NovelToon NovelToon

Give Love To Your Baby

Dua kehidupan, kisah yang sama

Suasana malam di ibu kota saat ini tampak sunyi. Terlihat seorang pria baru saja turun dari mobil mewahnya. Pria itu melangkah, dan menginjakkan kakinya masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Langkahnya terhenti sesaat, ketika dua orang pelayan di rumah itu datang menghampirinya. Pelayan tersebut mengambilkan tas kerja miliknya dan juga mengambil jas nya yang sudah pria itu lepas.

"Dimana putraku?" Tanya pria itu sembari menggulung lengan kemeja putihnya.

"Tuan kecil sedang ada di kamar nya Tuan, dia tidak mau makan malam sebelum Tuan pulang katanya," ujar pelayan itu dengan menundukkan kepalanya.

Pria itu menatap tajam ke depan, rahangnya terlihat mengeras. Dengan cepat, dia melangkah lebar ke arah tangga dan menaikinya. Sedangkan kedua pelayan itu, menatap kepergian tuannya dengan tatapan khawatir. Mereka khawatir, Dario akan memarahi majikan kecil mereka.

"Tuan kecil pasti akan di marahi lagi oleh Tuan muda." Lirih pelayan itu.

"Kau benar, Tuan kecil anak yang baik kok. Hanya saja, dia kesepian. Semoga Tuan muda tidak memarahinya lagi." Sahut yang lain.

Kedua pelayan itu memutuskan untuk pergi. Sementara itu, pria tersebut terhenti di sebuah pintu dan membukanya dengan sedikit kasar.

Cklek!

Tampak, seorang bocah laki-laki gembul tengah memakan sebuah ciki di atas rajangnya sembari menonton televisi. Bocah itu terlihat terkejut dengan seseorang yang baru saja memasuki kamarnya. Melihat kelakukan bocah itu, pria tersebut pun menjadi marah.

"Altaf! Sudah berapa kali Papa bilang! Kau tidak boleh memakan racun itu! Kenapa juga kamu tidak makan malam hah?!" Sentak pria itu.

Yovandra Askara, Seorang pria tampan berusia 29 tahun. Dia merupakan seorang duda dengan anak satu. Sebelumnya, dirinya telah menikah dengan seorang model. Namun, setelah lima bulan usia putranya. Yovan dan istrinya bercerai, karena sang istri lebih memilih kembali masuk ke dalam dunia karirnya di banding dia dan putranya.

Putra Yovan bernama Altaf, seorang bocah gembul menggemaskan berusia 5 tahun. Bocah itu selalu mencari perhatian sang Papa, seperti saat ini. Dia sengaja tak makan malam dan hanya mengisi perutnya dengan makanan ringan agar sang papa memperdulikannya. Dia hanya ingin, sang papa memperhatikan dirinya.

"Papa." Lirih Altaf sembari menyembunyikan Chiki nya di belakang tubuhnya.

Yovan menggeram kesal, dia mendekati putranya dan mengambil Chiki itu tanpa persetujuan Altaf. Dengan tatapan tajam, Yovan menunjukkan Chiki itu di hadapan putranya.

"Kamu tau gak seberapa bahaya makanan ini untuk tubuh hah?! Kamu bisa sakit Altaf! Papa sudah memberikanmu cemilan sehat, kenapa makan makanan beracun ini?!" Sentak Yovan.

"Solly Papa." Lirih Altaf sembari memainkan jarinya.

"Selalu bilang begitu, kapan berubahnya Altaf! Makanan ini gak sehat, Papa gak pernah ajak kamu beli beginian. Dari mana kamu ... tunggu."

Menyadari sesuatu yang salah, seketika Yovan terdiam. Matanya menatap putranya yang sedang tertunduk dengan mata menyipit. Dia mencurigai sesuatu, otaknya berpikir keras mencari jawaban dari mana sang putra mendapatkan Chiki itu.

"Kamu dapat dari mana Chiki ini Altaf?" Selidik Yovan.

Seketika, Altaf meneguk kasar lud4hnya. Matanya bergerak liar, otaknya tengah menyusun serangkai kata indah untuk mengelabui sang papa. Namun sayangnya, Yovan sudah menebak kelakuan putranya. Mata pria itu beralih menatap ke arah lemari putranya yang sedikit terbuka. Entah dorongan dari mana, Yovan melangkah mendekati lemari itu.

"Pa ... Papa!" Panik Altaf.

Melihat sang papa yang berjalan menuju lemarinya, Altaf langsung panik. Dia segera turun dari ranjang dan berlari menghampiri Yovan. Namun sayangnya, langkahnya kalah cepat dari sang papa. Terlambat sudah, Yovan sudah meraih pintu lemarinya.

Krett!!

Pintu lemari terbuka dengan lebar, menimbulkan siara decitan uang cukup keras. Mata Yovan membulat sempurna saat melihat banyaknya makanan ringan yang tak sehat ada di dalam lemari putranya.

"Lupa ku pindahkan lupana." Lirih Altaf.

Yovan memejamkan matanya, d4danya bergerak naik turun menahan amarah. Dia lelah seharian bekerja, dan di saat pulang, Putranya malah membuat ulah yang membuat dirinya marah.

"PELAYAAANN!!" Teriak Yovan.

Tak lama, datanglah dua orang pelayan dengan berjalan tergopoh-gopoh menghampiri nya. "Ya Tuan." Seru keduanya.

"Buang makanan sampah ini, jangan sampai putraku kembali memakannya." Titah Yovan.

"Ndaa Papa! Janan! itu Altaf beli pake uang Altaf. Jangan buang!" Seru ALtaf.

Yovan beralih menatap putranya, matanya menatap tajam Altaf yang menyorot sendu ke arahnya. "Mulai besok, Papa akan tiadakan uang jajan lagi untukmu! Kau harus membawa bekal! Di sekolah, kau juga tidak boleh jajan apapun. Termasuk makanan sehat di sana!"

"APA?! NDAAA!! NDA MAUU!!" Pekik Altaf dengan mata membulat kaget. Bagaimana bisa dirinya bertahan tanpa jajan? Jajan sudah menjadi bagian dalam hidup Altaf.

Yovan seolah menulikan pendengarannya, dia beranjak dari kamar Altaf dan berjalan menuju kamarnya. Dia tak memperdulikan tangisan Altaf yang sangat kencang hingga saat dirinya di kamar, dirinya masih dapat mendengar tangisan putranya.

