AWAL MULA.....
Sepasang remaja berusia delapan belas tahun sedang memandangi langit-langit sebuah kamar kost yang lebarnya tak lebih dari tiga kali tiga meter persegi.
Keduanya tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Apa yang baru saja terjadi tak seharusnya terjadi.
Jiwa muda dengan dalih khilaf membuat mereka melakukan hal yang tak sepantasnya di lakukan oleh dua orang yang tidak memiliki ikatan yang sah.
"Maafkan aku Citra...!", ucap seorang laki-laki yang kini berbaring di samping gadis itu yang sudah tak gadis lagi sejak beberapa menit yang lalu.
"Aku pun salah, Zi! Aku... tidak bisa menahan kamu agar kita tak melakukan sejauh ini!", gadis itu menghapus air matanya yang meleleh. Air mata penuh penyesalan dan rasa berdosa yang begitu besar.
Ziyad, laki-laki itu memiringkan tubuhnya menghadap Citra.
"Aku akan menikahi kamu Cit, aku janji!", kata Ziyad mengusap pipi Citra. Citra hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.
.
.
.
"Kamu dari mana? Bukankah sudah tidak ada pelajaran di sekolah? Ujian sudah selesai kan?", tanya Aisyah, mama Ziyad.
"Main sama teman, Ma!", jawab Ziyad.
"Oh iya Zi, tadi paman kamu sudah mengambil dokumen yang di perlukan untuk mendaftar Xxx. Ingat, selama masa pendidikan kamu harus fokus. Ibu dan ayah ingin kamu jadi lulusan terbaik. Sudah cukup kakak kamu yang meneruskan perusahaan kita."
"Heum, iya Ma!", jawab Ziyad. Tak lama kemudian, Ahmad--papa Ziyad menuruni tangga menghampiri ibu dan anak itu.
"Zi, papa mau bicara!", Ahmad mendudukkan bokongnya di kursi seberang Ziyad.
"Iya, Pa. Ada apa?", tanya Ziyad.
"Tolong kamu fokus dengan pendidikan besok. Papa tidak melarang kamu dan Citra berhubungan, tapi papa harus mengingatkan kamu. Kamu adalah harapan papa satu-satunya yang harus terjun di bidang papa!"
Ziyad tak punya pilihan selain mengiyakan ucapan papanya.
.
.
.
Satu bulan berlalu sejak kesalahan itu terjadi. Selama ini , hubungan Citra dan Ziyad terlihat baik-baik saja. Namun ada satu hal yang mengganjal perasaan seorang Citra. Ada sesuatu yang penting, yang ingin ia sampaikan pada kekasih hatinya yang sudah ia beri harta berharganya.
"Cit!", panggil Ziyad saat keduanya sedang mengurus beberapa dokumen kelulusan. Citra tersenyum tipis saat sang kekasih memanggil namanya.
"Aku mau ngomong!", kata Ziyad menarik tangan Citra. Dan dipinggir lapangan belakang, keduanya berbicara empat mata.
"Mau bicara apa?", tanya Citra bingung karena dia sebenarnya juga ingin bicara hal penting pada Ziyad tapi dari tadi kekasihnya hanya diam.
"Zi?", Citra mengguncang bahu Ziyad.
"Cit...kita...break dulu ya!", kata Ziyad menunduk dengan suara begitu lirih. Citra yang tak paham mengernyitkan alisnya.
"Break? Maksud kamu apa?", tanya Citra bingung.
Ziyad menoleh dan menatap netra kekasihnya begitu dalam.
"Aku harus mengikuti pendidikan besok. Kamu tahu, papa sangat menginginkan aku untuk mengikuti jejaknya. Dan...aku tidak ingin mengecewakan beliau, jadi...aku harus menjadi lulusan terbaik agar mereka bangga pada ku."
Mata Citra berkedip perlahan, mencerna ucapan Ziyad.
"Aku akan fokus dengan pendidikan ku. Dan...aku takut kalau...aku tak bisa selalu menghubungi kamu. Aku... takut kamu terlalu lama menunggu, Cit!"
Air mata Citra luruh seketika. Tapi ia menghapusnya dengan kasar. Citra sakit hati! Tentu saja!!!
"Kamu mau kita putus?", tanya Citra dengan tatapan matanya yang sendu. Ziyad tak mampu melihat gadis tercintanya itu menangis. Tapi...ia harus melakukan hal ini. Meski menyakitkan bagi keduanya.
"Baiklah Zi! Aku...aku terima kalau hubungan kita berakhir sampai di sini! Aku...aku...aku...harap kamu akan sukses dan membuat keluarga kamu bangga", kata Citra setegar mungkin.
Ziyad tak bisa menahan air matanya. Dia merasa menjadi pecundang setelah apa yang telah mereka lewati dan harus berakhir seperti ini.
"Aku janji, aku akan kembali setelah semua selesai dan di waktu yang tepat kita akan bersama!", kata Ziyad.
