"Bram, bagaimana persiapan pernikahan kamu dengan Kaila?" kata seorang perempuan pada laki-laki yang bernama Bram.
"Ntahlah May, aku tidak tahu harus apa lagi sekarang. Aku merasa, aku tidak pernah mencintai Kaila sedikitpun," kata Bram pada Maya.
"Jika tidak cinta, bagaimana kamu bisa melamarnya Bram? Dan jangan lupa, kamu akan menikah dengan Kaila empat hari lagi," ucap Maya dengan wajah kagetnya.
"Aku hanya melakukannya karna permintaan papa dan mama Maya. Jika tidak, aku mungkin tidak akan pernah melamar Kaila," ucap Bram tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
"Gila kamu Bram. Kamu memang sangat gila sekarang," kata Maya.
"Maya, asal kamu tahu, aku memang sudah gila saat aku bertemu dengan kamu waktu itu. Aku gila karna aku jatuh cinta padamu, jatuh cinta pada pandangan pertama."
Saat itu, air mata sudah tidak terbendunglagi. Air mata yang aku tahan selama beberapa menit, kini tumpah dengan sangat deras membasai pipiku.
Aku yang sejak awal bersembunyi dibalik pohon di samping taman ini, akirnya menemukan sebuah jawaban atas pertanyaanku belakangan ini. Pertanyaan dengan perubahan sikap yang Bram miliki.
Ya, Bram yang sedang berada di sana dengan seorang gadis itu adalah pacarku. Pacar sekaligus tunagan yang akan menikah dengan aku empat hari lagi.
Dan gadis yang bernama Maya itu adalah sahabat baikku. Sahabat yang aku kenalkan dengan Bram sebulan yang lalu.
Aku mengenalkan Maya pada Bram, tepat di hari pertunangan kami berlangsung.
Aku tidak percaya dengan sebuah kenyataan pahit yang menimpa aku saat ini. Ternyata, Bram yang akan menikah dengan aku empat hari lagi, malah jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Sahabat baik yang selama ini aku sayangi lebih dari saudara kandung.
Bisa aku katakan, aku dan Maya adalah sahabat yang saling melengkapi satu sama lain.
Kami sama-sama bersekolah dari bangku sekolah menengah pertama, hingga duduk di bangku kuliah juga bersama-sama.
Tapi sekarang, sahabat itu jugalah yang membuah aku harus menelan rasa sakit yang amat sangat perih.
Aku tidak bisa menerima apa yang Bram katakan. Itu sungguh-sungguh sangat menyakitkan untuk hatiku yang sedang berharap ini.
Beban ini terlalu berat, saat aku mendengarkan satu kata yang tidak pernah aku sangka selama ini.
Ternyata, Bram bertunangan dengan aku hanya karna mama dan papanya yang menginginkan, bukan niat tulus darinya.
Di mana semua janji manis yang Bram ucapkan selama dua tahun ini. Di mana sumpah setia yang selalu ia ucpakan di hadapanku selama ini.
Ternyata, satu bulan mampu mengikis rasa cinta dua tahun. Satu bulan kenal dengan orang baru, bisa mengubah hati Bram padaku.
Aku lari dari sana, meninggalkan kedua manusia yang aku sayangi, namun telah menusuk aku dari belakang dengan pisau berkarat. Sehingga menciptakan rasa perih yang sangat hebat.
Aku menangis sambil berlari menuju jembatan yang tinggi. Niatku sudah bulat, aku akan loncat dari atas jembatan ini.
Akan aku bawa luka hati ini pergi bersamaku. Lebih baik aku pergi untuk selama-lamanya, dari pada harus menelan pahitnya hidup berumah tangga dengan orang yang jelas-jelas sudah tidak mencintai aku lagi.
"Selamat tinggal dunia! Kalian semua boleh tertawa dan bahagia dengan kepergian diriku ini!" ucapku sambil berteriak dan merentangkan tangan untuk terjun dari jembatan ini.
"Tunggu! Jangan bertingkah bodoh kamu! Mati tidak akan menyelesaikan masalah," ucap seorang laki-laki dari belakangku.
Aku kaget, dan membalikkan badanku untuk melihat siapa yang telah berani mengatai aku bodoh. Tidak kah ia tahu, kalau aku sedang sakit hati saat ini?
Karna aku sangat ceroboh, tanganku licin dan aku tergelincir dari atas jembatan itu.
