Sebaik-baik kisah adalah tentang pertemuan. Sebaik-baik cinta adalah takdir pertemuan dua hati yang sama-sama tersesat di perjalanan kisah masa lalu kemudian menjadikan masa depan sebagai tujuan berdua... tertawa-menangis berdua hingga menua, renta, dan meninggalkan kehidupan dunia. Kenyataannya setiap yang pergi pasti akan ada yang datang dan mengisi tempat kosong dengan cara yang lebih baik.
Jodoh dan pernikahan ibarat rumah, siapapun bisa singgah namun hanya sebagai tamu dan tentu akan segera berlalu, yang akan tetap tinggal di dalamnya adalah yang ditakdirkan menjadi pemilik rumah itu sepenuhnya.
Tanpa disadari oleh makhlukNya bahwa skenario Allah sangatlah rapi dan apik. Alur pertemuan dua manusia yang telah lama diperkenalkan pun harus menunggu ketepatan waktu hingga harus menghadirkan beberapa pihak untuk ikut terlibat, tentu akan turut hadir juga rasa kecewa pada drama romansa dari masa lalu keduanya. Pada akhirnya semua harap hanya jalan menuju alamat yang sebenarnya dituju, tidak ada kekuatan apapun yang dapat membelokkan apalagi membuat rancu dan keliru. Itulah skenario Allah tentang takdir cinta dua manusia.
Jika bukan karena rencana perjodohan dari Allah, layakkah ini disebut kebetulan sedangkan hati telah memilih bersama yang lain dengan perasaan saling cinta yang cukup kuat?
Itulah satu hal yang sedikit disayangkan, jalan cerita kita memang harus memasukkan terlebih dahulu nama lain di hati masing-masing sedangkan kita berdualah yang sesungguhnya penghuni mutlak singgasana asmara.
Sebenarnya aku berharap kaulah lelaki pertama dan satu-satunya yang memilikiku, mungkin juga di harapanmu pun serupa dengan itu. Namun harusnya cukup lega rongga hatimu karena aku hanya pernah mencoba menjaga jodoh orang lain bukan menyerahkan separuh apalagi sepenuhnya diriku pada orang asing.
Titik tertinggi dari sebuah jalinan asmara adalah pernikahan. Anggap saja seperti itu, meskipun realita seringkali tidak sama persis bahkan tidak dapat terjadi selaras sesuai teori alur hubungan cinta antar manusia. Teori memang terlalu sederhana untuk mendeskripsikan seberapa dalam dan rumit perasaan seseorang. Jika ketinggian gunung dapat diukur dengan satuan Mdpl dan kedalaman lautan dapat diselami sebagian, maka analisa terhadap perasaan makhluk berakal adalah misteri yang masih terjaga sangat rapi tentang kerahasiaannya. Sejak pernikahan Adam-Hawa, jalinan kasih segitiga Hajar-Ibrahim-Sarah, bahkan kerumitan perasaan Julaikha terhadap Yusuf, cinta di dunia manusia adalah problematika kompleks yang memanifestasikan persaingan antara kekuatan akal logis, keimanan, dan hasrat dengan cara unik namun tak terdeteksi.
Bagaimana dengan jodoh?
Jodoh adalah takdir. Segala sesuatu yang disebut takdir adalah mutlak, tidak dapat dihindari, tidak akan merubah hasil akhir. Kemutlakan takdir seperti bilangan nol pada proses perkalian dan pembagian dalam ilmu Matematika, semua bilangan tetap akan sama dengan nol jika dikalikan atau dibagi dengan angka nol. Sejauh apapun kita berlari menghindar, seberapa kuat kita berupaya melepaskan diri, pada akhirnya tetap akan kembali pada takdir yang telah ditetapkan jauh hari sebelum kita dilahirkan dari rahim ibunda. Seperti halnya nafas dan ruh, kehidupan dan kematian, jodoh adalah bagian dari kegaiban semesta dan pembentukannya.
Berbicara perihal jodoh, sebenarnya aku telah dipertemukan dengan lelaki itu jauh hari sebelum hadir perasaan cinta terhadap siapapun. Namun seperti yang sudah kutuliskan sebelumnya, takdir selalu membutuhkan waktu yang tepat untuk merealisasikan diri pada garis kenyataan. Hingga suatu ketika, aku bertemu kembali dengannya, dengan lelaki yang sama, setelah puluhan kali musim berganti dan beberapa kali hati berusaha memilih. Pada lelaki itu aku memantapkan langkah selanjutnya... memilihnya untuk menjadi pilihan terakhir, terbaik, dan satu-satunya... menjadi pasangan hidupku yang disahkan secara agama dan majelis pernikahan sesuai peraturan kenegaraan.
Kembali lagi kepada perihal waktu yang tepat untuk memutuskan bahwa kita sudah berada di titik puncak sebuah hubungan, dari sudut pandangku justru lebih baik gagal di masa pra-pengesahan daripada gagal setelah pernikahan. Karena salah memilih kekasih tidak semenyakitkan ketika salah memilih pasangan hidup. Putus hubungan ketika masih status berpacaran juga tidak akan seramai topik sidang perceraian. Masyarakat akan sepemikiran tentang itu, meski tuntutan untuk menyegerakan akad nikah adalah isu utama yang selalu tertuju pada single virgin sepertiku.
Menunda menikah di usia muda adalah pilihanku. Biar saja orang lain berkata apa, yang pasti prinsip cinta bagiku bukan seperti permainan lego... saat telah berhasil menyusun kubik dengan susah payah kemudian dibuat berantakan untuk ditat kembali, lagi dan lagi.
Lebih baik gagal sebelum serius, daripada terlalu cepat menyatakan keseriusan tapi kemudian gagal karena masing-masing belum siap menjadi dewasa sebagai sepasang suami-istri.
Masih mending jika belum ada anak. Jika sudah memiliki anak, beban psikologis anak akan sangat mempengaruhi kehidupannya di masa depan. Karena jika orang tuanya menikah lagi, anak akan mendapatkan ayah maupun ibu tiri dari sisi yang sama... jika hak asuh dipegang ibunya maka ia akan hidup bersama ayah tiri, jika hak asuh dipegang ayahnya maka ia hidup bersama ibu tiri.
Jalan terbaik dari persoalan psikologis anak broken home akibat dari orangtua yang bercerai adalah rujuk, kembalilah pada pasangan sebelumnya dan perbaiki apa yang membuat perceraian itu ada. Karena bagi seorang anak kebahagiaan dalam hidupnya adalah ketika ia dibesarkan oleh kedua orangtua yang utuh dan penuh kasih.
Lain halnya kasus ketika salah satu dari pasangan meninggal dunia lebih dulu sedangkan usia anak masih kecil, apalah daya jika takdir kematian telah datang.