Citra tersenyum masam, penuh keterpaksaan.
Ziyad meraih Citra dalam pelukannya. Keduanya menumpahkan air mata yang tak bisa mereka tahan untuk meluncur begitu saja.
Setelah itu, keduanya pun berpisah karena mereka memang berada di kelas yang berbeda.
Citra mengambil tas nya lalu berjalan keluar menuju ke tempat dimana ia memarkirkan sepeda motornya. Tangannya terulur mengusap perutnya yang datar.
Air matanya kembali meleleh melewati pipi mulusnya. Tapi ia buru-buru menghapusnya.
Citra sadar, dia bodoh! Seharusnya ia mengatakan bahwa dirinya kini sudah berbadan dua pada Ziyad. Sayangnya...rasa cintanya yang begitu besar sudah menutup akal sehatnya. Dia tak ingin merusak masa depan Ziyad yang sudah di atur oleh keluarganya. Dia tak mau menjadi penghancur harapan orang tua Ziyad.
Jika harus hancur, cukup dirinya saja! Jangan Ziyad!!!
.
.
.
Enam tahun berlalu....
Citra tersenyum melihat putrinya berlari menghampiri dirinya yang baru tiba untuk menjemput di sekolah.
Riang, nama gadis kecil yang cantik dan selalu riang gembira di setiap situasi.
"Mama, apa jualan mama sudah habis?", tanya Riang. Citra mengangguk pelan.
"Sudah sayang! Kenapa, mau minta sesuatu?",tawar Citra yang kini sudah berusia dua puluh empat tahun. Tapi...dia menyandang sebagai ibu muda dengan anak usia balita. Eum ... tidak balita juga sih, karena Riang sudah hampir enam tahun. Dia lahir secara prematur.
"Eum...mama punya uang lebih buat beli es krim?", tanya Riang takut-takut tapi memasang wajah yang menggemaskan.
Citra mengetuk-ngetuk dagunya dengan jarinya. Kesannya ia sedang memikirkan apa yang Riang tanyakan.
"Ma...? Kalo ngga ada ,lain kali aja deh. Riang ngga apa-apa kok Ma!", kata Riang lirih. Citra jadi tidak tega melihat putri kecilnya seperti itu.
"Siapa bilang tidak boleh, ayok??!!", ajak Citra. Riang melebarkan senyumnya.
"Beneran ya Ma!!!?", Riang memastikan kembali.
"Iya bener! Yuk!!?", Citra membopong badan kecil Riang. Citra sudah menjual motornya sejak ia lulus sekolah. Uangnya ia pakai untuk biaya melahirkan dan sebagian ia jadikan modal untuk berdagang kecil-kecilan di depan gang kontrakannya. Tak besar memang penghasilannya, tapi cukup untuk hidupnya dan Riang tentunya.
Dimana orang tua citra? Dia gadis yatim piatu sejak sebelum ujian SMA di mulai. Miris sekali kehidupan Citra bukan? Seberat apa ujian nya selama ia hidup?
"Yah, gerimis ma!", kata Riang.
"Iya, kita berteduh dulu yuk di situ. Ngga apa-apa kan ? Nanti mama janji akan beliin Riang es krim.
"Iya Ma!", sahut Riang. Kedua ibu dan anak itu berteduh di sebuah rumah yang terlihat sepi, tapi ada beberapa kendaraan besar di sana. Gang rumah Citra memang cukup jauh dari jalan raya utama.
Ibu dan anak itu berteduh di tempat yang mungkin fungsinya untuk meletakkan kendaraan. Terlihat tak hanya ada satu kendaraan di sana.
Keduanya saling berpelukan untuk menghalau rasa dingin yang menyergap. Meski baru akan tengah hari, nyatanya hujan cukup membuat mereka kedinginan.
Lamat-lamat terdengar tawa laki-laki dari dalam rumah yang sepertinya lebih dari satu. Perasaan Citra menjadi tak enak.
"Sayang, kalo kita hujan-hujanan kayanya seru deh! Mau kan?", tanya Citra pada putrinya.
"Beneran Ma?", tanya Riang antusias. Citra mengangguk sambil bersiap untuk melangkahkan kakinya keluar dari area parkir tersebut. Tapi....
"Hei, mau kemana kalian? Hujannya deras banget lho! Masuk aja dulu, kita ngga jahat kok!", kata salah seorang laki-laki yang Citra lihat sedang mabuk berat.
Citra memeluk tubuh putrinya begitu erat.
"Mama....om nya serem!", kata Riang.
"Ngga sayang, kita pulang aja sekarang!", ajak Citra lagi. Tapi ada seorang laki-laki lagi yang menghadang langkah Citra.
"Maaf, kami harus pulang!", kata Citra. Tawa ketiga laki-laki dewasa terdengar begitu menyeramkan di telinga Citra dan Ruang.
