Shera mematut dirinya didepan cermin lebar, bayangannya nampak anggun dari pantulan cermin dihadapannya.
Gaun pengantin putih tulang menjuntai panjang hingga 4 meter dilantai kamar hotelnya, rambut tersanggul rapi, dan mahkota bertatahkan berlian bertengger dikepalanya bak putri dalam kisah-kisah negeri dongeng yang hidupnya berakhir bahagia karena bertemu sang pangeran pujaan hati.
"Fhilip, andai saja kau ada disini, pernikahan ini tentu tidak akan terjadi."
Bening air mata bergulir jatuh membasahi belahan pipi Shera yang sudah dipoles make-up dengan sempurna, siap melangsungkan prosesi pernikahan sakral di akhir pekan itu.
Wanita cantik berprofesi sebagai dokter spesialis ortopedi itu mengusap perutnya yang mulai membuncit dari balik gaun pengantinnya.
...🍡🍡🍡🍡🍡...
Tap! Tap! Tap!
Semua mata tertuju pada pintu kelas yang terbuka lebar. Ibu Karunia muncul didepan pintu bersama seorang remaja laki-laki blasteran Indo.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa ibu Karunia melemparkan senyumnya yang terkesan dipaksakan. Guru matematika itu memang terkenal dingin, judes, dan disiplin tentunya.
"Selamat pagi Bu!" serempak murid kelas 2 SMP menyahut hormat, dan sebagian besar siswi dikelas itu nampak terkagum dengan remaja laki-laki yang berdiri disamping sang guru.
Pembawaannya tenang, berkulit khas eropa dengan hidung mancung dan bermata biru, telah menghipnotis sebagian besar penghuni kelas. Celana biru selutut, mode pelajar SMP era tahun 90-an di zaman orde baru itu, menambah kesan kejangkungan tubuh remaja yang layak menjadi idola di sekolah barunya ini.
"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru, namanya Fhilip Jhonson. Untuk berkenalan lebih lanjut kalian boleh melakukannya saat jam istirahat pelajaran pertama nanti. Mengerti?"
"MENGERTI BU!!!" Sahut seisi kelas serempak.
"Nah Fhilip, kau boleh memilih dua kursi yang kosong itu," tunjuk ibu Karunia pada kursi kosong paling depan deretan tengah dan kursi kosong paling belakang bagian sudut.
"Saya pilih kursi kosong bagian belakang sudut saja Bu," sahut Fhilip melirik kekursi yang ia maksud lalu menoleh pada ibu Karunia untuk mendapat persetujuan. Walau berwajah bule, tapi remaja laki-laki itu cukup fasih berbahasa Indonesia walau warna suaranya masih kebule-bulean.
"Tidak boleh!"
Seisi kelas menoleh ke sumber suara, begitu pula dengan Fhilip dan ibu Karunia yang nampak kaget mendengar suara lantang dari Shera, siswi yang duduk paling pojok, dimana Fhilip berniat duduk dikursi kosong disebelahnya.
"Dia memang sombong, dan sok cantik!" cibir beberapa siswi perempuan yang memang anti pati padanya.
"Diam! Dan tenang!" tegur ibu Karunia, guru wanita itu memukul papan tulis dengan penggaris kayu ditangannya beberapa kali, supaya kelas yang sedikit riuh itu kembali tenang.
"Kenapa Shera? Bukankah selama ini kau duduk sendiri disana? Dan kursi disebelahmu itu memang tidak ada pemiliknya bukan?" ibu Karunia menatap tajam pada siswinya itu.
"Saya tidak suka duduk bersebelahan dengan siswa yang bodoh." sahut Shera gamblang, menatap tak suka pada siswa baru yang masih berdiri tenang dengan wajah datarnya didepan kelas.
"Baiklah Shera. Ibu mempersilahkanmu memberi soal matematika untuk dijawab oleh Fhilip. Bila dia bisa menjawab, maka kau yang harus pindah duduk dikursi kosong depan ini, dan Fhilip yang duduk dikursimu. Bagaimana? Ayo maju!" titah ibu Karunia dengan raut dinginnya memberi tantangan pada siswi kebanggaan sekolah mereka.
