"Siapa lu?" Seketika langkah kaki Shavana terhenti, lalu mendongakkan kepala menatap pada seseorang yang menghadang langkah kakinya.
Shavana menunduk memberi salam pada pria itu. "Aku Shavana, keponakannya pakde Reyhan," ucapnya.
Brian menelisik penampilan Shavana dari atas hingga bawah. Gadis itu sangat sederhana dengan rambut di ikat kuda, mengenakan baju kaos dan celana panjang, serta tas ransel yang di gendong di punggung dan snikers melekat di kedua kakinya.
Melihat itu ia tersenyum sinis.
"Jangan bohong! Mana mungkin Daddy punya keponakan kayak lu," ucapnya merendahkan.
"Aku nggak bohong, Mas. Aku beneran keponakannya pakde Reyhan," ucap Shavana membela diri namun Brian tentu saja tidak mempercayainya.
"Jangan coba-coba lu nipu gue! Gue nggak akan percaya, mending lu pergi dari sini," titah Brian.
"Buat apa nipu, aku beneran keponakan pakde Reyhan kok. Kalo Mas nggak percaya silahkan telepon pakde Reyhan buat mastiin," tantang Shavana.
"Gak perlu! Sudah jelas-jelas lu itu penipu. Sekarang lu pergi dari sini sebelum gue seret lu keluar!" ancam Brian menatap tajam pada Shavana.
Shavana menundukkan kepala kemudian menggeleng. "Aku nggak akan pergi sebelum ketemu pakde Reyhan," ucapnya.
"Pergi dari sini atau gue seret lu keluar?" tanya Brian sekali lagi.
"Nggak dua-duanya," jawab Shavana dengan kepala masih menunduk.
Kekesalan Brian tidak lagi bisa ditahan. Ia tidak suka ada orang asing masuk kerumahnya, di tambah lagi orang itu sangat kampungan.
Brian menarik kasar tangan Shavana membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Sstt, sakit. Tolong lepaskan tanganku ini sakit, Mas," pinta Shavana sembari terus melangkah mengimbangi langkah kaki Brian yang lebar.
Brian tidak mengindahkan permintaan Shavana. Pria itu terus menarik dan membawanya menuju pintu gerbang.
Brian melepaskan cekalannya lalu mendorong tubuh Shavana.
Brukk!
"Jangan coba-coba lu masuk lagi ke rumah gue!" kecam Brian menunjuk tepat di wajah Shavana.
"Tutup pintu gerbang," titahnya pada satpam sembari melangkah masuk.
Sementara Shavana hanya terdiam dengan masih terduduk di tanah menatap punggung Brian yang perlahan menjauh.
Tit dit.
Langkah Brian terhenti saat mendengar suara klakson mobil diluar gerbang. Betapa terkejutnya Brian setelah membalikan tubuh ia melihat ayahnya sedang membantu gadis yang tadi ia dorong untuk bangkit.
"Daddy," panggil Brian dan kembali keluar gerbang.
Pria yang dipanggil 'Daddy' oleh Brian itu juga membantu membersihkan pakaian Shavana yang kotor karena terjatuh di tanah.
"Daddy apa-apaan, kenapa bantuin dia?" tanya Brian tak percaya ayahnya melakukan itu.
"Kamu yang apa-apaan, Brian. Kenapa kamu tadi dorong Shavana sampai dia jatuh ke tanah?" tanya Reyhan menatap tajam pada Brian.
"Aku cuma ngusir dia, Dad. Tadi dia sudah lancang masuk ke dalam, untung kepergok jadi dia belum sempat masuk ke rumah kita."
"Jangan pernah kamu usir Shavana lagi, mulai sekarang dia akan tinggal di rumah kita," ucap Reyhan membuat Brian terbelalak.
"Memangnya dia siapa, kenapa dia akan tinggal di rumah kita?" tanya Brian.
"Dia keponakan Daddy dari Semarang," jawab Reyhan.
"Daddy gak boleh sembarangan bawa orang lain masuk ke rumah kita, kalau dia penipu gimana? Kalau dia pencuri gimana? Kalau dia_" perkataan Brian terpotong karena Reyhan berbicara lebih dulu.
"Cukup! Daddy gak butuh pendapatmu. Mending kamu urusi persiapan pernikahanmu," ucap Reyhan.