"Kamu terlihat pucat sekali nona manis pasti sangat dingin, gadis kecil ini pun sangat menggemaskan! Ayo ...om bantu buat hangatin di dalam."
Citra siap berlari tapi tubuh kecilnya di tarik paksa hingga ia masuk ke dalam rumah tersebut. Citra berteriak sekuat tenaga tapi suaranya bahkan tertelan oleh suara hujan yang begitu deras.
Dan....yang terjadi di dalam.......?????😭😭😭😭
.
.
.
"Ada kasus pelecehan seksual di daerah Xxx, Ndan!", rekan Ziyad menyerahkan laporan tentang penemuan korban pelecehan tersebut.
"Korbannya ibu muda dan anak usia sekolah, mungkin TK!", kata rekannya.
Ziyad memeriksa berkas tersebut setelah itu ia langsung ke TKP dimana kejadian itu terjadi.
Ziyad dan beberapa rekannya tiba di lokasi kejadian. Laki-laki yang tak sadarkan diri itu masih tak sadarkan diri dengan luka tusukan di punggung dan pinggangnya.
Entah siapa yang melakukan hal sadis seperti itu.
"Dimana saksi korban saat ini?", tanya Ziyad.
"Rumah sakit Kasih Bunda!", jawab rekannya. Singkat cerita mereka tiba di rumah sakit tersebut. Ziyad menunjukkan id nya pada petugas rumah sakit.
Ziyad pun diijinkan untuk melihat kondisi dua korban pelecehan tersebut.
"Silahkan Pak!", seorang perawat mempersilahkan Ziyad dan rekannya masuk untuk menemui pasien. Kondisi Citra lebih parah dari Riang, jadi mereka tak satu ruangan.
Ziyad menatap Riang yang membuka matanya tapi tak merespon kehadirannya. Ada rasa iba sekaligus debaran yang tak bisa ia jabarkan saat melihat wajah cantik Riang.
Ziyad mencari tahu informasi tentang apa yang gadis kecil itu alami. Dan....Ziyad merasa sesak saat melihat hasil pemeriksaan Riang.
"Hei, anak cantik!", sapa Ziyad saat ia berdiri di samping brankar gadis kecil itu. Ziyad tak ingin menempatkan diri menjadi petugas kali ini. Tapi, menjadi teman bicara gadis kecil dihadapannya.
Ada luka lebam di pipinya dan juga sayatan kecil di bawah matanya. Namun, nampaknya...dia tak merasakan perih luka di wajahnya.
Entah kenapa air mata Ziyad meleleh tiba-tiba saat melihat kondisi Riang. Padahal selama ini ia bahkan bertugas dengan berbagai kasus yang mungkin tak jauh dari ini.
"Riang ,nama yang cantik?", puji Ziyad. Kedua rekannya dan dokter serta suster disana tak ingin ikut campur. Apalagi dua rekan Ziyad yang sangat paham, Ziyad dan istrinya sudah sangat menginginkan kehadiran seorang anak.
Riang menoleh pada sosok lelaki yang tersenyum paksa.
"Saya pernah liat Om, tapi dimana?", tanya Riang lirih. Ziyad mengerjapkan matanya.
Dokter dan suster yang mengurus Riang sejak awal merasa sedikit lega, karena akhirnya Riang mau bicara.
"Oh ya?",tanya Ziyad. Riang mengangguk samar.
"Coba ingat-ingat, di mana?", tanya Ziyad mencoba mengambil hati Riang sebelum ia meminta banyak keterangan dari gadis kecil itu.
Riang menatap langit-langit ruangan tersebut.
"Ponsel Mama!", jawabnya tanpa menoleh sedikit pun pada Ziyad meski terdengar sangat lirih. Belum sempat Ziyad bertanya, ruangan Riang terbuka dan seseorang yang ada di kursi roda memasuki ruangan yang dibantu suster.
"Riang!", kata perempuan yang ada di kursi roda tersebut. Ziyad yang ada di samping Riang pun memutar badannya melihat sosok yang tengah berada di kursi roda.
Ziyad terpaku melihat sosok itu, Citra! Tapi sosok itu seolah abai dan tak melihat keberadaan Ziyad.
"Mama!", panggil Riang lirih sambil berusaha tersenyum.
Ziyad memundurkan tubuhnya agar kursi roda Citra bisa di samping brankar Riang.
"Hiks...hiks...maafkan mama sayang! Maafkan mama!", Citra histeris saat mengingat kejadian yang memilukan itu.
"Riang baik-baik saja mama! Om-om jahat itu pasti sudah kesakitan juga!", sahut Riang. Citra memejamkan matanya di sela tangisnya. Suster yang tadi membawa Citra keruangan tersebut berusaha menenangkan Citra.
Riang memandangi tangannya yang ada sedikit luka.