Shera memang dikenal sebagai siswi tersombong dan terangkuh di SMP negeri 2 Mulawarman, salah satu sekolah pavorit di kota Mulawarman. Remaja putri berusia 14 tahun ini adalah lulusan terbaik saat test penerimaan siswa baru, dan karena prestasi-prestasinya mengharumkan nama sekolah selama hampir dua tahun bersekolah disana, ia mendapat beasiswa pelajar berperstasi dari sekolah.
Tanpa ragu Shera berdiri, mengayunkan langkahnya kedepan kelas menuju papan tulis.
Seisi kelas memandang Shera dengan cara pandangnya masing-masing. Remaja berkulit kuning langsat dan berparas sangat elok itu menulis soal yang terlintas dalam kepalanya, memang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam pelajaran matematika memang bisa diandalkan.
"Kau boleh duduk kembali."
Shera berbalik, kembali ke kursinya. Tak sedikitpun matanya melirik pada Fhilip yang berdiri disebelahnya. Ia tak yakin bila remaja laki-laki blasteran Indo itu mampu menjawab soal yang telah ia tulis dipapan tulis.
"Kau boleh mulai menjawabnya sekarang Fhilip." ibu Karunia menatap Fhilip sambil memperbaiki kacamatanya yang sedikit melorot.
Fhilip menatap sejenak soal yang ditulis oleh Shera, matriks operasi penjumlahan.
Siswa baru itu maju beberapa langkah di iring tatapan berdebar seisi kelas kecuali Shera. Fhilip meraih spidol dan mulai menuliskan penjabaran jawabannya dibawah soal yang dituliskan oleh Shera untuknya.
-1 + 4y \= 3 ⇔ y \= 1
y \= 1 → 3 + x \= 12 + 6y
3 + x \= 12 + 6(1)
x \= 15
Maka, nilai x yang memenuhi persamaan diatas adalah 15.
"Bagus! Jawabanmu benar Fhilip. Kau boleh duduk sesuai permintaanmu tadi." Karunia tersenyum, ia berharap siswa barunya ini juga bisa mengharumkan nama sekolah seperti halnya Shera.
"Bagaimana? Aku cukup layak duduk disini bukan?" bisik Fhilip pelan ditelinga Shera, ia setengah berjongkok, sebelum akhirnya duduk sempurna disebalah Shera.
"Heum, itu baru permulaan. Bila kau tidak mampu mengalahkanku hari ini, atau setidaknya setara, kau harus angkat kaki dari sebelahku. Aku paling tidak suka pada siswa yang hanya jadi benalu disebelahku." datar Shera tidak kalah pelannya, supaya tidak didengar oleh siswa-siswi lainnya apalagi guru yang tengah mengajar didepan.
Menanggapi ucapan sombong dan terkesan meremehkannya, Fhilip hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia melirik sekilas pada Shera, gadis itu bahkan tidak mau melihatnya sama sekali, bahkan memberi jarak seakan dirinya serupa kuman yang harus dihindari.
...🍓🍓🍓...
"Ikuti gadis berseragam SMP yang naik sepeda butut itu pak Jonggon."
"Baik Tuan muda." pak Jonggon mengurangi kecepatan mobil yang ia kemudikan, mulai membuntuti Shera dari belakang dengan pelan sepulang sekolah.
"Apa kita masih perlu mengikuti gadis itu Tuan muda?" pak Jonggon menepikan mobil dipinggir persimpangan, saat melihat Shera yang mereka buntuti mengayuh sepedanya keluar dari area jalan kota, menuju jalur pedesaan.
"Ikuti saja. Aku ingin tahu rumah gadis sombong itu ada dimana?" ucap Fhilip datar, memperhatikan Shera yang berada jauh didepan mereka, mengayuh sepedanya dengan sekuat tenaga dijalan yang sudah tidak beraspal, hanya ditaburi kerikil disepanjang badan jalan.
Tidak jarang ban sepeda Shera terpeleset dibebatuan kerikil yang berhamburan, tapi gadis itu dengan sigap menjaga keseimbangan hingga tidak terjatuh.
Kiri kanan jalan, nampak padat rumah penduduk yang berbahan dasar kayu terpoles debu jalanan, sehingga tidak jarang para warga yang rumahnya dipinggir jalan menyirami jalan didepan rumahnya untuk mengurangi debu yang berterbangan disaat panas terik.