Brian mengepal kuat kedua tangannya kemudian membalikan tubuh dan berjalan kearah WO yang sedang mendekor halaman rumah karena acara pernikahannya akan berlangsung besok pagi.
Reyhan menoleh pada Shavana yang masih setia menundukkan kepalanya.
"Maafin anak Pakde ya, Ndok, kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya kemudian.
'Ooh, jadi laki-laki tadi itu anaknya Pakde,' batin Shavana.
Shavana mengangguk. "Nggak apa-apa Pakde, maaf karena aku Pakde sama anak Pakde jadi berdebat."
"Udah nggak usah kamu pikirin. Mulai sekarang kamu tinggal di rumah Pakde ya, maaf kalau pakde gak jemput kamu ke Semarang jadi kamu datang ke sini sendirian."
"Iya Pakde nggak apa-apa aku tahu Pakde sibuk jadi nggak sempat jemput. Terima kasih udah ngasih tempat tinggal buat aku."
"Itu udah kewajiban Pakde sebagai saudara dari bapakmu. Ayo kita masuk kerumah," ajak Reyhan pada Shavana.
"Iya Pakde."
Reyhan tersenyum dengan tangan mengusap puncak kepala Shavana dan berjalan bersama masuk kedalam rumah. Reyhan sudah menganggap Shavana sebagai putrinya sendiri meski jarang sekali bertemu dengannya namun ia sangat menyayanginya.
Brian terus menatap ayahnya yang begitu akrab dengan gadis yang tidak ia kenal itu. Sampai sekarang ia masih tidak yakin bila gadis yang bersama Reyhan itu keponakan ayahnya.
"Awas aja kalau lu bikin masalah di rumah ini," kecam Brian menatap tak suka pada Shavana.
Tiba di dalam rumah, istri Reyhan menyambut dengan baik kedatangan Shavana, karena baginya keponakan suaminya ialah keponakannya juga.
*
*
"Pakde baik banget sih," ucap Shavana pada dirinya sendiri.
Saat ini ia sedang berada di balkon kamarnya. Shavana diberi kamar kosong yang berada di lantai dua dimana kamar di lantai itu biasa di tempati oleh anggota keluarga Reyhan.
Ia menatap ke arah bawah di mana orang-orang sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan untuk tuan muda di rumah itu.
"Jangan coba-coba lu manfaatin kebaikan bokap gue."
Suara itu Shavana mengenalinya. Suara pria yang tadi mendorongnya hingga jatuh ke tanah. Shavana menoleh ke arah sumber suara.
Brian sedang berdiri bersandar dipintu balkon sebelah dengan kedua tangan yang ia lipat didada. Rupanya kamar Shavana dan kamar Brian bersebelahan.
"Siapa juga yang mau manfaatin pakde." Shavana mencebikkan bibirnya.
"Lu lah, emangnya siapa lagi kalo bukan lu."
"Aku nggak mungkin manfaatin pakde. Pakde udah baik banget sama aku dan aku juga ingin membalas kebaikannya," ucap Shavana.
"Pake cara apa lu mau balas kebaikan bokap gue?" tanya Brian mengangkat sebelah alisnya.
"Mungkin ngasih uang bulanan," jawab Shavana polos.
"Hahaha. Lu mau ngasih duit bulanan buat bokap gue? Hehh! Ngaca! Lu aja pengangguran dan disini aja numpang. Mau pakai cara apa lu ngasih duitnya?" tanya Brian.
"Mas tenang aja, aku akan cari kerja kok, mungkin jadi OB atau pelayan cafe juga nggak apa-apa yang penting halal."
"Lu pikir gaji OB sama pelayan Cafe itu gede? Nggak! Buat bayar sewa kamar yang lu tempati aja itu nggak cukup, apalagi ditambah bayar makan lu sehari tiga kali di rumah ini. Inget lu itu orang miskin." Brian tersenyum sinis.
Setelah mengatakan itu ia masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Shavana yang menatap kesal padanya.
"Dasar sombong!"
Bersambung...
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, beri like, komen dan votenya 😍😍
"Bersulang!" teriak Ken, teman Brian. Pria itu mengangkat gelas berisi minuman berwarna merah di dalamnya.