"Astaga." Lirih Yovan setelah dirinya duduk di tepi ranjang sembari menutup tangannya dengan kedua telapak tangannya.

"Anakku baru satu, tapi kenapa sulit sekali di atur." Lelah Yovan.

"ALTAF MAU MAMAAA!! PAPA JAHAT! ALTAF MAU MAMAAA!!"

Yovan menarik tangannya dari wajahnya, dia dapat mendengar teriakan Altaf yang mencari sang mama. Dengan helaan nafas berat, Yovan mulai membuka kancing kemejanya. Permintaan putranya sangatlah sederhana, tapi sulit untuk Yovan lakukan. Dia, bukan pria yang mudah jatuh hati dengan seorang wanita. Bagaimana dia akan memberikan seorang ibu untuk putranya?

"Mama mu saja tidak peduli nak. Dia bahkan meninggalkanmu saat kamu baru usia lima bulan." Lirih Yovan.

Tatapan Yovan beralih menatap bingkai fotonya, dimana di sana dirinya tengah berfoto bersama Altaf yang saat itu masih berusia satu tahun. Perlahan, tangannya terangkat dan meraih bingkai itu. Jarinya mengelus foto dirinya dan juga Altaf yang ada di sana.

"Papa hanya punya kamu, kalau kamu sakit Papa sedih. Maaf, kalau selama ini Papa belum bisa melengkapi cinta yang kamu inginkan." Batin Yovan.

.

.

.

Pagi hari, terdengar burung berkicau. Terlihat, seorang wanita keluar dari dapur dengan membawa mangkok berisikan sayur. Rambutnya yang di cepol asal, dan apron yang di kenakan terlihat sedikit kotor. Jangan lupakan, keringat yang berada di kening dan pelipisnya yang menandakan betapa lelahnya wanita itu pagi ini.

"Sarapan sudah, beres-beres rumah sudah. Tinggal ... bangunin Qiara." Gumamnya.

Wanita itu bernama Aletta Safira, seorang wanita cantik yang menjadi single mom untuk putrinya. Dia telah bercerai dengan suaminya setelah putrinya lahir. Suaminya menceraikannya karena memilih selingkuhannya yang merupakan sekretaris sang suami. Aletta belum ada niatan menikah lagi, dia masih trauma dengan pernikahan yang berujung perpisahan di karena kan orang Ketiga. Kini, dia hanya fokus membesarkan putrinya dengan seluruh cinta yang dia punya.

Aletta berjalan ke arah sebuah kamar yang yang di tutupi gorden saja. Lalu, dia memasukinya dan mendapati seorang anak perempuan tengah tidur di ranjang dengan gaya yang tak bisa di ungkapkan.

"Astaga." Kejut Aletta.

Bagaimana dia tidak kaget, dirinya melihat anak perempuannya tidur dengan kaki yang berada berada di kepala ranjang. Sementara kepalanya sudah sampai di tepi kasur, jangan lewatkan mulutnya yang terbuka. "Astaga ... Qiara ... Qiara." Gumamnya.

Qiara Alzena, sosok bocah menggemaskan yang selalu membuat Aletta mengelus d4da. Siapa lagi jika bukan putrinya, satu-satunya keluarga yang Aletta miliki saat ini. Walau begitu, Qiara selalu bisa mewarnai kehidupan Aletta yang dirinya rasa sangat suram. Putrinya selalu memberikan Aletta perasaan bahagia lewat senyum indahnya dan tawanya.

"Qiara hei, bangun sayang. Kamu harus berangkat sekolah loh." Seru Aletta sembari menghampiri putrinya. Qiara yang saat ini sudah masuk TK, membuat Aletta harus membangunkannya setiap lagi dan menyiapkan segala keperluan putrinya berangkat sekolah.

Aletta mendudukkan dirinya di tepi ranjang, lalu dia mengusap lembut pipi putrinya dengan sayang. "Qi ... Qiara sayang ... bangun yuk." Panggil Aletta sembari menepuk lembut pipi gembul putrinya.

"Eum? Papa dateng yah Ma? Papa na dateng?" Celoteh anak itu sembari membuka matanya.

Jantung Aletta berdegup kuat, perasaannya terasa sesak. Setiap pagi dan terbangun dari tidurnya, Qiara selalu berkata hal yang sama di setiap harinya. Dia menantikan sosok papanya datang untuk menemuinya. Walaupun, keinginannya itu hanyalah harapan semata. Papa Qiara, sampai saat ini tak pernah mengunjungi sang putri. Bahkan, hanya sekedar bertukar kabar.

"Qia ...." Lirih Aletta dengan menahan sesak di d4danya.

.

.

.

Terlihat, kedua bocah menggemaskan sedang berlari memasuki gerbang sekolah. Karena terburu-buru, keduanya saling menabrak. Sebelum keduanya memasuki gerbang. Hingga membuat keduanya terjatuh dan meringis.

"Awsss!! Bica nda kalau jalan liat-liat hah?! Cakit na p4ntatku!" Pekik Qiara

"Memang citu doang yang cakit hah?! Liat! Lutut na Altaf juga cakit!" Seru Altaf.

Di saat keduanya asik adu mulut, terlihat Aletta berlari ke arah keduanya dengan tatapan khawatir. Dia lebih dulu membangunkan putrinya, dan mengecek keadaan sang putri. "Qiara! astaga ... Mama bilang apa? Jangan lari! Bel nya masih lama, kenapa harus lari hm?" Omel Aletta sembari membersihkan rok putrinya.

Altaf yang akan beranjak berdiri pun tertegun melihat Aletta, raut wajahnya terlihat menyendu saat melihat Aletta yang begitu perhatiannya mengecek keadaan Qiara. Dengan mandiri, Altaf mulai beranjak dari duduknya. Dia bahkan tak menyadari jika saat ini lututnya terluka akibat tergesek aspal.

"Dia yang duluan kok!" Seru Qiara sembari menunjuk ke arah Altaf.

Tatapan Aletta beralih menatap Altaf, terlihat bocah itu sedang membersihkan celananya yang terkena debu. Tatapannya terhenti sejenak pada luka yang ada di lutut Altaf. Jiwa keibuan Aletta keluar, dia segera menarik lembut tangan Altaf yang sedang menepuk celananya.

