POV Author
Drtttt drrrttt drrtttt.
Suara getaran dari handphone Dewa berbunyi, ketika ia hendak melangkah keluar dari salah satu kamar hotel ternama di Jakarta ini. Di lihatnya panggilan yang masuk dan tertera nama "Belahan Jiwaku memanggil", cukup lama, handphone itu hanya dipandangi saja oleh Dewa tanpa sedikit niatpun untuk mengangkatnya, lalu memasukkan kembali handphone tersebut ke dalam saku jas yang ia kenakan. Dewa melanjutkan langkah kakinya menuju lift untuk segera bergegas ke kantor pagi ini.
Di sebrang sana ada Lala yang menunggu panggilan telfonnya di jawab oleh suami yaitu Dewa, tetapi tidak kunjung di angkat sampai nada memanggil panggilan telfon itupun menyuarakan. "Nomor yang anda hubungi tidak menjawab, silahkan hubungi kembali lagi nanti tuuut tuut tuut." Lala pun memutuskan panggilan tersebut dan kembali fokus menatap seekor kucing yang sedang ia beri makan di depan apartemen tempat ia dan Dewa tinggal selama 4tahun sejak mereka menikah.
Lalu datang seorang anak perempuan yang diperkirakan baru berusia 6 tahun menghampiri Lala.
POV Lala.
"Tante lagi ngapain disini?" tanya anak itu kepada-ku saat aku masih saja jongkok di bawah pohon depan apartemen sambil memandangi anak kucing liar yang sedang aku beri makan itu.
"Ha?" aku hanya merespon begitu karena kaget, menurutku anak itu datang tiba-tiba.
"Aku tanya, tante sedang apa berjongkok disini?" tanya anak itu lagi kepada-ku.
"Oh ini, tante sedang melihat anak kucing yang sedang makan itu, lucu, tapi tante ngga berani pegang hheehe" jawabku sambil tertawa pelan, karna takut mengganggu anak kucing yang sedang makan itu.
"Loh kenapa ngga berani pegang tapi tante memberinya makanan?" tanya anak itu lanjut denganku.
"Karna makhluk kecil menggemaskan itu, terus mengikuti-ku dari tadi, jadi aku merasa bertanggung jawab harus memberinya makan setelah ia membakar lemaknya" jawabku sedikit panjang. Anak perempuan itu pun hanya mengangguk sambil tersenyum, dan aku membalas senyumannya.
Lalu aku pun bangkit untuk segera berjalan menuju parkiran mengambil mobil dan pergi ke kantor. Tetapi baru berapa langkah aku berjalan dan melihat anak perempuan tadi terus mengikuti langkah ku, tepat di belakangku berjalan. Pada saat aku berhenti dan melihatnya ke belakang, ia juga ikut berhenti sambil tersenyum, terus begitu sampai 3 kali ku lakukan.
Akupun membalikkan badanku kembali dan bertanya kepada anak perempuan tersebut "Ada apa? kenapa kamu terus mengikuti tante?" tanyaku kepada anak perempuan itu.
Ia pun menjawab "Agar tante merasa harus bertanggung jawab kepadaku" jawabnya sambil nyegir manis.
"Maksudnya?" tanyaku.
"Aku mau makan es krim coklat tante hehehehe" jawabnya.
Akupun tersenyum dan paham apa maksudnya lalu mengajaknya berjalan menuju taman di sebrang apartemen karna aku lihat ada seorang pedagang eskrim coklat yang berjualan di sana. Aku pun menemaninya memakan eskrim sambil kami duduk dibangku taman.
Selagi aku menemaninya memakan es krim, handphoneku pun bergetar di tas tangan yang sedang aku bawa.
Drrrt drrtt drtttt. Aku bergegas mengangkatnya.
"Halo kenapa kamu sulit di hubungi yang?" jawabku langsung mengangkat telfon sewaktu aku melihat nama "Suamiku memanggil".
"Maaf sayang, kamu lagi apa La?" jawab suamiku dari sebrang sana.
"Aku? Aku lagi dirampok" jawabku sambil tertawa ringan.
"Eh maksudnya yang?" sahut suamiku sedikit terdengar khawatir di sebrang telfon sana.