Tangan yang sudah ia gunakan untuk melumpuhkan orang-orang yang menyakiti dirinya dan juga mamanya. Setelah itu, Riang menoleh pada Ziyad yang masih membeku.
"Bukankah foto om itu ada di hape mama?", tanya Riang pada mamanya. Citra menoleh pada sosok yang berdiri disamping suster yang ada di belakangnya.
Kedua pasang mata itu saling mengunci. Apa yang mereka pikirkan?????
*******
Hai...epribadiiihhh....RIANG rilis hari ini, kalo di ACC Mimin tapi. Betewe... othor ngga mau bikin detail kejadiannya seperti apa. Meski hanya dunia halu, tapi kalo membayangkan seperti itu rasanya.....
Astaghfirullah 🥺😭🤧
Terimakasih semuanya othor ucapkan....ini buat kalian2 yang penasaran kenapa Riang begini begitu 😁✌️. Penjelasan ada di bab2 selanjutnya, insya Allah.....🙏🙏🙏🙏🙏
13.15
Ziyad menatap mata lentik perempuan muda yang sudah di sebut mama oleh gadis kecil cantik yang terbaring di brankar.
Lebih dari enam tahun akhirnya ia bisa melihat kekasih hatinya semasa duduk di bangku putih abu-abu. Sayangnya...semua kondisi dan situasi sudah berubah. Ziyad sudah beristri, begitu pula dengan Citra yang sudah memiliki Riang.
Terlihat Citra meneguk salivanya dengan perlahan seolah kerongkongannya terasa begitu kering. Perempuan muda itu memilih untuk menoleh ke sang putri.
"Mama...!", panggil Riang.
"Iya sayang?", tangan Citra yang juga terdapat beberapa luka mengusap kepala Riang. Sebenarnya, sebagai seorang ibu... Citra merasa gagal karena tak bisa melindungi sang putri. Jika itu tentang dirinya, mungkin tak akan sesakit itu.
Luka-luka di tubuhnya tak seberapa di banding dengan apa yang putrinya alami. Citra memang di lecehkan tapi tak sampai sejauh itu. Justru dia harus menyaksikan masa depan sang putri di renggut paksa. Hati ibu mana yang tak teriris. Bukan dengan milik pria-pria bejat itu melainkan dengan benda runcing yang pasti sangat menyakitkan.
Citra sudah berusaha melindungi sang putri tapi dia dihajar habis-habisan, hingga akhirnya ia pasrah dan tak berdaya hingga tak sadarkan diri. Yang dia ingat, saat matanya terbuka orang-orang yang melecehkan dirinya dan Riang sudah terluka parah. Entah siapa pelakunya, yang pasti... ia begitu sadis karena melukai punggung dan leher para pria bejat itu.
Citra menghapus air matanya yang selalu menetes, padahal ia berusaha menyembunyikannya dari sang putri.
"Ma, Riang kebelet pipis. Tapi **** sakit...!", ringis Riang tapi tidak menangis. Citra mendongakkan kepalanya berusaha untuk tidak meneteskan airmata nya.
"Suster bantu ya, mama Riang masih sakit tuh. Mau ya?", bujuk suster.
Riang mengangguk pelan. Suster yang menjaganya membopong Riang untuk di bawa ke kamar mandi. Citra sendiri masih berada di tempatnya.
Dua rekan Ziyad menghampirinya.
"Sepertinya, saksi belum bisa di mintai keterangan Ndan!", kata rekan Ziyad. Ziyad mengangguk pelan.
"Kalian pulang lah, saya ingin berbicara dengan Riang. Bukan untuk meminta keterangan ap...", ucapan Ziyad terhenti saat Citra menolak dan keberatan.
"Maaf, sebaiknya bapak-bapak bisa kembali besok. Saya dan Riang akan beristirahat. Sus, saya boleh di rawat di ruangan ini juga kan?", tanya Citra.
"Bisa, Bu!", jawab suster.
"Maaf dok, sus, bisa tinggalkan saya, Bu citra dan Riang saja?", tanya Ziyad. Semua yang ada di sana cukup terkejut. Apalagi kedua rekan Ziyad.
Dokter, suster dan rekan Ziyad keluar dari kamar Riang. Selang beberapa detik kemudian, Riang keluar dari kamar mandi dan kembali berbaring di tempat tidurnya.
"Sayang...!", Citra begitu prihatin dengan kondisi putrinya yang begitu kesakitan. Terlihat seperti apa sang putri meringis dan ada jejak lelehan air mata di pipinya.
Suster yang mengantar Riang merasa bingung karena tidak seramai tadi, akhirnya dia pun pamit keluar.
"Mama, lihat tangan Riang ma!", kata Riang menunjukkan pada Citra. Citra meraihnya dan mengecupnya dengan lembut.
"Tangan kamu terluka sayang! Sakit ya?", Citra seolah tak menganggap keberadaan Ziyad. Dia mengobrol berdua dengan Riang.
