“Ha... Ha... Aku ingin sekali tertawa jika mengingat bahwa dunia sangat lucu”
Gadis berseragam dengan jepit rambut dikepalanya, rambut panjangnya yang menari berdiri mematung di depan pagar rumah kecil di depannya menikmati semilirnya angin. Memikirkan apa yang terjadi dengan dunia saat ini? Waktu seakan terhenti di tempat, gadis itu mulai kembali dalam pikirannya dan berlari kencang menuju tujuannya.
Senyum lebar terpatri dalam bibirnya berlari sembari menyapa beberapa orang yang dilewatinya. Tetes demi tetes peluh menjalar di pelipis tak di hiraukannya ia berhenti setelah 20 menit lamanya di sebuah pagar menjulang tinggi yang telah di buka. Inilah kesehariannya dari Senin hingga Jumat.
“Pagi pak.”
Sapuan suara gadis itu terdengar dan terus berlari setelah menyapa seorang paruh baya berkumis dengan seragam putih hitam khas seorang satpam. Ia menyusuri lorong-lorong kelas tanpa menghiraukan orang-orang yang menatapnya dan dengan santai masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan “X1” yang baru di tempatinya selama satu bulan lebih tiga hari.
Hiruk pikuk terdengar jelas di kelas itu seperti adanya antrean sembako. Jelas gosip adalah salah satu dari sekian banyaknya hobi yang dinikmati semua siswa gen z, tidak terkecuali gadis itu.
“Re, Rea Andana, lo tahu yang namanya Raka Adijaya?” Tanya seorang gadis dengan kacamata dan berambut sebahu. Dia Cilia Rakit.
Cilia Rakit. Nama yang sangat unik, itu yang dipikirkan seorang Rea Andana saat pertama kalinya mereka berkenalan.
“Ngga, enggak penting juga gue tahu siapa dia,” sahutku ogah ogahan.
“Omo... omo... omo..., lo dari planet mana sih. Kak Raka senior kita yang cakepnya minta ampun itu loh masa lo nggak tahu, parah banget lo.” Cila mendengus kecil setelah mendengar jawabanku.
Aku memandang Cila aneh. “Apa untungnya gue tahu dia, apa gue bisa dapat uang kalau gue tahu dia, nggak kan. Mending gue buat novel biar bisa dapat uang daripada ngurus yang kayak begituan,” balasku.
Tanpa menjawab sepatah kata lagi Cila pergi dengan mengentakkan kakinya aku pun juga tidak peduli dan mengambil kertas folio di dalam tas di atas meja melanjutkan topik yang akan kubuat menjadi novel online ku nanti.
Menaruh earphone di telingaku dan mendengarkan musik membuatku lebih fokus untuk mencari sebuah topik. Samar, aku masih bisa mendengar cerita dari setiap siswa dan siswi yang berbeda. Dari apa yang aku dengar sepertinya senior ini cukup menarik dan misterius.
Sebagai seorang author online sebenarnya aku cukup tertarik dengan karakter seseorang dan mencoba mendalami lebih dalam untuk dimuat dalam tulisanku.
Ya, tidak jarang juga aku menuliskan karakter tokoh dengan melihat karakter orang yang aku temui setiap harinya, tentunya sebagai seorang penulis online dan seorang pembaca mengetahui sifat orang lain hanya dengan sekali lirik.
Kali ini “Raka Adijaya” orang yang benar sifat benar menarik untuk dibahas. Samar aku bisa mendengar beberapa patah kata dan ya, ku pikir dia adalah orang yang “misterius” sangat cocok untuk ku jadikan tokoh novel onlineku yang selanjutnya.
Raka Adijaya. Kali ini aku seharusnya tidak bermain main dengannya. Beberapa orang berkata, “jangan mengusik seorang Raka Adijaya jika tidak ingin hilang.” Pepatah yang sangat menarik untuk diucapkan.
Sepertinya aku memang tidak bisa mengusiknya, bagaimanapun aku hanya orang kecil akan sulit untuk kembali jika sudah tersesat di jalan neraka. Aku menggelengkan kepala mengusir semua yang ada dalam pikiranku.
“Ci. Gue pengen buat cerita baru, bisa spil nama nggak?” Aku menoleh, bertanya pada gadis itu.
“Oh, gunain aja nama Raka sama gue. Cocok kan, Raka-Cilia,” Cila menjawab sambil tersenyum.
Aku hanya membuat ekspresi seakan ingin muntah di hadapannya yang mendapat tabokan maut di lenganku.
“Apa sih lo!” desisku.
“Cocok tahu, memang lo mau bikin novel judulnya apa?” tanya Cila dengan wajah songongnya.
“Nggak tahu gue lagi cari inspirasi,” sahutku.
“oh, iya. Nanti pulang sekolah kita ke cafe ya soalnya gue lagi pengen banget tiramisu.”
