Maya menghela nafasnya panjang setelah selesai menerima telepon dari sang suami. lagi dan lagi ia harus menelan sebuah kekecewaan karena ternyata akhir tahun ini sang suami tak bisa kembali pulang dengan alasan tak mendapat jatah libur bekerja.
Sudah tujuh tahun Wahyu bekerja di sebuah perusahaan tambang yang berada di kalimantan. Pada saat itu ada temannya yang mengajak kerja di sana dan kebetulan saat itu Wahyu sedang menganggur karena tempat kerja Sebelumnya mengadakan PHK besar - besaran dan Wahyu menjadi salah satu karyawan yang di PHK.
Di tahun pertama, kedua dan ketiga Wahyu masih sering pulang setahun dua kali saat hari raya dan juga tahu baru, namun sejak tahun ke empat sampai sekarang Wahyu belum kembali pulang, banyak alasan yang terlontar dari lelaki yang berusia tiga puluh lima tahun itu sehingga Maya hanya bisa pasrah saja. Maya pernah meminta Wahyu untuk mengajaknya pindah ke sana tapi rencana tersebut di tolak dengan tegas oleh Wahyu dengan alasan jika mereka pindah kasihan dengan Faaz karena jarak sekolah dengan tempat tinggalnya sangatlah jauh.
"Bun, jadi Ayah tidak bisa pulang yah ?" Tanya Arfaaz, buah hatinya bersama Wahyu yang kini sudah menginjak usia hampir sepuluh tahun.
"Kita berdoa saya semoga Ayah bisa pulang yah" Maya mencoba menghibur buah hatinya, ia paham jika Faaz sangat merindukan sosok Ayahnya.
"Lebih baik kita tidur saja yuk. takut kesiangan, kan besok kamu ujian" ujar Maya.
Anak lelaki tersebut nurut saja dengan apa yang di katakan oleh bunda nya, ia segera memejamkan matanya seraya memeluk sang bunda dengan begitu erat.
Sepuluh menit kemudian Faaz sudah tertidur dengan lelap membuat Maya pun tersenyum. Ia sangat bersyukur memiliki anak seperti Faaz di usianya yang masih tergolong anak - anak tapi Faaz sudah bisa berpikir seperti orang dewasa, tak segan ia juga sering membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang ringan - ringan saja seperti menyapu atau mencuci piring bekas makannya.
Maya pun ikut berbaring di sebelah putranya setelah memastikan semua jendela tertutup dan pintu terkunci dengan sempurna.
Pagi telah menyapa, sejak pagi buta Maya sudah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah tangga, mulai membersihkan rumah, mencuci pakaian dan juga menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga buah hatinya.
"Ayo kita sarapan dulu setelah itu kita berangkat ke sekolah" ujar Maya dengan lembut pada Faaz.
Maya merupakan seorang tenaga pengajar di salah satu sekolah dasar yang sama tempat dimana sang buah hati menuntut ilmu, namun status Maya masih sebagai guru honorer, ia pernah sekali ikut seleksi PNS namun keberuntungan belum memihak kepadanya sehingga Maya gagal meraih gelar tersebut.
Dengan menggunakan sepeda motor metic yang ia beli dengan cara kredit dari gajinya sebagai seorang guru, Maya dan Faaz pun langsung menuju sekolah.
Suara riuh anak - anak yang saling bersahutan menjadi hiburan tersendiri bagi Maya yang hidupnya merasa kesepian karena harus terpisah jauh dengan sang suami. Sebagai perempuan normal Maya juga merindukan kehangatan dari sang suami.
"Melamun saja" tegur Ratih yang merupakan teman sejawatnya.
"Ahh kamu so tahu" sahut Maya seraya tersenyum getir.
"Semangat dong bentar lagi liburan loh" ujar Ratih dengan nada becanda dan memberi semangat.
Maya hanya memberikan seulas senyuman tipis, ya memang sebentar lagi sudah memasuki masa libur sekolah namun harapan menghabiskan libur bersama sang suami harus Maya kubur dalam - dalam karena ternyata sang suami tak bisa pulang sesuai keinginannya.
Tak terasa waktu sudah memasuki jam waktunya pulang sekolah, Maya segera merapihkan meja kerjanya dan siap pulang karena sudah pasti sang putra sudah menunggunya di dekat pos satpam.
"Aku duluan yah" ujar Maya pada rekan - rekannya.