Riang mengangguk.
"Tapi ngga apa-apa Ma. Pasti om-om jahat itu lebih sakit karena Riang!", jawab Ruang polos. Citra dan Ziyad tak tahu yang di maksud oleh Riang itu apa. Mereka pikir, itu adalah reaksi dari dalam dirinya yang menenangkan bahwa ada kata 'tidak apa-apa'.
Padahal...tanpa sepengetahuan Citra dan Ziyad, apa yang sudah Riang lakukan sepertinya tak mungkin di lakukan oleh gadis kecil yang baru mentas masa balitanya.
Citra masih menciumi punggung tangan Riang.
"Om, kenapa om masih di sini?", tanya Riang pada Ziyad. Ziyad berusaha tersenyum.
"Om mau kenal dekat, sama Riang!", jawab Ziyad.
Riang bergeming beberapa detik karena ia melihat ibunya yang sepertinya mengabaikan seseorang di sampingnya.
"Apa benar Om yang di ponsel mama?", tanya Riang pada Citra.
"Bukan sayang!", jawab Riang. Riang menoleh ke Ziyad dan menatapnya intens.
"Mama bohong, Riang tahu kalo mama bohong hidung mama merah!", kata Riang.
Citra tak mampu lagi untuk membohongi putrinya yang seolah dirinya tak mengenal Ziyad. Beberapa saat kemudian, Citra mengangguk pelan.
"Kamu masih menyimpan fotoku Citra?", tanya Ziyad yang sudah tak tahan ingin bertanya. Citra tak menjawabnya. Ziyad menghela nafasnya. Pikirannya melayang ke berbagai arah.
Bagaimana bisa mantan kekasihnya masih menyimpan fotonya, yang bahkan anaknya saja tahu. Lalu, apakah dia tak berpikir bagaimana jika suaminya tahu????
"Riang, boleh om tanya sesuatu?", tanya Ziyad. Citra menoleh pada Ziyad dengan tatapan matanya yang tajam. Dia tak ingin sang putri merasa trauma dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan ziyad ajukan pada putrinya.
"Boleh!", jawab Riang.
"Eum...di mana papa Riang?", tanya Ziyad. Citra memejamkan matanya. Entah , jawaban apa yang akan Riang berikan pada mantan kekasihnya tersebut.
"Papa? Mama bilang, papa Riang lagi sekolah. Biar nanti jadi orang hebat, kalo sudah jadi orang hebat pasti papa akan nemuin Riang dan mama!", kata Riang.
Air mata Citra luruh seketika mendengar ucapan Riang yang sangat polos. Dia memang mengatakan seperti itu pada anak gadisnya. Karena ia memang tak pernah berpikir jika takdir akan kembali mempertemukan dirinya dengan Ziyad dalam situasi seperti ini.
Entah kenapa tiba-tiba saja dada Ziyad merasa sesak. Perasaan apa ini?
"Citra?", Ziyad menatap Citra yang bahunya terguncang hebat.
"Riang, sudah malam! Istirahat ya sayang. Om, mau bicara sama mama Riang dulu sebentar."
"Om janji ngga jahatin mama? Soalnya kalo mama sholat malam suka nangis liatin foto Om!", kata Riang jujur.
Ziyad semakin sibuk menerka-nerka dalam hatinya. Sebenarnya apa yang terjadi???
.
.
.
Di taman rumah sakit, ziyad mendorong kursi roda Citra. Ia meminta suster menemani Riang di kamarnya.
Ziyad duduk di bangku taman. Sepasang mantan kekasih itu larut dalam pikiran mereka masing-masing.
"Ada yang ingin kamu katakan pada ku, Cit?", tanya Ziyad.
"Nggak!", jawab Citra singkat.
"Dimana suami kamu, papa Riang?", tanya Ziyad dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.
"Apa hal itu ada dalam draft pertanyaan tugas anda pak?", tanya Citra.
"Aku bertanya sebagai seorang teman."
Citra tersenyum tipis meremas kedua jemarinya yang saling bertautan.
"Apa ada pengaruhnya jika anda bertanya sebagai seorang teman? Apa kita sedekat itu?", sarkas Citra. Ziyad memalingkan wajahnya, ia tak sanggup melupakan masa lalunya dengan perempuan yang ada di hadapannya.
"Siapa yang Riang maksud tadi?", tanya Ziyad yang mencoba tidak peduli dengan sindiran Citra.
"Kalau aku bilang, Riang adalah hasil perbuatan kita saat selesai ujian, kamu percaya?", tanya Citra sambil menoleh pada lelaki tampan itu.
Ziyad dibuat membeku dengan jawaban Citra.
"Riang...an-anak ku Cit?", tanya Ziyad tersendat. Citra kembali menatap gelapnya malam.
"Bukan, dia anakku. Hanya anakku!", jawab Citra tanpa menatap Ziyad.