Menikah lagi dengan seseorang yang lain tentu harus memikirkan nasib anak, apakah seseorang tersebut bisa menjadi pengganti orangtuanya yang tiada atau malah sebaliknya. Karena hal itu sangat penting, bukan untuk persoalan jangka pendek namun jangka panjang bahkan bisa jadi seumur hidup anak.
Pernikahan yang pada awalnya hanya melibatkan dua manusia bisa saja menjadi awal petaka bagi manusia lainnya yang dilahirkan dari pernikahan itu. Maka menentukan pilihan dengan kedewasaan sangat diperlukan, ingatlah perjalanan pernikahan tidak cukup hanya bermodal cinta apalagi karena alasan harta dan dipaksa orangtua. Lebih baik gagal dan batalkan pilihan itu, pilihlah pasangan yang bisa mengimbangi diri kita bukan yang hanya manis sebelum jadi... namun setelah menjadi pasangan sepah dibuang dan timbul penyesalan.
Pada dasarnya kedewasaan dan kematangan seseorang akan menuntun secara alamiah pada keinginannya untuk menikah, sebelum itu kesiapan untuk menikah bisa jadi timbul hanya karena puppy love efect atau olok-olok dari orang di sekitarnya.
Beberapa istilah setempat sering diterima oleh telingaku, yang menyatakan "bujang lapuk" dan "perawan tua" bagi remaja yang dinilai terlambat menikah. Padahal jika dilihat dari segi biologis, manusia justru mengalami setidaknya dua kali masa pubertas selama hidupnya.
Lantas kapan masa perawan tua dan bujang lapuk pada manusia?
Aku belum pernah mendapatkan jawaban mengenai patokan usia yang tepat untuk menikah, faktanya bahkan semua hasil survei yang dilakukan oleh para pakar pernikahan pun hanya berupa perkiraan dari sample responden yang kondisi dan pemikirannya dapat berubah kapanpun.
Masa menstruasi pertama bagi perempuan dan mimpi basah bagi lelaki adalah titik awal masa puber, sedangkan masa puber selanjutnya bergantung pada individu masing-masing, bergantung pada perkembangan fisik dan mental pribadi yang bersangkutan. Tentu saja setiap manusia memiliki perbedaan. Sehingga untuk keinginan dan siap menikah pun tentu berbeda pada setiap orang.
Selain daripada itu ada faktor lain yang ikut andil dalam persoalan ini yaitu takdir. Karena secara keimanan, jodoh adalah kehendak Sang Pencipta. Kapan dan dengan siapa kita akan menikah tidak dapat diprediksi oleh manusia. Namun hal penting dalam menentukan kesiapan pernikahan tetaplah dari diri sendiri, sudah siapkah diri kita untuk menikah?
Setelah itu biarlah takdirNya yang menuntun jawaban bersama siapa pernikahan akan dilangsungkan. Itu saja.
Lelaki itu adalah sosok unik yang secara tidak langsung menarik diriku masuk pada pusaran perasaan tanpa batas untuk mengharapkannya, lagi dan lagi. Kuatnya gelombang perasaan membuat logika yang sudah kuupayakan dengan begitu kuat terjaga menjadi luluh tanpa sempat kusadar.
Bolehkah kusematkan titel "perompak" padanya?
Dia telah membuatku jatuh cinta di sepanjang waktu dengan tanpa pamrih.
Bolehkah kuanugerahkan lencana "panglima" padanya?
Namanya Yusuf Ainoor Azis. Dialah lelaki pemilik senyuman terindah dengan daya pikat yang dahsyat. Lelaki itu tak sengaja kutemui di pertigaan jalan buntu, kemudian menjadi satu-satunya lelaki yang pertama kali kulihat di setiap mengawali hari.
Seharusnya musim hujan telah usai di bulan Februari kemarin, kenyataannya Maret ini masih menyisakan mendung dan rintik kecil. Bahkan sesekali terdengar gelegar petir kemudian disusul guyuran hujan yang tiba-tiba tumpah bersamaan dengan datangnya mendung kelabu. Cuaca seperti itu jelas sedikit menjengkelkan.
Ibuku sering kali mengutarakan kecemasannya menjelang hari Jum'at, karena di hari tersebut aku mengikuti kegiatan ekstra setelah selesai kegiatan belajar di sekolah sehingga pulang lebih sore bahkan pernah beberapa kali hingga malam. Entah mengapa mendung di hari Jum'at selepas dzuhur memang cenderung lebih gelap dari hari-hari lainnya. Biasanya tipe mendung seperti itu akan membawa petir dan hujan deras disertai angin kencang.
Hari ini adalah Kamis, cuaca cerah dengan sinar mentari yang hangat. Seperti biasa, dengan semangat belajar yang kuat, aku menjalani rutinitas di semester awal tahun ajaran baru sebagai siswa SMA. Cita-citaku kelak ingin menjadi seorang wanita karir yang sukses dengan latar belakang pendidikan alumni UGM Yogyakarta, tentu saja harapan itu memang selaras dengan kemampuan akademik yang kumiliki selama ini. Meskipun aku menyadari kondisi ekonomi orang tuaku sedang tidak baik namun sebagai manusia yang berakal aku pun yakin akan alternatif lain untuk mencapai cita-cita itu. Fokusnya tentu saja berupa ikhtiar dan berdoa, itu juga yang kujalani sekarang. Namaku Kandita Pramesti, gadis semata wayang dari seorang pengusaha perkebunan mangga yang kini sudah terkena stroke dan sakit-sakitan.
"Dit, selesai jam terakhir disuruh kumpul di ruangan OSIS." Kata Suhana, teman sekelas yang juga ikut organisasi Pramuka bersamaku.
"Disuruh kumpul sama siapa, Na?"
"Biasa, kakel yang galak itu kalau pas latihan."
"Ooohhh...."
"Kamu tahu kan siapa yang kumaksud?"
"Kak Bayu?"
"Nah langsung ketebak. Hehehehe...."
"Kapan dia ngomongnya?"
"Barusan waktu aku ke kantin. Katanya suruh kumpul, ada yang mau diinformasikan kepada beberapa calon bantara dari perwakilan kelas buat acara Jambore."
"Lah kan Agustus atuh Jambore mah, masih jauh ini."
"Meneketehe...."
"Salah, Dit. Bukan Jambore. Itu loh kegiatan camping buat serah terima jabatan organisasi inti bantara dari kakak kelas tiga ke kakak kelas dua. Kan mereka sebentar lagi juga harus fokus buat UNAS. Ish kamu mah suka salfok aja kalau dapat info tuh, Na." Kata Wahyu yang dari tadi nguping pembicaraan kami.
"Nah kan. Dih kamu mah suka salah fokus, Na."
"Hehehehe.... Ya maaf, soalnya buru-buru sih dengernya."
"Dit, nanti aku gimana? Nungguin kamu pulang atau aku pulang duluan aja??" Tanya Rania bingung. Rania adalah teman sebangku denganku, dia gadis tomboi yang selalu ceria. Rumah kami memang searah jadi setiap berangkat dan pulang sekolah selalu bersama sejak SMP dulu. Kami menjalin pertemanan sejak kecil. Orang tua kami juga sangat akrab meskipun tidak memiliki hubungan darah namun kami serasa sudah menjadi saudara dalam sebuah keluarga.
