan percobaan-percobaan di lab pribadimu.”

“Itu salah satu hobiku, Raven. Kau tahu kan!” Claire tertunduk malu.

Sebenarnya, Claire bukan gadis kaya yang tidak tahu apa-apa. Karena ia pintar melukis, mendesain baju, dan bermain musik. Selain kuliah mengambil jurusan ilmu kimia di universitas, Claire juga mengikuti sekolah khusus melukis, kursus mendesain baju, dan kursus musik.

“Ya, sebenarnya tak mengapa, Claire. Kalau kau memang mau terjun ke perusahaan, aku bisa mengajarimu sedikit demi sedikit. Yang penting, kau ada minat belajar dan merasa tertarik. Walaupun kau sama sekali tidak tahu apa-apa tentang seluk-beluk perusahaan, tapi karena kau gadis yang pintar dan cerdas, aku yakin dalam waktu singkat kau pasti bisa menguasainya.”

“Kau akan mengajariku, Raven?” tanya Claire tak percaya. “Benarkah kau mau mengajariku? Tidakkah itu akan menambah beban dan tugasmu?”

Kali ini Raven tertawa. Dengan gemas ia mengacak-acak rambut Claire yang terurai panjang. “Tentu saja, Tuan Puteri,” katanya pasti. ”Apapun permintaanmu, akan aku kabulkan. Bukankah dari dulu selalu begitu? Tidak pernah sekalipun aku mengecewakanmu. Tapi yang paling penting sekarang ini, sebelum bekerja, kau harus sembuh dulu.”

“Aku pasti akan sembuh segera!” kata Claire semangat. “Aku sudah tidak betah lagi lama-lama berbaring di sini. Aku ingin bangkit lagi, dan memulai kehidupan baruku. Aku ingin merasakan kesusahan Papa setiap hari mengurus perusahaan dengan pernak-perniknya. Aku ingin Papa bisa melihat dari atas sana, kalau aku juga mampu bekerja seperti dia.”

“Kau boleh memulainya kapan saja kau siap, Claire. Kapan rencananya?” tanya Raven.

“Terima kasih, Raven, aku pikir secepatnya!” jawab gadis itu.

* * *

Claire Mulai Masuk ke Perusahaan

 Bab 2.

“Selamat Datang di Perusahaan, Nona Harrington. Kami Menanti Anda, Mencintai Anda, dan Mohon Petunjuknya.”

Demikian bunyi spanduk besar yang sengaja digantungkan di dekat pintu masuk hotel, untuk menyambut kedatangan Claire Harrington, puteri tunggal dari almarhum Derby Harrington, pemilik hotel berbintang lima, ‘Harrington’.

Senyum tipis mengembang dari bibir Claire yang indah, ketika ia berjalan menuju pintu masuk hotel milik keluarganya, seturunnya dari mobil Mercedez hitam yang membawanya dari rumah, bersama Raven.

Dua barisan pegawai hotel yang memakai pakaian seragam, menundukkan kepala memberi hormat pada Claire yang melangkahkan kakinya dengan halus dan berwibawa.

Claire memandang ke kiri dan kanan, melempar senyum, dan membuka kacamata hitamnya yang tipis begitu kakinya sampai di dalam hotel.

“Silakan Nona…,” seorang pegawai hotel wanita yang sepertinya memiliki jabatan yang cukup tinggi di hotel itu, karena terlihat dari pakaian seragamnya yang agak berbeda dari pegawai yang lain, menuntun langkah-langkah kaki Claire untuk dibawa ke suatu tempat.

Claire menganggukkan kepalanya dengan anggun. Raven terus berada di sisinya. Akhirnya wanita itu menuntun mereka sampai di sebuah ruangan khusus yang memang telah disediakan untuk Claire.

“Terima kasih,” sekali lagi Claire menganggukkan kepala.

“Oh iya, ini Nona Caroline, Manajer di sini,” kata Raven memperkenalkan wanita itu pada Claire.