Ziyad tak tahu harus bereaksi seperti apa. Yang jelas, dia masih shock dengan pertemuan antara dirinya dan Citra.
"Maaf, aku akan ke kamar Riang. Sudah cukup malam. Kembali lah, aku yakin istrimu sudah menunggu mu di rumah."
Citra mencoba menjalankan kursi rodanya. Tapi karena tangannya masih cukup sakit, dia merasa kesulitan.
Ziyad reflek membantu Citra mendorong kursi rodanya. Citra merasa tak mampu sendiri, jadi dia membiarkan Ziyad mengantarnya ke dalam kamar rawat Riang.
Sesampainya di sana, ternyata Riang sudah tertidur pulas di temani suster.
"Karena sudah ada ibu, saya ijin keluar untuk pekerjaan yang lain ya Bu! Kalau ibu membutuhkan bantuan, saya ada di pos depan Bu!"
"Terimakasih sus!", ucap Citra.
"Mari, pak!", pamit suster pada Ziyad.
Citra mencoba bangkit dari kursi rodanya tapi luka di kakinya membuat ia nyeri. Mau tak mau ia menerima bantuan Ziyad lagi.
Jarak antara keduanya begitu dekat bahkan nyaris tak berjarak. Tapi sebisa mungkin, Citra menjauh beberapa senti.
Menyadari jika dirinya terlalu berlebihan, Ziyad pun mencoba bersikap biasa.
"Terimakasih!", kata Citra.
"Istirahat lah, aku akan kembali besok!", kata Ziyad.
Citra tak menjawab apapun. Dia hanya mencoba memejamkan matanya. Mungkin karena reaksi obat, Citra benar-benar tertidur beberapa menit kemudian.
Ziyad tak langsung pulang, ia memandangi wajah Riang yang teduh. Ziyad menyadari, wajah Riang memang perpaduan antara dirinya dan Citra.
Lalu apa yang harus ia lakukan??? Darah dagingnya menjadi korban pelecehan biadab oleh oknum-oknum tak bermoral.
Yang Ziyad tak habis pikir, kenapa Citra baru mengatakan sekarang jika akibat pergaulan bebas mereka berdua menghasilkan Riang???
*****
Maaf kalo banyak typo 🙏.
Untuk bab2 awal, fokus menceritakan sejarah Riang. Tapi nanti di bab yang akan datang, tokoh utamanya tetap Riang & Arsyam ya....😁✌️
Jadi untuk beberapa bab ini, belum nongol Arsyam Nadir Saputra nya ✌️✌️✌️✌️
Terimakasih buat semua yang sudah berkenan mampir dan memberikan dukungan baik itu like komen atau pun cuma baca doang gak apa2. Yang penting jangan kasih rate bintang 1 aja 🤭🤭🤭☺️
Marukkk amattt othornya 🤭
Haturnuhun 🙏🙏🙏🙏🙏🙏
Ziyad pulang ke rumahnya setelah hampir jam sepuluh malam. Sejak menikah, dia memang tinggal bersama kedua orangtuanya. Istrinya tak keberatan sama sekali. Bahkan sang istri sangat akrab dengan mama dan papanya tersebut.
Ziyad terkejut saat dia mendapati kedua orang tuanya dan sang istri tengah duduk di ruang keluarga.
"Assalamualaikum!", Ziyad mengucapkan salam.
"Walaikumsalam!", jawab ketiga orang di ruangan itu.
Ziyad menghampiri istrinya yang saat ini sudah memakai piyama lengan panjangnya. Sang istri yang bernama Naya pun menyalami punggung tangan Ziyad.
"Baru pulang?", tanya Ahmad, papa Ziyad.
"Iya Pa."
"Kasus tentang pelecehan seksual di daerah Xxx?", tanya Ahmad lagi. Ziyad mengangguk.
"Astaghfirullah! Kasian sekali ya mas. Korbannya ibu muda sama anak kecil lagi. Bagaimana perasaan suaminya saat tahu kalau istri dan anaknya jadi korban orang-orang keji itu?!", Naya terlihat geram.
Ziyad tak menyahuti ucapan Naya. Karena dalam sudut hatinya, dia memang benar-benar merasa bersedih sekaligus merasa bersalah.
Andai...andai saat itu ia tahu Citra sedang mengandung putrinya. Apa hal ini akan terjadi?
Lalu, apa benar Riang adalah putri kandungnya???
"Mas?", Naya mengguncang pelan bahu sang suami yang terdiam sejak tadi.
"Eh...iya Nay, kenapa?", tanya Ziyad sedikit terdengar aneh karena nampaknya dia terkejut.
"Ajak suami mu ke kamar Nay, setelah tugas seharian pasti dia lelah!", ucap Aisyah pada menantunya.
"Iya, Ma. Ayo mas kita ke kamar, aku siapkan air hangat dulu!", ajak Naya. Ziyad pun mengiyakan lalu mereka berdua beranjak menuju ke kamar mereka.