"Ya udah kamu pulang duluan saja, Ran. Takutnya sampe sore, kasihan nanti jalan kaki lagi kek minggu kemarin. Angkot kan cuma ada sampe jam limaan soalnya." Jawabku menanggapi kekhawatiran Rania. Hari ini dia tidak membawa motor ke sekolah karena ban bocor.
"Terus kamu nanti gimana pulangnya? Atau aku ke rumahmu buat minta mang Erman nanti jemput kamu?"
"Jangan, Ran. Ayahku sedang sakit. Aku minta tolong ke kamu buat beliin obat ayahku saja yang di apotek biasa, nanti jam terakhir aku kasih resepnya ke kamu."
"Oh ya udah kalau gitu. Tapi yakin kamu tidak perlu jemputan? Kalau hujan gimana?"
"Gampang, aku biasa ngompreng truck pasir. Hehehehe...."
"Ya udah tapi hati-hati loh. Aku tidak tenang kalau kamu pulang kesorean. Ibumu selalu cerita ke aku, mencemaskan kamu kalau pulang telat."
"Iya aku paham, Ran. Terima kasih ya udah jadi sahabat terbaik buat aku."
"Udah kalem aja, Ran. Kalau Dita butuh boncengan, motorku siap kok jadi ojek dadakan." Timpal Suhana.
"Lah, terus aku gimana, Na??" Tanya Wahyu cemas.
"Ya pulang sendiri saja, angkot banyak itu loh."
"Ah gara-gara kamu, Dit. Jadi sengsara kan aku pulangnya."
"Hahahahahaha...."
Obrolan kami berhenti saat guru mata pelajaran di jam terakhir memasuki kelas dan memulai pembelajaran. Kamis ini semoga cuaca tetap cerah setidaknya hingga aku pulang ke rumah. Aku tidak mau menambah beban pikiran ibu yang selalu dibuat khawatir karena anak gadisnya belum pulang dari sekolah. Kondisi kesehatan ibu tidak jauh berbeda dengan ayah, hanya saja ibu tidak pernah memperlihatkan keluhan rasa sakitnya meskipun dokter telah lama mewanti-wanti efek terburuk dari hipertensi yang diderita ibu sejak melahirkanku dulu. Ayahku terkena stroke ringan tiga tahun yang lalu saat sedang membantu karyawan memanen mangga di daerah Sumedang, sehingga ayah mengalami keterbatasan kemampuan gerak pada beberapa bagian fisiknya.
Aku hidup dengan segala fasilitas mewah dan semua keinginanku terpenuhi sebelumnya, maklum aku adalah anak tunggal satu-satunya. Orang tuaku termasuk orang kaya yang disegani oleh masyarakat di desa tempat tinggalku. Hampir setiap hari rumah orang tuaku ramai kedatangan tamu, baik itu rekan bisnis maupun kerabat dan tetangga yang datang cuma-cuma untuk sekedar mengobrol sambil ngopi bersama orang tuaku.
Keadaan berbalik arah 180 derajat setelah ayahku terkena stroke dan ibu sering kambuh sakit di kepala, perlahan aset dan kekayaan orang tuaku dijual satu per satu untuk biaya pengobatan. Kerabat dan tetangga yang biasa datang berkunjung ke rumah pun satu per satu mulai menjauh seperti enggan menginjakkan kakinya di rumah orang tuaku.
Terakhir, sebulan lalu motor yang merupakan satu-satunya aset kendaraan di rumah dijual juga oleh ayah untuk biaya kontrol, biaya operasional perkebunan, dan pembiayaan sekolahku. Beruntung aku masih memiliki Rania, sahabat kecilku yang baik dan tidak pernah berubah sikapnya seperti orang-orang itu. Sikap orang tua Rania dan adik laki-lakinya pun sama baik, merekalah yang sering kumintai pertolongan saat penyakit ayah dan ibuku tiba-tiba kambuh. Kebetulan rumah kami hanya dipisahkan oleh saluran irigasi pesawahan dan terhalang beberapa rumah saja jadi jaraknya cukup dekat, dari rumahku hanya butuh waktu tidak sampai tiga menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah Rania.
Saat aku masih memiliki motor, kami berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor masing-masing, kini sudah hampir sebulan aku menebeng tumpangan kendaraan pada Rania. Dia akan datang ke rumahku lebih pagi untuk berangkat sekolah bersama, pulang sekolah pun sama seperti itu. Alur kehidupan memang persis seperti roda yang selalu berputar. Ada saatnya kita berada di atas dengan segala kelimpahan anugerah, ada juga saatnya kita berada di bawah dengan segala kesulitan dan duka.
***
Jarum jam dinding di ruangam OSIS menunjukkan angka 3, kumandang suara adzan ashar baru saja selesai. Aku masih duduk di kursi kayu bersama 9 siswa kelas X yang lain untuk mendengarkan pengarahan dari kakak bantara dari kelas XI dan XII. Briefing sudah berjalan sejak satu jam yang lalu namun belum ada tanda-tanda adanya kalimat penutupan. Sebagai junior yang masih berstatus calon bantara, posisiku cenderung kikuk dan sungkan.
"Baiklah adik-adik bantara calon kandidat pengurus inti dari kelas sebelas dan beberapa perwakilan calon anggota bantara dari kelas sepuluh, pertemuan kita hari ini kita tutup sampai di sini saja. Jangan lupa besok adalah hari Jum'at, jangan terlambat datang ke kegiatan rutin mingguan untuk eskul Pramuka. Minggu ini merupakan minggu terakhir bagi kepengurusan kami karena masa tugas kakak bantara dari kelas dua belas akan segera selesai untuk nanti dialihkan menjadi tanggung jawab kakak bantara dari kelas sebelas." Terang salah satu kakak bantara yang membuat wajah lelahku kembali ceria. Dia bernama Yusuf, kakak bantara dari kelas XII yang memiliki wajah paling tampan di antara yang lain namun memiliki pribadi yang tertutup. Banyak di antara teman seangkatan denganku yang begitu mengagumi hingga menyukai kak Yusuf, pesonanya menjadi daya tarik yang kuat khususnya bagi adik kelas perempuan sehinga sangat berantusias mengikuti kegiatan ekstrakulikuer pramuka. Beberapa siswi baik dari kelas X maupun XI seringkali berusaha untuk melakukan pendekatan namun semua upaya itu hanya menjadi sebatas harapan kosong karena kakak kelas yang satu ini sulit untuk disapa apalagi diajak mengobrol. Dia sangat dingin dan tak acuh. Dua temanku yaitu Rania dan Lidia menjadi bagian dari secret admirer kak Yusuf, mereka begitu menyukai sosok kakak kelas yang satu ini.