“Iya…,” Claire melirik sejenak pada wanita berusia sekitar 30-an itu. Lumayan rapi, sopan, dan cukup berwibawa, pikirnya.

“Nona Caroline yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berlaku di sini. Dan sekarang, dia akan bertanggung jawab langsung padamu,” jelas Raven lagi.

“Iya, kau boleh pergi sekarang,” Claire berkata pada sang manajer. “Aku akan memanggilmu lagi nanti.”

“Terima kasih, Nona, mohon petunjuknya,” Caroline membungkukkan badannya ke arah Claire dan Raven, lalu mundur tiga langkah dan membalikkan badannya, keluar dari ruangan itu.

Sekarang Claire berjalan menuju meja kerjanya yang besar. Sepadan dengan ukuran ruangan itu yang memang besar. Sofa lembut yang tertata rapi di atas karpet merah yang terhampar di atas beludru biru. Lemari besar dengan rak buku yang memuat puluhan buku yang tersusun rapi. Komputer, laptop, dan seperangkat peralatan kerja di atas meja.Kursi empuk dengan sandaran tinggi berpasangan dengan meja tadi. Dan TV berlayar lebar terpampang di sudut ruangan.

“Di mana ruanganmu, Raven?” tanya Claire sambil menduduki kursi empuknya, dan memutarnya ke kiri dan ke kanan.

“Aku…, sebenarnya aku ingin meminta ijin padamu untuk memakai ruangan bekas papamu, Claire. Karena aku pikir sayang kalau dibiarkan kosong begitu saja. Bahkan rumah kosong pun kalau dibiarkan, kadang akan menjadi rusak bukan?”

“Iya, terserah padamu sajalah, Raven. Lakukan saja apa yang menurutmu baik,” kata Claire.

Raven menganggukkan kepalanya, sebagai tanda terima kasih.

“Jadi, apa yang harus kukerjakan hari ini, Raven?” tanya Claire lebih lanjut.

“Nanti Nona Caroline akan membawakan berkas-berkas laporan tentang perusahaan kita. Kau bisa membaca dan mempelajarinya. Kalau ada yang tidak kau mengerti, kau boleh bertanya langsung padanya.”

“Bertanya langsung padanya?” Claire mengernyitkan kening. “Mengapa harus bertanya ke dia? Apakah selanjutnya harus begitu?” tanya Claire.

“Iya,” jawab Raven pendek.

“Tapi katamu, kau yang akan membimbingku langsung?” protes Claire.

“Oh, maksudku, aku belum tentu setiap hari ada di perusahaan, jadi kalau tiba-tiba kau ingin bertanya sesuatu, tentu kau harus bertanya pada orang yang ada di dekatmu.”

“Akh! Repot sekali!” gumam Claire. “Bagaimana kalau aku tidak usah mempelajari semua laporan itu, tapi kau saja yang menjelaskan padaku.”

Giliran Raven yang mengernyitkan kening. Katanya mau kerja, tapi dasar Nona Besar, maunya cari cara yang gampang saja. Mana mau menguras pikiran?

“Baiklah…,” Raven mengiyakan dengan berat.

“Nah, begitu kan lebih baik!” Claire tersenyum senang.

Raven mengangkat gagang telepon yang ada di meja Claire, lalu memijit sebuah nomor, ruangan Caroline. Setelah telepon tersambung, Raven berkata, “Caroline, bawa sekarang semua laporan yang diperlukan untuk Nona Claire!”

“Iya, Tuan Raven,” jawab Caroline dari ruang kerjanya di seberang sana.

Tak lama kemudian, Caroline muncul. Tangannya membawa setumpuk berkas-berkas laporan yang tersusun di dalam beberapa buah map besar,

Caroline menaruhnya di atas meja Claire, lalu berkata, “Ini adalah laporan tentang sejarah perusahaan ini, perkembangannya dari dulu sampai sekarang, berbagai anak cabang yang tersebar dan berada di bawah naungan perusahaan, laporan keuangan sepuluh tahun terakhir, sistem perusahaan, rencana jangka pendek dan jangka panjang, proyek-proyek yang telah dan sedang dijalani oleh perusahaan, dan sebagainya.”