Maya langsung melangkah ke arah tempat motornya terparkir, iya berjalan dengan tergesa - gesa karena tak ingin membuat sang anak menunggu terlalu lama.
"Ayo naik" ujar Maya pada putranya.
Faaz pun segera naik sesuai permintaan sang bunda, sepanjang perjalanan pulang Faaz terus saja bercerita tentang ujiannya tadi.
"Bun, ternyata soal - soalnya susah - susah gampang apa lagi kalau pilihan ganda jawabannya menjebak semua. Tapi Faaz kesal sama teman Faaz yang bernama Alvin itu, masa ia dia menuduh katanya Faaz itu sudah dapat bocoran soal nya Bunda Faaz itu seorang guru di sekolah" ujar Faaz.
Maya hanya tersenyum kala melihat anaknya kesal karena di tuduh yang bukan - bukan oleh teman satu kelasnya.
"Enggak usah di ladenin sayang, biarkan saja yang terpenting kamu tidak seperti yang di tuduh kan oleh teman mu itu" hibur Maya.
Faaz memang pintar di bidang akademik karena ia rajin belajar, di kelasnya ia sering mendapat juara kelas tapi terkadang kepintaran Faaz sering di ragukan teman - temannya, tak jarang Faaz mendapat cibiran dari temannya kalau ia juara kelas karena bundanya yang merupakan seorang guru di sekolah tersebut.
"Bagus ya, Jam segini baru pulang kamu !" Hardik seorang perempuan paruh baya, yang kini sudah berdiri dengan berkacak pinggang di dekat motornya.
"Nak, Salim dulu sama nenek, setelah itu kamu masuk ke dalam rumah dan ini kuncinya" jelas Maya dan Faaz pun langsung menuruti permintaan sang bunda tanpa banyak bertanya.
"Dari mana kamu hah ?! Pulang sekolah itu ya langsung pulang kerumah jangan malah keluyuran tidak jelas. Mentang - mentang suami kamu tidak ada di rumah kamu seenaknya keluyuran menghambur - hamburkan uang suami mu, kamu tahu tidak jika di sana suami mu rela menahan lapar agar uangnya bisa di kirim ke anak dan istrinya. Ehh di sini kamu malah berlaga bak istri pengusaha padahal hanya seorang istri buruh tambang juga" seru perempuan paruh baya bernama Sinah, yang tak lain dan tak bukan ibu kandung Wahyu dan merupakan mertua Maya.
Maya turun dari motornya, kemudian tangannya langsung meraih tangan bu Sinah dan menyalaminya dengan takzim.
"Ayo masuk bu, di luar panas" ajak Maya dengan sopan, perempuan paruh baya itu pun langsung mengekori Maya, dia juga sudah lelah juga haus karena telah menunggu Maya hampir setengah jam lamanya.
"Duduk dulu bu, Maya ambilkan dulu minum ibu" Maya pun segera bergegas ke dapur untuk membuatkan ibu mertuanya minum.
Tak berselang lama Maya kembali dengan membawa segelas air dengan berwarna orange, menurutnya minuman ini sangat cocok di minum untuk saat ini karena kondisi di luar cukup panas.
Bu Sinah langsung mengambil gelas air tersebut dan meminumnya hingga habis tak tersisa, tenggorokannya sudah terlalu kering apalagi tampilan minuman tersebut sangat menggiurkan sekali.
"Ibu ke sini cuma mau minta uang sama kamu, mesin cuci di rumah lagi rusak jadi ibu mau membeli yang baru, kasihan Wina jika harus mencuci dengan tangan" ujar bu Sinah langsung to the poin menyampaikan maksud kedatangannya.
Hal ini sudah bisa di tebak oleh Maya, karena sudah biasa. Mertuanya akan datang hanya untuk meminta uang saja. Maya sendiri terkadang heran, sang ibu mertua mendapat jatah dari sang suami tetapi tiap minggu sudah pasti sang mertua akan datang meminta uang padanya dengan berbagai alasan untuk ini dan itu.
"Kalau untuk saat ini Maya enggak ada uang bu, kan lima hari yang lalu udah Maya kasih ke ibu lima ratus ribu. Memangnya uang yang di kasih Mas Wahyu sudah habis ? Dan kenapa ibu tidak mencoba meminta pada Wina saja kan yang pake mesin cuci itu Wina, aku yakin Wina pasti banyak uangnya kan suami Wina kerja di perusahaan besar" ujar Maya.
