Seorang pemuda tampak termenung di bawah pohon mangga. Sesekali ia menengok ke halaman rumahnya dimana banyak orang yang mengantre untuk mendapatkan pengobatan dari sang ayah.
Sebagai putra seorang paranormal terkemuka Anas seharusnya menuruni kemampuan sang ayah. Namun nyatanya tidak, itulah yang membuat Anas kadang merasa minder.
Ia merasa tak berguna saat tak bisa membantu sang ayah yang sedang kewalahan mengobati pasien yang berjibun.
Tidak seperti sang Kakak Rinjani yang justru mewarisi kemampuan sang ayah.
Seperti hari ini, ia hanya bisa menatap sang ayah yang tampak letih dari pagi mengobati ratusan pasien yang mengantri di halaman rumahnya.
Janie yang baru pulang kuliah pun segera membantu sang ayah untuk menjadi mediator.
Merasa tak bisa melakukan apa-apa, Anas pun pergi meninggalkan rumah.
Pukul sepuluh malam Anas kembali. Bukannya sepi, pasien justru semakin membludak.
"Fiuh, kapan orang-orang ini pulang!" celetuknya
"Jangan ngarep cepet kalau kamu gak bantuin!" seru Mentari ibu Anas
"Gimana mau bantu, kalau Anas gak punya ilmunya," saa bantu apa gitu sesuai kemampuan kamu. Bantu manggil antrian, bantu mendata pasien, atau yang lain yang kamu bisa," jawab Mentari
Mendengar ucapan ibunya, Anas pun segera bergegas masuk. Ia mulai membuat barisan antrian dan memanggil satu persatu pasien.
Pukul dua belas malam, antrian pasien pun sudah habis. Anas merebahkan tubuhnya diatas bangku panjang, di susul Lingga yang duduk di sampingnya.
"Kamu pasti capek ya?" tanya Lingga
"Gak kok dad, capean juga Daddy," jawab Anas segera bangun
"Hmm, kamu gak usah minder le. Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Mungkin saat ini kamu belum memiliki kekuatan supranatural seperti daddy atau Janie, tapi kamu itu punya hati yang ikhlas. Itu adalah kelebihan mu yang tidak dimiliki oleh orang lain," ucap Lingga seolah mengetahui keresahan putranya
"Tapi emang ikhlas bisa merubah segalanya Dad?"
"Bisa dong Le, apa kamu inget dengan Neng Siti?"
Lingga mengangguk.
"Dia berhasil mendatangi Karuhun dan kekuatan supranaturalnya dari keikhlasannya, jadi tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya akan indah pada waktunya," jawab Lingga
"Kaya judul lagu Dad?"
"Emang iya,"
"Dad," suara Anas Parau membuat Lingga langsung menoleh kearahnya.
"Ono opo cah bagus?"
"Boleh gak kalau Anas pergi merantau?" tanya Anas
"Merantau untuk apa?" tanya Lingga
"Anas pengin mencari jatidiri. Aku ingin menggali potensi apa yang ada dalam diriku,"
"Terus kamu mau merantau kemana terus mencari apa?" tanya Lingga
"Aku ingin keliling Indonesia, mau nyari wangsit," ucapnya membuat Lingga tersenyum mendengarnya
"Kalau mau nyari wangsit mah gak usah jauh-jauh Le, datang aja ke makam Eyangmu,"
"Emang pasti dapat Dad?"
"Tergantung amal perbuatan sih Le," jawab Lingga disambut wajah cemberut Anas
"Jangan bercanda Dad, aku serius loh," jawab Anas
"Ya, daddy juga serius. Terus piye kamu mau kemana dengan siapa, nyari apa?" tanya Lingga lagi
"Pengin ke Jawa Timur dulu Dad. Pojok di sebuah desa yang terkenal dengan mistisnya. Selain mau uji nyali aku juga mau nyari kerjaan di sana. Semoga saja aku bisa berguna bagi masyarakat sana." jawab Anas
"Dimana itu le?"