Saat ini Brian dan kedua temannya sedang berkumpul di halaman belakang untuk merayakan pernikahan Brian yang akan dilaksanakan besok pagi. Katanya sebagai penyambutan pelepasan keperjakaan.
"Brian, angkat gelas lu," titah Ken.
Kedua teman Brian sudah mengangkat gelas mereka untuk minum bersama, namun Brian tak kunjung mengangkat gelasnya.
"Kalian aja lah yang minum, gue nggak," tolak Brian.
"Yaahh, nggak asik kalau lu nggak ikutan. Kita-kita di sini itu lagi ngerayain lu yang mau nikah, masa lu nggak minum sih," ucap Ken kecewa.
"Gue nggak mau, nanti habis minum mabok terus besok bangun kesiangan. Belum lagi kalo gue udah mabok suka nggak inget apa-apa," sahut Brian.
"Minumnya dikit aja, lu pasti nggak bakalan mabok," ucap Alex teman Brian yang lain.
"Nggak," tolak Brian sekali lagi.
"Ya udah deh kalau lu nggak mau, biar kita berdua aja yang minum ya, kan, Lex?" tanya Ken pada Alex.
"Yo'i, Ken."
"Terserah!"
Sementara kedua temannya sedang menikmati minuman, Brian hanya menikmati kacang kulit untuk menemani kedua temannya yang sudah menghabiskan satu gelas minuman berwarna merah.
Ken sengaja membawa minuman itu karena ingin merayakan pernikah Brian meski harus mendengar omelan Larissa dulu.
Tidak sengaja pandangan Brian melihat Shavana yang sedang duduk dibalkon kamar, mendongak menatap langit hitam bertabur bintang diatas sana. Dari tempatnya duduk Brian bisa melihat dengan jelas apa yang sedang Shavana lakukan, meski tidak mendengar apa yang gadis itu ucapkan.
"Bapak, Ibu, semoga kalian bahagia di atas sana. Aku sekarang tinggal di rumah pakde Reyhan, kalian ndak usah mengkhawatirkan aku lagi karena disini pakde sama bukde sangat baik. Mereka menyayangi aku seperti anak mereka sendiri."
Shavana sangat merindukan kedua orang tuanya yang sudah tiada. Sejak kecil ia hanya dibesarkan oleh ayahnya seorang diri karena Ibunya sudah meninggal saat melahirkan dirinya. Dan satu bulan yang lalu ayah Shavana juga meninggal membuat dirinya kini menjadi gadis yatim piatu.
"Sstt." Ken memberi kode pada Alex agar melihat Brian yang sedang menatap Shavana tak berkedip.
"Kayaknya gue baru lihat cewek itu deh." Ken berbicara tepat didekat telinga Brian membuat pria itu tersadar bila sudah menatap Shavana terlalu lama.
Brian langsung meneguk minuman di hadapannya untuk mengalihkan kegugupannya.
"Siapa dia Bro? Cakep bener, cantiknya alami." Alex ikut menimpali. Ia bahkan menatap kagum pada Shavana.
"Gue juga nggak kenal. Tadi siang dia datang kerumah ngaku-ngaku keponakan Daddy gue," ucap Brian memberi tahu kedua temannya.
"Yakin lu nggak naksir sama tuh cewek, secara dia cakep bro." Ken merangkul bahu Brian.
"Nggak lah, dia bukan selera gue," sergah Brian. Pria itu menyodorkan gelasnya yang sudah kosong pada Alex agar diisi minuman lagi.
"Katanya lu nggak mau minum," ucap Alex membuat Brian menatap kesal padanya.
"Itu tadi, sekarang gue mau minum. Buruan tuangin," titahnya.
Alex menurut saja kemudian menuang lagi minuman berwarna merah itu dan Brian langsung meneguknya. Meminta lagi diisi dan meneguknya lagi.
*
*
Tok tok tok.
Pintu kamar Shavana diketuk oleh seseorang membuat wanita itu bangkit dari duduk dibalkon dan menghampiri pintu untuk membukanya.
"Ini camilan untuk Nona," ucap pelayan.
"Ooh, taro aja di meja itu." Shavana menunjuk meja yang ada dikamarnya.
"Silakan dinikmati," ucap pelayan itu setelah meletakkan camilan dan minuman diatas meja.
"Terima kasih," ucap Shavana kemudian menutup kembali pintu kamarnya.
