Welcome to my sixth novel in noveltoon!! Yeeeeiiiyyy!!
Jangan lupa tinggalkan jejak ya kak. Boleh berupa like, komen, subs, vote, hadiah, ulasan, apapun!
Follow juga akun aku ya, biar kalo aku bikin novel baru kk dapet notifnya. Dan instagram aku @lalalati17
Makasih udah mampir,
Happy reading, readers 💙
...****************...
Tok...tok...tok...
Terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya, namun Nesha sedikitpun tak ingin beranjak dari kasurnya yang empuk dan nyaman. Beberapa kali ketukan itu terdengar lagi, namun Nesha tetap bergeming. Ia berharap orang yang mengetuk pintu itu menyerah untuk membangunkannya dan pergi.
Namun bukannya pergi, malah terdengar pintu kamarnya terbuka.
'Sial, gue lupa ngunci pintu tadi.' Gumam Nesha dalam hati. Ia pun memutuskan untuk berpura-pura terlelap saat orang yang mengetuk pintu itu terdengar mendekat ke arahnya.
"Nes, bangun. Kakak tahu kamu cuma pura-pura tidur." Terdengar suara lembut dari Nathan, kakak tersayang Nesha yang lebih tua lima tahun darinya.
Nesha masih bergeming, bahkan ia membuat dengkuran kecil agar sang kakak percaya bahwa ia sedang berada di alam mimpi.
Tiba-tiba kedua tangan Nathan menggelitik kedua pinggang sang adik, hingga mau tak mau Nesha meliuk-liukkan tubuhnya karena kegelian. Ia juga tak bisa menahan tawanya.
"Kakak!" Teriaknya jengkel, seraya bangkit dari posisi berbaringnya.
"Lagian kamu pakai pura-pura tidur segala. Kakak udah bilang 'kan tadi, kamu siap-siap. Kakak akan antar kamu ke partynya Felish."
Nesha menghela nafas kesal. "Aku udah bilang, aku gak akan dateng, Kak. Ngapain juga aku dateng ke acaranya Felisha."
"Dia temen sekampus kamu. Dan kalau semuanya lancar, dia akan jadi calon kakak ipar kamu." Nathan mengingatkan.
Nesha kembali berdecak kesal. "Ya emang kenapa kalau dia calon kakak ipar aku? 'kan gak harus aku dateng ke partynya dia."
"Harus dong. Ini terakhir kali kamu ketemu temen-temen sekampus kamu sebelum masuk ke dunia kerja. Kata Felish, jurusan kamu juga banyak yang bakal dateng. Felish banyak ngundang orang-orang dari berbagai jurusan."
Tentu saja Felisha, sang diva kampus, akan mengundang semua orang bahkan mungkin yang tak dikenalnya ke acara pesta perpisahan setelah tadi siang secara resmi kamu lulus dari Universitas tempat kami berkuliah.
"Terus kakak mau aku ngapain disana? Diem di pojokan sambil main HP?"
Nathan masih mencoba sabar menjelaskan pada sang adik yang memang memiliki kepribadian introvert itu. "Ya kamu ngobrol dong sama siapa gitu. Ayo dong, kamu harus bisa bergaul, Nes. Cari temen, cari pacar."
Nesha sampai terbelalak mendengar ide konyol dari sang Kakak. "Pacar? Aku? Aku gak salah denger?"
"Kamu udah 23 tahun. Udah waktunya kamu cari pacar." Saran Nathan pada sang adik.
"Kakak ngerti gak sih? Aku dan pacaran adalah dua hal yang gak akan pernah kejadian. Terus udah berapa kali aku bilang sama kakak, aku gak akan pernah nikah!" Cetusnya.
"Jangan gitu dong. Kakak itu pengen lihat kamu bahagia. Emang kamu mau terus-terusan ngehalu-in idol kpop sama aktor-aktor k-drama sepanjang hidup kamu? Kamu harus bisa hidup di dunia nyata, Nes."
Andai saja Nathan mengerti mengapa 'dunia nyata' menjadi hal yang begitu menyebalkan bagi Nesha. Baginya dunia maya adalah tempat terbaik dan ternyaman.