"Bromo," jawabannya mantap
"Itumah kamu mau liburan?" jawab Lingga
"Malang Dad, aku mau mengikuti jejak Om Gilang. Kali aja aku bisa jadi kaya Om Gilang gitu," jawab Anas
"Hmm, sebenarnya Daddy tidak keberatan kamu merantau, kalau itu memang maumu ya silakan. Sebenarnya kalau kamu mau mendapatkan kekuatan supranatural seperti Daddy, aku bisa bantu. Lagipula ada Kakekmu, Om Gilang dan Om Barra untuk apa kau harus mencari kekuatan supranatural. Aku yakin mereka akan selalu menjagamu, jadi meskipun kau tidak punya kekuatan apapun mereka akan siap menjaga dan melindungi mu,"
"Tapi aku tidak mau seperti itu Dad, aku ingin mandiri. Aku ingin melindungi diriku sendiri dengan kekuatan ku. Jangan khawatir aku bisa jaga diri, jadi daddy gak perlu meminta mereka untuk mengikuti ku," ucap Anas
Kali ini Lingga tak bisa menahan keinginan putranya. Tekadnya sudah bulat. Ia bisa melihat kesungguhan di wajahnya.
Keesokan paginya Lingga pun melepas kepergian Anas. Pemuda itu sengaja menggunakan sepeda motornya meninggalkan kediamannya.
Meskipun Anas sudah melarang Lingga meminta tolong kepada Barra dan Gilang untuk menjaganya, tetap saja diam-diam meminta bantuan keduanya untuk mengawal Anas.
Meskipun Anas tak memiliki kemampuan untuk melihat makhluk gaib, entah kenapa ia bisa merasakan kehadiran kedua makhluk itu.
"Sebaiknya Om Barra sama Om Gilang pulang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Insya Allah dengan bantuannya aku bisa mengatasi semua masalahku nanti,"
"Hmm, apa kamu yakin Le?" jawab Gilang
"Aku yakin Om. Aku ingin mengikuti jejak Om Gilang. Aku pengin jadi kesatria seperti Om. Bukankah dulu om juga sama sepertiku, tidak memiliki kemampuan supranatural, hanya bermodalkan tekad dan keberanian?" tanya Anas
"Hmm, tapi semuanya itu ada harganya le,"
"Santai saja Om, berapapun harganya akan aku bayar?" jawab Anas
"Astaga, ngeyel banget cucuku Ran!" keluh Gilang menepuk keningnya
"Yaudah Lang kalau dia maunya gitu biarkan saja. Sebaiknya kita lihat saja dari monitor. Kalau sudah mendesak, baru kita turun gunung," jawab Barra
"Ok,"
Gilang dan Barra akhirnya meninggalkan Anas. Berbeda dengan kedua sahabatnya, Rangga yang merupakan kakek dari Anas justru tetap mengikuti Anas.
"Grandpa masih ada di sini?" tanya Anas sontak membuat Rangga terkejut
"Bagaimana kamu tahu Grandpa ada bersamamu?" jawab Rangga balik bertanya
"Bau Grandpa begitu khas, jadi tentu saja aku bisa tahu kalau Grandpa belum pergi,"
"Hmm, sepertinya mulai besok aku harus pakai deodoran, agar tak terendus oleh mu Le," jawab Rangga
"Pakai yang mahal Grandpa, yang kaya di iklan biar banyak cewek-cewek nempel,"
"Jangan dong Le, bahaya. Begini aja banyak yang nempel gimana kalau pake deodoran kapak. Kasian nasib para jomblo nanti," jawab Rangga
"Kalau begitu Anas pamit ya Grandpa, aku mohon Grandpa bisa menghargai keputusan Anas dan tidak mengikuti Anas. Kalau khawatir pantau saja Anas pakai GPS, dijamin ketemu,"
"Tapi Grandpa gak punya aplikasinya, nanti download dulu deh,"
"Ngapain download wong Grandpa punya semua. Jadi GPS itu Guna-guna, Pelet, dan Santet," jawab Anas membuat Rangga terkekeh mendengarnya
"Sue, kirain beneran GPS ternyata malah prosotan. Yaudah kalau begitu Grandpa restuin kamu Le. Semoga kamu segera bisa menemukan jati diri kamu dan segera pulang,"
"Terimakasih Grandpa sudah percaya dengan Anas,"
Anas kemudian melesatkan sepeda motornya menerobos jalanan ibukota.
Cukup lama Anas berkendara menuju ke sebuah kota yang belum pernah dikunjunginya.
Tujuan pertama ialah ke Bromo, selain berwisata ia juga ingin mencari sesuatu di tempat yang konon terkenal dengan cerita mistisnya.
To be continued....
Sebuah kedai kecil tampak ramai dipenuhi oleh pelanggan yang tengah menikmati kopi dengan berbagai hidangan khas seperti gorengan dan aneka cemilan khas pedesaan.