Shavana bergegas menghampiri camilan yang baru saja diantarkan pelayan kemudian memakannya dan mengakhiri dengan meminum minumannya.
"Wlek, minuman apa ini?" Shavana menjulurkan lidahnya merasa aneh saat minuman itu masuk kedalam mulut dan tenggorokkannya.
Shavana mengangkat gelas minuman itu yang memperlihatkan warna merah pekat tidak begitu kental dan tidak begitu encer.
"Apa ini ada alkoholnya?" Shavana menghirup aroma minuman itu kemudian menggoyang-goyangkan gelasnya.
Rasa dan aroma minuman itu sangat asing bagi Shavana membuatnya langsung menduga bila minuman tersebut mengandung alkohol. Dan benar saja tidak lama kemudiam Shavana merasakan kepalanya berdenyut nyeri dengan penglihatan mulai berkunang-kunang.
"Aduh aku kan nggak pernah minum alkohol."
Shavana memijit kepalanya dengan satu tangan karena tangan satunya ia gunakan untuk meletakan kembali gelas yang ia pegang keatas meja.
Seumur hidup ini pertama kalinya Shavana minum alkohol. Ia tak bisa mengendalikan dirinya meski hanya minum separuh gelas tetap saja pengaruhnya sangat besar bagi tubuh Shavana yang belum pernah terkontaminasi dengan minuman itu.
Sementara itu Brian yang tengah melakukan perayaan dihalaman belakang segera pamit pada kedua temannya karena sekarang sudah mabuk berat.
"Gue bantu lu jalan sampe kamar." Ken sudah hendak memapah Brian namun pria itu menolaknya.
"Nggak perlu! Gue masih bisa jalan sendiri," ucap Brian setengah sadar.
"Yakin lu bisa jalan sendiri?" tanya Alex.
"Yakin. Sana kalian pulang juga, jangan lupa besok jam delapan hadir di acara pernikahan gue." Brian mendorong Ken dan Alex agar segera bubar.
"Ya udah gue pulang," ucap Ken pamit.
"Gue juga pulang," ucap Alex juga.
Brian mengangguk, kemudian melangkah sempoyongan masuk ke dalam rumah.
Rumah orang tua Brian sangat sepi padahal besok akan ada pesta pernikahan untuknya. Tidak ada satu orang pun yang Brian jumpai saat masuk ke dalam rumah, itu karena malam sudah sangat larut dan mereka harus bangun pagi untuk menyaksikan dirinya menikah besok pagi.
Brian sejak tadi sudah diminta masuk ke dalam rumah tapi pria itu terus mengatakan 'nanti' hingga baru sekarang pria itu baru masuk kedalam rumah.
Brian yang sudah mabuk berat tidak sadar bila ia salah masuk kamar.
*
*
"Brian kok belum kelihatan ya, Mas?" tanya Larissa.
Saat ini hari sudah berganti pagi dan kurang dari dua jam lagi Brian akan menikah.
"Mungkin lagi siap-siap di kamarnya," jawab Reyhan, namun hingga tepat pukul delapan pagi Brian tidak kunjung datang padahal penghulu dan mempelai wanita sudah datang bersama rombongan yang mengiringnya.
Hal itu tentu saja membuat acara pernikahan menjadi gaduh dengan isu calon mempelai pria kabur.
Reyhan dan Larissa kembali masuk kedalam rumah dan bergegas menuju kamar Brian untuk mencari putra mereka.
Sementara anggota keluarga Reyhan yang lainnya menenangkan para tamu undangan yang sudah mulai gaduh.
"Kamu kemana sih Brian, kenapa belum datang juga?" Vera calon istri Brian terus menghubungi nomor ponsel pria itu. Nomor telepon aktif namun Brian tidak menjawabnya.
"Kamarnya dikunci, Mas," ucap Larissa yang tidak bisa membuka pintu kamar Brian.
"Biar pelayan yang ngambil kunci serep," ucap Reyhan kemudian memerintahkan pelayan untuk mengambilkan kunci serep kamar Brian dan tidak butuh waktu lama pelayan itu datang membawakan kunci tersebut.
Vera yang ingin tahu keberadaan calon suaminya juga kini sudah bergabung dengan calon mertuanya.
Ceklek.