“Wah, banyak sekali!” seru Claire menanggapi penjelasan dari Caroline.

Caroline membungkukkan badannya sedikit. “Bila Nona berkenan, aku bersedia menjelaskan pada Nona satu persatu,” katanya perlahan.

“Ah, tidak usah, merepotkan kau saja! Apa di sini ada data-data tentang para pegawai hotel ini?” tanya Claire sambil membolak-balik beberapa buah map.

“Oh…, apa itu yang Nona perlukan?” tanya Caroline bagai tersadar.

“Iya dong!” jawab Claire. “Masak kau suruh aku baca semua laporan ini, tapi setelah aku susah-susah membacanya, aku masih tidak tahu tentang orang-orang yang bekerja di perusahaanku?” sindir Claire langsung.

“Bukan begitu, Nona. Maksudku, aku pikir itu bukan hal yang penting bagi Nona.”

“Tentu saja penting!” ketus Claire sambil menutup map yang dibacanya.

Caroline melirik Raven sejenak yang berdiri di sampingnya. Raven menganggguk sedikit, sebagai isyarat agar Caroline melakukan saja apa kata Claire. Sekali lagi Caroline membungkukkan badan ke arah Claire dengan sopan. “Akan aku ambilkan,” katanya lalu meninggalkan ruangan itu.

Sepeninggal Caroline, Raven berkata, “Sebenarnya kau tidak usah berhubungan langsung dengan para pegawai di hotel ini, Claire. Karena itu sudah menjadi tugas dari Caroline untuk membawahi mereka semua dan bertanggung jawab penuh atas segala hal dan tindak-tanduk yang anak buahnya lakukan. Kalau ada apa-apa yang tidak berkenan di hatimu, kau tinggal mengatakannya pada Caroline, nanti dia yang akan bertindak.”

“Hah? Sebegitu pentingkah kedudukannya di perusahaanku ini?” tanya Claire tajam.

Raven menundukkan kepala sedikit, “Iya!”

“Jadi, sudah berapa lama dia bekerja di sini?” tanya Claire lagi.

“Seingatku, sewaktu dulu aku masuk bergabung dengan perusahaan, dia sudah terlebih dahulu ada di sini. Papamu bilang Caroline bisa diandalkan, karena sifatnya yang tegas, berwibawa, tekun, dan loyal pada perusahaan.”

“Ooh…, jadi begitu…,” desis Claire sambil manggut-manggut. “Jadi, apa kegiatanmu hari ini, Raven?” tanyanya tiba-tiba.

“Kupikir, hari ini aku akan pergi meninjau langsung proyek pembangunan hotel baru kita yang ada di Utara. Lalu mengadakan pertemuan dengan klienku. Setelah itu aku….”

“Oops! Oops!” Claire segera memotong perkataan Raven sambil mengibas-ibaskan tangannya sebagai pertanda jangan diteruskan.

“Kalau diteruskan, tidak akan ada habisnya bukan?” tanyanya bagai menebak. Raven menarik napas panjang.

Claire tersenyum tipis. “Hari ini adalah hari pertama aku bergabung dengan perusahaan, jadi aku ingin hari ini seharian kau ada bersamaku. Kau jangan pergi ke mana-mana dan melakukan tugas apapun, okey?”

“Tapi…"

“Jangan membantah perkataanku!” pungkas Claire. “Batalkan saja semua rencanamu!”

Raven mengatupkan bibirnya. Ia tahu sifat Claire sejak kecil. Karena terlalu dimanja oleh papanya, maka ia tidak boleh dibantah oleh siapapun.

Dengan sabar Raven mengangkat kembali gagang telepon yang ada di meja Claire dan menekan sebuah nomor. Setelah tersambung, ia berkata, “Rachel, batalkan semua agenda kerjaku hari ini! Aku tidak mau diganggu!”