"Lututmu terluka." Gumam Aletta sembari menatap lutut Altaf yang mengeluarkan darah.

"Ayo kemarilah! Tante obati." Ajak Aletta sembari menggandeng tangan anak itu.

Altaf menatap tangannya yang di genggam lembut oleh tangan Aletta. Hatinya berdesir aneh, dia belum pernah merasakan hal ini. Perasaannya menghangat ketika Aletta dengan lembut menariknya pergi. Altaf mendongak, dia menatap wajah cantik Aletta yang sedang menatap ke arah Qiara.

"Ayo Qiara, kau juga harus bertanggung jawab." Ajak Aletta.

"Tapi kan dia duluan kok! Bukan calah Qia Mama!!" Rengek Qiara.

"Qiaa." Peringat Aletta.

Qiara menggembungkan pipinya kesal, dia mengikuti sang mama yang berjalan menuju taman depan sekolahnya. Di sana, ada sebuah kursi, Aletta mendudukkan dirinya di sana. Sedangkan Altaf, duduk di sebelah kirinya. "Sebentar, Tante semprotin pake pembersih luka yah. Memang sedikit sakit, tapi biar lukanya gak kotor." Ujar Aletta sembari mencari keberadaan barang yang ia cari di dalam tasnya.

Qiara mendudukkan dirinya di sebelah Aletta, dia mengayunkan kakinya sembari melihat keadaan luka Altaf yang lumayan menyakitkan untuknya. Seketika, Qiara meringis pelan. "Becal juga lukana. Pelacaan tadi yang di dolongna kenceng Qia deh. Tapi p4ntatna Qia dan ada luka geclekna. Kok dia ada." Gumam Qia, berperang dengan pikirannya sendiri.

Tatapan Qiara terangkat, keningnya mengerut saat melihat Altaf yang sedang mengamati Aletta. Otak kecilnya nya pun berpikir keras, mengapa Altaf segitunya menatap mamanya.

"Nah, sebentar yah. Tante semprotin, kalau sakit ngomong aja yah." Ujar Aletta sembari mengarahkan semprotan itu ke luka ALtaf.

Suara semprotan berbunyi sangat nyaring di telinga Altaf, sekaligus memberikan sensasi perih yang membuatnya meringis kesakitan. Namun, Altaf mencoba untuk menahan sakit di kakinya dengan cara menggigit bibirnya. "Heeehh!! Janan kau gigit bibilmu itu! Doel nanti!" Pekik Qiara yang mana membuat Aletta menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah Altaf.

"Sakit yah? Tadi kan tante bilang, kalau sakit ngomong aja. Jangan di tahan," ujar Aletta dengan lembut.

Altaf melepas gigitannya pada bibirnya, dia mengerjapkan matanya. Sesaat, dirinya terpaku dengan kecantikan ibu dari temannya. Sosok wanita cantik yang memperlakukannya dengan lembut, mampu membuat hatinya menghangat. Altaf, dia merindukan sosok ibu di kehidupan nya

"Kata papa, laki-laki halus kuat. Halus bica tahan cakit. Nda boleh cengeng, nanti jadi pelempuan kalau cengeng." Jawab Altaf dengan polosnya. Mendengar itu, Aletta tersenyum. Dia mengusap rambut hitam Altaf dengan lembut.

"Dengar, kita harus bisa menunjukkan rasa sakit kalau kita sakit. Kamu pun harus begitu. Bukan karena lemah, laki-laki kan juga manusia. Kulit kita sama, pasti juga merasakan sakit. Jadi, kalau sakit harus bilang yah," ujar Aletta dengan memberi pengertian pada bocah seumuran putrinya. Dengan lugu nya, Altaf mengangguk. Aletta yang melihat anggukan Altaf mengacak gemas rambut bocah laki-laki itu.

"Tante gak punya obat merah, nanti pulang sekolah minta sama Mama kamu buat obatin lukanya yah," ujar Aletta yang mana membuat Altaf kembali menunduk.

"Mama, Altap nda ada mama. Dia ada na papa." Bisik Qiara. Aletta tertegun sejenak, pantas saja Altaf terdiam. Rupanya, dia menyinggung perasaan bocah laki-laki itu.

"Altaf nda punya mama, Altaf ada na papa. Biacana Altaf minta tolong bibi, nanti Altaf minta obatin sama bibi." Ujar Altaf sembari tersenyum tipis.

Aletta merasa terenyuh saat melihat senyuman manis dari Altaf. Dia tahu, jika Altaf sedang sedih. Namun, anak itu masih tetap bisa tersenyum untuk menenangkannya. Sejenak, Aletta merasa terharu melihatnya. Dia tak tega dengan Altaf yang terluka seperti itu.

Pertemuan yang tak terduga

"Maaf yah, ehm begini saja ... nanti pulang sekolah, Tante yang obatin luka Altaf. Sekarang, tante harus kerja dulu. Jemput Qiara, sekalian tante belikan kamu obat. Gimana? Atau mau minta sama UKS sekolah?" Aletta memberikan saran untuk Altaf, berharap bocah itu tak sedih lagi.

Altaf menggeleng, "Boleh cama tante aja?" Ujar polos anak itu yang mana membuat Qiara langsung melototkan matanya.

"Heeehh ... Atap lumah! Minta cama papamu caja! Janan Mamaku!" Pekik Qiara tak terima.

"Qia ..." Tegur Aletta.

Qiara memasang wajah kesal, dia dan Altaf memang bukan teman yang akur. Sedari awal masuk sekolah, Altaf dan Qiara selalu saja bertengkar. Teman sekelas mereka juga sudah pada tahu, jika Altaf dan Qiara tidak bisa akur jika di dekatkan.

"Calah telus, teltekan kali diliku" Kesal Qiara.

Aletta menatap Altaf, "Nanti pulang sekolah tunggu tante dengan Qia yah. Nanti akan tante obati lukanya."

Altaf mengangguk, bibirnya melengkungkan senyuman lebar. Berbeda dengan Qiara yang memasang wajah cemberutnya.

"Yasudah, kamu ajak Altaf masuk gih. Mama juga harus berangkat kerja." Pinta Aletta pada putrinya.

Qiara mengangguk, dia turun dari kursi dan menarik tangan Altaf. Yang mana, hal itu tentu membuat Altaf terkejut.