"Oh sekarang kamu sudah berani y la, ingat ! uang yang ada di tangan kamu itu adalah uang anak saya jadi saya pun berhak meminta uang sama kamu !!" Seru bu Sinah yang sudah terpancing emosinya karena Maya menolak keinginannya.
"Kamu enggak usah ngatur - ngatur saya ya, ingat walaupun Wahyu sudah menikah tapi dia masih tetap milik ibunya, jadi Saya pun berhak dengan uang yang ada di kamu itu" sambung bu Sinah dengan lantang.
"Tapi Maya memang benar - benar enggak ada uangnya kalau buat beli mesin cuci" jelas Maya.
"Saya enggak mau tahu, kamu harus sediakan uang dua juta untuk membeli mesin cuci, besok sore saya balik lagi ke sini dan uangnya harus sudah ada !" Seru bu Sinah, setelah itu ia langsung berlalu meninggalkan rumah menantunya tersebut.
Sesuai yang di katakan oleh ibu mertuanya, ternyata bu Sinah keesokan harinya kembali datang lagi ke rumah Maya untuk meminta uang.
"Mana uangnya ?" Bu Sinah datang - datang langsung menadahkan tangannya pada Maya yang kebetulan saat itu sedang menyapu di halaman rumahnya.
"Masuk dulu bu" ajak Maya, ia tak ingin jika nanti ibu mertuanya membuat keributan dan memancing para tetangga untuk berdatangan.
"Ibu buru - buru" ketus bu Sinah.
"Maya mohon maaf, untuk saat ini Maya belum ada uangnya, bagaimana kalau tunggu kiriman dari Mas Wahyu" ujar Maya dengan lemah lembut.
"Apa !!" Pekik bu Sinah.
"Kan sudah di bilang, jika uangnya harus ada hari ini. memangnya kamu tidak mengusahakan nya ? ya kalau kamu tidak punya uang minimal kamu pinjamlah pada teman - teman kamu itu" lanjut bu Sinah, ia tak mau tahu bagaimana pun caranya hari ini ia harus mendapatkan uang untuk membeli mesin cuci yang baru.
"Ya mau bagaimana lagi bu, Maya memang tidak memiliki uang sebanyak itu, kiriman uang dari mas Wahyu hanya cukup untuk membayar kontrakan rumah dan kebutuhan Faaz sementara gaji ku sebagai guru di gunakan untuk makan itu pun terkadang masih kurang. Kalau Maya ada uangnya pasti Maya kasih, bukankah selama ini Maya tidak pernah absen ketika ibu minta uang, coba ibu pikir lagi bulan ini sudah berapa banyak Ibu meminta uang pada Maya" jelas Maya panjang lebar, berharap ibu mertuanya mau mengerti dan paham kenapa saat ini dirinya tidak bisa memenuhi permintaan sang mertua.
"Oh berani ya kamu sekarang ! Berani kamu mulai hitung - hitungan sama saya ?! Heh, ingat saya ini ibu kandungnya Wahyu, saya juga berhak atas apa yang di hasilkan oleh anak saya !!" Seru bu Sinah suaranya sudah naik beberapa oktaf.
"Tapi mau bagaimana lagi bu, sekarang memang Maya enggak ada uangnya" lirih Maya. Sejujurnya Maya memiliki sedikit uang tabungan tapi Maya telah bertekad jika uang tabungan itu hanya akan di gunakan untuk hal - hal yang darurat saja dan juga sebagai dana untuk sekolah Faaz.
"Dasar menantu pelit, akan ku adukan kamu sama Wahyu biar tahu rasa. Nyesel rasanya aku punya menantu seperti kamu udah penampilannya kampungan pelit pula, sudah bagus dulu Wahyu berencana menikah dengan si Ririn tapi malah gagal" ujar ibu mertuanya seraya berlalu meninggalkan halaman rumah Maya. Ia terpaksa harus pergi dari sana karena tak ingin menjadi tontonan para tetangga dan di cap sebagai mertua yang jahat.
Maya kembali melanjutkan pekerjaannya setelah selesai ia baru masuk ke dalam rumah, ke datangan langsung di sambut oleh Faaz yang sudah dari tadi menunggunya.