Dengan sigap, laki-laki itu menagkap tanganku dan menariknya sekuat tenaga. Aku naik keatas dengan selamat tanpa lecet sedikitpun.
"Kenapa kamu sangat bodoh sekali!" bentak laki-laki itu dengan sangat keras.
"Kenapa kamu malah menyelamatkan aku. Biarkan aku mati, aku tidak sanggup lagi hidup di dunia yang kejam ini," kataku berteriak sambil meronta-ronta dalam pelukan laki-laki itu.
"Jangan bodoh kamu, mati tidak akan menyelesaikan masalah. Malahan, kamu akan menambah masalah buat semua orang yang sangat menyayangi kamu."
"Tapi aku tidak sanggup lagi menahan rasa sakit hati ini. Kamu tidak tahu aku akan membuat orang tuaku malu jika aku tidak mati."
"Bodoh kamu, jika kamu mati, orang tua kamu akan sangat sedih. Kamu lebih menyakiti hati orang tua kamu dengan kamu bunuh diri."
"Pikirkan orang tua kamu yang selama ini berjuang susah payah demi membesarkan kamu. Kenapa sudah besar, kamu malah ingin mati kafir seperti ini. Cobalah gunakan otak mu untuk berpikir yang baik-baik, jangan pakai otak mu untuk berpikir yang tidak-tidak."
Aku teriam, tak mampu untuk angkat bicara lagi. Laki-laki itu terus memarahi aku dengan berbagai perkataan yang mengatakan kalau aku ini sangat bodoh.
Aku tidak melawan sedikitpun apa yang laki-laki itu katakan. Bukan perkataan dan marahannya yang mampu membuat aku bungkam. Melainkan, aku melihat wajah mama dan papa yang selalu tersenyum padaku. Itu yang membuat aku tidak bisa mengucapkan sedikit pun perkataan.
Laki-laki itu melepaskan dekapan eratnya setelah merasa aku agak sedikit tenang.
"Ayo bangun," ucap laki-laki itu sambil membantu aku berdiri.
Aku tidak menjawab, aku hanya mengikuti apa yang laki-laki itu katakan padaku.
Laki-laki itu memapah aku berjalan kearah mobilnya. Mobil hitan yang terparkir tak jauh dari sisi jembatan yang berlawanan arah dari posisiku tadi.
"Ayo masuk, aku akan antarkan kamu pulang kerumah," katanya dengan sedikit senyum manis.
Semanis apapun senyum laki-laki itu, tidak akan berati apapun buat aku saat ini. Karna hatiku sudah sangat hancur tidak tersisa sedikitpun.
Laki-laki itu membuka pintu mobilnya, lalu memasukkan aku kedalam mobil hitam ini.
Tidak ada sedikitpun perlawanan yang aku lakukan. Aku hanya menuruti apa yang laki-laki itu lakukan padaku.
"Ayo minum dulu," katanya sambil memberikan aku sebotol air mineral yang ia ambil dari jok belakang mobil.
Aku mengambil botol itu tanpa berucap sepatah katapun. Lalu meminum seteguk air dari botol mineral itu.
"Namaku Adya, mungkin kamu bisa berbagi rasa sedih kamu padaku. Jika kamu tidak keberatan untuk bercerita, maka aku akan dengan senang hati mendengarkannya."
Aku melihat laki-laki yang duduk di sampingku saat ini. Dia orang asing yang membuat aku sadar dari kehilafan ku barusan.
"Namaku Kaila Miranda, kamu bisa panggil aku dengan nama Kaila saja."
"Oh, nama yang bagus Kaila," ucap Adya sambil tersenyum.
"Terima kasih banyak."
"Jangan bersedih, ceritakan saja apa yang terjadi. Mana tahu aku bisa bantu kamu untuk menyelesaikan masalah yang kamu hadapi."
"Tidak ada yang bisa bantu aku saat ini Adya. Semuanya terlalu sulit, bagaikan benang yang kusut, tidak bisa aku susun lagi," kataku sambil menundukkan kepala dengan sedih.
"Maafkan aku, jika kamu tidak ingin bercerita dengan ku. Aku tidak akan memaksa kamu untuk bercerita. Aku hanya ingin membantu kamu meringankan beban kamu saja."
"Bagaimana jika kamu tahu, kalau orang yang kamu cintai malah mencintai orang lain?" kataku padanya.
Adya terdiam, ia terlihat memikirkan sesuatu yang berat untuk ia cerna. Mungkin pertanyaanku barusan sangat sulit untuk ia jawab. Sampai-sampai, ia harus berpikir keras sekarang.