"Kak, gampang bagi kakak ngomong kayak gitu, karena kakak ganteng. Tapi bagi aku? Kakak lihat aku!"
"Kamu itu cantik, Nes." Nathan meraup kedua pipi chubby sang adik, dan mengatakannya dengan sangat tulus. Bagi Nathan, sang adik memang cantik. Namun memang tak semua orang bisa melihatnya.
"Aku gak cantik, Kak," Nesha meraih kacamata bundar dan tebalnya yang terletak di nakas dan memakainya. "Lihat, kalau aku gak pakai ini aku gak akan bisa lihat. Terus Kakak jangan pura-pura lupa ya betapa seringnya orang-orang gak percaya kalau kita kakak-adik? Kakaknya kok ganteng begitu, tapi kok adiknya gendut begini?" Nesha menirukan orang-orang yang sering kali berkomentar seperti itu saat melihat Nathan dan Nesha untuk pertama kalinya.
"Ia kakak akui kamu emang agak berisi. Tapi bukan berarti kamu gak cantik." Nathan mencoba menghibur sang adik.
"Udah deh, Kak. Aku males debat. Pokoknya, kalau kakak mau pergi ke partynya Felish, ya udah pergi aja. Jangan ngajakin aku." Ujarnya keras kepala. Nesha memutuskan untuk menyelimuti dirinya lagi dan memejamkan matanya.
"Brian dateng loh."
Nesha Putri Rauf
Seketika mata Nesha terbuka. Sosok sahabat dari sang kakak yang tampan berambut agak ikal yang selama ini tinggal di Australia, muncul di benaknya.
"Kak Bryan dateng?" Tanya Nesha tanpa sadar. Jika sudah menyangkut pria yang seusia dengan sang Kakak yang menjadi cinta pertamanya itu, Nesha tak bisa menolak.
"Iya. Dia lagi liburan katanya. Baru dateng tadi siang. Kakak ajakin dia ke partynya Felish, dan katanya dia mau dateng."
Dalam hati, Nesha begitu ingin menemui pria itu. Pria yang selama ini masih sering bertegur sapa dengannya melalui pesan whatsapp ataupun instagram.
Namun seketika ia mengurungkan niatnya. Ia tidak percaya diri. Dengan tubuhnya yang gemuk ini, juga kacamata tebal yang selalu menghiasi kedua matanya, mana mungkin ia bertemu dengan Bryan. Setelah satu tahun tak bertemu, ia tidak siap jika Bryan berkata "Nes, kamu gemukan ya?"
Tidak. Nesha tidak mau!
Itulah yang sering orang-orang katakan padanya. Tubuh Nesha memang agak spesial. Padahal Nesha tak pernah makan banyak, tapi sepertinya yang dimakannya selalu menjadi daging dan membuat berat badannya naik dan naik terus. Hingga sekarang, dengan tinggi 170 cm, berat badan Nesha mencapai 100 kg.
Berbeda dengan sang Kakak, Nathan. Tingginya 180 dengan berat badan 75 kg. Postur tubuh yang sangat ideal. Ditambah dengan wajahnya yang tampan, juga dengan profesinya sebagai wakil presiden direktur, tentu membuat kedua kakak beradik itu sering kali dibanding-bandingkan. Bahkan orang-orang sering tak percaya bahwa mereka adalah saudara kandung.
Nesha segera menghempaskan keinginannya bertemu dengan Bryan. Biarlah ia bertemu Bryan hanya di dunia maya saja.
"Aku gak akan ketemu sama Kak Bryan. Aku mau tidur."
Nathan menghela nafas dengan jengkel. Tapi ia tak kehabisan akal untuk membawa sang adik ke pesta itu.
"Kalau kamu gak ikut, kakak juga gak akan dateng." Ucapnya seraya melonggarkan dasi yang dikenakannya.
Sontak Nesha kembali duduk dan menatap sang kakak dengan kesal. "Kakak gak mungkin gak dateng! Itu partynya Felish! Dia pasti ngamuk sama aku kalau Kakak gak dateng."