“Iya, Tuan…,” jawab suara wanita di seberang sana.

“Rachel…? Siapa itu?” tanya Claire sambil mengernyitkan kening.

“Itu adalah sekretarisku,” jawab Raven.

“Ooh…, begitu ya,” Claire menyandarkan punggungnya ke kursi dan tampak seperti berpikir.

Tak lama berselang, Caroline masuk dengan sebuah map besar berisi data-data para pegawai hotel itu.

“Ini yang Anda perlukan, Nona,” kata Caroline sambil meletakkan map itu ke meja Claire.

“Iya,” sahut Claire pendek.

Merasa tak dibutuhkan lagi, Caroline pun pamit untuk pergi.

Claire tidak membuka map itu, malah ia menatap Raven lekat-lekat. “Hari ini kau harus menemaniku meninjau langsung setiap sudut dari hotel kita ini. Kau yang harus memperkenalkan setiap tempat dan sarana yang ada, juga mereka yang bekerja di sini, satu-persatu aku ingin tahu.”

“Kalau memang itu yang kau inginkan, aku bersedia,” Raven mengangguk.

Claire tersenyum lagi. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan memutar, mendekati Raven yang berdiri di depan mejanya. Dengan anggun ia menaikkan sedikit pergelangan tangannya, dan sebagai laki-laki sejati, Raven pun menyambut uluran pergelangan tangan Claire, memegangnya dengan lembut, seolah memegang tangan seorang Tuan Puteri yang amat halus yang tidak boleh terlukai oleh goresan sekecil apapun.

Raven dan Claire berjalan keluar dari ruangan itu. Beberapa orang pegawai hotel kebetulan lewat dan berpapasan dengan mereka. Dengan sopan para pegawai itu memberi hormat.

Raven membawa Claire jalan-jalan di semua sudut hotel itu. Atas permintaan Claire pula, kadang-kadang ruangan-ruangan tertentu pun dimasuki olehnya. Bahkan ruangan Caroline pun tak luput dari pengamatannya tadi.

“Ini, siapa di dalam?” tanya Claire ketika langkah mereka sampai di depan pintu sebuah ruangan besar.

“Ini ruanganku,” kata Raven seolah tak ingin Claire masuk ke dalam.

“Aku ingin masuk.”

“Tidak perlu, Claire! Apakah kau juga curiga padaku? Tidakkah kau melihat wajah Caroline tadi ketika kita meninjau ruang kerjanya? Dan tindakanmu yang membolak-balik berkas-berkas yang ada di mejanya, membuatnya merasa seolah kau mencurigainya.”

“Memangnya aku curiga apa?” tanya Claire heran. “Apa ada yang patut dicurigai? Kalau tidak berbuat salah, apakah harus merasa takut?”

“Tindakanmu sungguh kekanak-kanakan, Claire! Papamu tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Bisa-bisa kau dianggap mengganggu privacy mereka.”

“Kalau keberatan dengan tindakanku, dia boleh kok minta keluar!” sungut Claire.

“Tidak gampang seperti itu, Claire. Caroline adalah seorang Manajer yang sangat baik dan loyal, sulit menemukan orang seperti dia. Papamu saja sangat menghargainya.”

Claire membuang muka. Ketika mereka hendak pergi, pintu ruangan Raven tiba-tiba terbuka dan seorang wanita cantik keluar dari sana.

Dengan curiga Claire memandang pada wanita itu yang tampak salah tingkah dipandangi oleh Claire.

“Selamat siang, Nona Claire,” sapa wanita yang baru keluar itu. Ia membungkukkan badan. “Saya Rachel, sekretarisnya Tuan Raven.”

“Ooh…, jadi namamu Rachel?” Claire mengulang sambil mengernyitkan kening.

“Iya, Nona. Permisi…,” Rachel lewat di antara mereka.

Setelah Rachel pergi, Claire bertanya, “Kenapa di rumah kau tidak pernah cerita padaku, Raven?”