"Haha engga nanti aku ceritain sewaktu tiba di kantor ya yang" jawabku.
"Yaudah kamu hati-hati ya Lala sayang, bye" kata suamiku.
"Iya oke sayang daahh" aku pun menutup telfon dari suamiku tersayang itu.
Lanjut ku lihat anak perempuan yang masih asik memakan es krimnya sampai belepotan ke pipi, sangat menggemaskan, dan ku ambil tisu yang selalu aku bawa di dalam tas untuk membantunya membersihkan lelehan eskrim di sekitar bibirnya.
"Kamu makan belepotan, sini tante bantu bersihkan" kataku, ia hanya nyegir dan tetap lanjut memakan es krimnya. Setelah itu aku pun pamit pergi, meninggalkan anak perempuan tersebut setelah aku pastikan ia kembali ke depan apartemen, karna ia bilang tinggal di satu apartemen yang sama dengan ku tinggal.
Setelah sampai di depan kantor, aku pun bergegas turun dari mobil, dan seperti biasa ada Yoseph security kantor yang membantu ku memarkirkan mobil setelah aku berikan kunci mobil ku kepadanya.
"Pak Seph tolong ya, biasaaa" kataku ramah.
"Siap buuu" jawab Yoseph semangat sambil memberikan gerakan hormat kepadaku.
Aku langsung masuk ke gedung perkantoran ku dan menggunakan lift untuk sampai ke lantai 6. Tujuan pertama ku sampai ke kantor adalah untuk menemui Rini. Rekan kerja dari tim yang berbeda. Rini pun langsung menyambut ku hangat setiba aku tepat di depan ruangan "Sampel Produk".
"Pagi bu Lala" sapanya kepadaku.
"Pagi juga Rin" jawabku menjawab sapaan Rini.
Rini tetap mengikutiku sampai aku duduk dibangku di dalam ruangan sampe produk itu. Rini pun menanyakan minuman apa yang ingin aku minum pagi ini untuk memulai aktivitas.
"Mau minum apa bu?" tanya Rini.
"Biasa Rin americano yaa, makasih Rin" jawabku yang tidak lupa berterima kasih kepada Rini. Rini pun langsung keluar dari ruangan itu setelah mengiyakan pesanan minumanku dan bergegas ke pantry menemui dan meminta OB untuk menyediakannya.
Aku mulai mengecek produk yang akan di launching-kan siang ini, yaitu "Serum DNA Salmon". Saat ini aku bekerja di perusahaan yang menjual produk skincare ternama di Negri ini. PT. Future Bright. Produk FB (begitu kami dan masyarakat menyingkat nama produk kami) ini sudah berdiri sejak 13 tahun yang lalu. Aku sendiri mulai bergabung di FB 5 tahun belakangan ini. Dan saat ini aku menjabat sebagai Wakil Manajer di Tim Manajemen.
Aku tersenyum lebar melihat serum dna salmon yang sudah berjajar rapi. Menurut kami serum ini akan menjadi produk dengan penjualan no. 1 di PT. Future Bright mulai hari ini. Karena manfaatnya ngga main-main. Bisa mencerahkan kulit wajah tanpa ketergantungan, dan cocok untuk semua jenis kulit. Karna produk ini sudah lulus uji dan juga BPOM.
Rini pun kembali masuk ke ruangan sampel produk, sambil membawakan americano yang ku pesan, lalu ia mengingatkan ku untuk menghadiri event peluncuran produk kami siang nanti.
"Bu siang ini event peluncuran serum dna salmon jam 2 siang di cafe oliver ya" kata Rini mengingatkan ku.
"Oke rin, ngga mungkin aku lupa dong, dengan hal yang udah aku nanti-nantikan enam bulan terakhir ini, akhirnya launching jugaaaa" jawabku seraya merasa happy akan hal itu. "Astagaaaa," tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Ada apa bu?" tanya Rini ikut khawatir.
"Rin gimana niiiih aku lupa bawa papper bag, isinya blazer yang ingin aku gunakan ke acara launching siang ini" sahutku panik.