"Qia ...." Tegur Aletta, dia heran mengapa putrinya sebar-bar itu.

"MACUK DULU MAAA!!" Seru Qiara sembari berlari dengan menarik Altaf.

Aletta menggelengkan kepalanya, dia melihat bagaimana Altaf kesulitan menyeimbangkan langkah Qiara. Aletta khawatir Altaf akan terjatuh kembali, apalagi lukanya belum di obati. Namun, melihat sikap bar-bar putrinya Aletta hanya bisa menahan rasa khawatirnya.

"Qiaa ... Qiaa ...."

.

.

.

Yovan datang menjemput putranya, dia berjalan memasuki gerbang sekolah putranya dengan ponsel yang tertempel di telinganya. Pria itu tampak bertelponan sembari mencari keberadaan putranya. "Ya, sepuluh menit lagi saya sampai. Kabarkan pada klien untuk menunggu sebentar," ujar Yovan pada orang yang dirinya telepon.

Setelah menelpon, tatapan Yovan jatuh pada kedua bocah yang sedang duduk manis di taman. Keduanya tampak menikmati susu kotak di tengah cuaca terik. Bergegas, Yovan menghampiri keduanya. Karena salah satu dari kedua anak itu tak lain adalah putranya.

"Altaf!" Seru Yovan. Altaf terkejut, dia langsung beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Qiara.

"Ayo pulang." Ajak Yovan sembari menarik tangan putranya.

Altaf menarik tangannya yang di genggam Yovan, dia berusaha bertahan di tempat itu. Melihat putranya yang tak kunjung melangkah, Yovan pun kesal.

"Cepatlah! Papa harus meeting sekarang!" Sentak Yovan.

"Ndaa!! Altaf mau nunggu tante tantik." Pekik Altaf, dia berusaha melepaskan tangan dari cengkraman Yovan.

"Altaf! Jangan buat masalah disini, atau Papa akan ...."

"MAMAAA!" Teriak Qiara saat melihat kedatangan sang mama.

Aletta yang mendengar panggilan putrinya pun tersenyum, dia melangkah mendekatinya. Dirinya belum sadar dengan sosok pria yang membelakanginya sembari memegang tangan Altaf. Sementara Altaf, dia tersenyum senang saat melihat kedatangan Aletta.

Melihat senyum putranya pada seseorang yang Qiara panggil mama, membuat Yovan menoleh ke belakang. Seketika, Yovan melepaskan tangannya dari sang putra. Matanya tertuju pada Aletta. Tatapan mereka bertemu, senyum Aletta pun langsung luntur seketika. Jantung Yovan berdebar tak karuan, darahnya serasa berdesir. Dia membalikkan tubuhnya, sehingga kini keduanya saling berhadapan.

"Letta." Lirih Yovan.

"Kak Yovan?!" Kejut Aletta.

.

.

.

Disinilah Aletta dan Yovan berada, keduanya memutuskan untuk datang ke restoran terdekat untuk mengobrol sejenak. Sembari menikmati makan siang, bersama anak mereka. Bahkan, Yovan rela membatalkan janjinya dengan kliennya hanya karena Aletta.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Yovan memecah keheningan di antara keduanya. Sedangkan Qiara dan Altaf, mereka sibuk dengan makanan mereka masing-masing.

"Baik, Kak Yovan apa kabar? Dan, bagaimana kabar Kak Anna?" Jawab Aletta sembari menatap ke arah gelas minumannya, tanpa berani menatap ke arah Yovan.

Sedangkan Yovan, dia justru menatap Aletta dengan tatapan yang sulit di artikan. Entah mengapa, hatinya berbunga-bunga saat melihat Aletta. Demi bisa mengajak Aletta mengobrol, Yovan rela membatalkan meeting pentingnya. Dia bahkan tak peduli, rekan bisnis nya akan membatalkan kerja sama mereka. Semuanya dia lakukan, demi Aletta.

"Keadaan ku baik, dan tentang Anna ... kami sudah bercerai." Jawab Yovan.

Aletta terkejut, dia mengangkat pandangannya. Dirinya kembali mengingat perkataan Qiara, jika Altaf tak memiliki ibu. Jadi, inilah maksudnya. Keadaan Altaf dan Qiara sama, keduanya tak memiliki orang tua yang lengkap. "Ehm, begitu yah ...." Lirih Aletta.

"Aku sudah lama tidak bertukar kabar dengan Xyan, bagaimana kabarnya? Dengar-dengar, dia sudah membuat perusahaan baru yang sudah sangat maju dan semakin besar."

Mendengar pertanyaan Yovan, Aletta pun tak suka dengan pertanyaan itu. Namun, Aletta mencoba menjawab hanya sekedarnya saja. "Kami sudah bercerai." Terang Aletta.

Yovan membulatkan matanya, dia tak menyangka jika Aletta dan Xyan bercerai. "Bagaimana bisa? Kalian kan ..."

"Kak, tolong. Berhenti membahasnya, itu akan kembali membuka luka yang sudah aku tutup. Aku sudah mengikhlaskan semua masa lalu yang menyakitkan. Sekarang, aku ingin fokus membesarkan putriku. Kita hanya sekedar teman sekolah yang tak terlalu dekat, jadi ... bukankan pertanyaan itu terkesan aneh?"

Yovan menutup mulutnya rapat, matanya beralih menatap ke arah lain. Sejenak, Yovan memejamkan matanya. Dulunya, Yovan adalah kakak tingkat Aletta di SMA. Sejak Aletta masuk ke SMA nya, Yovan sudah jatuh hati pada wanita itu. Namun, dirinya memiliki prinsip.

Pria itu ingin mengejar cita-citanya lebih dulu sebelum mencari pasangan. Di saat kelulusan tiba, Yovan berniat untuk menyatakan perasaannya. Dia ingin meminta Aletta untuk menunggunya berkarir. Namun, sayang seribu sayang. Sahabatnya sendiri yang bernama Xyan, justru menyatakan cinta pada Aletta tepat di hadapannya.

Hal itu, membuat Yovan mau tak mau mengikhlaskan cinta pertamanya itu. Dirinya tak pernah menyangka, jika kisah cinta Aletta dan Xyan berakhir sama seperti dirinya. Melihat kedua orang dewasa itu diam, membuat Qiara mencondongkan tubuhnya ke arah Altaf. Lalu, anak menggemaskan itu berbisik padanya.