“Cerita? Cerita apa?” Raven balik bertanya.

“Cerita kalau kau punya sekretaris yang cantik, muda, dan seksi.”

“Ah, apakah itu penting bagimu?” tanya Raven merasa lucu.

“Tentu saja penting!” kata Claire.

“Kadang, apa yang dianggap oleh pria sebagai hal yang tidak penting untuk diceritakan, tapi kebalikannya bagi wanita, merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui.”

“Kalian ini para wanita, selalu saja sulit dimengerti dan punya rasa curiga yang berlebihan,” kata Raven sambil mendengus.

“Kalau para pria bisa dipercaya, tentu saja para wanita tidak perlu lagi ada rasa curiga!” bela Claire.

“Sudahlah, Nona Besar. Sekarang kau mau ke mana lagi?” tanya Raven menyudahi. “Aku sudah capek menemanimu sedari tadi. Semua sudut hotel ini sudah kaujelajahi. Semua pegawai yang ingin kau kenal pun sudah kukenalkan. Bahkan ruangan kerja mereka juga sudah kaumasuki. Cuma satu yang belum, toilet pria. Apa perlu kita ke sana sekarang?” Raven berujar sambil tersenyum.

“Kau ini…!” Claire meninju perut Raven yang tertawa cekikian. “Aku ingin makan siang. Rasanya perutku lapar sekali.”

“Kalau itu maumu, gampang saja. Kita tinggal pergi ke restoran hotel ini. Semua makanan yang kauinginkan, bisa kau peroleh di sana.”

“Ah, begitu tidak seru dong Raven,” tolak Claire. Masak aku makan di restoranku sendiri. Bagaimana kalau kau ajak aku keliling-keliling di sekitar sini dan merasakan masakan yang paling enak menurutmu. Aku kan ingin tahu juga?”

“Baiklah, aku akan mengajakmu ke sana,” kata Raven pendek.

Raven membawa Claire keluar dari hotel itu. Mobil Mercedez hitam yang tadi mereka tumpangi, telah menanti di halaman parkir gedung tersebut. Raven menyebutkan nama sebuah tempat kepada supirnya, lalu mobil pun melaju menuju tempat yang diinginkan.

Di dalam mobil, Claire duduk di samping Raven di jok belakang. Dengan leluasa ia menyandarkan kepalanya di bahu bidang laki-laki itu. Tangannya meraih tangan Raven dalam genggamannya. Ia memegangnya erat-erat, seolah takut laki-laki itu akan pergi dari sisinya.

Raven memang gambaran laki-laki yang diinginkan oleh para wantia. Bertubuh tinggi tegap dengan bahu bidang bak seorang atlet olahraga. Berwajah tampan dan cool dengan potongan rambut halus yang tersisir rapi , dan sedikit berombak di bawahnya. Pandangan matanya dingin dan menggambarkan keteguhan hati seorang laki-laki. Makanya jika menatap langsung ke dalam matanya, hati banyak wanita akan langsung meleleh, seperti es….

Tak heran jika Claire amat bangga bila sedang berada di samping Raven. Sejak kecil mereka selalu bersama. Cuma beberapa tahun belakangan ini saja Raven sangat sibuk dengan pekerjaannya, jadi Claire kehilangan waktu untuk bersamanya. Sekarang, mereka bekerja di tempat yang sama, dan juga tinggal di rumah yang sama. Jadi kesempatan Claire untuk terus bersama dengan Raven, akan terbuka lebar.

* * *

Raven Hendak Menyewa Bodyguard untuk Claire

Bab 3.

"Tuan Raven, tampaknya Nona Claire seorang yang pencuriga, ya?” Rachel memberanikan diri mengutarakan komentar yang sejak kemarin terasa ingin membuncah keluar dari dadanya.

“Kau juga berpikir demikian?” Raven merasa takjub karena Rachel mempunyai pikiran yang sama dengannya.