Pintu kamar Brian terbuka membuat mereka langsung masuk kedalam kamar.
Brian!
Brian!
Panggil mereka mencari Brian di kamar itu.
Bersambung...
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, beri like, komen dan votenya 😍😍
Kamar mandi, walk in closet sudah mereka masuki tapi tidak ada yang menemukan Brian disana. Kamar Brian benar-benar kosong sama sekali tidak ada penghuninya.
"Gimana ini Mas, Brian nggak ada di kamarnya?" tanya Larissa. Wajah wanita setengah baya itu bahkan terlihat panik.
"Kita cari Brian sampai ketemu," ucap Reyhan kemudian keluar dari kamar itu. Sama halnya seperti Larissa, Reyhan juga sebetulnya merasa panik khawatir Brian benar-benar kabur dan mempermalukan keluarganya.
"Brian nggak kabur kan, Tan?" tanya Vera.
"Tante nggak tahu." Larissa melengos, ia lebih memilih menyusul Reyhan yang sudah lebih dulu keluar dari kamar Brian.
Reyhan memerintahkan adik dan adik iparnya serta menantu dan keponakannya untuk mencari Brian keseluruh penjuru rumah.
Semua keluarga Reyhan menyebar mencari keberadaan Brian, menyusuri dan membuka semua ruangan termasuk toilet dan kamar mandi, namun hasilnya nihil. Mereka semua tidak menemukan keberadaan Brian di rumah itu.
Reyhan mengusap kasar wajahnya. Sebagai ayah Brian ia malu sekali pada calon besan dan para tamu undang yang sudah datang. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada mereka semua.
"Bagaimana ini Rey, apa Brian benar-benar kabur?" tanya ayah Vera.
Vera bahkan sudah menangis dipelukan ibu-nya, ia takut Brian benar-benar kabur dan pernikahan mereka akan di batalkan padahal pernikahan sudah ada di depan mata.
"Saya minta maaf atas kejadian ini," ucap Reyhan kemudian berlalu membuat ayah Vera geram namun masih bisa sabar.
Reyhan ingat bila dirumahnya ada satu ruangan yang terlewatkan di buka. Ruangan itu ialah kamar Shavana. Tadi tidak ada yang berani membuka kamar Shavana karena pemilik kamar masih ada di dalamnya. Mereka takut mengganggu Shavana karena semua tahu bila gadis itu baru saja datang dari Semarang dan butuh istirahat.
Tapi kini Reyhan sedang berjalan menuju kamar itu dengan Larissa yang mengikuti di delakang. Reyhan tidak yakin bila Brian ada di kamar Shavana, tapi ia ingin memastikannya dengan harapan tidak menemukan putranya di kamar itu.
Reyhan tidak bisa membayangkan apa yang Brian lakukan dikamar Shavana bila terbukti ada disana.
Melihat calon mertuanya kembali naik ke lantai 2, Vera segera mengusap air matanya lalu menyusul.
"Buka," titah Reyhan pada Larissa setelah mereka tiba didepan pintu kamar Shavana.
"Untuk apa Mas?" tanya Larissa tak mengerti.
"Barangkali Brian ada di kamar Shavana karena cuma kamar ini yang belum dibuka," jawab Reyhan.
"Tapi Mas mana mungkin Brian ada dikamar Shavana."
"Buka aja dulu kita harus memastikan."
Meski tidak mengerti dengan apa yang suaminya pikirkan Larissa tetap menurutinya. Mengambil kunci serep terlebih dahulu kemudian membukakan pintu tersebut.
Dengan perasaan was-was, Reyhan masuk ke dalam kamar Shavana bersama Larissa dan Vera dibelakangnya.
DEG!
Betapa terkejutnya mereka melihat Brian tengah tertidur pulas memeluk Shavana di atas ranjang. Ditambah lagi keduanya tidak mengenakan pakaian dan tubuh mereka hanya ditutupi oleh selimut.
"BRIAN!" teriak Reyhan marah. Pria setengah baya itu bahkan sudah siap melayangkan pukulannya. Bagaimana tidak ingin memukul, putranya itu sudah mau menikah tapi sekarang justru kepergok tengah tidur bersama keponakannya.
Vera syok ditempat, ia menggelengkan kepala dengan air mata yang sudah berderai tak menyangka bila Brian akan menghianatinya seperti ini.