"Masih ada yang mau ditanyakan?" Tanyanya kemudian.
"Tidak ada, kak. Terima kasih." Jawab kami serentak.
"Baik, kalau begitu kita akhiri saja dengan ucapan hamdalah. Alhamdulillah...."
"Alhamdulillah...."
"Demikian, salam pramuka! Wassalamu'alaikum...."
"Salam pramuka! Waalaikum salam...."
Bersamaan dengan langkah kaki kami berjalan menuju gerbang sekolah, rintik hujan turun bersamaan dengan cahaya kilatan petir yang menyilaukan mata. Sesaat kemudian suara gelegar terdengar memekakan telinga, memacu degup jantung karena berpadunya rasa kaget dan takut. Aku mempercepat langkah bersama dengan teman calon bantara dari kelas X yang lain. Kami berlarian menghindari tetesan rintik hujan yang kian deras menuju mobil angkot yang telah terparkir di jalan utama. Langkahku terhenti, sial. Kulihat kode rute yang tertulis di badan angkot, ternyata memiliki rute trayek berlawanan arah dengan alamat rumahku. Aku segera memutar arah, berlari menuju mushola yang berada di samping kanan luar gerbang masuk sekolah. Sesampainya di teras mushola, hujan turun dengan derasnya. Sesekali kilatan cahaya petir kembali bersusulan dengan gelegarnya. Aku enggan masuk ke dalam mushola karena hari ini adalah hari kedua menstruasiku, khawatir pembalut yang kupakai bocor lalu darah mensku mengotori lantai mushola.
"Ke dalam aja, neng. Hujannya lebat, nanti kebasahan." Kata seseorang membuatku kaget. Suaranya berasal dari arah belakangku.
"Oh iya, kak... terima kasih." Ucapku setelah aku melihat sosok pemilik suara itu. Ternyata kakak bantara dari kelas XII yang barusan memimpin pertemuan, Yusuf. Dugaanku tentangnya selama ini ternyata salah. Meski raut wajahnya menurutku cukup unfriendly dan menyukai gaya berpakaian yang urakan, ternyata dia taat beribadah dan ramah. Sebelum momen saat ini aku sama sekali tidak menyukai sosoknya seperti kebanyakan siswi yang lain, aku mengira ketertarikan teman-temanku terhadapnya adalah hal yang berlebihan bahkan naif. Saat ini aku sedikit memahami alasan mengapa Yusuf menjadi idola yang didamba-dambakan, karena dia memang pantas untuk itu.
"Pulangnya ke mana?" Tanyanya kemudian sesaat setelah kami sama-sama duduk di dalam mushola.
"Ke ujung hilir, kak."
"Waduh jauh sekali. Ada yang jemput?"
"Tidak ada, kak."
"Kakak antarkan pulang nanti. Aku bawa motor, cuma kebetulan lupa bawa jas hujan makanya neduh dulu di sini sekalian shalat Ashar. Hujannya pasti bakal awet, mendung tebal dari arah tenggara masih bergerak menuju ke sini. Mungkin juga ke arah hilir sana sudah tidak ada angkot lagi yang beroperasi."
"Tidak usah, kak. Jangan merepotkan, kita kan beda arah pulangnya."
"Kata siapa?"
"Eh... memangnya kakak pulangnya ke mana??"
"Sama, kita hanya beda RT tapi masih satu desa loh neng."
"Hah? Masa??"
"Iya, kamu Kandita Pramesti kan? Anaknya pak Erman Subraja?"
"Iya, kakak tahu ayahku??"
"Kami pernah bertemu di kebun mangga. Orang tuaku juga punya usaha yang sama dengan orang tuamu."
"Ohhhh...."
"Kamu tidak mengenaliku? Sama sekali??"
"Tidak, kak.... Hehehehe... maaf...."
"Yusuf, namaku."
"Oh iya, aku sudah tahu nama kakak kok."
"Yakin??"
"Barusan di ruangan kan kakak memperkenalkan diri, sama waktu MOS dulu itu...."
"Nama lengkapku??"
"Yusuf.... Lupa, kak...."
"Yusuf Ainoor Azis."
"Oh iiiyyya, Yusuf Ainoor Azis."
"Bagaimana kabar pak Erman?"
"Alhamdulillah sehat, kak."
"Syukurlah, orang tuaku sering menanyakan pak Erman. Kebetulan orang tuaku merantau ke Jakarta sejak dua tahun yang lalu, jarang pulang."
"Akrab dengan ayahku??"
"Siapa?"
"Orang tua kakak."
"Bisa dikatakan begitu. Ayahmu kan pandai bergaul, siapa sih yang tidak bisa akrab dengan pak Erman?"
"Oh iya, benar juga. Hehehehee...."
"Ternyata benar kata dia, anaknya pak Erman jika dilihat lebih teliti lagi memang cantik ya?"
"Eh... maksudnya??"
"Oh tidak ada, hehehehe... tidak ada maksud apa-apa. Neng mau shalat dulu? Takutnya nanti keburu Magrib sampai rumah."
"Aku sedang tidak shalat, kak."
"Oh iya, ya udah. Pantesan barusan tidak mau masuk, takut bocor ya?"
"Hehehe.... Ya begitulah kira-kira."
"Kamu kenal dengan Bayu?"
"Kak Bayu??"
"Iya, Bayu Samudra."
"Kenal di mana?"
"Loh ya kan kita satu sekolah, kak Bayu juga pradana. Tidak mungkin atuh tidak kenal."
"Maksudku kalian pernah kenal secara privat di mana?"
"Privat??"
"Tidak paham ya??"
"Iya."
"Bayu pernah nanya tentang adik kelas yang satu desa denganku yang bernama Kandita. Katanya cantik, dia bilang begitu."
"Kata siapa??"
"Bayu. Dia juga sering nanya banyak hal soal kamu sama aku."
"Kak Bayu??"
"Iya. Katanya ingin tahu tentang kamu, mungkin dia suka sama kamu, hehehehe...."
"Ih, ada-ada saja... Kakak tergalak itu??"
"Eh jangan bilang kek gitu, kedenger orangnya nanti kamu ditandain loh. Pelantikan nanti bisa saja kamu jadi incaran buat digenjer."
"Lah, apa salahku??"
"Bayu kan pradana, apapun bisa dia lakukan. Kamu punya bekingan siapa kalau mau melawan pradana?"
"Oh jadi begitu sistem kepramukaan di sekolah ini, kak??"
"Ya udah jadi rahasia umum atuh, neng."
"Aku pastikan tidak takut dengan siapapun, kak. Sampaikan saja sama kak Bayu, jangan songong dengan jabatan sementara yang tidak seberapa penting itu!"
"Eh junior kemarin sore, jangan sombong ya!!"
"Lah, siapa yang sombong?!"