Setelah hampir 30 menit berlalu, pak Jonggon menghentikan mobil yang dikemudikannya, ketika Shera menyebrang jalan dan memasuki satu rumah kayu yang sederhana berpagar kayu pula.
Menolak untuk percaya, tapi itulah kenyataannya. Rumah kediaman dan lingkungan Shera lebih dari sekedar sederhana, membuat Fhilip tersenyum kecut melihatnya, sungguh sangat berbanding terbalik dengan sipat sombong dan angkuh gadis itu disekolah.
Bersambung...👉
"Tolong Bu! Lepasin Shera Bu! Shera Takut!" raung gadis berusia 14 tahun itu. Ia meronta begitu hebatnya, berusaha melepaskan diri dari sergapan ibu kandung dan ayah tirinya.
"Pegang yang kuat perempuan BODOH!" Apa kau mau aku menganiaya kedua anakmu itu lagi? Hah!" bentak Jonie pada isterinya.
Mina terpaksa patuh sambil menangis. Sebagai ibu, ia merasa sangat berdosa karena tidak dapat melindungi darah dagingnya sendiri dari nafsu biadab suami keduanya.
"Jangan ikat Shera Bu, Tolong jangan ikat Shera! Shera takut!" tangis gadis belia itu semakin nyaring, ia memohon dengan air mata berlinang. Tubuhnya gemetar hebat, membayangkan hal buruk yang akan menimpanya lagi.
"Sekarang kau pergi dari sini! Aku akan bersenang-senang dulu." usir Jonie mendorong kasar tubuh Mina, setelah isterinya itu berhasil membantu dirinya mengikat kaki dan tangan Shera pada ke-empat sudut dipan kayu yang beralaskan kasur kapuk, hingga posisi tubuh gadis belia itu membentuk huruf X bila dilihat dari tampak atas.
"Tapi Mas. Bukankah kau telah berjanji setelah hari itu tidak akan melakukan ini lagi pada Shera?" Mina menangis tersedu, hatinya begitu hancur mendengar lolongan memilukan putri sulungnya yang menangis ketakutan, sama seperti kejadian beberapa minggu yang lalu.
"Janji? Lupakan! Aku tidak berkewajiban menepati janji pada perempuan bodoh sepertimu! Pergi!" usir Jonie. Pria itu kembali mendorong tubuh Mina dengan kasar, hingga tubuh kurus itu terjerembab menghantam dinding kamar.
"Akh!" Mina meringis kesakitan, ia mengusap dahinya yang terasa nyeri karena terbentur pada dinding kamar, ada cairan berbau amis keluar dari sana.
"Ibu!!!" Tio dan Noya berlari memeluk ibunya, kedua balita itu ikut menangis ketakutan melihat cairan merah merembes dari dahi ibunya.
"Mas Jonie." Mina merayap dan kembali beringsut mendekati suaminya, sementara kedua balita itu ikut merangkak dibelakang sang ibu.
"Aku mohon jangan lakukan itu pada Shera lagi. Aku mohon Mas," Mina bergelayut dikaki Jonie, laki-laki itu kembali mendorong sambil menendangnya kasar.
"Pergi sana! Bawa dua bocah yang merepotkan ini dari sini!" Jonie menenteng Tio dan Noya pada kerah baju bagian belakang keduanya dan membawanya keluar dari kamar dengan kasar.
"Sakit Ayah! Leher Tio sakit!" anak laki-laki berusia 4 tahun itu menjerit kesakitan sambil menahan kerah baju bagian depannya yang seakan mencekik leher kecilnya akibat tentengan sang ayah.
Sedangkan Noya, gadis kecil berusia 3 tahun itu hanya bisa menangis ketakutan sambil memegangi leher bajunya, sambil terbatuk-batuk dengan napas megap-megap.
"Jangan sakiti mereka Mas! Mereka masih kecil! Mereka itu darah dagingmu Mas!" Mina mengejar suaminya, berusaha merebut kedua balitanya sambil terus menangis.
"Bawa mereka! Jangan ganggu aku!" Jonie melempar kedua balita itu bak boneka tak bernyawa kearah Mina, dengan cekatan perempuan itu menangkap kedua balitanya supaya tidak jatuh bebas menggelinding kelantai.
BRUAK!!!