Ruang kerja Raven sama dengan Rachel, hanya dipisahkan oleh sebuah sekat tipis.

Sekarang Rachel berada di depan mejanya, mengantarkan berkas-berkas yang perlu dibaca oleh Raven.

“Iya, kemarin ia menatapku dengan tatapan yang aneh, seolah-olah aku makhluk yang patut untuk diwaspadai. Padahal ia kan baru melihatku. Aku jadi berpikir, apakah ada yang salah dengan diriku? Apa mungkin ia sudah terlebih dahulu membaca data-data pegawai di sini sebelum bertemu dengan orangnya,” Rachel menyerocos begitu saja. Mukanya menunjukkan ketidaknyamanan. Tampaknya ia tidak begitu segan walaupun sedang berhadapan dengan Raven.

“Ha… ha…,” Raven tertawa begitu saja. “Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan dirimu. Tapi mungkin, dandananmu itu,” katanya serius.

“Dandananku? Memangnya kenapa?” Rachel berdiri sejenak dan memperhatikan dandanannya sendiri mulai dari kedua tangan sampai ke ujung kaki. “Rasanya tidak ada yang salah dengan dandananku,” katanya sambil menghentak sepatu tumit tingginya.

Raven memperhatikan Rachel sejenak. Lalu berkata, “Iya, kau sendiri tidak sadar kalau kau berpakaian terlalu modis untuk ukuran orang yang sedang bekerja di kantor.” Sesaat ia menatap pada tubuh seksi Rachel yang dibalut pakaian ketat dan sedikit terbuka sehingga menonjolkan bagian-bagian tertentu yang bisa mengundang pikiran negatif dari lawan jenis.

“Oooh…, rupanya begitu…,” Rachel tertawa lepas. Sepertinya ia merasa lucu karena setiap hari ia selalu berpakaian seperti itu walaupun sedang bekerja. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang protes dengan dandanannya. Ia merasa biasa-biasa saja, karena sedari dulu ia memang berpakaian seperti itu. Susah mengubah kebiasaan seseorang yang sudah mendarah daging bukan? Dan sekarang, Nona Besar pemilik baru perusahaan, tiba-tiba merasa tidak nyaman melihatnya. Bagaimanakah ini?

“Sebaiknya mulai besok, kau berpakaian lebih sopan, jangan sampai kau ditegur olehnya,” saran Raven lalu memperhatikan kembali berkas-berkasnya.

Rachel menghela napas panjang dan duduk kembali di hadapan Raven. “Aku takut…,” kata Rachel sambil mengetuk-ngetukkan jari tangannya di atas meja Raven.

“Apa yang kautakutkan?” tanya Raven merasa heran.

“Aku takut, mungkin saja Nona Claire sedang merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan aku, karena aku merasakan ketidaksukaannya padaku lewat pandangan matanya.”

“Apa kau tidak percaya padaku?” tanya Raven. “Kau adalah anak buahku langsung, jadi jangan berpikir yang tidak-tidak. Ia tidak mungkin melakukan hal itu padamu.”

“Tapi ia kan Big Boss di sini,” kata Rachel. Aku bahkan sudah mendengar dari Caroline kalau Nona Claire sempat mencela dirinya.”

Raven terpaku sejenak dan menghela napas panjang. “Sebenarnya, Claire bukan orang seperti itu. Sejak kecil aku selalu bersamanya. Ia mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap sesama. Cuma saja, ia mudah tersinggung. Keras kepala, semuanya harus menurut kehendaknya, tidak boleh dibantah sedikit pun perkataannya.”

Rachel mendengarkan sambil mengerutkan dahi. “Tampaknya, kau mengenal betul dirinya?” tanyanya ingin tahu.

“Tentu saja aku mengenalnya,” jawab Raven. “Ia sangat posesif. Oh iya, apa agenda kerjaku hari ini, Rachel?” tanya Raven bagai teringat.