"Ya kamu. Kamu itu siapa sih di mata Bayu? Ngaca atuh! Udah paling beruntung disukai kakak pradana, posisi kamu aman. Bahkan dia bisa merekomendasikan kamu buat the next pradana puteri."
"Aku tidak tertarik dengan jabatan pradana."
"Jujur ya, aku sebenarnya sejak awal melihat kamu itu udah hoek bawaannya. Cuma tidak enak saja sama teman, sama Bayu."
"Hei, terus siapa yang suruh kakak buat melihatku??"
"Bayu."
"Dih...."
"Bayu yang menyuruhku buat nyari info tentang kamu."
"Ya udah sih, tinggal tolak aja apa susahnya. Aku paling tidak suka dengan orang munafik!"
"Siapa maksudnya yang munafik??"
"Kakak lah!"
"Aku??"
"Siapa lagi?!"
"Sebelah mana munafiknya, neng??"
"Kakak bilang hoek lihat aku tapi kakak masih mau disuruh oleh kak Bayu buat cari tahu tentang aku. Apa namanya jika bukan munafik??"
"Terpaksa, neng. Demi teman!"
"Dih aneh. Aku juga ogah ketemu kakak!"
"Siapa suruh menemuiku?"
"Aku tidak menemui kakak!"
"Lah neng ke sini??"
"Kan hujan, neduh, makanya ke sini, geer!!"
"Kan ada pos satpam sebelum mushola ini, kenapa ke sini?"
"Wei, ini tempat umum ya kak!"
"Buktinya aku udah duluan ada di sini, lalu kamu datang ke sini. Apa namanya kalau bukan menemuiku??"
"Astagfirullah.... Aku ke sini buat neduh, bukan mau menemui kakak. Nih ya aku ulangi biar lebih jelas, b-e-r-t-e-d-u-h, paham?!"
"Alternatif banyak kenapa memilih berteduh di sini denganku??"
"Oke, aku pergi. Amit-amit ketemu manusia modelan kakak, dihhhh...."
"Eh jangan, aku bercanda, hehehehe.... Di luar masih hujan, nanti kehujanan. Kamu serius banget ya orangnya, tipe zodiak Scorpio keknya ya? Hehehehee...."
"Kak, maaf ya sebelumnya. Aku risi loh kak dijadiin secret narasumber."
"Ya udah, nomor hp berapa?"
"Aku tidak punya hp."
"Lah masa, anak pak Erman tidak mungkin tidak punya hp."
"Kak, stop atuh please!"
"Birthday kapan??"
"Hhhhhrrrrrgggg!!"
Aku sudah tidak tahan lagi. Langkah kaki dengan segera membawaku menuju pintu keluar mushola. Kudengar suara tawa kecil penuh kemenangan dari Yusuf. Tidak kusangka, perilaku kakak kelas itu tidak sebaik wajah tampannya. Aku merasa jijik saat mengingat banyak teman sekelasku yang begitu tergila-gila padanya, hingga mereka membentuk fan base Yusuf Ainoor dengan memberi julukan kakak kelas itu sebagai idol tampan yang cool. Diiihhhh....
Hujan memang masih deras. Aku tidak peduli. Kudekap tas biru berisi buku pelajaran agar tidak segera basah terkena air hujan. Kali ini aku berlari menuju pos satpam yang telah kosong. Pak satpam mungkin sudah pulang sejal tadi. Suasana sepi dan kian mencekam. Aku masih tidak peduli dengan segala ketakutanku perihal hantu, setidaknya untuk sementara ini aku bisa terbebas dari wawancara ekslusif yang menyebalkan itu. Beberapa menit aku duduk di kursi pak satpam, tiba-tiba lampu di pos mati. Pemadaman listrik oleh PLN memang hampir selalu dilakukan setiap kali turun hujan berpetir. Pos satpam kini mendadak bersuasana lebih menyeramkan dengan kondisi menjadi gelap gulita.
"Aaaaakkkkhhhh...." Teriakku spontan. Aku memang memiliki fobia terhadap gelap. Seakan ada bayang-bayang tinggi besar yang hadir menemuiku di saat gelap.
"Jangan takut. Diam, jangan berteriak. Ada satpam di dalam ruang guru sana." Suara seseorang terdengar jelas tepat di telingaku. Dua tangan kekar kini memeluk tubuhku dengan erat. Aroma parfum khas pria yang sangat lembut dan hangat menjalar ke dalam rongga hidung. Hembusan nafasnya dingin terasa begitu dekat dengan daun telingaku.
"Aaakkkkkhhhhh.... Setttaaaaaaannnn.... Toloooooooong...." Teriakku semakin keras dengan suara parau dan tubuh yang mulai gemetar.
"Diam, ini aku, Yusuf."
"Aaaaakkkkhhhhh...." Pekikku sambil meronta-ronta untuk melepaskan dekapan kedua lengannya. Kali ini salah satu telapak tangannya membekap mulutku.
"Neng, diam. Jangan berteriak, kalau kedengaran oleh pak satpam dari ruang guru di sana nanti dikira kamu lagi diapa-apain loh. Kamu takut gelap kan??"
"Tolong jangan apa-apain aku, kkkaakkkk.... Maafin aku soal yang tadi ya...." Pintaku saat dia melepaskan bekapan di mulutku. Suaraku terdengar lirih mendekati tangis. Perasaan takut terhadap gelap kini terkalahkan oleh perasaab takut terhadap kehadiran manusia, tepatnya terhadap Yusuf.
"Iya, tapi jangan berteriak. Diam, oke?"
"Okkeee...."
"Sini pegang tanganku saja kalau kamu takut gelap." Katanya dengan nada lebih ramah. Aku menuruti perintahnya. Peganganku sebenarnya terlalu kuat mungkin dapat dikatakan sebuah genggaman erat.
"Aku lari ke sini karena mendengar teriakan kamu barusan, takutnya kamu kenapa-napa."
"Aku takut gelap, kak...."
"Oke aku paham."
Hampir sekitar 30 menit hujan mulai reda, lampu pun kembali menyala. Sinar benderang menyilaukan mataku yang telah beradaptasi dengan pekatnya gelap di pos satpam.
"Kalian berdua sedang ngapain di pos??" Tanya pak satpam yang baru akan memulai shift kerjanya di malam hari. Di sampingnya ada pak satpam yang berjaga dari pagi hingga siang tadi, yang kini sudah mengenakan jas hujan berwarna orange dan siap untuk pulang. Kami berdua kaget dengan wajah polos dan seragam yang basah oleh air hujan. Kedua satpam itu menatap kami dengan seksama, mungkin kini mulai banyak sekali pertanyaan yang bermunculan di kepala mereka.
"Maaf pak, kami numpang berteduh di sini." Jawab Yusuf dengan nada malu.
"Berteduh di sini tapi kok basah kuyup semua pakaian kalian berdua ini? Jangan bohong!"
"Iya pak, beneran." Kali ini aku dan Yusuf menjawab secara kompak, hampir bersamaan.