"Heh, meleka kenal dali mana?" Tanya Qiara.

"Nda tahu, Papa nda pelnah celita kalau punya temen pelempuan." Jawab Altaf yang sedang memakan ayam gorengnya.

"Heh Altaf! Papamu ganteng, kaya laya, baik kelihatan na. Kayakna .... dia cuka Mama Qia." Bisik Qiara sembari memperhatikan Yovan yang sedang menyeruput kopinya.

"Telus?" Tanya Altaf dengan menaikkan satu alisnya. Seringai Qiara muncul, otak kecilnya sedang merangkai sebuah rencana. Altaf yang melihat ekspresi Qiara pun mengerutkan keningnya bingung.

"Kau mau Mama ku kan Altap?" Seru Qiara pada Altaf.

"Iya." Jawab Altaf dengan mengangguk polos.

"Ada catu cala bial kau dapat Mama ku, dan aku dapat Papa mu." Bisik Qiara.

"Calana?"

"Meleka halus nikah!" Seru Qiara yang mana membuat Altaf sontak membulatkan matanya.

"Ngawul! Nikah itu halus cama-cama cinta kata Papa, kalau nda ya nda bi ...,"

"Kalian sedang apa? Berbisik berdua seperti itu huh?!"

Keduanya seperti tertangkap basah, mereka menoleh menatap ke arah Aletta yang sedang menatap penuh selidik ke arah Qiara. Sedangkan Yovan, dia melirik biasa ke arah putranya. Kedua bocah menggemaskan itu menahan gugup. Qiara pun langsung mencari alasan agar tak membuat ALetta marah.

"Ndaa ... nda ada. Cuman tadi, ada temen yang olang tuana nikah. Ya kan Altap? Anakna jadi bahagia kali," ujar Qiara yang mana membuat raut wajah Aletta berubah datar.

"Kak Yovan, kami harus pulang. Terima kasih atas makan siangnya. Ayo Qia!" Pamit Aletta, dia buru-buru beranjak dari duduknya.

Belum sempat Yovan menjawab, Aletta sudah menarik putrinya pergi dari sana. Sementara Yovan, dia masih belum mengerti mengapa Aletta langsung pergi begitu saja setelah mendengar cerita dari Qiara. Aletta menarik putrinya keluar area Resto, membuat Qiara yang kesal pun menyentak tangannya dari genggaman Aletta.

"Maaa!!" Kesal Qiara. Aletta menghentikan langkahnya, dia menoleh pada Qiara yang memasang raut wajah kesal padanya.

"Qia, dengar ... Mama mengerti maksud Qia tadi. Itu gak sopan sayang, mereka orang asing. Qia tidak boleh seperti tadi," ujar Aletta dengan tatapan menyorot lemah.

"Ma ... Qia cuman mau punya papa. Altap ada papa tapi nda ada mama, Qia ada Mama tapi nda ada papa. Mama mau tunggu papa na Qia? Papa na Qia nda dateng-dateng. Qia bangun tidul, papa Qia nda ada dateng juga. Mama nanis mulu kalau Qia tanya papa."

Degh!!

Jantung Aletta seakan berhenti berdetak, perkataan putrinya mampu membuatnya terdiam. Setiap bangun tidur, Qiara selalu menanyakan apakah papa nya datang atau tidak? Aletta selalu memalingkan pertanyaannya dengan candaannya. Walau begitu, Qiara tahu jika ibunya itu sedang menutupi kesedihannya.

"Qia, kamu anak kecil. Kamu belum mengerti," ujar Aletta.

"Celalu bilang begitu." Kesal Qiara.

Aletta hanya bisa menghembuskan nafasnya lelah, dia tak habis pikir dengan saran dari putrinya yang terdengar sangat tak masuk akal baginya.

.

.

.

Yovan dan Altaf sampai di rumah mereka, keduanya berjalan menaiki tangga. Altaf berjalan di belakang Yovan, dia sedang memikirkan perkataan Qiara tadi. Bukan hanya itu, Altaf juga terbayang dengan Aletta yang bersikap lembut padanya. Sifat keibuan Aletta, adalah hal yang selama ini Altaf inginkan.

Anak itu menginginkan kasih sayang seorang ibu, perhatiannya, rasa khawatirnya. Altaf sangat menginginkan hal sederhana itu. Dia iri dengan Qiara, walau tak ada ayah. Qiara bisa mendapatkan kasih sayang penuh dari ibunya, berbeda dengan dirinya.

Karena melamun, Altaf tak sadar jika dia sudah sampai di lantai dua. Dia tetap berjalan, tanpa melihat jika Yovan menghentikan langkahnya. Sehingga, bocah menggemaskan itu menabrak kaki sang papa.

Bugh!!

"Eh?!" Kaget Altaf. Yovan berbalik, dia menatap Altaf yang sedang memegang keningnya.

"Melamun?" Tanya Yovan dengan kening mengerut.

"Nda." Cicit Altaf.

"Bohong! Papa tahu kamu sedang memikirkan sesuatu, apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Yovan sembari melipat tangannya di depan d4da.

Altaf menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Tangannya saling mer3mas untuk menyalurkan rasa gugupnya. "Pa." Panggil Altaf.

"Hm?" Sahut Yovan dengan alisnya yang terangkat satu.

"Altaf ... Altaf mau mama." Pinta Altaf dengan suara rendah.

"Kenapa?" Tanya Yovan yang membuat Altaf bingung.

"Kenapa kamu menginginkan mama? Apa selama ini kasih sayang yang Papa berikan untuk mu kurang? Apa kamu tidak nyaman tinggal di rumah ini? Perlu tambah mainan? Atau mau jalan-jalan ke luar negri lagi? Kali ini ke mana? Biar Papa atur jadwal kerja Papa untuk menemanimu," ujar Yovan dengan cepat.

Mendengar itu, Altaf menggeleng ribut. Matanya menatap sang papa dengan mata berkaca-kaca. "Altaf mau mama, kayak mama Qia. Kata Qia, dia mau Papa dan Altaf mau mamanya. Papa ... Papa mau nikah nda cama mama na Qia? Bial Altaf juga punya mama cepelti mama na Qia." Ujar Altaf dengan suara bergetar.