"Tenang buu, nanti aku bantu belikan blazer baru di butik sebrang kantor, kwalitasnya oke punya kok" jawab Rini langsung memberiku solusi.
"Haaa syukurlah Rin, aku udah panik banget karna mikir ngga akan sempat kalau untuk mengambil ke apart lagi" aku menyahuti Rini, "Minta tolong ya Rini belikan blazer warna cream yang simple, tapi tetap terlihat elegan, kalau ku pakai dan padukan dengan kemejaku hari ini" mohon ku kepada Rini.
"Siap buuu, aman" jawab Rini.
Pada pukul 11 siang Rini mengetuk pintu ruang sampel produk, karena aku masih berada di ruangan itu untuk mengecek kembali produk yang akan di launching kan siang ini.
Tok tok tok..
"Masuk aja Rin" sahutku dari dalam. Rini membuka pintu lalu masuk, dan ku lihat ia membawa 3 blazer dengan warna cream, yang hampir-hampir mirip.
"Ini bu blazernya, silahkan dipilih, saya belikan langsung 3 hehe" jawab Rini sambil tersenyum, dan menyerahkan satu per satu blazer untuk langsung aku coba. Aku pun berdiri di depan cermin panjang, yang ada di dalam itu.
Sambil mencoba blazer tersebut, yang terdapat 2 kancing untuk di pas kan di badan, mulai dari kancing terdalam, sampai kancing terluar, tidak ada yang cocok atau muat di badanku.
"Rin gimana ni ngga muat, kamu beli ukuran apa ini Rin?" tanya ku kepada Rini.
"Oh maaf bu, kayaknya mrek blazer itu mempunyai ukuran yang lebih kecil, di banding mrek-mrek yang lain, coba yang ini bu, sepertinya ukurannya lebih besar" sahut Rini terdengar takut. "Tapi rasa saya ukuran sebelumnya normal bu, kayaknya..." Rini melanjuti dan menggantung kalimat setelah melihat ekspresi wajahku.
"Maksudmu, aku makin gemuk?" jawabku dengan nada kesal.
"Oh engga bu, kayak yang aku katakan di awal, kalau mrek itu sepertinya memiliki ukuran yang lebih kecil, di banding mrek yang lainnya" jawab Rini cepat.
"Kamu tahu itu, tapi tetap membelikan-nya untuk ku dan seolah mengataiku gemukan gitu?" jawab ku masih dengan nada kesal.
"Bu, bukan gitu" jawab Rini sungkan. Ku lempar asal blazer yang kekecilan itu, ke sofa yang ada di ruangan dan mengambil satu blazer lainnya dari tangan Rini.
"Aku ngga pakai ukuran S, aku pakai ukuran XS yang pas di badanku Rin" jawabku masih dengan nada kesal memberitahu Rini.
Rini terdiam sebentar, lalu. "Hei, stop yaaa" kata Rini dengan nada kesal juga kepada ku.
"Kenapa? itu kenyataannya" jawabku sambil tertawa sambil tetap mencoba blazer yang sudah berada di tangan ku.
"Haduhh, lo bisa ngebuat gue pingsan kena darah tinggi, ngadepin sikap kesal lo yang suka tiba-tiba di buat-buat itu" kata Rini masih setengah kesal dengan ku, tetapi dengan senyuman di bibirnya.
Aku hanya tertawa, dan merasa puas bisa membuat Rini sedikit jengkel dengan sikapku. Rini memang sahabat ku, walapun kalau sedang on duty seperti sekarang ia adalah rekan kerja dari tim yang berbeda. Dan di kantor, jabatan ku lebih tinggi ketimbang Rini. Lantas ia selalu memanggil ku, dengan embel-embel "Ibu".
Saat aku selesai mencoba blazer yang akan di gunakan nanti ke acara launching serum, aku dan Rini merebahkan badan di sofa empuk di dalam ruangan itu.
"Oh iya kudengar Helena udah balik ke Jakarta?" tiba-tiba Rini membuka obrolan.
"Iya" jawabku singkat.
"Semua okay?" lanjutnya.
"Memang apa yang ngebuat ngga okay?" jawabku lagi.