"Kamu, siapa namanya??"
"Loh kami tidak macam-macam pak, untuk apa dicatat??" Sergap Yusuf menyanggah.
"Untuk jaga-jaga, kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi sama kalian berdua kan sudah ada datanya. Lah itu buktinya pegangan tangan segala."
"Eh.... Ini salah paham, pak...." Yusuf segera menepis genggaman tanganku.
"Iya pak, kami cuma kebetulan berteduh tidak lebih." Tegasku menambahkan pembenaran ucapan Yusuf.
"Siapa nama kalian?!"
"Yusuf Ainoor...."
"Kandita...."
"Dari kelas berapa??"
"Dua belas IPA."
"Sepuluh...."
"Sepuluh apa??"
"A."
"Oke. Hujan sudah reda, segera pulang. Jangan pindah ke tempat lain buat lanjut pacaran!"
"Lah pak, kami bukan pacaran...."
"Dihhh amit-amit pakkkk...."
"Iya udah cepat pulang, sebentar lagi adzan magrib. Takutnya hujan kembali turun, tuh mendungnya masih tebal."
"Iya pak, terima kasih...."
Aku berjalan mengikuti Yusuf menuju parkiran. Langkah kaki kami mendapat sorotan khusus dari keempat mata satpam itu, mengerikan. Lebih mengerikan daripada petir dan gelap barusan.
"Neng, besok mungkin akan ada panggilan dari ruang BK. Kamu siap-siap ya."
"Hah, seriusan??"
"Nama kita berdua sudah dicatat oleh pak satpam, tidak mungkin lolos."
"Lalu bagaimana nanti??"
"Bilang saja kamu itu saudaraku. Pastikan guru BK percaya kalau orang tuamu memiliki hubungan kekerabatan dengan orang tuaku, sepupuan. Gitu saja."
"Tapi kan kita bukan...."
"Duh neng, nurut deh!!"
"Bohong kak...."
"Kamu mau distrap? Mau diceramahin A to the Z oleh guru BK soal larangan pacaran di sekolah kita ini??"
"Tapi kan kita tidak pacaran, kak...."
"Ya memang itu faktanya, tapi satpam tadi kan mana ngerti. Buktinya kita kegep lagi pegangan tangan. Dia ada saksi mata tuh rekannya, pasti kuat judgemennya."
"Sial banget sih kak ketemu kakak tuh?!!"
"Emangnya kamu aja yang sial??"
"Tadi tuh kakak jangan ikutan ke pos harusnya!"
"Ya kamu harusnya jangan berteriak, lebai banget pake takut gelap segala. Sikap kamu tuh too much!"
"Ya kakak sih...."
"Kamu mau lebih aman?"
"Aman bagaimana??"
"Lolos dari BK dan aman dari kejaran Bayu."
"Aku tidak merasa terancam, kak."
"Bayu itu suka nekat, kamu mau dikejar oleh laki-laki yang over obses untuk memiliki kamu?"
"Hahhh??"
"Aku tahu kamu gadis baik-baik. Makanya saat Bayu meminta bantuan ke banyak bantara untuk mencari tahu soal kamu, aku yang maju paling depan untuk pura-pura bantuin dia. Aku khawatir kamu kena sama dia."
"Maksud kakak??"
"Duh, cerdas sedikit deh neng. Tolongin dong otakmu itu!"
"Ya aku tidak paham."
"Sejak awal penerimaan siswa baru di sekolah ini, MOS, Bayu udah ngincar kamu. Dia ngebet dapetin kamu. Salahmu sendiri over act, pakai acara show talent dengan gaya pidato yang memukau. Udah tahu wajahmu kan juga cantik, neng. Wajar kalau kamu mudah narik buaya-buaya profesional seperti Bayu untuk menjadi liar."
"Diiihhhh...."
"Parahnya, Bayu itu playboy. Kalau kamu luluh sama dia kamu bisa rusak."
"Rrruusssaaak??"
"Tubuhmu yang rusak, neng."
"Dddiiiiihhhhh...."
"Paham sekarang??"
"Iiiyyyaaa...."
"Mau lebih aman??"
"Mau."
"Jadi pacarku."
"Hhhaaaaahhh???"
"Udah jangan kaget. Cuma pura-pura. Sama seperti strategi buat ngadepin BK, kita pura-pura saudaraan. Nanti sama Bayu kita pura-pura pacaran."
"Diiihhhhh ogah!!"
"Ya terserah. Itu pilihanmu, aku cuma nawarin jasa loh buat bantu kamu."
"Ogah!!"
"Ya udah resikonya jangan salahkan aku ya kalau nanti Bayu nargetin kamu pas di camp."
"Nargetin??"
"Pikirin lagi penawaranku barusan, buat amanin posisi kamu sampai Bayu menyerahkan posisi pradana ke kelas sebelas. Setelah itu kamu aman. Ya setidaknya sedikit aman, karena Bayu masih sekolah di sini kan? Hehehehe...."
"Maksudnya nargetin aku gimana, kak?"
"Bayu udah dapat banyak info soal kamu loh, neng. Birthday kamu kapan, warna favorit kamu, buku bacaan kesukaan kamu, bahkan hingga kisah masa SMP kamu juga dia udah tahu. Dia obses banget sama kamu."
"Hhhaahh??"
"Aku cuma khawatir obsesnya dia itu akan menjadi nekat buat apa-apain kamu pas camp nanti. Kamu kan tipe pembrontak yang frontal, bisa jadi itu akan membuat Bayu jengkel. Kamu juga harus tahu, dia punya genk yang kuat. Selain jadi pradana di sekolah ini, dia juga punya banyak koneksi dengan banyak preman kampus di luar sekolah. Kalau bekingan kamu sekedar teman sekelas ya jelas bakal kalah."
"Ini seriusan, kak??"
"Iya. Selain sifat ganjennya, Bayu itu orang yang kuat pendirian, cenderung nekat."
"Aku mengundurkan diri saja dari eskul pramuka kak kalau begitu...."
"Sama saja posisimu sudah jadi target, neng. Kamu hanya butuh laki-laki dengan skill sebanding atau bagusnya sih yang lebih kuat dari Bayu, ya sepertiku. Ini untuk melindungimu dari obsesnya Bayu."
"Ogah, kakak juga omes!"
"Hahahahaha.... Yang tadi itu hanya bercanda, neng. Itu ngetes kamu saja. Orang tuamu dulu sangat baik pada orang tuaku. Dulu bapak seringkali meminta pinjaman modal usaha dari ayahmu sebelum bisa sukses seperti sekarang. Aku tidak tega jika anak pak Erman mendapatkan bahaya dari laki-laki seperti Bayu. Itu saja."
"Terima kasih atas kepeduliannya...."
"Bagaimana, mau??"
"Ogah, thanks!"
"Ya udah terserah kamu, aku udah kasih tahu loh. Ayok cepetan naik boncengan, kita pulang."
"Susah naiknya kak, aku pakai rok span."