“Hari ini kau harus bertemu dengan klien kita yang kaubatalkan pertemuan dengannya kemarin,” jawab Rachel cepat. “Ya, apalagi kalau bukan demi Nona Besar itu,” dengusnya tak jelas.

Raven melirik Rachel sedetik, lalu tersenyum kecil. “Apa kau punya saran?” tanyanya setelah melihat Rachel seperti ingin mengutarakan suatu pendapat.

“Aku pikir, bagaimana kalau Nona Claire diberikan seorang asisten pribadi saja, jadi ia tidak perlu lagi mengganggumu. “Lagipula, ia kurang memahami tentang kegiatan perusahaan, jadi kurasa seorang asisten yang terampil, akan sangat membantunya.”

“Benar juga saranmu,” puji Raven.

“Kau memang sekretarisku yang pintar.”

Rachel tersenyum senang. Ia selalu betah berlama-lama duduk di depan Raven, apalagi bila bisa sampai di dekatnya.

Bila seorang wanita menyukai seorang pria, ia selalu ingin tubuhnya berada di dekat pria itu. Bahkan kadang seolah tanpa sengaja, ia ingin mereka bisa bersentuhan, walaupun cuma sekadar bahu atau tangan.

Bila Raven sedang membaca berkas-berkas yang dibawa olehnya, maka Rachel sengaja mengulur waktu untuk pergi dan menatap sepuas hati laki-laki di depannya itu, betapa cool dan macho.

Tapi laki-laki itu tidak pernah menunjukkan gelagat kalau ia pun menyukainya. Laki-laki itu memperlakukannya dengan biasa saja, layaknya seorang bawahan, atau tepatnya seorang teman. Karena Raven hanya lebih tua sedikit darinya dan mereka juga sudah lama bekerja sama, jadi pertemanan di antara mereka tampak akrab.

“Jadi, kau kenal orang yang tepat untuk Nona Claire?” tanya Raven

membuyarkan lamunan Rachel.

Rachel tampak tersentak, lalu berpikir-pikir sejenak. Kemudian ia berkata, “Aku punya seorang teman lama, laki-laki. Ia baru pulang dari luar negeri. Dua hari lalu, ia menghubungiku, katanya sedang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, yaitu perhotelan. Menurutku, ia orang yang cocok untuk pekerjaan ini, karena selain ia sudah berpengalaman di luar negeri, ia juga orang yang amat sabar dan perhatian. Oya, ia juga tamatan imu bela diri. Kurasa, amat cocok untuk Nona Claire yang sulit dipahami itu.”

"Baiklah, kalau menurutmu orang itu cocok untuk Nona Claire, kau boleh membawanya menghadapku besok. Tapi sebelumnya hal ini harus kubicarakan dulu dengan Claire, supaya ia tidak terkejut lalu marah.”

"Apa Tuan Raven akan ke ruangan Nona Claire sekarang?” tanya Rachel lalu bangkit dari duduknya.

“Iya, aku pikir aku akan ke sana sekarang,” Raven membereskan berkas-berkas yang tadi dibacanya, lalu ia pun bangkit. “Masih ada waktu dua jam lebih sebelum aku harus pergi dan menemui klien kita,” katanya sambil melirik jam tangannya.

 

.* * *

Raven mengetuk pintu ruangan Claire lalu membukanya setelah terdengar sahutan dari dalam.

“Hai…, Raven,” Claire tersenyum menyambut kedatangan laki-laki itu. “Kebetulan, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”

“Ohya?” Raven merasa tertarik, lalu melangkahkan kakinya perlahan mendekati gadis itu.

“Apa itu, Nona?” tanya Raven yang sudah mengambil tempat di samping Claire.

Claire duduk di atas kursi sambil memperhatikan pada berkas-berkas yang ada di map, sementara Raven berdiri di sampingnya dengan menaruh sebelah tangannya di atas sandaran kursi Claire yang tinggi.