Rasa lapar dan penat setelah seharian berkendara membuat Anas pun menghentikan motornya untuk beristirahat.
Anas mendekati seorang wanita tua yang sedang menghidangkan sepiring nasi pecel untuk seorang pelanggan.
"Kopi hitam setunggal mbah," ucap Anas lirih
"Inggih Mas, tunggu sekedap nggih ( Iya, tunggu sebentar ya)," jawab wanita tua itu
Anas pun mengangguk kemudian duduk di kursi kosong.
Meskipun pemilik kedai adalah seorang wanita sepuh namun ia tampak sigap melayani setiap pembeli.
Tak lama wanita itu menghampiri Anas dan membawakan secangkir kopi hitam.
"Monggo," ucapnya santun
"Suwun Mbah,"
"Sami-sami,"
Secangkir kopi panas membuat tubuh Anas kembali mendapatkan energi.
Melihat aneka gorengan di depannya Anas pun mengambil ubi goreng untuk mengganjal perutnya.
Terdengar riuh suara bapak-bapak yang sedang memperbincangkan sungai angker yang selalu meminta korban.
"Hari ini korbannya anak pak RT, kasian dia mana anak satu-satunya, mati mengenaskan di kali lagi," cetus salah seorang pria
Anas yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka tampak mendengarkan dengan seksama.
"Sepertinya kita perlu mengadakan ritual lagi agar tidak ada korban berikutnya,"
"Kalau gitu sebaiknya Mas Pur segera ngomong sama pak RT, biar semuanya langsung di tindak lanjuti,"
"Yowes, nanti abis dhuhur aku mampir ke rumah Sugeng," jawab pria yang dipanggil Pur
Penasaran dengan yang dibicarakan bapak-bapak, Anas pun bertanya pada simbah pemilik warung.
Wanita tua itu pun langsung menceritakan apa yang terjadi di desanya kepada Anas.
Anas tampak antusias mendengar cerita dari wanita tua itu.
"Kalau boleh tahu Mas nya ini dari mana mau kemana?" tanya wanita itu
"Aku dari Jakarta mbah, kebetulan lagi nyari kerjaan di sini," jawab Anas
"Loh kok kebalik toh Mas, biasanya orang dari kampung ke Jakarta untuk cari kerja. Lah Mase malah kebalikannya,"
"Karena aku suka yang beda Mbah, sekalian nyari pengalaman syukur-syukur dapat jodoh," jawab Anas
"Oh gitu,"
"Kalau mau nyari kerja di sini sih banyak Mas, cuma ya gajinya kecil. Tahu sendiri di desa,"
"Gak papalah mbah, yang penting cukup buat bayar kos sama makan," jawab Anas
"Yowes nek gitu kamu mending ikut Purnomo saja, dia itu mandor di perkebunan apel, barangkali masih ada kerjaan buat kamu," ucap wanita tua itu menunjuk kearah seorang pria
"Baik Mbah,"
"Pur, Pur!" seru wanita itu
"Inggih mbah,"
"Ini ada Mas-mas yang lagi nyari kerjaan, di tempat kamu masih butuh orang gak?" tanya wanita itu lagi
"Ada mbah, buat sekuriti, emange sopo sing golek gawean?" jawab Pur
"Saya Pak," jawab Anas segera berdiri
Purnomo tampak memperlihatkan penampilan Anas.
"Kamu bisa gak jadi sekuriti buat jaga perkebunan apel?" tanya Pur
"Bisa Pak,"
"Tapi awakmu kerempeng ngono, emang iso ngelawan maling apel sing awake Guede-guede?" tanya Pur
"Insya Allah bisa Pak. Alhamdulillah meskipun kerempeng saya bisa beladiri," jawab Anas
Purnomo pun kemudian mengajak Anas menemui bosnya.
"Sepertinya kamu bukan orang asli sini,"
"Iya Pak, saya dari Jakarta," jawab Anas
"Oalah pantes, sek tunggu di sini sebentar. Aku akan memanggil Pak Gunawan dulu,"
Purnomo kemudian meninggalkan Anas di beranda rumah.
Anas tampak melihat-lihat sekelilingnya.
Rumah besar itu tampak menarik perhatian Anas. Bagaimana tidak, arsitekturnya unik, belum lagi rumah itu dipenuhi dengan hiasan khas jawa yang memiliki nilai seni tinggi.