"Aku sudah bilangkan Adya, masalah aku ini sangat sulit untuk aku hadapi, makanya aku ingin loncat saja dari jembatan tadi."
"Jadi karna itu kamu ingin bunuh diri dan mati kafir? Terlalu dangkal pikiran kamu ini Kaila," kata Adya tiba-tiba.
"Kamu tidak tahu rasanya Adya, kamu tidak merasakan bagaimana berada di posisi aku saat ini. Aku akan menikah dengan Bram empat hari lagi, tapi ia malah bilang kalau ia tidak mencintai aku. Ia malah bilang, ia mencintai sahabatku," ucapku sambil menangis dan menutup wajahku dengan kedua tanganku.
"Maafkan aku Kaila, maafkan aku yang telah membentak kamu. Tapi kamu harus tahu, kehilangan cinta bukanlah hal yang harus membuat kamu bunuh diri. Karna dunia ini tidak hanya hidup satu orang laki-laki saja."
"Aku tahu hal itu, tapi aku tidak bisa menikah dengan Bram lagi sekarang. Tapi aku juga tidak mungkin membuat mama dan papaku malu, dengan membatalkan pernikahan aku dan Bram."
Adya terdiam untuk beberapa saat. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini.
"Kaila, siapa nama panjang calon suamimu itu?" kata Adya dengan nada penasaran.
Aku melihat kearah Adya. Kenapa ia ingin tahu nama lengakap Bram. Apakah ia pernah mengenal Bram atau apa yang akan ia lakukan sekarang?
"Apakah kamu tidak ingin aku tahu siapa nama panjang calon suami kamu itu Kaila?"
"Tidak-tidak, aku hanya merasa sedikit penasaran dengan pertanyaan kamu barusan. Kenapa juga kamu ingin tahu nama lengkap Bram."
"Katakan saja jika kamu tidak keberatan untuk mengatakannya. Tapi jika kamu merasa keberatan, maka jangan katakan," ucap Adya santai.
Aku selalu suka nada bicara Adya yang tidak pernah memaksa sedikitpun. Hal itu membuat aku selalu luluh dengan pertanyaannya.
"Nama lengkap Bram adalah Bram Wijaya."
"Apa!"
Adya terlihat sangat kaget ketika aku mengatakan nama belakang Bram. Nama belakang Bram itu adalah nama keluarganya. Yaitu keluarga Wijaya Kusuma.
"Kenapa kamu kaget saat aku mengatakan nama lengkap Bram. Ada yang salah ya dengan namanya?"
"Tidak ada yang salah, hanya saja, benarkah itu Bram?"
"Maksud kamu?"
"Tidak, tidak ada apa-apa. Lupakan saja," kata Adya sambil fokus dengan jalan yang ia lalui.
"Adya, apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Adya melihat aku untuk beberapa detik. Namun ia kembali fokus pada jalan yang kami lalui.
"Apa kamu masih ingin menikah dengan Bram, atau ingin membatalkan pernikahan kalian?"
"Tidak-tidak, aku salah tanya. Apakah kamu mencintai Bram dan ingin tetap bersamanya, setelah kamuntahu apa isi hatinya, atau kamu ingin membatalkan pernikahan kalian?"
Aku terdiam memikirkan perkataan Adya barusan. Pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab secara langsung.
"Jawab saja sesui rasa hati kamu saat Kaila," ucap Adya seakan tahu apa yang aku pikirkan.
"Jika kamu bertanya aku cinta padanya atau tidak. Jawabannya jelas, aku masih cinta padanya sampai saat ini. Tapi untuk menikah dan berumah tangga dengannya, aku sudah tidak bisa lagi. Karna ia mencintai orang lain saat ini. Aku tidak mungkin memaksakannya."
"Kalau begitu, kamu tinggal membatalkan pernikahan kamu dengan Bram."
"Tidak semudah itu untuk membatalkan sebuah pernikahan yang telah di siapkan selama beberapa minggu. Undagan telah disebarkan. Aku tidak ingin membuat mama dan papaku malu karna aku."
"Kalau begitu, menikah sajalah dengan Bram. Lalu, kamu bisa bercerai dengannya saat kalian sudah menikah dalam waktu sebulan atau lebih."
Aku melihat laki-laki yang sedang duduk di samping aku saat ini. Ingin rasanya aku tampar mulut laki-laki ini.