"Iya sih memang semua bukan salah lo, karna di promosikan lebih dulu sebagai wakil manajer di banding dia" jawab Rini. "Kupikir harga dirinya akan menghalanginya buat kembali ke Jakarta, eh dia tetap balik lagi" sambungnya terkekeh.
Aku cuma tersenyum kecil menanggapinya.
POV Author.
Ditempat lain, di sebuah kamar apartemen di wilayah Jakarta Selatan, Helena yang baru saja selesai mandi, mematut diri-nya di depan cermin sambil memakai setelan baju untuk ia gunakan ke kantor, dan juga memoleskan lipstik berwarna pink muda, yang sangat pas dipadukan di bibir tipisnya. Setelah selesai bersiap, ia pun keluar kamar untuk bergegas pergi.
Namun Helena melihat seorang lelaki dengan gaya yang mencurigakan, di depan pintu kamar sebelah apartemennya, Helena hanya berhenti sebentar untuk melihatnya sekilas. Lelaki itu hanya membalas dengan tersenyum canggung kepada Helena. Helena pun mengabaikannya dan lanjut melangkah kan kakinya menuju lift, untuk ke lantai basement. Sesampainya di dalam lift, Helena memainkan ponselnya dan baru ia sadari ternyata lelaki itu juga berada di lift yang sama dengan dirinya. Lelaki itu terus melirik, dan melihat aktivitas Helena yang sedang memainkan ponselnya.
"Ini seniman terkenal yang akan menyelenggarakan pameran lukisannya akhir bulan ini" tiba-tiba saja Lelaki itu membuka obrolan, sambil menunjuk layar yang ada di lift, menampilkan video beberapa lukisan seniman yang sedang naik daun saat ini.
Helena meliriknya, lalu berkata "Lo kaya? Kalau iya, beli lah beberapa hasil lukisannya, karna seniman itu sedang butuh dana banyak, untuk mengobati istrinya yang sedang sakit" kata Helena menanggapi ucapan Lelaki itu sebelumnya.
Lelaki itu hanya tertawa renyah, mendengar perkataan yang keluar dari mulut Helena. "Apa kamu mau ngedate dengan seseorang?" lanjut Lelaki itu, menanyakan hal random dengan Helena. Helena hanya menanggapinya dengan bibir yang ditarik sedikit membentuk senyuman, lalu Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, dari saku jas dan memberikannya kepada Helena.
"Masukkan lah nomor handphone ku ini di ponsel mu, aku yakin suatu saat kamu akan membutuhkannya" ujar Lelaki itu.
Helena hanya melihat sekilas ponsel Lelaki itu, "Ini bukan tempat yang bagus untuk meminta nomor gue" jawab Helena ketus.
"Kamu ngga akan pernah tahu kapan akan bertemu dengan takdirmu" respon Lelaki itu lantang.
"Lo cukup berani, tapi gue gak tertarik dengan takdir yang berisiko rendah" jawab Helena, sambil melangkah keluar lift, karena pintu lift sudah terbuka di lantai basement yang ia tuju.
"Astagaaaa" teriak Lelaki itu, sambil tertawa dan juga melangkah keluar lift.
Helena menyetir mobilnya sampai menuju parkiran kantor dan keluar dari mobil lalu terdengar suara panggilan dari handphone nya. "Ya haloo" jawab Helena begitu mengangkat panggilan tersebut, sambil tersenyum.
Di tempat lain, ada Raisa yang sedang panik, sambil mengancing satu persatu kancing kemejanya di dalam mobil yang sedang ia parkir kan, di dekat sebuah cafe sambil merapih kan rambutnya dengan becermin, di spion tengah mobil.
"Dasar bodoh" umpatnya sendiri dalam kepanikan.
Lalu ia pun bergegas memasuki cafe tersebut, dengan sedikit tergesa-gesa, menghampiri meja yang sudah berisikan 5 orang ibu-ibu, orang tua dari teman anaknya di sekolah yang sedang membahas sesuatu.
"Maafkan aku terlambat" katanya seraya duduk di bangku kosong yang tersisa satu. Yang artinya di mana hanya dia yang telat, menghadiri pertemuan para orangtua siswa yang biasa di adakan beberapa kali dalam sebulan, guna membahas hasil belajar dan perilaku anak mereka masing-masing.