Hubungan Nesha dan Felisha memang akur tak akur. Dan yang paling dihindari Nesha adalah membuat masalah dengan perempuan yang berstatus sebagai pacar dari sang kakak itu.
"Ya udah, kalau gitu ayo kamu siap-siap. Kakak tunggu di luar ya." Nathan mengusak rambut sang adik lalu pergi meninggalkan kamar dengan wajah tersenyum puas.
"Nyebelin banget, sih." Gerutunya.
Dengan malas Nesha melangkahkan kakinya menuju kamar mandi dan segera bersiap. Setelah beberapa menit, ia keluar dari kamar mandi dan menuju lemari pakaiannya. Saat sedang berjalan, sudut matanya melihat sebuah kotak tergeletak di atas tempat tidurnya.
"Kotak apa itu? Perasaan tadi gak ada, deh?" Gumam Nesha seraya menghampiri kotak itu.
Dibukanya kotak itu dan seketika Nesha terkesiap. "Ini dress? Kak Nathan pengen gue pakai baju ini?!"
Matanya membulat sempurna melihat sebuah dress selutut dengan ukuran big size berwarna merah marun.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencobanya karena tak ingin sang kakak kecewa. Ia menatap dirinya di cermin.
"Ya ampun, masa gue harus pakai ini? Betis gue kelihatan gede banget!"
Selama ini Nesha memang sama sekali tak pernah menggunakan dress, rok, atau semacamnya. Baginya, pakaian tak perlu bermodel, apalagi membuatnya terlihat fashionable. Yang penting baginya adalah ukurannya cukup dan nyaman di tubuh besarnya.
Maka dari itu, kali ini ia sangat tidak percaya diri.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk lagi. Terdengar suara Nathan yang sudah tidak sabar menunggu sang adik bersiap. "Nes, udah siap belum?"
Dengan wajah jengkel Nesha menghampiri pintu dan membukanya. Sontak mata Nathan menatap Nesha dari ujung kepala ke ujung kaki.
"Aneh ya? Aneh 'kan?" Nesha tahu ini bukanlah ide yang bagus. "Udah, Kakak tunggu di mobil. Aku ganti baju dulu."
Sebuah mobil premium berhenti di depan sebuah lobi gedung perkantoran. Seorang petugas keamanan dengan seragam serba hitam membukakan pintu mobil tersebut. William melangkahkan kakinya yang berbalut sepatu kulit mahal. Setelah sepenuhnya keluar dari mobil, ia menengadah dan kedua matanya menyapu ke arah sekitar di balik kacamata hitamnya. Kemudian ia mulai memasuki gedung itu.
Beberapa pasang mata, baik wanita ataupun pria, langsung saja dibuat terpaku menatap sosok setinggi 186 cm itu. Bagaimana tidak, wajahnya nyaris sempurna. Rambutnya hitam legam, kulitnya seputih pualam, mulus tanpa cela. Lehernya jenjang, tubuhnya tegap, berdada bidang, dan kakinya jenjang. Perpaduan wajah kaukasoid dan juga mongoloid nampak menyempurnakan penampilannya.
Sungguh penggambaran sempurna seorang pria.
Di sisi lain, seorang pria paruh baya, dengan rambut yang mulai memutih tengah sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. Keningnya mengerut, menandakan ia sedang berpikir keras mengenai pekerjaannya.
Tiba-tiba terdengar benda kotak di sisi mejanya berbunyi. "Mohon maaf Pak Abraham, putra anda sudah tiba." Terdengar suara seorang perempuan yang adalah sekretarisnya.
Abraham menekan sebuah tombol. "Suruh dia masuk." Titahnya.
Ia beranjak dari kursi kebesarannya, dan tepat saat itu, pintu kantornya terbuka.
"Hi, Dad." Sapa William pada sang ayah.
Abraham tak menyahut dan berwajah dingin. Ia duduk di sofa dan William mengikutinya dengan duduk di hadapan Abraham.
"Kapan kamu tiba?" Tanya Abraham.
"Baru saja. Aku langsung kesini, supir Daddy sudah jemput aku 'kan." Sahut William dengan berbahasa Inggris, seraya melepaskan kacamata hitamnya.