“Ogah, duit gue menipis nih biasa akhir bulan,” sahutku.
Cila memutar matanya ke arahku, “lo kebiasaan ngomong gitu padahal di kartu lo banyaknya bejibum.”
Begitulah kehidupanku sehari-hari bersama sahabat gilaku. Bisa di bilang kami memiliki sifat berbanding terbalik, sifat Cila yang luar biasa akan membuatku ikut gila sedikit demi sedikit.
Banyaknya kata aku hanya bisa menikmati diriku sendiri karena dunia yang berputar di sekelilingku sangat berbeda dengan dunia yang dimiliki orang lain. Aku hanya ingin merasakan bagaimana aku hidup seperti orang lain, dunia orang lain memang terlihat lebih menarik.
Tak ayal kadang aku merasa lelah dengan kehidupanku saat ini. Aku ingin menyerah tapi ini belum waktunya, aku selalu sadar hidup itu bukan sebuah ilusi yang bisa diganti dengan sekelebat dan dijalani sesuka hati.
Rasa yang kumiliki mati yang tersisa hanyalah perasaan sedih ketika berada di balik tembok putih aku tertawa bahagia, dan di balik tembok hitam aku menangis sejadi jadinya. Jika bisa aku ingin hidup di dunia ilusi yang selalu aku ciptakan karena kapan pun aku mau mengubah, aku bisa mengubah seluruhnya sesuka hatiku.
Sebagai penulis novel online banyak hal hingga aku bisa berada di titik ini. Mengubah tangisku menjadi tawa, ini berkat satu satunya sahabatku.
Kandang terlalu menakutkan, aku tidak berani bersama mereka yang berada di dalam satu kandang denganku. Konyol memang, tapi inilah aku si gadis penakut dengan pemikiran orang lain denganku.
Berada di tempat keramaian akan membuatku sedikit menciut karena sebuah ketakutanku adalah mata orang-orang beserta pikirannya. Mata mereka bagaikan menghukumku seakan aku tidak layak hidup di dunia ini.
Kadang aku berpikir kenapa mereka mengurus urusan orang lain daripada urusannya sendiri. Banyaknya wajah menakutkan dengan kata-kata, pada dasarnya mereka menggunakan wajah itu. Si wajah manipulasi dan munafik.
Sejauh yang aku lihat saat ini orang yang memiliki wajah munafik adalah yang paling menjengkelkan, mereka berkata seolah olah mereka benar, mereka berteman dengan satu dan yang lainnya seolah mereka benar-benar tulus dalam pertemanan tapi berbicara di belakang.
Seharusnya aku tidak harus berpikiran sempit untuk menyebut semua orang sama memiliki pemikiran munafik. Nyatanya, mungkin ada banyak juga orang menjadi munafik untuk mendapatkan teman. Sungguh, orang munafik lebih berbahaya dari siapa pun.
Ini adalah kehidupanku, kehidupan penuh dengan drama memuakkan. Hidup jauh dari kandang lebih baik daripada di dalamnya. Bisa dikatakan aku adalah seorang figuran di sebuah kandang. Sebagai figuran, aku lebih baik menjauh daripada mendekat ke setiap pemeran utama dan beberapa peran penting lainnya.
“Lebih baik jika kita hidup sebagai simulasi dari sebuah komputer yang bisa mengalami Glitch in the Matrix”
Hidup itu apa? Itu yang selalu menjadi pertanyaan dalam benakku. Apakah kita semua benar-benar hidup, yang artinya real menjalaninya sesuai dengan yang kita inginkan. Tapi kenapa banyak orang yang mengeluh pada dunia ini. Banyaknya keluhan, jerit tangis yang menyayat hati.
Tidak bisa dipungkiri jika itu masih menjadi masalah disini, kehidupan ini adalah kehidupan orang yang begitu banyak jeritan karena kebengisan manusia. Apakah masih yakin jika kita hidup di dunia real ketika banyaknya para bajingan dan para bedebah-bedebah sialan yang hidup bagaikan surga tanpa hati. Hanya melirik ke belakang pun mungkin mereka enggan.
Menolong sebuah kehidupan bagi mereka mungkin sebuah dosa, keadilan tidak ada di dunia ini. Dan para koruptor yang dengan seenaknya menyerobot harta rakyat miskin menghancurkan mereka. Hukum? Apa yang dilakukan para penegak hukum di sini, pada dasarnya mereka yang memiliki kekuasaan dan uang adalah segalanya di mata politik.
Hidup ini penuh dengan drama, ini juga yang aku sesalkan. Drama ini di buat oleh kita sendiri sebagai pelaku atau mungkin ada seorang tokoh yang menjalankannya.