Setibanya di kamar, Naya menyiapkan air hangat untuk suaminya. Tak lupa ia menyiapkan pakaian ganti sebelum suaminya keluar dari kamar mandi.
Dua puluh menit berlalu, Ziyad keluar dari kamar mandi dengan tubuhnya yang lebih segar. Dilihatnya sudah tersedia secangkir teh hangat dan juga buah potong.
Ziyad memang tak makan malam jika sudah melewati jam makannya. Makanya, dia memilih ngemil buah untuk mengisi perutnya.
Naya memperhatikan suaminya yang tengah berpakaian di hadapannya tanpa canggung sama sekali. Lalu beberapa menit kemudian, dilihatnya sang suami mendirikan shalat isya.
"Mau aku pijat mas?", tawar Naya.
"Ngga usah, kamu istirahat saja Nay!", kata Ziyad.
"Seharian aku ngga kemana-mana, cuma rebahan di rumah. Kesannya aku habis ngerjain apa harus istirahat sekarang-sekarang sedang suamiku baru pulang bekerja!", kata Naya meringsek mendekati suaminya.
Ia memijat bahu suaminya yang tegap dan kokoh tersebut.
Ziyad tak ingin membuat istrinya tersinggung, mau tak mau ia membiarkan sang istri melakukan kemauannya.
"Mas ..."
"Heum?"
"Aku mau program bayi tabung, menurut kamu gimana mas?", tanya Naya. Ziyad menurunkan tangan Naya dari bahunya lalu menoleh ke belakang.
"Mas, kita sudah menikah dua tahun. Setelah diperiksa kita berdua baik-baik saja kan? Mungkin Allah ingin kita berusaha dengan cara lain, bayi tabung mungkin?"
Ziyad dan Naya di jodohkan oleh kedua orang tua mereka. Yang Ziyad tahu, dia lost contacts dengan Citra setelah kelulusan waktu itu.
Setelah menamatkan pendidikan, Ziyad pikir dia akan kembali pada Citra. Tapi kata kedua orang tua Ziyad, Citra sama sekali tak menemui mereka berdua. Alhasil...dia kehilangan Citra.
Dan perjodohan itu pun tidak bisa ia tolak karena seperti biasa, dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
Naya perempuan yang cantik dan terlahir dari keluarga berada. Wajar saja jika orang tuanya berharap jika mereka ingin memiliki menantu seperti Naya.
Meski sebelumnya mereka tak pernah melarang Ziyad berhubungan dengan Citra, tapi karena Citra tak ada kabar...ya sudah. Perjodohan itu pun berlangsung.
"Gimana mas?", tanya Naya yang bingung karena suaminya hanya diam.
"Eum...mas setuju saya Nay!", kata Ziyad berusaha tersenyum.
"Makasih ya mas!", Naya memeluk erat suaminya. Sayangnya respon Ziyad tak seperti biasanya. Naya bisa merasakan perbedaan itu.
Perempuan cantik yang pernah mengambil jurusan psikologi itu pun melepas pelukannya.
"Apa mas sedang memikirkan masalah berat?", tanya Naya.
"Heum!", hanya gumaman yang keluar dari mulut Ziyad.
"Tentang kasus yang menimpa ibu dan anak kecil itu?", tanya Naya.
"Istirahat lah Naya! Jangan terlalu banyak bertanya!", sentak Ziyad yang membuat Naya sedikit terkejut. Selama ini ia tak pernah di bentak sama sekali oleh orang lain.
"Oh...okkke mas, maaf sudah membuat kamu marah!", kata Naya yang tiba-tiba saja meluncurkan air matanya. Dia langsung merebahkan diri di ranjangnya.
Ziyad mengusap kasar wajahnya. Dia menyesal karena sudah membentak Naya. Tak seharusnya ia melampiaskan emosinya pada sang istri.
Wajar bukan jika istrinya bertanya kenapa dia bisa seperti sekarang???
Ziyad melihat selimut yang Naya pakai bergetar. Dia tahu jika istrinya tengah menangis.
Lelaki itu menghela nafas berat lalu setelah itu ia merebahkan dirinya di samping Naya lalu memeluknya dari belakang.
"Mas minta maaf! Mas sudah bentak kamu! Ngga seharusnya kamu menjadi pelampiasan emosi mas. Mas salah, tidak bisa mengendalikan emosi padahal ini tentang pekerjaan Mas. Mas minta maaf Nay!", kata Ziyad yang tak melepaskan pelukannya.
Perlahan Naya menyadari sikapnya. Harusnya ia memahami situasi dan mood suaminya yang sedang lelah. Tapi kenapa dia harus baper???
Tak ada obrolan lagi diantara keduanya, akhirnya mereka berdua pun lelap dalam mimpinya.
.
.
.
Di rumah sakit....