Mina terkaget, begitu juga dua balitanya yang terus menangis dengan suara nyaring. Ketiganya menatap pintu kamar yang telah dibanting paksa oleh Jonie.
"Om! Shera mohon, jangan lakukan itu pada Shera lagi! Shera nggak mau! Shera takut!" gadis itu masih meraung-raung ketakutan diatas kasur kapuk, menghiba dengan tubuh yang gemetar melihat Jonie mulai menanggalkan pakaiannya sendiri satu persatu.
Dengan tubuh bu gilnya, Jonie mendekat sambil memainkan gunting ditangannya. Seringai laki-laki itu sangat menyeramkan pada pemandangan Shera yang semakin ketakutan.
"Shera mohon Om! Jangan sakiti Shera lagi," gadis itu terus menghiba pilu dengan airmatanya yang menganak sungai. Ia berusaha melepaskan kain pengikat pergelangaan kaki dan tangannya, namun tidak membuahkan hasil karena ikatannya terlalu kuat.
"Tidak Sayang, Om tidak akan menyakitimu," laki-laki gempal itu semakin mendekat, menciptakan rasa takut yang teramat sangat pada Shera yang makin gemetar.
"Om bahkan akan membawamu terbang ke awan-awan, menikmati nikmatnya surga dunia ini, kek-kek-kek-kek-kek," tawanya.
Besi penggunting di tangan Jonie mulai melakukan tugasnya, menggunting pakaian tidur bagian atas Shera, tidak perduli pada tangis gadis itu yang memohon belas kasihannya.
Mata laki-laki itu membelalak lebar penuh binar, memandangi dua daging kenyal montok yang begitu memukau walau ukurannya belum terlalu besar.
Melihatnya saja, sudah membuat kejantanannya mengacung tegak dibawah sana. Pria itu menjilat bibirnya sendiri, merasakan hasrat yang perlahan membuat kewarasannya menghilang.
"Om jangan, Om," Shera terus menangis saat gunting besi itu kembali menggunting pakaian bagian bawahnya.
Jonie menelan salivanya dengan mata makin membelalak, memandang penuh hasrat pada pemandangan dihadapannya.
Bibir tebal dan hitam milik Laki-laki itu segera menyambar bibir mungil Shera. Merasa jijik, dengan sekuat tenaga Shera menggigitnya.
"Awhh! Owh sial!" Joni memegang bibirnya yang berdarah akibat gigitan Shera.
PLAK! PLAK!
Dengan marah Jonie menampar pipi kiri dan kanan Shera hingga meninggalkan jejak lebam dan sudut bibir gadis itu sedikit pecah dan mengeluarkan cairan merah.
"Kau akan membayar perbuatanmu padaku gadis kecil!"
"Om, jangan Om. Jangan lakukan ini," suara gadis itu semakin serak. Jonie tidak perduli, ia mulai menghujamkan miliknya yang mengacung tanpa ampun.
"Akh! Sakiiiiiiiiiit! Sakiiiiiiiiit!" Shera meraung histeris, dan menggelinjang hebat. Rasa sakit yang luar biasa itu membuatnya meronta, berusaha melepaskan diri walau ia tahu itu tidaklah mungkin.
Di luar kamar, Mina menangis pilu sambil memeluk dua buah hatinya. Suara teriakan kesakitan Shera didalam kamar membuat dua balita itu ikut menangis ketakutan.
"Shera, sayang. Maafkan Ibu yang tidak bisa melindungimu. Kalau saja Ayahmu masih hidup, kau tidak akan mengalami nasib buruk seperti ini, Nak," Mina terus meratap, merasa hidup ini terlalu berat dan takdir ini terlalu kejam pada dirinya dan anak-anaknya.
Lima tahun yang lalu, Asnan, ayah Shera, meninggal karena sakit, saat Shera berusia 10 tahun.
Jonie, seorang security perusahaan minyak, datang dengan segala kebaikannya sehingga membuat Mina membuka hati dan bersedia menikah hingga dikarunia dua buah hati, Tio dan Noya.
...🍓🍓🍓...
"Shera, cepat bangun!" Mina membangunkan putrinya, tangannya dengan cekatan membuka kain pengikat tangan dan kaki putrinya. Sejak semalam gadis itu sebenarnya tidak tidur, ia hanya memejamkan matanya saja, menahan rasa sakit pada bagian inti dan seluruh tubuhnya yang lain.