Claire menahan napas. “Di sini dikatakan, proyek pembangunan hotel kita yang ada di Utara baru dikerjakan setengah tahun belakangan ini, padahal kita sudah membeli lahannya dan direncanakan untuk dibangun sebuah hotel sejak sepuluh tahun lalu. Kenapa lama sekali dibiarkan baru dikerjakan?”

Raven turut memperhatikan kertas berkas berisi laporan itu. Lalu ia berkata, “Sebenarnya tanah yang kita beli itu bermasalah dengan penduduk setempat. Mereka menganggap tanah itu adalah tanah mereka karena sudah lama tinggal di sana. Tapi kita membelinya dari pemilik aslinya. Dan butuh waktu lama untuk membicarakan dan menyelesaikan hal ini. Karena papamu cukup disibukkan oleh banyak hal, maka hal ini jadi terbengkalai.”

“Oooh…, jadi begitu?” Claire manggut-manggut. Tangan kirinya menyentuh tangan kanan Raven yang bersandar di kursinya. Lalu ia mendekatkan tangan kekar itu ke pipinya. Merasakan sejenak sejuknya tangan laki-laki itu.

Raven membiarkan saja Claire mendekap tangannya. Ia tahu betul keinginan gadis itu. Dengan lembut ia mencium kepala Claire, membiarkan gadis itu merasakan kasih sayangnya.

"Jadi, untuk apa kau ke sini?” tanya Claire memecah keheningan.

Raven melepaskan tangannya dari genggaman Claire, lalu berjalan memutar dan duduk di hadapan Claire. Sejenak ia diam, tak tahu harus memulai dari mana.

“Ada apa, Raven?” Claire menatapnya serius, seolah tak sabar ingin segera tahu apa yang akan dikatakan oleh laki-laki itu.

“Claire…,” Raven menyebut namanya dengan lembut. “Aku pikir, sebaiknya kau ada yang menemani setiap saat, semacam asisten yang selalu ada di sampingmu. Jadi kau bisa bertanya padanya tentang segala hal yang ingin kauketahui. Menyuruhnya melakukan apa saja yang ingin kaulakukan. Dan sebagai bodyguard pribadimu.”

“Bodyguard? Orangnya laki-laki maksudmu?” tanya Claire langsung.

:Iya, kalau kau tidak keberatan,” jawab Raven. “Aku tahu orang yang cocok untukmu dan bisa bekerja sama denganmu. Kalau ada apa-apa, kau tinggal membicarakannya dengan dia, dan ia akan melakukan segalanya untukmu. Jadi kau tinggal terima saja pekerjaannya, bagaimana?”

Claire terdiam sejenak. “Ia bisa melindungiku?” tanyanya tertahan.

"Laki-laki itu juga tamatan ilmu bela diri. Kau bisa mengandalkannya.”

Claire menggigit bibir. Tampaknya ia cukup susah memutuskan untuk berkata “ya”.

 

“Kalau kau kenal orang itu dan menurutmu baik, aku terima saja,” Claire menunduk.

“Thanks, Claire, ini akan memudahkan pekerjaanku,” Raven meraih kedua tangan Claire yang tekepal di atas meja. Lalu ia mencium kedua tangan itu dengan lembut. “Aku perduli padamu Claire. Aku sayang kamu.”

Claire tersenyum dipaksakan. Ia tahu Raven mengucapkan kata-kata itu cuma untuk menghiburnya. Karena Raven takut ia tersinggung. Tapi demi menyenangkan hati laki-laki itu, ia mau saja memenuhi permintaannya. “Jadi, kapan kau akan membawanya menemuiku?” tanya Claire.

“Akan kutanyakan pada Rachel nanti.”

“Rachel?” Claire mengernyitkan alis.

“Iya, dia itu teman lamanya Rachel.”

“Ooh…, jadi Rachel yang mengenalkan ia padamu?” Claire manggut-manggut. “Apa ia sudah pasti setuju bekerja untukku?”

“Rasanya tidak akan ada orang yang menolak kesempatan dan tawaran sebagus ini,” jawab Raven.

“Baguslah kalau begitu!” tutup Claire.

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!