Ia berkata seenak hatinya saja, seolah tidak terjadi apapun dan tanpa beban sedikitpun.
"Kenapa kamu tidak biarkan aku mati saja tadi. Ini terlalu sulit untuk aku," kataku pada akhirnya dengan nada kesal yang memuncak.
"Sudah-sudah, maafkan aku untuk perkataanku yang barusan itu. Aku tahu kamu berada dalam posisi yang sangat sulit untuk saat ini. Tapi aku juga tidak bisa membantu kamu untuk keluar dari zona sulit ini."
"Sudahku bilang, tidak ada yang bisa menolaong aku," ucapku dengan nada frustasi.
"Sabar Kaila, kamu tidak sendiri. Ingatlah, kamu punya Tuhan yang maha Esa. Yang akan selalu menolong kamu."
"Oh ya, aku punya satu saran untuk kamu. Mungkin bisa membantu kamu keluar dari zona sulit yang kamu hadapi."
"Apa solusi yang kamu miliki? Ayo, katakan saja."
"Solusi ini tergantung kamu mau pakai atau tidak. Aku hanya menyampaikannya saja."
"Jangan bertele-tele Adya, katakan saja pada intinya. Agar aku tidak perlu memikirkan apa-apa lagi," kataku dengan tidak sabarnya memaksa laki-laki yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu.
"Begini, kamu bisa menikah dengan oarng lain. Jika kamu tidak ingin menikah dengan Bram tunangan kamu ini. Ini tidak buruk juga bukan?"
"Dasar ide kamu gila, mana ada orang yang mau aku nikahi dan mau menikahi aku. Benar-benar gak waras kamu Adya."
"Aku sudah bilang padamu, ini hanya ide yang ada kepalaku. Jika kamu gak mau pakai, ya jangan di pakailah."
"Idenya lumayan, tapi tidak ada yang mau menikah dengan aku. Bram pacarku saja tidak mau menikah dengan aku. Ia malah memilih sahabatku. Jika Bram tidak mau menikah dengan ku, apalagi orang lain. Lebih tidak mau lagi mereka menikah dengan aku."
"Aku terima nikah dan kawinnya Kaila Miranda binti Herman Nugroho dengan maskawin seperangkat alat sholat dan cincin berlian dibayar tuuuuunaiiiii."
"Bagaimana para saksi? Sah?" kata penghulu kepada kedua belah saksi.
"Sah ... sah ... sah ...."
Ruang tamu sekaligus pelaminan itu terdengar gemuruh suara sah dari para saksi dan seluruh tamu yang hadir.
Penikahan yang tidak aku inginkan ini, akhirnya terjadi juga. Setelah kata sah yang saksi ucapkan, maka aku telah resmi menjadi istri orang sekarang.
"Selamat ya nak, kamu telah menjadi seorang istri sekarang," kata mama sambil memeluk erat tubuhku.
"Mama, papa, maafkan semua kesalahan Kaila ya ma, pa. Kaila belum bisa menjadi anak yang berbakti dan belum bisa membahagiakan mama dan papa," ucapku sambil memeluk mama dan papa sekaligus.
"Kamu sudah berbakti anakku. Kamu sudah membuat mama dan papa bangga dengan melepaskan kamu menikah secara baik-baik," kata papa dengan bangga.
Sesi salam-salaman telah pun usai, setelah aku bertukar saling bersalaman dengan kedua mertuaku setelah aku bersalaman dengan mama dan papaku.
Kini tiba waktunya aku meninggalkan mama dan papa. Karna menurut adat, aku harus ikut kemana suamiku pergi, maka di situlah aku.
"Adya, papa titip Kaila pada kamu ya nak. Tolong jaga istrimu dengan baik," ucap papa pada Adya.
Yah, aku menikah memang bukan dengan Bram. Melainkan menikah dengan Adya Wijaya.
Dua hari sebelum pernikahan ini dilaksanakan. Bram menghilang entah kemana. Ia meninggalkan rumah dengan membawa semua barang-barangnya.
Ia juga meninggalkan sepucuk surat yang mengatakan, kalau ia tidak ingin menikah dengan aku. Karna ia sudah mencintai orang lain.
Dan yang paling membuat aku sedih adalah, Bram lari bersama dengan Maya sahabatku.
Waktu itu, aku kira, kalau Maya tidak akan tega menghianatiku. Tapi perkiraan itu adalah salah, ternyata Maya juga suka pada Bram. Ia malah memilih lari bersama Bram di bandingkan dengan mempertahankan persahabatan aku dan dia.