Shera memandang sendu pada ibunya, sorot matanya yang sembab, telah kehilangan sinarnya, ia merasa hidupnya sudah tidak ada artinya lagi.
"Cepat bangkit Shera, sebelum laki-laki bajingan itu bangun." Mina menarik paksa tangan putrinya dengan maksud membantunya bangun.
Shera berusaha bangkit dengan susah payah.
"Cepat! Pakai ini." Mina membantu Shera mengenakan pakaian yang dibawanya untuk menutupi tubuh polos putrinya.
"Shera, kamu harus pergi dari sini. Ibu tidak bisa melindungimu dari kebejatan ayah tirimu, Nak." Mina menarik tangan putrinya menuju pintu belakang rumahnya.
"Tapi Bu--"
"Kau harus pergi dari rumah ini sekarang juga Shera, Ibu tidak mau kau disakiti pria bejat itu lagi. Ini tas mu Nak," Mina memberikan tas jinjing berisi beberapa pakaian putrinya itu yang telah ia persiapkan sebelumnya.
"Jangan pikirkan ibu dan adik-adikmu. Pergilah kerumah tante Yani. Cepat Shera! Jangan pernah kembali lagi kemari, apapun yang terjadi, karena ayah tirimu bisa berlaku bejat lagi padamu." Mina mendorong paksa punggung Shera, anak gadis itu terpaksa mengikuti arahan ibunya.
Mina melepaskan kepergian Shera dengan perasaannya yang sedih dan hancur. Air matanya terus berderai. Suaminya pasti marah bila melihat putrinya menghilang dari rumah, tapi ia tidak perdulikan itu lagi, semuanya sudah cukup.
Shera berjalan dengan langkah tertatihnya, rasa nyeri itu semakin menusuk didaerah inti tubuhnya. Ia mendengar suara keributan dibelakang sana, dirumah orang tuanya yang baru ia tinggalkan, tapi ia terus saja berjalan, berusaha tidak perduli.
DOR! DOR! DOR! DOR!
Langkah Shera terhenti, ia segera berbalik ketika mendengar suara menggelegar 4 tembakan.
"Ibu, Tio, Nora," Shera membekap mulutnya sendiri, ia spontan berlari hingga beberapa langkah menuju rumah yang ia tinggalkan karena khawatir pada ibu dan kedua adiknya.
Sejurus kemudian, ia menghentikan dirinya sendiri, begitu mengingat pesan terakhir ibunya bahwa ia tidak boleh kembali lagi kerumah itu. Bagaimana bila suara tembakan itu sudah menghabiskan nyawa ketiga orang yang sangat ia sayangi itu? Ayah tirinya itu pasti akan menghabisi dirinya juga.
Dengan segenap tenaga yang masih bersisa, Shera kembali berbalik arah, berusaha berlari sambil menyeret tas jinjingnya dan menjauhi rumah dimana ia pernah dilahirkan.
...🍓🍓🍓...
Bruk! Praank!
"Shera! Kamu kenapa, Nak?" Yani terkejut, saat anak temannya itu jatuh didepan rumahnya tidak sadarkan diri setelah tubuh lemah itu menghantam pot bunga hingga pecah berantakan.
Di pagi buta itu, Yani baru saja membuka pintu dan bersiap berangkat kerumah majikannya, untuk menunaikan tugasnya bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Bersambung...👉
Fhilip melirik deretan parkiran sepeda, tidak dilihatnya sepeda biru butut milik Shera selama dua hari ini, apa teman semejanya yang sombong itu tidak turun lagi tanpa kabar, batinnya.
Banyak pasang mata mengikuti langkah remaja tampan itu. Ada yang sudah jatuh hati padanya, ada pula yang iri melihat dirinya yang nyaris sempurna, kaya, pintar, dan juga paling ganteng sendiri di sekolah itu.
Zaman itu, tidak banyak siswa SMP seperti dirinya berangkat ke sekolah dengan mobil, kecuali anak pengusaha dan para anak pejabat di kota itu, lebih banyak menggunakan sepeda kayuh atau diantar dengan sepeda motor oleh ayah atau ibunya.
"Hai Fhilip!" Roni siswa jangkung, tapi tidak sejangkung Fhilip, datang mendekat, saat Fhilip meletakan tas ranselnya di atas meja.