Mendengar itu, entah mengapa Yovan menjadi kesal. Dia merasa, permintaan putranya kali ini sangat tak masuk akal. "Altaf, semuanya tidak sesederhana yang terlihat. Sekarang, masuk kamarmu dan tidur siang. Lupakan soal keinginanmu itu, semuanya tidak akan pernah terjadi!" Titah Yovan. Kemudian, pria itu berbalik dan berniat untuk beranjak pergi.

Mendengar itu, seketika Altaf menjadi kesal. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya, memandang punggung sang papa yang mulai melangkah menjauh. "Altaf cuman mau mama! Papa cibuk telus! Altaf mau mama yang antal Altaf cekolah! Bukan Papa!! Altaf mau mama! Altaf mau mama!! Papa jahat! Papa jahat!!" Teriak Altaf yang mana membuat langkah Yovan terhenti.

Yovan memandang ke arah lantai, kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Sejenak, dirinya memejamkan matanya. Perkataan Altaf seperti sebuah panah yang menancap tepat di jantungnya. "Altaf, tidak semua hal yang ...."

BUGH!!

Terdengar suara jatuh yang terdengar cukup kencang di telinganya. Jantung Yovan seakan berhenti berdetak, nyaris dirinya tak bisa bernafas. Dia pun segera berbalik dan tak mendapati putranya ada di belakangnya. Tubuh Yovan terasa lemas, raut wajahnya pun terlihat panik. Sampai, teriakan seseorang membuat Yovan tersadar.

"TIDAAAKK!! TUAAANN!!"

Tanpa pikir panjang, Yovan berlari ke arah tangga. Mata nya membulat sempurna saat melihat putranya sudah tergeletak tak sadarkan diri di ujung tangga dengan kepalanya yang mengeluarkan darah. "ALTAAAFFF!!"

.

.

.

Yovan membawa putranya ke rumah sakit, perasaannya sudah campur aduk. Apalagi, melihat darah yang keluar dari belakang kepala putranya. Pertolongan pertama yang Yovan lakukan, adalah menahan kepala Altaf dengan jasnya yang ia lepas. Agar darah tak banyak yang keluar.

Pikiran buruk sudah menghantui isi kepala Yovan. Tapi, walau begitu. Yovan tetap berpikir jernih untuk membawa putranya ke rumah sakit. "DOOOKK!! TOLONG PUTRA SAYA!" Teriak Yovan.

Mengetahui situasi, suster yang ada dir umah sakit itu langsung bergegas mengambil brankar. Yovan meletakkan putranya ke atas brankar, seorang suster pun mengambil alih jas yang Yovan tahan di kepala putranya. "Dia terjatuh di tangga, kepalanya terbentur dengan cukup keras hingga robek. Tolong putra saya, tolong dia." Mohon Yovan.

"Baik Tuan, kami akan segera menangani pasien." Sahut seorang suster.

Brankar Altaf pun memasuki ruang UGD, sementara Yovan hanya bisa menunggu di luar. Keadaannya cukup kacau, kemeja putihnya sudah terdapat noda darah yang cukup banyak. Dia hanya bisa berdoa, berharap putranya dapat di selamatkan. "Altaf, bertahanlah nak." Lirih Yovan.

Menikah demi anak

Selang beberapa saat menunggu, akhirnya dokter keluar dengan seragam medisnya. Yovan langsung menghampiri dokter itu dan bertanya mengenai kondisi putranya. "Bagaimana keadaan putra saya dok?" Tanya Yovan.

Dokter itu melepas maskernya, dia menghela nafas pelan yang menandakan suatu hal yang buruk sedang terjadi. "Keadaan putra anda sangat buruk. Benturan yang di terimanya cukup keras, hingga membuat keretakan pada bagian belakang kepalanya. Kabar baiknya, kami berhasil menghentikan pendarahannya. Namun ... kabar terburuknya, maaf tuan ...,"

"Putra anda mengalami koma."

"Apa?!" Tubuh Yovan langsung lemas seketika, dia tak mampu lagi menopang tubuhnya. Hingga dokter itu pun menahan bobot tubuh pria itu.

"Tuan, tolong tenang kan diri anda!" Seru dokter tersebut.

"Altaf." Lirih Yovan dengan mata berkaca-kaca.

Yovan jadi teringat masa-masa kebersamaannya dengan sang putra. Senyuman hangat putranya, wajah kesal putranya yang terlihat sangat menggemaskan.

"Papa jahat! Papa jahat! Altaf mau mama!" Itulah perkataan terakhir kali sebelum Altaf mengalami kejadian yang buruk ini.

"Maafkan Papa Altaf. Jangan tinggalkan Papa nak. Papa cuman punya Altaf." Batin Yovan dengan air mata yang menetes di pipinya.

.

.

.

Pagi hari, Qiara kembali masuk ke sekolahnya. Sesampainya di kelas, dirinya melihat para temannya sedang membicarakan sesuatu hingga tak menyadari kehadirannya. "Kalian lagi celita apa?" Tanya Qiara sembari menaruh tasnya di kursi.

Para teman Qiara pun menoleh pada Qiara, salah satu dari mereka menghampiri Qiara dan merangkul lengannya. "Kamu nda tau? Altaf kan masuk rumah sakit. Dia jatuh dari tangga," ujar teman Qiara yang tidak cadel.

"Kok bica?!" Seru Qiara.

"Dia jatuh dali tangga, kepalana lobeeekk!! Cekalang di lawat di lumah cakit cempaka." Sahut teman Qiara yang sama sepertinya.

Mata Qiara membulat, dia bergegas mendorong temannya yang merangkul tangannya. Lalu, dia meraih tasnya dan berlari pergi dari sana. Qiara berlari ke arah gerbang sekolah, raut wajahnya terlihat panik. Dirinya berharap sang mama masih ada di depan sekolahnya. Biasanya Aletta harus kembali menunggu angkutan umum untuk bisa sampai ke tempat kerjanya.

Syukurlah, ternyata Aletta masih berada di depan gerbang sekolahnya. Tampak, sang mama sedang mengobrol dengan salah satu wali murid tak jauh dari gerbang. "MAAAA!!" Teriak Qiara.

Aletta yang tadinya asik mengobrol, seketika mengalihkan tatapannya. Keningnya mengerut saat melihat Qiara yang berlari datang menghampirinya. "Ada apa?" Tanya Aletta setelah putrinya sampai di dekatnya.