Dan yang paling aku tidak habis pikir adalah, laki-laki yang menyelamatkan aku pada hari itu.
Ternyata, Adya adalah anak pertama dari keluarga Wijaya. Pantas saja ia kaget saat aku sebut nama lengkap Bram. Ternyata, ia dan Bram adalah adik kakak.
Karna Bram kabur dua hari sebelum pernikahan kami. Maka, orang tua Bram menggantikan Adya yang baru pulang dari luar negeri itu menjadi suamiku.
Karna mereka tidak ingin malu akibat ulah Bram. Mereka terpaksa menikahkan aku dengan anak pertama mereka.
Mereka pun mengusulkan pada keluargaku terlebih dahulu, sebelum memutuskan perihal pengganti suami buat aku.
Mama dan papa setuju saat mendengarkan kesanggupan Adya saat mereka bertanya pada Adya. Dengan lantang dan tanpa beban, Adya menyangupi pernikahan ini.
Aku juga tidak akan menolaknya. Apa yang Adya katakan waktu itu, masih terdengar jelas di telinggaku.
Ia juga bilang, karna orang tua adalah segalanya buat ia. Maka tidak akan ada beban untuknya melakukan apapun untuk mama dan papanya.
Sebenarnya aku sedikit bersyukur dengan pelarian Bram. Karna dengan ketidak hadiran Bram di sini, aku bisa menikah dengan Adya.
Walaupun jauh di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak menginginkan pernikahan ini. Karna aku tidak mencintai Adya sedikitpun. Yang aku cintai masih tetaplah Bram.
Tapi aku tidak bisa membuat mama dan papaku malu hanya karna ego yang aku miliki. Demi mereka, aku akan lakukan apa saja. Tidak mungkin Adya bisa melakukan apa saja untuk mama dan papanya, sedangkan aku tidak.
"Hei, melamun aja kerjaannya," ucap Adya sambil menyentuh bahuku dengan lembut.
"Jangan banyak pikir Kaila, kamu tidak sendirian lho ya."
"Aku tidak banyak pikir, Adya. Eh kaka," ucapku serba salah.
Aku jadi cangung sekarang saat bersama dengan Adya. Apalagi soal panggilan yang membuat aku merasa sedikit aneh.
Awalnya, saat aku bertemu dengan Adya, aku kira umur kami sama. Taunya, ia lebih tua dua tahun dari aku.
Tapi wajahnya tidak menunjukkan hal itu. Wajah itu terlihat sangat mudah dan tidak terlihat seperti kakak bagi aku.
Adya terkekeh saat mendengarkan aku memanggilnya dengan cangung.
"Jika kamu tidak keberatan, aku lebih suka kamu panggil dengan sebutan mas. Itu hanya jika kamu tidak keberatan saja," kata Adya masih dengan senyum manisnya.
"Mas?" kataku tidak mengerti.
"Iya, kamu adalah istri aku sekarang. Yah, walaupun hanya di atas kertas saja. Tapi aku juga lebih tua dua tahun dari kamu bukan?"
"Ya sudah, aku tidak keberatan kok untuk memanggil kamu dengan sebutan mas Adya. Itu kayaknya lebih cocok sama wajah mas-mas kamu itu," kataku sambil tersenyum.
"Tapi aku bukan mas-mas gorengan yah Kaila. Ingat itu," katanya sambil mencubit hidungku.
"Apaan sih mas, kamu itu sudah tua jugakan. Apa salahnya di samakan dengan mas-mas gorengan," kataku balas bercanda.
Sopir yang menyopiri mobil ini hanya diam saja saat mendengarkan semua celotehan aku dan Adya.
Sesaat, Adya mampu mengalihkan perhatianku pada kesedihan yang aku alami. Kesedihan karna kehilangan cinta, ditambah kesedihan karna berpisah dari mama dan papaku.
Karna aku adalah istri orang, aku harus pisah jauh dari mama dan papaku saat ini.
"Kaila, kedepannya, aku harap kita bisa berteman baik yah," kata Adya dengan nada penuh harap.
"Bukankah kita sekarang sudah berteman mas. Teman yang seperti apa lagi yang kamu harapkan?" kataku penasaran.
"Teman saling berbagi Kaila. Suatu saat nanti, bukan sekarang," kata Adya sambil melihat pemandangan di samping.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!