Begitupun dengan Larissa yang tidak kalah syok dengan calon menantunya.
Mendengar suara ribut-ribut Brian dan Shavana mulai mengerjapkan mata. Membiarkan sejenak cahaya masuk kedalam pupil mata mereka. Namun setelah sadar keduanya sama-sama melotot dan mendudukan tubuh sembari memegangi selimut untuk menutupi tubuh.
"Apa yang kamu lakukan, Brian?" tanya Reyhan membuat Shavana dan Brian mengalihkan pandangan mereka kearah sumber suara.
"Daddy." "Pakde."
Keduanya sangat terkejut melihat Reyhan ada dikamar itu. Dan Brian semakin terkejut lagi melihat calon istrinya juga ada disana.
'Sial!' rutuknya dalam hati bisa-bisanya ia kepergok Vera sedang tidur dengan gadis kampung.
"Kamu menodai Shavana, Brian?" tanya Reyhan sekali lagi bahkan suaranya terdengar meninggi.
Shavana dan Brian saling pandang kemudian sama-sama menggeleng tidak tahu. Melihat keduanya tidak mengenakan baju, Reyhan tentu saja menduga bila mereka sudah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan sebelum menikah.
"Cepat bersihkan tubuh kalian dan temui Daddy diruang kerja," titah Reyhan tidak ada yang bisa membantahnya.
"Tapi Dad_"
Setelah mengatakan itu Reyhan keluar dari kamar Shavana membuat Brian tidak bisa melanjutkan ucapannya.
Larissa mengikuti Reyhan yang keluar dari kamar Shavana meninggalkan Vera yang sedang menatap kecewa pada Brian.
"Honey, aku bisa jelaskan." Brian buru-buru turun dari ranjang dan saat itu ia hanya mengenakan boxer saja. Ia menghampiri Vera tapi ....
"Sial!" rutuknya karena Vera justru berlari keluar sembari menangis sebelum ia menjelaskan.
"Ini semua gara-gara lu!" Brian mengambil celana dan bajunya yang teronggok di lantai kemudian mengenakannya karena tak mungkin Brian mengejar Vera hanya mengenakan boxer saja.
"Kenapa nyalahin aku? Ini salah Mas Brian sendiri yang udah masuk ke kamarku. Harusnya aku yang marah, jangan-jangan Mas Brian beneran sudah menodai aku." Shavana buru-buru memeriksa tubuhnya.
"Ck! Nggak nafsu gue sama lu," ucap Brian kemudian keluar dari kamar Shavana.
Tapi ucapan Brian itu tidak sesuai dengan faktanya. Shavana yang memeriksa tubuhnya seketika mendelik saat melihat bekas kecupan di lehernya. Bekas itu bukan hanya satu melainkan ada beberapa di bagian leher lainnya, dan semua itu nampak jelas menandakan bila bekas kecupan itu baru saja dibuat.
Hal itu tentu saja membuat Shavana panik takut bila semalam ia sudah dinodai Brian terlebih lagi saat tidur ia tidak mengingat apa-apa.
"Ya Tuhan gimana ini? Apa Mas Brian beneran udah nodai aku," gumam Shavana dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Shavana jadi membayangkan hal yang tidak-tidak mengenai dirinya yang menghabiskan malam bersama Brian.
"Nggak mungkin." Shavana menggelengkan kepala tak percaya pada apa yang ia pikirkan.
Brian sudah akan menikah dengan kekasihnya dan bisa-bisa karena masalah ini pernikahan sepasang kekasih itu akan batal.
Shavana bergegas menuju kamar mandi dan disana ia kembali bercermin melihat bekas kecupan dilehernya. Kulit yang putih terlihat sangat kontras dengan warna merah keunguan akibat hisapan kuat. Ia juga memegang bibirnya yang terasa tebal dan sedikit perih.
Apa Brian menciumnya sangat kuat?
Shavana menggeleng lagi menepis kemungkinan dirinya sudah dinodai Brian. Tapi semua bukti pada dirinya mengarah kesana. Di bawah guyuran air shower ia menggosok bekas kecupan dilehernya namun tidak bisa hilang dan membuatnya semakin frustasi.
Bersambung...
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, beri like, komen dan votenya 😍😍
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!