"Bun, kenapa kok nenek kalau datang ke sini itu selalu saja minta uang ?" Tanya Faaz dengan rasa yang penasaran.
Maya langsung gelagapan saat mendengar pertanyaan dari Faaz karena ia bingung harus menjelaskan seperti apa pada putranya tersebut.
"Hmm, ya kalau bukan minta sama bunda sama siapa lagi ? kan nenek itu ibunya Ayah otomatis menjadi ibunya bunda juga. Ahh nanti pokoknya kalau Faaz sudah gede pasti Faaz akan mengerti kok" jelas Maya, berharap anaknya tak lagi bertanya - tanya seputar tentang neneknya yang selalu datang untuk meminta uang.
"Apa nenek itu enggak sayang sama Faaz ya, kok setiap datang ke sini nenek enggak pernah tuh sekali pun menanyakan kabar Faaz, berbeda lagi dengan enin dan Abah yang kalau datang ke sini pasti langsung menanyakan kabar Faaz dan langsung memeluk dan mencium Faaz sampai mereka puas ?".
Maya terkejut dengan pertanyaan yang di ajukan oleh putranya tersebut, sungguh ia tak menyangka jika putranya akan bertanya seperti itu. Maya aku jika ibu mertuanya tidak begitu dekat dengan putranya tersebut berbeda sekali dengan ibu dan bapaknya yang begitu sangat menyayangi Faaz.
"Nak, setiap orang itu punya cara tersendiri dalam menyampaikan rasa kasih sayangnya, begitu pun Nenek, Enin dan Abah mereka pun punya cara tersendiri untuk menyampaikan rasa sayang pada cucu - cucunya" Maya sengaja berbicara seperti itu karena ia tak ingin menjelek - jelekkan ibu mertuanya di hadapan sang cucu.
"Ini udah mau magrib loh, ayo siap - siap memangnya kamu enggak ngaji ?" Maya berusaha mengalihkan pembicaraan mereka agar Faaz tak kembali bertanya - tanya lagi.
"Kata ustad Adi, selama ujian sekolah berlangsung kegiatan ngaji di liburkan dulu agar kita semua fokus pada ujian tersebut" jelas Faaz.
"Oh seperti itu, kalau begitu Faaz belajar ngaji sama bunda saja seraya menunggu adzan magrib".
"Oke bunda" Maya sangat beruntung sekali karena memiliki anak yang begitu penurut dan tak banyak tingkahnya.
Tak terasa Adzan magrib pun sudah berkumandang di masjid dekat rumah Maya, ibu dan anak pun langsung saja bersiap - siap untuk melakukan kewajiban nya sebagai umat islam.
____
"Maya keluar kamu !!" Teriak seorang perempuan dengan sangat lantang.
"Bun, itu siapa ?" Tanya Faaz dengan raut wajah yang sudah seperti orang ketakutan.
"Bunda juga enggak tahu sayang" Maya mencoba memeluk putranya agar tak lagi merasa takut.
Suara teriakan dari luar rumah kembali terdengar sangat kencang bahkan di barengi dengan suara gedoran pintu. Untung saja pintu rumah Maya masih kokoh kalau tidak entah jadinya seperti apa pintu tersebut karena saking kencangnya gedoran tersebut.
"Faaz tunggu di sini yah, bunda lihat dulu ke luar, kamu kunci saja kamarnya ya" pinta Maya.
"Lalu bunda bagaimana ? Bagaimana kalau itu orang jahat ?".
"Kamu tenang saja, bunda kan sudah besar jadi bunda sudah di pastikan bisa jaga diri bunda".
Maya keluar dari kamar, Faaz pun langsung menuruti permintaan ibunya dengan langsung mengunci pintu kamarnya.
Dengan jalan tergesa - gesa Maya langsung menuju pintu depan rumah, sebenarnya Maya sudah bisa menebak suara siapa yang sudah teriak - teriak di luar rumahnya tersebut.
'Ya Allah mau apalagi dia datang kesini' gumam Maya seraya membuka kunci pintu.
"Dasar perempuan tidak tahu diri. kamu pikir, kamu bisa seperti sekarang ini memangnya berkat siapa hah ? Pastinya berkat Kakak ku !! Kakak ku itu anak laki - laki satu - satunya di keluarga kami otomatis semua yang terjadi di rumah kami jadi tanggung jawab mas Wahyu. Kamu ingin menguasai gaji Kakak ku ya, padahal ibu ku cuma minta untuk membeli mesin cuci tapi kamu pelit sekali" seru Wina, ia langsung saja mengeluarkan kekesalannya setelah melihat Maya muncul dari balik pintu rumahnya.