"Kamu di Indonesia sekarang, berbicaralah bahasa Indonesia."
"Dad, Daddy tahu aku tak begitu pintar berbahasa Indonesia. Lagipula aku akan terus berada di Melbourne. So..."
"Kamu tidak akan kembali ke sana. Kuliah kamu sudah selesai. Maka kamu akan mulai tinggal disini dan belajar mengelola perusahaan."
William terlihat berpikir sejenak. "Fine. Aku akan tinggal di sini. Tapi aku ingin sebuah penthouse paling nyaman, dengan helikopter di atas atapku. Agar aku tak perlu mengalami kemacetan kota Jakarta seperti tadi. Lalu aku ingin kantorku di desain ulang, interiornya sudah sangat membosankan, Dad." Ia manatap ke arah sekeliling kantor sang ayah. "Sedangkan lihat kantormu ini, sangat modern dan dilengkapi teknologi smart office. Aku ingin yang sama seperti ini." Ucapnya angkuh.
Abraham terkekeh. "Kamu tidak akan mendapatkan semua fasilitas yang sama dengan Daddy. Daddy adalah presiden direktur. Sedangkan kamu, masih calon pewaris perusahaan."
"Calon? Daddy selalu mengatakan bahwa aku adalah pewaris Daddy! Aku akan menjadi wakil presiden direktur. Itu yang Daddy katakan saat aku masuk kuliah." Ucapnya tercengang.
"Iya, memang benar Daddy mengatakan itu. Tapi sekarang kamu harus melihat realitasnya. Perusahaan Daddy adalah perusahaan yang sudah sangat besar. Kamu harus melewati serangkaian tes untuk bisa mencapai posisi wakil presiden direktur. Daddy tidak ingin mengambil resiko dengan memberikan tanggung jawab yang besar ini pada kamu yang masih belum siap."
William bangkit dari duduknya dengan geram. "Tes? Daddy ingin mengetes apa lagi? Tidakkah Daddy melihat bagaimana prestasiku selama kuliah? Aku sudah lebih dari siap! Daddy juga sering membawa aku ke beberapa rapat penting, Daddy mengatakan aku sudah cukup layak! Lalu Daddy ingin tes seperti apa lagi?!"
Abraham menopangkan kakinya dengan santai, membiarkan sang putra meluapkan emosinya. "Kamu kira selama ini Daddy tidak tahu apa yang kamu lakukan? Berfoya-foya, berpesta setiap saat. Kamu selalu hidup nyaman dan tak pernah berusaha keras akan sesuatu. Dan juga..." Abraham menatap sang putra dengan lekat. "Perempuan-perempuan yang kamu pacari itu, tak terhitung berapa jumlahnya."
"Tapi, Dad..."
"Menikahlah." Abraham segera memotong ucapan William dengan kata-kata yang membuat Willian benar-benar tercengang.
William mengulangi. "Menikah? Aku? Tidak akan pernah, Dad! Aku tak akan menikah seumur hidupku!" William mendekat pada sang ayah, duduk di sampingnya. "Daddy tahu, wanita adalah hidupku. Aku tidak bisa hidup hanya bersama satu wanita. Sama seperti Daddy dulu, 'kan?"
Abraham berdeham mendengar masa lalunya disinggung oleh sang putra. "Kamu tahu, Nak. Menikah akan membuat kamu belajar tentang tanggung jawab. Kamu juga akan bahagia. Kamu tidak perlu banyak wanita. Cukup satu, tapi kamu cintai dia dengan sepenuh hati kamu, maka kamu akan mendapat kebahagiaan jauh lebih besar dari kehidupan kamu sekarang."
William memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. "Daddy benar-benar sudah gila." Gumamnya.
Abraham bangkit dari duduknya dan melangkah menuju meja kerjanya lagi. "Menikah, atau kamu akan melihat perusahaan Daddy dikelola oleh managemen profesional."
"Dad!" Protesnya.
Abraham menatap sang putra dengan tajam, keputusannya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. "Menikah, atau kamu buang jauh-jauh pemikiran kamu untuk duduk di posisi Daddy."
William Hart
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!