"Topik berikutnya, mari kita putuskan untuk selanjutnya, anak-anak siapa yang menghandle di bulan ini berikutnya, siapa yang belum melakukannya?" ucap ibu A seraya bertanya kepada ibu-ibu yang lain.
Semua mata tertuju kepada Raisa yang saat itu terlihat sedikit kebingungan.
"Aku?" tanya Raisa sungkan "Maaf, ku rasa aku ngga bisa meluangkan waktu bulan ini" lanjut Raisa.
"Hmm, kamu ibu yang bekerja ya" jawab ibu A dengan ekspresi wajah yang meremehkan. "Kalau begitu, apa ibu J bisa melakukannya?" lanjut ibu A bertanya kepada ibu J, yang duduk di sebrangnya, tepat di sebelah ibu X.
"Oke bisa lah" jawab itu J menyanggupi.
Drrt drtt drrrtt. Di tengah obrolan, terdengar suara getaran dari ponsel Raisa, ia hanya meliriknya sekilas, karena merasa sungkan ingin mengangkat panggilan tersebut ditengah-tengah para ibu yang sedang mendiskusikan sesuatu hal. "Kita juga harus membicarakan para staf pembantu, yang akan membantu anak-anak keluar sekolah" terdengar ibu A masih tetap melanjutkan obrolan.
Karena handphonenya tidak berhenti bergetar, Raisa pun izin sebentar untuk mengangkat panggilan telfon tersebut, dan menjauh dari meja perkumpulan ibu-ibu. Beberapa ibu melirik ke Raisa, yang sedang berjalan menjauhi meja, sebelum Raisa mengangkat telfon "Bagaimana caranya--" masih terdengar suara ibu N menanggapi ucapan ibu A tadi.
"Ada apa?" tanya raisa langsung ketika mengangkat panggilan.
"Mereka bertengkar, dan ngga mau berhenti menangis" sahut suara dari panggilan telfon dan itu suami Raisa, Lucky.
Di ujung telfon, terdengar suara anak-anaknya yang sedang menangis.
"Berikan telfonnya ke Yoga" pinta Raisa, meminta Lucky agar memberikan ponselnya, kepada anak pertama mereka yang masih berusia 5 tahun.
"Oh oke sebentar" cepat Lucky menjawab, dan langsung memberikan ponselnya ke Yoga "Yoga ini ibu, terimalah telfon ibu" beri Lucky ke Yoga, yang menerima ponsel itu sambil tetap menangis.
"Ibuuuu" kata Yoga, memanggil ibunya di telfon sambil menangis.
"Yoga jangan menangis" sahut Raisa dari telefon untuk menenangkan tangis Yoga, tetapi Yoga semakin menangis dengan raungan keras, dan ngga lepas juga tangisan Sony disamping Yoga. Raisa pun sedikit risau, dan berfikir sebentar, bagaimana cara mendiamkan anak-anaknya yang sedang ditinggalkan dengan ayahnya di rumah itu.
"Kalau kalian tidak berhenti menangis, ibu akan meminta ayah untuk membuatkan telur omelete" kata Raisa, Yoga yang mendengarnya pun seketika berhenti menangis "Katakan itu dengan Sony juga" lanjut Raisa ke Yoga.
Yoga pun menghampiri Sony lalu membisikkan sesuatu "Kata ibu, kalau kita tidak berhenti menangis, ibu akan meminta ayah membuatkan kita telur omelete" seketika Sony juga ikutan berhenti menangis. Lucky yang melihat kedua anaknya, yang dari tadi tidak bisa berhenti menangis, walaupun sudah ia tenangkan, lantas berhenti menangis ketika mendengar suara ibunya melalui telepon, penasaran, dengan apa yang di bilang istrinya itu kepada anak-anaknya.
"Sini handphonenya kasih ke ayah" katanya kepada Yoga yang masih memegang ponselnya dan menjulurkan tangannya untuk mengambil ponsel itu. "Kamu bilang apa Bu sampai mereka langsung diam?" tanyanya langsung ke istrinya yang masih ada disambungan telepon.