"Ayo ke lumah cakit cempaka!" Seru Qiara.

"Ha? Ngapain? Qiara sakit?" Tanya Aletta, dia menjadi khawatir dengan keadaan sang putri. Untuk itu, Aletta langsung menempelkan punggung tangannya ke arah kening sang putri.

"Ish bukaaann!!" Kesal Qiara sembari menjauhkan tangan Aletta dari keningnya.

"Terus, Qiara kenapa?" Bingung Aletta.

Qiara meraih tangan sang mama, dia menatap wajah Aletta dengan tatapan berkaca-kaca. "Katana temen Qia tadi, Altap di lumah cakit. Katana kepalana lobek hiks ... ayo kita lihat Altap mama."

Betapa terkejutnya Aletta setelah mendengar jika Altaf sakit. Pikirannya langsung tertuju pada anak malang itu. Apakah Altaf baik-baik saja? "Ehm ... sayang, kita jenguknya sehabis Qia pulang sekolah aja yah." Aletta menyayangkan putrinya yang membolos sekolah. Lagian, dirinya tidak tahu bagaimana kondisi Altaf saat ini. Apakah memungkinkan untuk di jenguk, ataukah tidak.

"Ndaaa!! Qia mau ketemu Altap! Qia mau ketemu Altap cekalang hiks ... mau ketemu Altap!" Isak Qia dengan air mata yang sudah mengalir di pipi gembulnya.

Aletta menghela nafas pelan, "Oke! Kita pergi ke rumah sakit sekarang." Putus Aletta. Akhirnya, Aletta membawa Qiara pergi ke rumah sakit. Mungkin, nanti dia akan memberi pesan pada guru Qiara untuk mengizinkannya tidak sekolah hari ini.

Sesampainya di rumah sakit, Aletta berniat ingin bertanya pada resepsionis tentang keberadaan ruangan Altaf. Namun, sebelum dirinya sampai. Matanya menangkap sosok pria yang sedang duduk di kursi tunggu di depan ruang ICU. Pria itu yang tak lain dan tak bukan adalah Yovan.

Tanpa pikir panjang, Aletta langsung menghampiri Yovan. Terlihat, pria itu sedang memijat pangkal hidungnya, raut wajahnya terlihat pucat. Bukan hanya itu, bahkan bajunya masih sama seperti yang di pakai kemarin. Namun bedanya, masih ada noda darah yang Aletta duga itu adalah darah milik Altaf.

"Kak Yovan." Panggil Aletta.

Yovan mengangkat pandangannya, dia terkejut ketika melihat Aletta berdiri di hadapannya. Seketika, Yovan berdiri. Namun, ketika dia berdiri. Tubuh Yovan sedikit oleng, yang mana membuat Aletta reflek memegangi tangannya.

"Kak Yovan gak papa? Belum sarapan yah? Letta belikan sarapan dulu yah." Ujar Aletta yang berniat ingin membantu Yovan.

Saat Aletta ingin pergi, Yovan justru menahan tangan Aletta. Tatapan keduanya pun kembali bertemu, Aletta bisa melihat raut wajah kesedihan Yovan yang terlalu dalam. Kantung mata pria itu terlihat lebih gelap, mungkin karena semalaman dirinya tidak tidur karena menunggu putranya.

"Tolong, temani kakak Letta. Kali ini saja," ujar Yovan dengan nada memohon.

Aletta mengangguk ragu, dia membawa Yovan kembali duduk. Pria itu terlihat kelelahan, di saat duduk pun Yovan langsung menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Bagaimana bisa Altaf masuk rumah sakit kak?" Tanya Aletta. Sejenak, Yovan menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Aku tidak tahu, kejadiannya begitu cepat. Aku sempat berdebat dengan dia, setelah itu dia ... dia terjatuh dari tangga." Lirih Yovan.

Aletta tertegun, "Apa yang kalian debatkan? Altaf masih kecil, apakah perlu berdebat dengan seorang anak ke ...,"

"Dia menginginkan kamu menjadi ibunya." Sela Yovan dengan cepat sembari menatap Aletta dengan tatapan lekat.

Tubuh Aletta menegang kaku, mata nya membulat tak percaya. Bibirnya kelu untuk ia gerakkan, menggambarkan yang dirinya dengar adalah sebuah hal yang sangat mengejutkan. Melihat ekspresi Aletta, Yovan pun menyeringai. Dia sudah menduga, jika wanita itu pasti akan terkejut mendengarnya.

"Aku sudah menduga ekspresimu, mana mungkin kita menikah. Kau tidak mencintaiku dan aku ...."

"Tidak mencintaimu." Ujar Yovan sembari memalingkan wajahnya dari Aletta. Jujur saja, kata-kata ini sangat berat untuk dia katakan pada wanita yang sempat dirinya sukai.

Keduanya menjadi canggung, mereka bingung harus berkata apa lagi. Hingga, keduanya di kejutkan dengan seorang suster yang keluar dari ruang ICU dengan raut wajah yang panik. "Ada apa dengan putra saya sus?!" Panik Yovan sembari beranjak dari duduknya.

"Pasien mengalami kejang, saya harus memanggil dokter." Jawab suster itu dengan cepat dan bergegas pergi.

Tubuh Yovan bertambah lemas, dia jatuh terduduk dengan tatapan kosong. Sementara Aletta, dia juga sama terkejutnya dengan Yovan. Tak lama, beberapa dokter datang ke ruang ICU untuk melihat keadaan Altaf. "Altaf ... Altaf ...." Air mata Yovan terjatuh, tetapi pandangannya terlihat kosong.

Qiara yang sejak tadi mengamati Yovan seketika mendekat, tangan kecilnya meraih pipi Yovan yang basah dan mengusapnya pelan. "Janan nanis, nanti Altaf ikut nanis." Ujar Qiara dengan suara lirih. Yovan hanya diam, dia masih syok dengan keadaan saat ini. Aletta menarik tangan Qiara, dia memangku putrinya yang turut merasakan kesedihan Yovan.

Cklek!

Ruangan ICU kembali terbuka, Yovan buru-buru beranjak dari duduknya dan mendekati dokter yang sudah selesai menangani Altaf. "Bagaimana keadaan putra saya dok?" Tanya Yovan dengan perasaan khawatirnya.