'Ternyata masalah mesin cuci belum selesai juga' batin Maya.
"Masuk dulu Win, jangan teriak - teriak di luar seperti itu, malu di lihat tetangga dan juga takut mengganggu para tetangga yang sedang beristirahat" ujar Maya dengan santai, ia tak ingin terpancing dan ikut - ikutan emosi seperti Wina.
"Biarkan saya tetangga kamu pada tahu kalau kamu itu adalah menantu yang pelit, bahkan mertuanya datang memohon untuk meminjam uang pun tak di kasih malah di usir !" Seru Wina dengan sangat lantang, hal itu tentu memancing rasa penasaran dari para tetangga.
Mereka ada yang terang - terangan keluar rumah guna melihat apa yang terjadi, ada juga yang hanya mengintipnya jadi balik jendela kaca.
"Ayo, masuk Win" ajak Maya lagi.
"Pokoknya aku enggak mau tahu, sekarang mana uangnya untuk membeli mesin cuci itu !!" Tanpa rasa malu atau pun sungkan Wina langsung menadahkan tangannya padahal usia Wina lebih muda dari Maya tetapi perempuan itu seperti tak memiliki sopan santun terhadap kakak iparnya tersebut.
"Makanya ayo masuk dulu, kita bicarakan di dalam" berulang kali masa menarik napasnya panjang agar mampu mengontrol emosinya.
Akhirnya Wina pun mau masuk ke rumah, Maya belum meminta Wina untuk duduk tapi perempuan yang usianya beda lima tahun di bawahnya langsung saja duduk tanpa di persilahkan oleh si pemilik rumah.
"Aku cape kalau harus tiap hari nyuci pakai tangan tahu !!" Seru Wina.
"Tapi aku mohon maaf, untuk saat ini aku belum ada uangnya. Kamu tahu sendiri kalau aku ada uang tak mungkin menolak permintaan kalian, jadi mohon bersabar dulu sampai Mas Wahyu kirim uang" jelas Maya dengan nada yang lembut.
"Kalau harus nunggu kiriman Mas Wahyu itu masih lama lah, kamu ingin menyiksa aku apa, kamu enak cuma nyuci baju kamu dengan Faaz doang. Berbeda dengan aku yang harus mencuci baju lima orang. Pokoknya aku enggak mau tahu uangnya harus ada sekarang !!" Sungguh sikap Wina ini tidak ada sopan santunnya padahal Maya merupakan kakak iparnya.
"Kalau kamu memang ada uang pakai dulu uang kamu biar nanti kalau Mas Wahyu sudah kirim, uang aku ganti" ujar Maya.
"Enggak ada !" Sahut Wina dengan cepat.
Sebetulnya suami nya sudah memberinya uang sebanyak dua juta untuk membeli mesin cuci tersebut hanya saja sifat Wina yang tak ingin rugi sehingga uang dari suaminya malah masuk ke kantongnya dan untuk uang mesin cuci Wina memilih untuk meminta pada Maya yang merupakan kakak iparnya.
"Ya kalau begitu tunggu saja sampai Mas Wahyu kirim uang karena memang sekarang aku enggak ada uangnya, lima hari lalu ibu sudah minta uang sekarang minta uang lagi, ya aku enggak ada lah, kamu tahu kalau aku hanya guru honorer gajinya pun tak seberapa, uang kiriman dari Mas Wahyu juga tidak banyak jadi mohon pengertiannya kenapa aku tidak bisa memberi uang kali ini ya karena memang tidak ada" jelas Maya.
"Makanya kamu itu kerjanya di kantoran saja jangan kerja di sekolahan begitu, percuma kamu sekolah tinggi - tinggi tapi gaji masih sedikit" ujar Wina tanpa malu. "Kalau begitu, aku bawa mesin cuci kamu sajalah, bukannya mesin cuci kamu itu masih baru ya" tiba - tiba sebuah ide terlintas di pikiran Wina, tak masalah bekas pakai pun yang terpenting ia tak perlu repot - repot mengeluarkan uangnya dan yang terpenting uang dari suaminya akan utuh menjadi miliknya. Sungguh licik sekali pikiran Wina.