"Apa ngga bisa kamu tangani ini Yah?" sedikit kesal, Raisa menanyakan itu ke Lucky.
"Kapan kamu pulang bu? aku mulai takut sama mereka" rengek Lucky ke Raisa.
Raisa menghembuskan nafasnya disebrang telepon.
"Kenapa pertemuan orangtua lama sekali selesainya?" tanya Lucky lagi.
"Aku pulang sekarang ini, oke tunggu ya" jawab Raisa kesal sambil menutup panggilan telfonnya. Lucky yang berada dirumahpun sedikit lega mendengar kalau istrinya akan segera pulang. "Setelah kalian berhenti menangis, ayah akan membuatkan telur omelete untuk kalian" katanya dengan penuh semangat kepada anak-anaknya.
Yoga dan Sony hanya memandang ayahnya, dengan tampang pasrah, tetapi kemudian menangis kembali dengan kencang. Lucky pun heran dan pasrah lalu menepuk jidatnya sendiri dengan telapak tangannya.
Raisa yang masih berdiri ditempat ia mengangkat telfon sebelumnya, memikirkan cara agar bisa pamit dari pertemuan orangtua itu. Drrt drrt drrtt. Ponselnya pun bergetar kembali, dan Raisa langsung mengangkatnya.
"Ada apa lagi?" jawabnya cepat, tetapi, setelah mendengar jawaban dari sebrang telfon, ia pun melihat layar handphonenya, yang ternyata bukan suaminya yang menelfon, tetapi atasanya di kantor.
"Maaf pak, saya kira suami saya" jawabnya cepat sambil merasa tidak enak, karena sudah mengangkat panggilan telfon dari atasannya dengan ketus. Raisa pun terdengar kaget, ketika mendengar jawaban dari atasannya disebrang telfon sana, dan bergegas pamit pergi, dari perkumpulan ibu-ibu untuk menuju ke kantor, dimana tempat Raisa bekerja.
POV Lala.
Drrt drttt drtttt. Aku yang sedang berencana untuk pulang dari kantor,mendapat kan sebuah panggilan.
"Iya Haloo?" jawabku cepat. "Ha? Apa?" jawabku kembali, ketika mendengar kabar dari panggilan telfon yang, lantas, aku langsung berlari masuk kembali ke dalam kantor. Gegas aku menaiki lift untuk sampai ke lantai ke-7. Dimana ruangan Tim Manajemen Staff berada.
POV Author.
"Bagaimana situasinya?" tanya Dewa yang baru saja memasuki ruangan karyawannya.
Helena langsung menjawabnya sambil menghampiri Dewa dan menunjukkan iPad, yang menampilkan keinginan pelanggan yang mendesak "Ibu Hanih ingin serum dna salmon yang baru saja launching 500pcs di pukul 7 malam ini Pak".
"Ibu Hanih yang itu? Dia--" sahut Stefan. Stefan adalah staff di Tim Manajemen.
"Itu di jadwalkan untuk tiba di Jakarta besok, jadi saya rasa ngga cukup dengan stok yang ada disini" sahut Raisa menimpali.
"Helena dan Raisa periksa ada berapa stok, yang belum terjual sisa launching tadi" ucap Dewa ke Helena dan juga Raisa. "Lala siapkan serum yang manfaatnya mirip dengan serum dna salmon, seandainya stok serum dna salmon saat ini tidak mencukupi" lanjut Dewa ke Lala.
"Baik pak" jawab Lala.
"Seharunya Lala yang harus mengabari bu Hanih" lanjut Dewa ke tim.
"Bukannya saya harus melakukannya karena saya yang ditelepon olehnya Pak?" sahut Helena ke Dewa. Lala langsung menatap ke Helena dan Dewa.
"Aku yang akan menghubunginya, lalu Lala selanjutnya yang menemuinya langsung" sahut Dewa menanggapi pertanyaan Helena. "Seseorang dengan posisi lebih tinggi akan memberi kesan, bahwa kita memperhatikannya" ucap Dewa lagi langsung menatap Lala dengan tegas.