"Duh neng.... Otakmu itu loh, gobloknya too much juga ternyata!"
"Niat bantu tidak sih, kak?!!"
"Okeee...."
Yusuf turun lagi dari bagian kemudinya dan mengangkat tubuhku ke tempat boncengan yang berukuran mungil. Motor Honda CBR jelas membuatku yang bertinggi badan hanya 150 cm menjadi susah untuk menaikinya.
"Kalau mau aman pegangan yang erat ke pinggangku. Kali ini beneran harus nurut."
"Dih ogah!!"
"Mau jatuh di tengah jalan?!!'
"Ya tidak mau atuh kak!"
"Ya makanya pegangan, neeeeeng!"
"Jangan cari kesempatan deh, kak!"
"Terserah!!"
Yusuf memulai laju motor dengan satu hentakan gas yang sangat spontan, membuat tubuhku secara otomatis terdorong ke depan hingga menempel tepat ke punggungnya. Lagi-lagi aku merasakan takut, bahkan kali ini yang lebih parah daripada ketakutan sebelumnya terhadap sikap Yusuf.
"Pegangan yang erat, jarak tujuan pulang kita cukup jauh."
"Iiiyyyaa...."
Mau tidak mau aku harus memegang erat pinggangnya. Saat ini rintik hujan mulai turun kembali. Kujadikan tas biruku sebagai sekat agar tubuhku tidak langsung menempel dengan punggung Yusuf. Aroma parfumnya tercium lagi, hangat dan lembut. Aku menyukai wangi itu, namun tidak dengan perangai si pemakainya.
Hujan di hari Kamis apakah harus sebegitu menjengkelkan seperti ini, wahai cuaca Indonesia raya?
Bolehkah aku jatuh cinta pada aroma parfumnya yang di sepanjang jalan mampu membuatku terasa lebih nyaman?
Yusuf Ainoor.... Kutandai namamu, kak!!
Sesuai perkiraan Yusuf, Jum'at pagi ini tepatnya saat jam istirahat pertama, namaku dan nama Yusuf dipanggil secara bergantian melalui pengeras suara oleh guru BK. Puluhan pasang mata tertuju padaku yang melangkah ke arah ruang BK. Di tempat yang berbeda terdengar suara gaduh mengolok Yusuf.
"Silakan masuk, kalian berdua duduk." Terdengar suara guru BK dari dalam ruangan seakan mengetahui kehadiran kami. Aku saling pandang dengan Yusuf untuk sama-sama menguatkan.
"Tolong ceritakan sejujurnya pada ibu perihal hujan kemarin sore, nak. Silakan siapa yang mau berbicara duluan...." Kata ibu guru BK yang kemudian kuketahui namanya adalah ibu Rahma. Wajahnya orient khas wanita sunda, sorot matanya tajam dan tegas, namun senyuman di bibirnya sangat ramah sehingga begitu kontras antara tatapan dan senyumannya itu. Ibu Rahma sebenarnya tengah hamil tua, mungkin usia kandungannya sudah mendekati waktu melahirkan jika dilihat dari bentuk perut yang cukup membesar meskipun diimbangi dengan pemakaian tunik yang longgar.
"Izinkan saya memberikan penjelasan, bu." Kata Yusuf berinisiatif memulai pembelaan.
"Ya, silakan."
"Kemarin diadakan briefing soal camp serah terima jabatan organisasi inti eskul pramuka di ruang OSIS. Tepat saat briefing selesai, hujan turun. Kami berteduh di pos satpam, bu."
"Dari ruang OSIS pindah ke pos satpam briefingnya?"
"Bukan, bu. Briefing sudah selesai, saat hujan turun lalu kami berteduh di pos satpam."
"Hanya berdua?"
"Iya, hanya berdua."
"Posisi pos satpam kan kalau dari dalam sini tuh berarti berada di luar gerbang sekolah ya, nak. Jarak dari lorong akses masuk utama yang memiliki atap ke pos satpam sepertinya cukup untuk membuat pakaian kalian basah kuyup ya?"
"Itu...."
"Hujannya deras, lebat? Campur petir dan angin?"
"Izinkan saya ikut memberikan keterangan, bu." Kataku mengalihkan fokus bu Rahma.
"Boleh, silakan...."
"Saya adalah saudara kak Yusuf, bu. Orang tua kami sepupuan. Kebetulan karena ada briefing jadi saya memutuskan untuk pulang bersama. Selesai briefing hujan mulai turun, kami berada di mushola saat itu. Kak Yusuf shalat ashar dan saya menunggunya di luar karena kebetulan sedang haid. Selesai shalat rencananya kami akan ke parkiran, namun hujan turun dengan deras jadi kami putuskan untuk berteduh di pos satpam."
"Ke parkirannya masih rencana berarti, nak? Posisi masih di mushola jika begitu ya?"
"Tidak, sudah di jalan menuju parkiran."
"Oke, sudah berjalan menuju parkiran lalu kalian berdua diguyur hujan deras."
"Iya, bu."
"Kalian masih saudara?"
"Iya bu, saudara...."
"Yakin??"
"Beneran bu. Saya memang memanggil kak Yusuf itu kakak. Orang tua kak Yusuf adalah uwa."
"Uwa dari pihak mana, nak? Ayah atau ibu??"
"Ibbuu... Iya, ibu."
"Siapa nama orang tuanya kakakmu, nak? Yang masih memiliki pertalian darah dengan ibumu?"
"Hhhmmm.... Aannnuuu.... Namanya...."
"Sulastri, bu. Ibu saya yang bersaudara dengan ayahnya Kandita." Potong Yusuf dengan segera. Dia jelas paham kesulitanku menjawab pertanyaan bu Rahma karena kami memang belum mengenal lebih dalam satu sama lain. Yusuf memang tahu ayahku, hanya sebatas itu saja, tidak lebih.
"Loh, loh.... Kok yang menjawab kamu, nak? Barusan Kandita mengatakan yang memiliki hubungan darah dengan orang tuamu adalah ibunya, mengapa sekarang jadi berubah menjadi ayahnya Kandita yang memiliki hubungan darah dengan ibumu??"
"Aaanuuu bu...."
"Kandita, sudah berapa lama kamu menyukai Yusuf??"
"Hhhaaahhhh??"
"Jujur saja."
"Tidak pernah, bu."
"Yakin??"
"Iya bu."
"Yusuf itu seperti apa sih pribadinya menurutmu, Kandita?"
"Dia nyebelin bu. Eh...."
"Jika Yusuf nyebelin, mengapa kamu memegang tangannya waktu di pos satpam?"
"Saya takut gelap, bu. Listrik padam tiba-tiba saat kami berada di pos satpam, kak Yusuf memberi solusi untuk memegang tangannya agar tidak takut."
"Benar itu, Yusuf??"
"Benar, bu."
"Kalian ini bersaudara tapi terlihat kurang akur ya?"