"Hai," balas Fhilip seadanya, sambil mengeluarkan buku dan peralatan tulis menulisnya untuk jam pelajaran pertama hari ini.
"Bagi contekan PR Matematika dong, kau biasanya selalu mengerjakannya 'kan?" Fhilip memutar bola matanya, ini bukan pertama kalinya Roni melakukannya.
Mungkin ini yang dimaksud Shera dengan 'benalu' saat pertama kali ia memilih duduk disebelah gadis itu, rata-rata siswa-siswi dikelas ini suka minta contekan, seperti Roni ini contohnya.
"Kamu nggak ngerjain PR lagi?" tekan Fhilip.
"Aku sibuk. Ayolah, jangan pelit seperti Shera, gadis judes itu," paksa Roni sembari mengatai teman sekelas mereka itu.
"Sibuk? Bukannya tugas utama kita belajar. Jadi apa yang kau sibukkan?" sela Fhilip tak percaya.
"Nggak usah banyak tanya. Mentang-mentang duduk dekat Shera, kau ketularan sifat cerewet dan pelitnya Shera. Buruan! Mana PR-nya? Kau tahu, guru yang paling rajin turun dan nggak pernah absen, ya guru Matematika, nyebelin!" Roni masih memaksa dengan gayanya yang seenaknya.
"Nih PR-nya. Ingat, ini terakhir kalinya. Besok-besok jangan harap aku memberikannya lagi. Bukan karena pelit, tapi aku tidak ingin kau bergantung dan menjadi siswa pemalas," Fhilip menyodorkan buku Matematikanya, Roni gegas menyambar lalu mulai menyalinnya dibuku tulis miliknya.
Tring! Tring! Tring!
Bel berbunyi nyaring, seluruh siswa berlarian melakukan baris-berbaris didepan kelas, termasuk Fhilip dan Roni yang ikut keluar kelas.
"Kau lihat, seperti kataku tadi, dibelakangmu sudah ada ibu Karunia, beliau memang tak pernah absen, bener-bener nyebelin tau," sungut Roni berbisik pelan pada Fhilip. Karena keduanya paling jangkung, maka mereka mengambil barisan paling belakang.
Setelah acara baris-berbaris disertai doa selesai didepan pintu kelas, para siswa-siswi SMP itu masuk dengan tertib kedalam kelasnya masing-masing.
"Kumpulkan PR kalian masing-masing! Dan persiapkan diri kalian, hari ini kita ulangan harian!" gema ibu Karunia dengan suara lantangnya.
"Oh, ya ampun. Aku belum selesai menyalin PR-mu Fhilip," gerutu Roni, tapi remaja laki-laki itu mau tak mau tetap mengumpulkan buku PR-nya juga bila tak ingin disemprot oleh sang ibu guru yang terkenal kiler itu.
"Sudah semua?" Ibu Karunia mengedarkan pandangannya keseluruh kelas, mungkin saja ada muridnya yang belum mengumpulkan tugas PR-nya. Setelah dilihatnya tidak ada yang mengacungkan tangan, dihitungnya jumlah buku sesuai jumlah siswa kelasnya.
"Satu, dua, tiga,... Tiga puluh sembilan. Kurang satu. Ayo jujur, siapa yang tidak mengumpulkan tugas PR-nya?" lantang ibu Karunia lagi, kembali mengedarkan pandangannya keseluruh kelas.
"Roni! Kenapa kau duduk disana? Ayo, kembali kekursimu!" perintah ibu Karunia.
"I-iya Bu," Roni gegas bangkit lalu berpindah ke kursinya kembali.
"Shera--, ada yang tahu kemana dia?" tanya ibu Karunia heran. Setahunya, Shera adalah salah satu murid yang paling rajin turun sekolah, tapi kenapa hari ini murid kebanggaannya itu absen tanpa keterangan.
Tidak ada jawaban. Di kelas itu, Shera memang tidak memiliki teman akrab karena sikapnya yang menjaga jarak dengan semua murid.
"Baiklah! Kita mulai ulangannya sekarang." putus ibu Karunia. Ia mengambil spidol, lalu mulai menulis soal dipapan tulis.
"Hari ini Ibu akan memanggil kalian satu persatu maju kedepan untuk mengambil nilai sesuai jawaban kalian."