Helena hanya menarik nafas perlahan melihat situasi ini, Raisa dan Stefan hanya diam kebingungan. "Baik pak" sahut Lala merasa canggung dengan sifat Dewa sang suami sekaligus atasannya dikantor.
Iya di kantor PT. Future Bright ini, Dewa alias suami Lala menjawab sebagai Manajer Tim Manajemen, sedangkan Lala sang istri Dewa, menjabat sebagai Wakil Manajer Manajemen. Mereka bekerja di satu perusahaan, satu tim, tetapi berbeda ruangan. Ruangan Lala bergabung dengan 3 teman timnya yang lain, yaitu Raisa, Helena dan juga Stefan. Sedangkan ruangan Dewa masih berada di lantai yang sama dengan para staff Tim Manajemen, hanya dibatasi dengan ruangan kaca tersendiri.
"Stefan, hubungi tim pajak dan periksa dokumen yang diperlukan nantinya" perintah Dewa ke Stefan.
"Tapi ini sudah diluar jam kerja pak, bagaimana saya harus--" tanya Stefan ke Dewa, yang sudah berlalu ingin pergi meninggalkan ruangan kerja staffnya. Dewa pun menatap kesal ke Stefan.
"Aku akan membantunya pak" sahut Lala sambil mengangguk ke Dewa, Dewa hanya menatap Lala dan juga Stefan, lalu berkata kembali ke tim. "Ini customer penting kita, jadi jangan membuat kesalahan" kata Dewa ke tim.
"Baik pak" sahut Raisa, Stefan, Helena dan juga Lala.
Dewa pun memasuki ruangan yang terbuat dari kaca khusus untuk dirinya sendiri.
"Stefan, kita bisa mengubungi tim lain di luar jam kerja, jadi ada kontak darurat di setiap departemen" kata Lala menjelaskan ke Stefan, dan Stefan langsung menghampiri Lala sambil mengambil beberapa lembar kertas, berisi kontak yang bisa Stefan hubungi, untuk membantunya menyelesaikan tugas yang diberikan Dewa tadi.
"Baik bu" jawab Stefan sungkan. "Bu, apa saat ini kita sedang menghandle pesanan bu Hanih istri dari Presir PT Baja?" tanya Stefan, dan Lala hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Stefan.
"Kalau begitu, apa ini-- ahh orang-orang kaya itu memang sangat berbeda". Ucap Stefan kembali.
"Yang di inginkan customer kita, adalah mendapatkan produk yang dia inginkan, tugas kita adalah memenuhi kebutuhan setiap customer" ucap Lala ke Stefan.
"Baik bu" jawab Stefan kembali sungkan atas ucapannya barusan.
Di ruangan direktur.
"Kalau begitu, mari kita kirim pilihan serum ini ke bu Hanih, bisa kamu melakukannya sendiri La?" tanya Dewa ke Lala, saat ini Lala sedang memberikan beberapa pilihan serum yang fungsinya menyerupai serum dna salmon.
"Baik pak" jawab Lala dan ia langsung bergegas ke meja kerjanya kembali.
Dewa keluar dari ruangan. "Apa ada jawaban dari pihak pengiriman ke Jakarta" tanyanya ke tim.
"Belum pak, saat ini saya terus mencari cara agar terhubung dengan mereka" jawab Raisa cepat.
"Lalu tim pajak?" tanya Dewa ke Stefan.
"Itu--" jawab Stefan gugup. "Mereka menanyakan dokumen apa yang saya butuhkan, tapi belum ada yang memberitahuku" ucap Stefan.
Raisa, Lala dan Helena hanya bisa diam sambil sesekali melihat Stefan yang sedang di cecar pertanyaan oleh Dewa. "Kenapa kamu hanya diam menunggu seseorang mengajarimu?" tanya Dewa ke Stefan "Kalau tidak tahu, kamu harus bertanya dan segera bertindak" lanjutnya.
"Maaf pak" ucap Stefan.
"Aku akan memeriksanya" sahut Lala dari meja kerjanya.
Semua menatap Lala.