"Pasti yang punya ini memiliki jiwa seni yang tinggi," ucap Anas saat memandangi sebuah pohon kelor yang ada di depan rumah.
"Dari semua tanaman hias yang ada di sini, kenapa harus pohon kelor ini yang ada di depan rumah. Kan kesannya jadi gak elok di pandang," Anas tampak menopang dagunya sambil berpikir untuk memindahkan pohon kelor itu
Ia pun beranjak dari duduknya mendekati tanaman itu. Saat ia hendak menyentuh tanaman itu tiba-tiba seorang pria menepuk pundaknya.
"Jangan sentuh pohon itu le," ucapnya dengan suara berat
Anas segera melepaskan tangannya dan menoleh ke samping.
"Maaf Pak, saya hanya penasaran," jawab Anas
Lelaki itu tersenyum kemudian mengajak Anas untuk duduk kembali ke beranda rumahnya.
"Penasaran boleh saja Le, tapi kamu gak boleh sembarangan menyentuh sesuatu yang bukan milikmu. Bahaya," jawabnya santai
"Mohon maaf jika, saya lancang," jawab Anas
"Iya gak apa-apa le. Ngomong-ngomong kamu beneran mau jadi sekuriti buat jaga kebun apel?" tanya Gunawan
"Iya Pak,"
"Kalau boleh tahu kamu tinggal dimana?"
"Saya belum punya tempat tinggal pak, nanti setelah saya dapat kos-kosan saya pasti beritahu bapak," jawab Anas
"Kalau kamu mau kamu boleh tinggal di sini. Kebetulan kamar Emeng kosong, kalau mau silakan kalau gak juga gak papa,"
Seketika wajah Anas berseri-seri mendengar ucapan Gunawan.
"Boleh pak,"
"Yaudah kalau gitu biar Pur yang akan nganterin kamu," ucap Gunawan
Ia kemudian meminta Purnomo mengantarnya kesebuah kamar di belakang rumah.
Meskipun kamar itu kecil dan pengap, namun Anas tetap menerimanya. Daripada ngekos kan lumayan uangnya bisa ditabung buat nikah begitu pikirnya.
Setelah meletakkan semua barang-barangnya ia kembali menemui Pak Gunawan untuk membicarakan pekerjaan dan gaji yang akan diterimanya.
Ditemani Purnomo, kali ini Gunawan mengajak keduanya masuk keruang tamu. Saat memasuki rumah itu, Anas semakin tertarik dengan rumah mewah itu. Selain nyaman rumah itu memang memanjakan mata siapapun yang masuk kedalamnya dengan hiasan dinding dan pernak-pernik yang bernilai seni tinggi.
Saat keduanya tengah serius membicarakan pekerjaan tiba-tiba terdengar suara seseorang wanita menjerit kesakitan.
Suara itu Lang membuat Gunawan berlari menuju ke kamarnya diikuti oleh Anas dan Purnomo.
Di dalam kamar tampak seorang wanita paruh baya terbaring dengan perut yang membesar.
"Sakit Pak, aku gak kuat!" seru wanita itu langsung menarik lengan Gunawan
"Iyo Bu, sek tak panggil mbah Paing buat meredakan sakit mu,"
Gunawan kemudian menyuruh Purnomo untuk memanggil Mbah Paing dukun yang selama ini mengobati istri Gunawan. Purnomo langsung meminta Anas untuk mengantarnya ke rumah Mbah Paing.
"Kalau boleh tahu ibunya sakit apa ya Pak?" tanya Anas
"Santet, ada yang bilang dia kena santet Tumpas kelor," jawab Purnomo
"Oh santet toh, kenapa gak manggil ustadz saja?" tanya Anas
"Udah Mas, tapi belum ada yang berhasil mengobatinya. Hanya Mbah Paing yang sejauh ini mampu menangkal santet tersebut," jawab Purnomo
"Oh begitu,"
Anas tampak terkejut saat Purnomo menghentikan motornya di depan warung kopi.
"Lah kok kesini Pak, bukannya ke mbah Paing?" tanya Anas
"Lah, Mbah Paing emang yang punya kedai ini Mas," jawab Purnomo seketika membuat Anas terkejut
*Tok, tok, tok!
*Krieet!!
Seorang wanita tua keluar dari balik pintu.