Dokter itu menatap sendu ke arah Yovan, "Tuan, sebaiknya anda masuk ke dalam untuk menemui putra andan Karena. .. kondisinya semakin drop. Kami ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi putra anda ... tampaknya sudah tidak ingin lagi berjuang."

Tanpa berlama-lama, Yovan langsung berlari masuk. Aletta pun langsung menggendong Qiara dan masuk untuk melihat keadaan Altaf. Di sana, Yovan dapat melihat banyaknya selang yang tertempel di tubuh putranya. Dengan tangan bergetar, Yovan mengangkat tangannya dan mengelus pipi dingin putranya.

"Altaf ... Altaf dengar papa nak? Altaf jangan tinggalin Papa. Papa hanya punya Altaf, Papa gak ada siapa-siapa lagi selain Altaf. Papa mohon, bertahan sayang." Lirih Yovan. Air matanya terus turun, hatinya sungguh sakit melihat keadaan putranya.

"DOK! TEKANAN DARAH PASIEN TERUS TURUN!" seru seorang suster yang mana membuat Yovan terkejut.

"Altaf! Altaf dengar Papa! Altaf mau mama kan?! Papa akan memberikannya untukmu! Asal kamu bangun, Papa akan memberikannya untuk Altaf." Seru Yovan sembari menggenggam tangan Altaf yang tak terinfus.

Air mata Aletta pun turut jatuh, dia merasakan apa yang di rasakan oleh Yovan. Putranya adalah kebahagiaannya. Aletta bisa melihat jika Yovan sangat mencintai putranya. "Kak Yovan." Panggil Aletta ketika dokter meminta Yovan untuk menyingkir sebentar.

"Aletta!" Secara mengejutkan, Yovan berlutut di hadapan Aletta. Pria itu menangkupkan kedua tangannya dengan air mata yang bercucuran.

"Menikahlah denganku, jadilah ibu bagi putraku. Aku tidak akan menuntut cinta mu, aku tidak akan menuntut hakku. Aku Hanya ingin kamu sebagai ibu dari putraku. Tolong, berikan cinta untuknya. Berikan cinta yang tidak putraku dapat sebelumnya. Aku mohon, tolong Aletta. Tolonglah hiks ...." Jantung Aletta serasa berhenti berdetak, permintaan Yovan sangat mengejutkan dirinya.

"Dia ingin kamu menjadi ibunya. Tolong, menikahlah denganku. Mungkin, dengan begitu putra ku akan kembali berjuang hidup. Aletta, aku mohon hiks ...."

Qiara memandang wajah sang mama yang terlihat syok, mata bulat bocah menggemaskan itu menyorot sendu ke arahnya. "Altap mau Mama, dia bilang cama Qia kalau dia mau Mama Qia." Lirih Qiara yang mana. membuat Aletta teringat dengan sorot sendu tatapan Altaf saat menatapnya.

"Altaf nda ada mama na."

"Ma ... kacian Altap." Gumam Qiara dengan suara bergetar.

Yovan masih berlutut, dia menantikan jawaban Aletta padanya. "Apapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Aku mohon, bantu aku. Hanya Altaf yang aku punya saat ini Letta," ujar Yovan dengan suara lirih.

"Baiklah, kak ... aku mau menikah denganmu. Demi, Altaf."

.

.

.

"Saya terima nikah dan kawinnya Aletta Safira binti Reynan dengan mas kawin uang lima ratus ribu rupiah di bayar tu-nai!"

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"SAH!"

Aletta terdiam, dirinya tak menyangka jika akan berada di posisi ini kembali. Bahkan, dirinya tak juga menyangka, jika dia akan menikah di ruangan ICU dengan para suster dan dokter sebagai saksi dari pernikahannya dan Yovan. Mereka bahkan hanya duduk di sebuah kursi biasa yang ada di ruangan itu.

"DOKTER! TEKANAN DARAH PASIEN KEMBALI NORMAL!" Teriak seorang suster yang kembali mengecek kondisi Altaf. Mendengar itu, sontak Aletta dan Yovan beranjak dan langsung mendekat ke arah brankar Altaf. Senyum Yovan mengembang, dia melihat wajah putranya yang tak sepucat tadi.

"Putra anda melewati masa kritisnya Tuan, selamat! Saya yakin, jika saat ini putra anda kembali berjuang untuk melihat mamanya." Seru dokter itu dengan tersenyum bahagia.

Yovan mengangguk, dia meraih tangan kecil Altaf dan meng3cup nya. Air mata bahagianya luruh, dia sangat bahagia. "Terima kasih. Terima kasih telah kembali berjuang, Papa menghadiahkan apa yang kamu inginkan. Kamu mau punya mama kan? Buka lah matamu, dan lihat ... sekarang kamu sudah memiliki Mama." Hati Aletta turut menghangat ketika melihat senyum bahagia Yovan.

"Tuan dan yang lainnya, di mohon untuk kembali keluar. Kami akan kembali memeriksa kondisinya, jika memungkinkan ... pasien akan di pindahkan ke ruang rawatnya." Pinta sang dokter.

Yovan mengangguk, dia meng3cup punggung tangan Altaf yang tak terinfus. Lalu, mengelus pelan kening anak itu. Sebab, kepala Altaf kini di perban keseluruhan, Yovan khawatir usapannya melukai kepala sang putra.

"Ayo kak." Ajak Aletta.

Yovan mengangguk, dengan berat hati dia melepaskan genggamannya dari tangan Altaf. Setelah Yovan dan Aletta keluar, keduanya kembali duduk di kursi tunggu. Jangan lupakan Qiara yang saat ini berada di pangkuan sang mama. "Terima kasih Aletta, terima kasih. Karena mu, Altaf ...,"

"Bukan karena aku, semua sudah jalannya. Altaf berjuang demi Papa nya, dia tidak mau Papa nya sendiri. Dan soal menjadi ibu Altaf, aku akan menyayanginya seperti anak kandungku sendiri." Sela Aletta dengan cepat

Yovan memandang wajah Aletta, wanita yang kini sudah menjadi istrinya. Seharusnya, Yovan merasa bahagia. Sebab, Aletta adalah cinta pertamanya saat masih SMA dulu. Namun, entah mengapa. Saat ini, Yovan justru merasa bersalah pada Aletta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!