"Kamu bukan pengasuhnya kan? Kamu akan selalu menjaganya?" tanya Dewa dengan nada sinis ke Lala "Kamu punya pekerjaan sendiri sekarang, biarkan dia melakukan pekerjaannya sendiri" lanjut Dewa ke Lala yang hanya menunduk.
"Maaf pak, akan kujelaskan padanya agar dia bisa bekerja sendiri" jawab Lala ke Dewa.
Dewa pun kembali berlalu pergi memasuki ruangannya kembali. Stefan menganggukkan kepala tanda hormat ke Lala yang dibalas Lala dengan senyuman.
POV Lala
Aku berjalan mengikuti petugas sipir perempuan yang bertugas menjaga lapas dan mengarahkannya ke ruangan besuk yang ingin ku kunjungi.
"Kami berusaha keras agar media ngga menyebarkan berita, kami sudah menyerahkan diagnosis tertulis tentang ibu dan surat dokter untuk jaminannya." Aku mendengar suara seseorang pada saat langkah kakiku semakin dekat dengan ruangan besuk tahanan. Terlihat seorang wanita yang berumur kisaran 40 tahunan yang memakai baju tahanan sedang memegang rokok di tangan kanannya. Dan juga seorang perempuan muda yang berpakaian dengan rapih, duduk di depan tahanan itu. Aku pun menghampiri mereka.
"Saya Lala, wakil direktur tim manajemen PT. Future Bright" ucap Lala memperkenalkan diri.
"Petugas pengadilan mengawasi kontroversi dengan syarat khusus, mungkin tidak mudah membebaskan ibu hari ini, karena polisi menemukan narkoba di lokasi, dan ada banyak saksi" kata pengacara ke tahanan tersebut. Ya, wanita muda itu adalah seorang pengacara dari tahanan yang duduk di depannya itu.
Sang tahanan terdengar marah, "Pengacara Putri" kata tahanan perempuan itu ke pengacara tersebut, yang bernama Putri "Itu sebabnya aku membayar mahal untuk firma hukummu. Kenapa aku membayar sebanyak itu, jika kamu akan mengatakan itu?" tanya si tahanan ke pengacara Putri "Bukankah begitu? Kalau aku masih di sini sampai pukul 7 malam lebih, cari pekerjaan lain ya" lanjutnya lagi.
"Baik bu" jawab pengacara Putri sambil menunduk takut.
Aku yang di lirik oleh si tahanan pun hanya bisa tersenyum, lalu sambil memberi isyarat ke pengacara Putri untuk bergeser dari tempat duduknya saat ini "Pengacara Putri" sapaku ramah sambil tersenyum.
Aku langsung duduk, di ikuti pengacara Putri dan juga 2 asisten pengacara Putri yang sejak tadi ikut mendampinginya menemui tahanan perempuan yang tidak lain adalah ibu Hanih.
"Apa ini?" tanya ibu Hanih kepada ku.
"Ibu bisa memperhatikan satu persatu wajah kami, sebelumnya sudah dioleskan dengan beberapa serum yang berbeda, dengan hasil yang ibu bisa lihat sendiri, hasilnya di kulit wajah ini, karna kami tidak di perbolehkan untuk membawa apapun kesini, jadi saya berinisiatif untuk bekerjasama dengan pengacara Putri, dan ini mirip dengan hasil pemakaian Serum DNA Salmon" ucapku menjelaskan.
"Mirip?" tanya ibu Hanih meremehkan. Aku dan tim pengacara tadi hanya diam saja sambil tetap tersenyum.
"Baiklah tolong pilihkan satu serum yang menurut kalian terbaik agar teman-teman saya dan keluarganya puas menerima hadiah dari saya" lanjut bu Hanih memerintah ku.
"Siap bu kami akan siapkan semua, sebelum ibu keluar dari sini jam 7 malam" jawab ku senang. Aku dan tim pengacara Putri pun melangkah keluar, meninggalkan bu Hanih yang masih berada di tahanan.
"Terimakasih ya Pengacara putri" ucapku ke pengacara Putri sesampainya kami di luar menuju parkiran mobil.
"Mencari nafkah itu menyebalkan, ya gak?" respon pengacara Putri menanggapi ucapan terimakasihku tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!