Jam menunjukkan pukul empat dini hari. Tiba-tiba saja Riang merasa ingin buang air kecil. Tapi ia tak tega membangunkan mamanya yang terlihat kelelahan.
Riang kecil berusaha mengambil botol infusnya lalu mencoba menuruni tempat tidurnya. Meski dengan sedikit melompat, akhirnya Riang bisa turun.
Rasa nyeri diarea khususnya sudah tak sesakit sebelumnya. Gadis kecil itu berusaha untuk mandiri menuju ke kamar mandi.
Dengan langkah tertatih, gadis itu pun memasuki kamar mandi. Lima menit berlalu, Riang sudah keluar dari kamar mandi.
Suasana di dalam sana sangat lengang. Tak terdengar suara apapun.
Di tengah kesunyian, tiba-tiba perut Riang berbunyi. Gadis kecil itu merasa lapar di jam yang tak terduga ini.
Matanya beralih pada meja nakas. Di sana ada buah apel dan pisau kecil yang cukup tajam. Karena lapar, Riang menyeret bangku untuk ia duduk. Tak lupa, tiang infusnya juga ia bawa.
Riang tidak sakit yang lemah keseluruhan tubuhnya. Hanya beberapa luka kecil di kulit dan area khusus miliknya.
Jadi, meski kecil begitu dia mampu menyeret tiang infusnya dan duduk di depan nakas.
Matanya kini beralih ke arah pisau dan apel yang ada di hadapannya. Gadis itu teringat ucapan mamanya setiap kali ia ingin membantu memotong sayuran untuk bahan jualan mamanya.
Mamanya selalu melarang Riang untuk membantunya meskipun hanya mengupas bawang.
"Jangan sayang, udah biar mama aja yang kupas sama potong sayurnya. Ngga boleh main pisau, bahaya! Nanti kalo melukai tangan kamu bisa berdarah dan rasanya tuh sakit banget!", kata mamanya sambil meraih pisau dari tangannya perlahan.
"Riang hati-hati kok Ma. Kasian mama....!", kata Riang.
"Dengerin mama sayang, kamu masih kecil. Terlalu bahaya kalo pegang benda tajam seperti ini."
"Mama, Riang kan cuma mau bantu mama. Kenapa malah di larang!", kata Riang merajuk lalu meninggalkan dapur Citra.
Citra membiarkan sang putri merajuk karena dia yakin putrinya akan seperti sedia kala jika sudah mulai tenang.
Tapi ternyata, Riang kecil yang jiwa penasarannya terlalu tinggi mencari celah agar ia bisa bermain dengan benda tajam itu. Dia ingin lihai memotong sayuran seperti mamanya agar dia bisa membantu sang mama.
Di saat Citra lengah, Riang mencoba menggunakan benda itu. Dan benar saja, jemari lentiknya teriris pisau.
bukannya menangis, Riang justru tersenyum.
"Cuma begini aja mama, Riang ngga sakit!", monolog Riang. Tapi hal itu tak berlangsung lama saat Citra memergoki sang putri yang sudah berlumuran darah di tangan kirinya.
"Astaghfirullah! Riang!!!", buru-buru Citra mencuci tangan Riang di wastafel. Sebagai seorang ibu, wajar jika Citra panik.
Citra tak bisa memarahi sang putri yang jiwa penasarannya sangat tinggi. Yang Citra tahu, dirinya lah yang bersalah karena sudah lalai menjaga putrinya.
Ingatan tentang luka di jarinya itu terlintas di pelupuk mata Riang. Dengan penuh percaya diri, Riang mengambil apel yang ada di nakas. Dengan perlahan ia mengupas buah berwarna merah tersebut.
Sekali dua kali, semua aman. Hingga akhirnya sebuah sayatan berhasil melukai jarinya.
Entah...hal apa yang membuat Riang seolah menikmati rasa sakit. Darah dari jemarinya sudah menetes banyak, tapi ia masih tetap mengupas apel tersebut.
Setelah di rasa selesai, Riang makan dengan tangan kanannya. Pandangan matanya tertuju pada jarinya yang terluka.
"Sakit....???", gumam Riang tapi mulutnya tetap mengunyah apel tersebut.
Ceklekkkk....
Pintu ruangan Riang terbuka. Seorang perawat memasuki ruangan tersebut untuk mengecek kondisi pasien sebelum tukar shift.
Perawat itu mendekati Riang yang duduk memunggungi pintu. Dan betapa terkejutnya ia melihat kondisi Riang saat ini.
"Astaghfirullahaladzim!",pekik perawat itu hingga membuat Citra terbangun dari tidurnya.
******
Terimakasih semuanya yang sudah bersedia mampir di sini. Mohon koreksinya masih banyak typo dan bahkan mungkin alurnya rada2 gimana gitu.
Pokoknya apalah mak othor tanpa kalian reader's kesayangan....🙏🙏🙏🙏🙏
16.15
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!