"Kandita susah nurut sih, bu. Anaknya egois."
"Eh, kok jadi ngejudge aku gitu kak??"
"Ya kamu emang egois, neng!"
"Diiihhhh...."
"Hahaha.... Sudah, sudah. Apa sih yang kalian takutkan dari saya saat ini?"
"Tttiiidak ada, bu...."
"Iiyyya bu, sama. Tidak ada."
"Berapa lama kalian saling mengenal?"
"Kemarin sore itu, bu."
"Oh jadi kemarin sore itu Kandita baru mengenal Yusuf??"
"Eh, tidak bu. Neng gimana sih, kita itu saudara mana mungkin baru kemarin kamu mengenalku? Tuh kan kamu mah egois."
"Eh, iya.... Lama sih bu, tapi baru kemarin sore sedikit akrab. Hehehe...."
"Lama.... Sejak bayi? Anak-anak? Atau kapan??"
"Sejaaaakkk.... Ya anak-anak, bu. Kak Yusuf sering silaturahmi bersama orang tuanya ke rumah saya, dan dia memang nyebelin hingga sekarang."
"Oh begitu, orang tuanya kakakmu ini siapa nak namanya??"
"Hhhahhh.... Aannuuu.... Uwa Sulastri...."
"Lalu ayahnya kakakmu??"
"Ayahnyaaa...."
"Namanya...."
"Nak Yusuf dimohon diam ya, kita sedang mencoba mencocokkan data."
"Annnnuu.... Buuu...."
"Siapa nak??"
"Tohir. Iya uwa Tohir."
"Kamu memang suka lupa ya, nak? Di data sekolah kita itu nama orang tua dari Yusuf Ainoor Azis kelas dua belas IPA adalah ibu bernama Sulastri dan ayahnya bernama Tarmidzi. Sedikit mirip sih, Tohir. Tapi nak, Tohir dan Tarmidzi kan jauh sekali ya perbedaannya. Jadi bagaimana dong??"
"Maaf bu, kami telah berbohong." Kak Yusuf menyerahkan diri. Detak jantungku semakin kencang. Beberapa bulir keringat dingin dari kening kini meleleh ke pipi.
"Oke.... Lalu?"
"Kami tidak berpacaran, bu. Di antara kami berdua tidak ada hubungan khusus yang lebih dari sekedar berteman. Orang tua kami mungkin kenal dan akrab, namun kami tidak seperti mereka. Kami tidak saling mengenal satu sama lain. Kemarin saya hanya ingin memberikan bantuan kepada Kandita, saya mendengar teriakan Kandita dari arah pos satpam tepat saat listrik padam. Jujur saja saat itu posisi saya berada di dalam mushola. Kami terpisah ruangan."
"Oke, lanjut...."
"Saya berlari menembus derasnya hujan menuju pos satpam, lalu...."
"Lalu??"
"Saya refleks memeluk Kandita yang dalam kondisi ketakutan. Bapak dulu pernah cerita jika beliau memiliki teman bisnis yang sangat baik. Teman bisnisnya bapak itu memiliki seorang anak perempuan yang fobia terhadap kegelapan."
"Siapa teman bisnis bapakmu, nak?"
"Pak Erman, ayahnya Kandita."
"Oke, silakan dilanjutkan...."
"Kandita berteriak semakin kencang saat mengetahui saya memeluknya. Lalu saya bekap sebentar mulutnya agar tidak menjadi fitnah lebih jauh lagi. Karena saya tahu ada pak satpam di ruangan guru saat itu. Untuk menenangkan Kandita, saya menawarkan tangan saya sebagai genggamannya."
"Boleh ibu lihat lengannya, nak?"
"Silakan...."
"Waduh, lebam begini? Erat sekali ya genggamannya?"
"Benar, bu."
"Baiklah, ibu telah mendapat titik terang sekarang. Tolong jangan ulangi hal seperti itu ya, persepsi setiap orang berbeda-beda dalam menyikapi keadaan orang lain. Pak satpam dengan fakta temuannya dan kalian dengan berbagai penjelasannya. Sekarang silakan kembali ke kelas masing-masing, anggap saja pertemuan kita adalah media silaturahmi antara guru dengan siswa ataupun adik kelas dengan kakak kelas. Mohon maaf ya jika ibu mengganggu waktu istirahat kalian."
"Terima kasih, bu."
"Ya, sama-sama. Silakan kembali mengikuti kegiatan belajar seperti biasanya."
Aku dan Yusuf keluar dari ruang BK dengan perasaan lega. Jika diingat kembali, alangkah lucunya diri kami barusan. Meyakinkan guru BK dengan berbagai upaya dan kebohongan, namun dapat terbebas hanya dengan kalimat penjelasan yang jujur sesuai keadaan kami kemarin sore. Di sekolahku memang merekrut guru BK yang berasal dari latar belakang keahlian psikologi, sehingga berbagai kenakalan siswa maupun info burung seperti yang menimpa nasib kami tidak serta merta langsung mendapat hukuman.
"Tangan kakak lebam? Coba kulihat." Sergapku seraya mencari luka itu. Yusuf hendak menepis aksiku namun kalah cepat.
"Ya ampuuunnn.... Aku ambilkan obat ya kak."
"Tidak perlu, besok juga sudah sembuh."
"Mana bisa...."
"Bisa. Udah sana ke kelas, jangan SKSD!"
"Diiiihhhh...."
"Eh iya, lukaku bisa bahaya loh neng. Elusin bentar atuh...."
"Hhhaahhh??"
"Nurut atuh, neng. Ada Bayuuu...." Gumamnya memberi isyarat. Aku segera paham, kuelus dan kutiup-tiup halus luka lebam di lengan Yusuf itu.
"Oh iya, maaf ya kak.... Duh, cup, cup, cupp...."
"Kamu kenapa, bro??" Tanya Bayu menghampiri kami.
"Tangan kak Yusuf terluka, karena ulahku." Jawabku singkat dan ketus.
"Oh jadi barusan dipanggil karena ini? Duel??"
"Iya."
"Lagian kamu ini kok bisa-bisanya sih bro kalah sama anak perempuan. Hahahahaa...."
"Karena aku mencintai kak Yusuf...."
"Hhhhaaahhh??" Mulut Bayu menganga lebar, sedangkan Yusuf menyembunyikan senyuman tipisnya.
"Kak Yusuf menolakku, itulah akibatnya!!"
"Hhhaahhhh???" Kali ini mulut Yusuf yang menganga lebar. Mulut mereka berdua kini sama-sama menganga lebar karena perasaan kaget yang spontan.
"Salah sendiri, rasain tuh lengan sakit!"
Aku segera berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih mematung dengan ekspresi ternaif. Senyuman geli tersungging di ujung bibirku. Langkahku memasuki ruangan kelas tepat saat bel tanda masuk berbunyi.
Hari ini Jum'at, cuaca cerah secerah-cerahnya. Please no rain ya....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!