"Ono opo Pur?" tanya mbah Paing
"Ibu kambuh lagi Mbah," jawab Pur dengan wajah gusar
"Hmm, yowes tunggu sebentar aku tak siap-siap dulu,"
"Baik Mbah, nanti biar diantar sama Mas Anas saja, Saya ada urusan dulu sama Pak RT," jawab Pur
Mbah Paing mengangguk kemudian menghilang di balik pintu. Tidak lama wanita itu keluar. Anas segera menyalakan sepeda motornya mengantar Mbah Paing ke rumah Gunawan.
Sesampainya di rumah Gunawan, Mbah Paing langsung menuju ke kamar tempat dimana istri Gunawan berada.
Wanita tua itu langsung membuang sirihnya dan duduk di samping Ibu Rusmini.
Ia meletakkan tangannya diatas perut wanita itu.
Aneh, bukannya mengempes perut Rusmini justru semakin membesar membuat Mbah Paing melotot.
Suara teriakan Rusmini juga membuat wanita tua itu semakin tak bisa berkonsentrasi saat mengobatinya.
"Aduh Mbah, sakit mbah, sakit!" seru Rusmini berteriak sambil memegangi perutnya
Mbah Paing menatap tajam kearah perut Rusmini. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di sana.
"Ambil kan beberapa tangkai kelor le!" seru Mbah Paing menoleh kearah Anas
Dengan gugup Anas menunjuk kearah dirinya.
"Saya Mbah?" ucapnya
"Yo kowe toh le, emange sopo neh!" sahut Mbah Paing
Anas Buru-buru keluar dari kamar dan memetik tiga batang daun kelor.
Ia kemudian menyerahkannya kepada Mbah Paing.
Mbah Paing pun memukulkan kelor ke perut Rusmini hingga membuat wanita itu langsung menjerit kesakitan.
Rusmini kemudian memberontak hingga mencekik Mbah Paing. Melihat hal itu Anas dan Pak Gunawan berusaha melepaskan tangan Rusmini yang mencekik Mbah Paing.
Cukup lama keduanya bisa melepaskan tangan Rusmini dari Leher Mbah Paing.
"Sepertinya santet ini sudah mengakar. Sebelum terlambat sebaiknya kita bawa ke tempat teman saya, di desa sebelah. Aku yakin hanya dia yang bisa menyembuhkan penyakit ini, karena sebelumnya ia pernah mengobati santet semacam ini," ucap Mbah Paing
Pak Gunawan mengangguk setuju, ia pun segera meminta Anas untuk membantunya membawa Rusmini ke depan rumah.
Saat mereka sedang berjalan menuju ke depan rumah, tiba-tiba sebuah benda putih melayang kearah Mereka.
*Brakk!!
Beruntung Anas segera menarik Rusmini hingga wanita itu tak terkena lemparan benda tersebut.
Gunawan buru-buru mengambil buntelan putih itu dan membukanya. Wajahnya seketika berubah pucat saat melihat isi buntelan tersebut.
Meskipun bukan kali ini saja ia mendapatkan kiriman benda putih itu, namun baru kali ini Mbah Paing melihatnya sendiri.
Wanita tua itu menghampiri Gunawan. Keningnya mengkerut saat melihat bangkai tikus dengan tiga paku berkarat.
"Sudah berapa lama kamu dapat kiriman benda seperti ini?" tanya Mbah Paing
"40 hari ini Mbah," jawab Gunawan
"Hmm," Mbah Paing menatap nanar buntelan yang ada di tangannya dan menghembuskan nafas kasar.
"Ini namanya santet Tumpas Kelor, bangkai tikus ini artinya mayat atau kematian, sedangkan paku tiga paku ini artinya jumlah anggota keluarga mu. Jadi semua anggota keluarga mu akan mati seperti pesan yang dikirim oleh pengirim santet," ucap Mbah Paing seketika membuat Gunawan langsung lemas dan jatuh ke lantai.
"Terus aku kudu piye Mbah ( terus aku harus gimana Mbah)?" tanya Gunawan dengan suara parau.
"Siapin mobil dan bawa istrimu ke rumah temenku sebelum terlambat!" seru Mbah Paing
"Inggih," Gunawan buru-buru bangun dan berlari ke halaman rumahnya.
Lelaki itu segera membuka garasi mobil dan mengeluarkan sebuah mobil SUV berwarna hitam.
Anas Langsung memapah Rusmini masuk kedalam mobil, sementara Mbah Paing duduk di depan menemani Gunawan.