Ucapan sang guru Matematika spontan memberi kesan horor seisi kelas, degup jantung para murid seketika memacu kencang.
"Roni, maju! Kerjakan soal di papan tulis!" perintah ibu Karunia. Roni yang dipanggil namanya seketika menggigil kaget.
"Roni! Apa telingamu tuli?" sentak ibu Karunia dengan sorot mata tajamnya, ketika Roni masih memaku bokongnya ditempat duduk.
"I-iya, Bu. S-saya dengar," Roni terpaksa berdiri melangkah dengan kaki gemetar. Seisi kelas yang biasanya suka mentertawai murid yang berlaku demikian tidak ada yang berani tertawa, karena mereka sudah tahu apa konsekuensi yang bakal mereka terima bila berani mengolok teman-temannya yang lain disaat mata pelajaran Matematika.
"M-maaf, Bu. S-saya tidak bisa mengerjakannya." jujur Roni, namun ia berusaha tegar menahan rasa malunya.
"Berdiri didekat pintu!" titah ibu Karunia, menunjuk dengan penggaris kayu panjang yang biasa ia gunakan saat mengajar.
"Diwan!" panggil ibu Karunia selanjutnya.
Diwan maju dengan tenang, memegang spidol dan menempelkan mata spidolnya dipapan tulis namun tidak kunjung menulis jawabannya.
"Lama sekali Diwan!" sentak ibu Karunia. Seketika lutut remaja laki-laki itu gemetaran didepan kelas mendengarnya. "Kalau tak bisa menjawab berdiri disebelah Roni!"
Diwan bergeser, mendekati Roni berdiri, tentu saja remaja laki-laki itu malu karena tidak mampu menjawab soal yang ada.
Sebagian besar murid menunduk takut, ketika ibu Karunia kembali mengedarkan pandangannya.
"Kalau Shera tidak hadir, ya begini ini. Tidak ada yang bisa mengisi jawaban soal!" ucap ibu Karunia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Fhilip! Maju!" titah bu Karunia, saat matanya bersirobok dengan remaja laki-laki itu.
Tanpa menunggu namanya dipanggil dua kali, Fhilip gegas berdiri dan maju menuju ke papan tulis. Dengan tenang ia mulai menuliskan jawaban penyelesaiannya. Ibu karunia memperhatikan dengan seksama, begitu pula para murid lainnya.
Penyelesaian:
Pertama hitung terlebih dahulu (AB +C)
Maka, Det (AB + C) \=
(3.14) - (8.6) \= 42 - 48 \= -6.
"Bagus Fhilip! Jawabanmu benar!" puji sang guru Matematika senang.
...🍓🍓🍓...
Fhilip turun dari mobilnya diikuti oleh pak Jonggon sopir yang selalu setia mengantar jemputnya kemanapun ia pergi. Remaja itu menatap police line berwarna kuning, mengitari rumah kayu dihadapannya, yang ia tahu itu adalah rumah tinggal Shera.
"Pak, permisi. Numpang tanya," pak Jonggon menghadang seorang warga pejalan kaki yang kebetulan melintas didekat mereka.
"Iya Pak, ada apa?" warga itu balik bertanya.
"Perkenalkan, nama saya pak Jonggon. Dan ini anak majikan saya, tuan muda Fhilip."
Warga itu memperhatikan kedua orang asing yang ada dihadapannya, terutama Fhilip yang memiliki wajah Indo.
"Sudah dua hari ini temannya tuan muda Fhilip yang bermama Shera tidak masuk sekolah, dan kami tahu ini adalah rumahnya," tunjuk pak Jonggon pada rumah yang di police line didepan mereka.
"Kalau boleh tau apa yang terjadi sampai ada pita kuning seperti ini Pak?" lanjut pak Jonggo mewakili Fhilip.
"Oh, den Fhilip ini temannya nak Shera ya? Mereka mengalami musibah. Ayah tiri nak Shera ditembak mati oleh ibu nak Shera Pak. Untuk lebih jelasnya, silahkan ke rumah pak ketua RT di ujung jalan sana sebelum tikungan yang bercat biru laut." terang sang warga itu.
"Baik, terima kasih Pak. Kalau begitu kami pamit dulu."
"Sama-sama Pak, den Fhilip." warga itu ikut berlalu.
Bersambung...👉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!