Dengan sangat terpaksa Maya pun akhirnya merelakan mesin cuci miliknya di angkut oleh Wina, karena Wina terus saja ngotot jika Maya tak memberikan uangnya saat itu juga, maka Wina akan membawa mesin cuci miliknya tersebut.
Mesin cuci miliknya masih tergolong baru karena baru di beli dua bulan yang lalu. Untuk membeli mesin cuci tersebut Maya harus menabung selama berbulan - bulan sehingga ia mampu membeli mesin cuci secara cash tapi sekarang mesin cuci tersebut sudah berpindah rumah.
Maya sudah merasa sangat jengah dengan tingkah laku mertua dan juga iparnya tersebut. sejak Wahyu memutuskan merantau ke tanah Kalimantan, mertua dan adik iparnya tersebut selalu saja merongrong uang padanya, padahal ibu mertuanya sudah di beri jatah oleh suaminya, tapi ibu mertuanya selalu saja datang meminta uang untuk ini dan itu. Kadang terlintas di pikiran Maya untuk mengadukan semua perbuatan suaminya tapi setelah di pikir - pikir ulang akhirnya Maya mengurungkan niatnya tersebut.
"Ayo tidur, takut besok kesiangan" ujar Maya pada putranya, Maya pun ikut membaringkan tubuhnya di samping Faaz.
Walaupun Faaz sudah berusia hampir sepuluh tahun tapi ia masih sering tidur bersama Maya, dengan alasan ingin menemani ibunya biar tidak sendirian.
Maya sengaja berbicara seperti itu agar Faaz tak banyak bertanya tentang tujuan ke datangan Wina. Faaz sudah tubuh besar dan cerdas sehingga sedikit demi sedikit ia seperti sudah paham dengan apa yang terjadi di lingkungannya.
______
Waktu terus berjalan, tak terasa kini sudah memasuki masa libur sekolah.
"Bun, ini seriusan ?" Tanya Faaz dengan wajah yang berbinar - binar.
"Ini hadiah dari Ayah dan Bunda karena kamu sudah rajin belajar dan mampu mempertahankan prestasi mu" ujar Maya seraya tersenyum, betapa bahagianya Maya melihat putranya terlihat begitu bahagia dengan kabar yang di berikannya saat ini.
"Jadi kapan kita perginya ?" Tanya Faaz dengan begitu antusias.
"Besok lusa" jawab Maya.
"Horeee. . Akhirnya aku akan bertemu Ayah" anak lelaki tersebut melompat - lompat mengekspresikan ke bahagiaannya. Bahkan sesekali anak lelaki tersebut memeluk Maya seraya mendaratkan ciuman yang bertubi - tubi.
"Udah - udah jangan loncat - loncat begitu, lebih baik kamu ganti baju setelah itu kita ke rumah tante Ratih. bunda ada perlu, kamu mau ikutkan ?" Tanya Maya.
Walaupun Faaz susah tumbuh besar tapi ia tak pernah meninggalkan putranya sendirian di rumah. ke mana pun kaki Maya melangkah pasti ia akan mengajaknya.
"Oke bunda" sebelum berlalu menuju kamarnya Faaz kembali mendaratkan sebuah ciuman di pipi Maya.
Setelah melalui pemikiran panjang akhirnya Maya memutuskan untuk mengunjungi tempat suaminya bekerja. berbekal alamat dari orang yang pernah mengajak Wahyu bekerja, Maya pun mantap pada keputusannya untuk mengajak sang putra mengunjungi Ayah nya.
Maya sangat paham betapa sangat rindunya Faaz pada Ayahnya, pasalnya sudah empat tahun Faaz tak jumpa dengan Ayahnya, bahkan komunikasi lewat ponsel pun sangat terbatas waktunya dengan alasan Wahyu sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk. sehingga akhirnya Maya menggunakan uang tabungan yang awalnya akan di pergunakan untuk hal yang darurat sebagai uang untuk membeli tiket pesawat menuju Kalimantan.
___
Maya tak henti - hentinya menyunggingkan senyum terbaiknya kala melihat begitu antusiasnya dan semangatnya Faaz membantu Maya menata pakaian - pakaian mereka berdua ke dalam koper yang Maya pinjam dari Ratih.
"Lebih baik kamu tidur, besok harus bangun pagi - pagi, karena jam delapan kita sudah harus berada di bandara" ujar Maya.