"Le, kamu bisa ikut kan untuk jagain Rusmini?" tanya Mbah Paing
Anas Pun mengangguk. Ia segera naik keatas mobil dan duduk di samping Rusmini.
Saat dalam perjalanan Mbah Paing terus mengamati spion dan sesekali menoleh kearah Rusmini.
"Sopo sing kepati bakal mati ( Siapa yang terikat pasti mati)" ucap Rusmini dengan tatapan mata yang kosong.
Tentu saja hal itu membuat Anas merinding. Meksi bukan kali ini saja ia berhadapan dengan seseorang seperti Rusmini.
Namun tetap saja Anas merasakan hal berbeda saat bersama Rusmini. Tatap matanya yang tajam penuh kebencian, seringai di bibirnya seolah memberikan peringatan membuatnya merasakan aura mistis yang kental.
Anas hanya bisa berdzikir dalam hati membentengi diri.
Mbah Paing yang mendengar pun langsung merapal mantra untuk menenangkan Rusmini.
Rusmini pun tertidur setelah Mbah Paing mengusap wajahnya.
Satu jam perjalanan Gunawan menghentikan mobilnya tepat di depan rumah sederhana yang halamannya dipenuhi dengan pohon yang rimbun. Mbah Paing keluar dari mobil bersama Gunawan. Sementara itu Anas masih menunggu di mobil. Seorang pria tua keluar dari balik pintu.
Seolah sudah tahu apa yang diinginkan sahabatnya Lelaki itupun mempersilahkan Mbah Paing dan Gunawan masuk.
Anas segera turun dari mobil dan memapah Rusmini setelah Gunawan memberikan kode.
"Awakmu sopo le?" tanya Rusmini menoleh kearah Anas
"Saya Anas Bu,"
"Pasti wong tuamu seneng nduwe anak sholeh koyo kowe ( pasti orang tuamu bangga punya anak soleh seperti mu)," ucap Rusmini
Anas hanya tersenyum mendengarnya.
Ia kemudian membantu wanita itu berbaring di tempat yang sudah disediakan.
Lelaki tua itu langsung mengambil sebuah telur dan meminta Mbah Paing untuk memeganginya sementara ia merapalkan mantera.
Ia kemudian menempelkan telur itu keatas perut Rusmini kemudian memberikannya kepada Gunawan.
"Pecahkan telor itu di depan pintu!" serunya
Gunawan segera membawa telur itu dan memecahkannya di depan pintu sesuai instruksi.
Gunawan melotot saat melihat isi telor itu adalah cacing.
"Isine cacing!" serunya kepada Mbah Paing
Kembali Lelaki itu mengambil sebuah telur dan menempelkannya ke perut Rusmini sambil membaca mantera.
Kali ini Gunawan mendapati belatung dalam telur itu.
Namun Lelaki itu tiba-tiba lunglai dan jatuh ke lantai saat mengambil telur ke tiga.
Wajahnya pucat dipenuhi dengan keringat dingin.
"Sepertinya santet kali ini selain dikirimkan untuk membunuh targetnya juga menyerang orang yang berusaha mengobatinya," ucap lelaki tua itu.
Mbah Paing segera membantunya berdiri.
"Terus aku kudu piye Mas?" tanya Mbah Paing
"Sebaiknya cari dukun lain yang lebih mumpuni, aku sudah tidak kuat lagi," jawab Lelaki itu tiba-tiba memuntahkan cairan berwarna merah.
"Getih (darah)!" seru Gunawan begitu ketakutan
"Maafkan aku Mas yang sudah merepotkan Panjenengan," ucap Mbah Paing kemudian mengusap darah di bibir sahabatnya
Meskipun Ki Argo gagal mengobati Rusmini namun, perut wanita itu sedikit mengempes setelah Ki Argo berhasil mengeluarkan cacing dan belatung dari perutnya.
Pagi itu Anas sudah mulai bekerja di perkebunan Apel.
Haru pertama bekerja ia mendapatkan giliran shif pagi.
Saat ia sedang berjaga seorang pria datang menghampirinya dan meminta bertemu dengan pemilik perkebunan Gunawan.
Anas pun mengantar pria itu.
Lelaki itu ternyata ingin membeli Apel kepadanya. Seorang pengusaha makanan ingin bekerjasama dengan Gunawan, namun sayangnya ia mengajukan syarat yang diluar nalar.
Ia bersedia bekerjasama dengan Gunawan dengan syarat ia harus menyingkirkan tanaman kelor di depan rumahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!