"Sepertinya aku enggak bakalan bisa tidur deh bun, aku sudah enggak sabar udah pengen besok terus bertemu Ayah deh" ujar Faaz dengan wajah yang terus berbinar - binar, nampak jelas aura kebahagiaan di wajah anak lelaki tersebut.
Maya tersenyum mendengar penuturan buah hatinya.
"Bunda paham apa yang di rasa oleh Faaz tapi Faaz tetap harus tidur karena kita akan melakukan perjalanan jauh sehingga tubuh kita harus benar - benar sehat dan fit, Faaz paham kan maksud bunda ?".
"Iya bunda" jawab Faaz, kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk gosok gigi setelah itu ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang tempat tidur.
Satu jam kemudian Maya pun ikut menyusul ke pembaringan setelah ia memastikan semua barang - barang yang akan di bawa besok sudah rapih.
"Apa pun akan bunda lakukan untuk membuat kamu bahagia, kamu adalah segalanya buat bunda" ujar Maya seraya menatap lembut ke arah Faaz yang sudah tertidur dengan pulas.
Maya sengaja tidak memberi tahu sang suami prihal tentang kedatangannya, karena ia ingin membuat kejutan untuk suaminya tersebut.
__
"Ayo, bunda itu tante Ratih sudah menunggu" ujar Faaz yang sudah tak sabar ingin berangkat menuju bandara.
"Iya sebentar nak" sahut Maya yang masih mengkunci pintu rumahnya.
Beberapa menit kemudian Maya segera masuk ke dalam mobil. Ada rasa kebahagiaan yang sangat sulit di artikan dalam hati Maya saat ini, apa lagi melihat sang putra yang begitu bersemangat untuk segera pergi.
Maya telah menitipkan rumahnya pada tetangga rumahnya, Maya juga berpesan jika nanti ada yang mencarinya cukup bilang saja jika Maya dan Faaz sedang liburan bersama guru dari sekolahnya.
Para tetangga percaya begitu saja tanpa banyak tanya karena memang Maya pergi bersama dengan Ratih yang merupakan seorang guru di sekolah yang sama dengan tempat di mana Maya mengajar.
"Udah enggak ada yang tertinggal lagi kan ?" Tanya Ratih memastikan
"Sudah" jawab Maya yang kini sudah duduk di samping Ratih. sementara Faaz duduk di jok penumpang. "Terima kasih sudah mau mengantarkan kita, lagi - lagi aku harus merepotkan mu" sambung Maya.
"Udah enggak usah ngomong begitu, udah kaya sama siapa saja kamu ini May. Aku senang loh bisa nganter kamu ke bandara apalagi lihat Faaz begitu bahagianya akan bertemu Ayahnya" ujar Ratih.
"Faaz, perjalanan ke bandara masih lama, kamu kalau bosan lebih baik tidur saja" ujar Ratih pada Faaz.
"Iya tante".
Mobil yang di kendarai oleh Ratih pun melaju membelah jalan raya, jalanan masih terlihat sepi mungkin sekarang adalah hari minggu dan waktu juga masih menunjukan pukul enam pagi. Mobil tersebut terus melaju menuju sebuah bandara yang berada di jakarta.
Akhirnya Mereka tiba di bandar, Ratih tak bisa mengantar Maya sampai dalam karena ternyata ia harus segera kembali, ternyata mertuanya datang.
Faaz berjalan dengan penuh semangat memasuki bandara membuat Maya beberapa memberi peringatan agar tidak terburu - buru.
"Faaz pelan - pelan saja jalannya, nanti kamu bisa nabrak orang loh" tegur Maya.
"Aku sudah enggak sabar untuk bertemu dengan Ayah bun" sahut Faaz.
Setelah menunggu selama satu jam akhirnya kini ibu dan anak tersebut sudah duduk di dalam sebuah pesawat, Faaz pun di bantu oleh seorang pramugari untuk memakaikan sabuk pengaman dengan baik.
Rasa takut begitu mendominasi perasaan Maya karena ini merupakan pengalaman pertamanya untuk naik pesawat, namun ia berusaha untuk menyembunyikan semua rasa tersebut agar tak membuat panik putranya.
"Faaz tidur saja ya, nanti kalau sudah sampai akan bunda bangunkan" ujar Maya.
"Iya nanti Faaz akan tidur jika sudah mengantuk" jawab Faaz.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!