Aku bersyukur jika dunia yang kita tempati saat ini adalah sebuah simulasi dari sebuah komputer, dimana itu kita hidup bukan kehendak diri kita sendiri untuk berbuat hal semacam itu. Setidaknya, aku sedikit beruntung tidak dibuat menjadi tokoh yang memiliki watak bejat seperti mereka.
Lagi, di dunia simulasi bisa saja terjadi sebuah bug yang membuat kita di ubah contoh saja seperti mengulang kembali apa yang telah kita lakukan tanpa kita menyadarinya. Ini bisa di sebut sebagai de javu.
Mungkin ini juga hanya pemikiran konyol ku, bagaimana mungkin hidup di sebuah simulasi komputer. Bagaimanapun kita harus mempercayai bahwa Tuhan kita lah yang telah menciptakan kita.
Back. Aku mungkin sedikit gila karena pemikiran ku yang tidak mungkin. Istirahat telah tiba, kini aku dan Cila sedang berada di kantin.
Tentu berhamburan dan berdesak desakan untuk memesan sebuah makanan sebuah hal biasa bagi seorang pelajar. Kegaduhan akan terjadi bagaikan pasar tradisional.
Aku dengan santainya duduk di pojok dekat jendela sembari menunggu Cila yang sedang menerobos antrean untuk memesan makanan. Memandang Cila, aku sadar jika hidup itu memang harus dinikmati tidak untuk ditakuti ataupun di hindari dan ini semua juga salahku karena menjadi seorang pengecut sejak awal.
Setangkai mawar tanpa duri terpajang di jendela terpampang memamerkan keindahannya, itu sangat indah dari pada seorang teratai putih yang manis atau lebih tepatnya berpura-pura terlihat manis.
Mawar. Mereka terlihat indah tapi juga berduri tapi setidaknya mereka menunjukkan durinya dengan gamblang tanpa kemunafikan. Sedangkan teratai putih, dia menutupi segala kebusukannya dengan tampilan barunya.
Melihat keluar jendela yang langsung terpampang keluar. Mata itu. Mata hitam pekat seolah menarikku untuk terus menatapnya.
Menyedot mataku ke dalamnya tanpa perlawanan. Tajamnya mata membuatku sedikit merinding tapi bukan sebuah ketakutan yang kurasakan, aku merasakan ketegasan dalam dirinya yang tidak aku tahu kenapa.
Mata hitam itu berpaling dariku membuatku tersadar ikut memalingkan mataku darinya. Ini aneh, perasaan aneh ini baru pertama kalinya untukku, sekilas aku melihat banyaknya penutup yang mata itu berikan. Sebuah tembok besar berada di bayangannya mungkin banyak rahasia yang terkunci di dalamnya.
Aku sangat yakin akan hal itu. Hanya, itu bukan termasuk dari ranahku hingga aku tidak bisa mengolaknya. Di dalam bentengnya aku yakin dia menutupinya dengan sangat baik, sangat baik hingga tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Bahkan jika tadi aku tidak menatapnya selama 10 detik aku yakin jika aku juga tidak dapat melihat benteng itu di matanya.
Ini sangat unik. Aku belum pernah melihat orang yang bisa menutupi dengan benteng sebesar itu kecuali si dia. Si mata hitam yang bisa menyedot siapa pun untuk menyelam di dalamnya.
“Woy, ngelamun aja lo!”
Sentakan Cila membuatku kembali ke dunia nyata setelah berkelit dengan pemikiranku. Aku hanya berdehem dengan wajah kesalku, melihat kembali jendela di sampingmu untuk mencari black eyes yang telah menghilang.
“Ci, lo tahu black eyes nggak?” Tanyaku. Aku sendiri bingung dengan kerandomanku seolah aku tertarik untuk menyelami black eyes itu.
Cila ternganga oleh pertanyaanku. “Black eyes, black eyes. You eyes! Mana gue tahu lah, lagian siapa sih black eyes. Nama orang kok lucu banget black eyes,” timpalnya.
Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. Salahku juga sih menanyakan itu pada Cila, bahkan orang waras sekalipun tidak akan tahu memangnya ada seberapa banyak orang yang memiliki bola mata berwarna hitam di dunia ini dan aku hanya memberi nama orang itu dengan nama black eyes. Tentu saja tidak ada orang yang mengenal kecuali orang itu memang bernama black eyes.
“Bukan begitu maksudku. Ah, tahu ah. Gue bingung jelasinnya mau bagaimana,” balas ku. “Ci, lo percaya nggak kalau kita hidup di dunia simulasi yang dimana kita hanya hidup di sebuah komputer canggih,” lanjutku bertanya.
Cila memicingkan matanya menatapku aneh. Yah, pikiran konyolku kembali terlontar tanpa berpikir terlebih dulu.
“Gue tahu lo suka nulis fiksi tapi ya nggak begini juga dong Re. Dunia asli jadi dunia simulasi... ih nggak banget,” sahut Cila kesal.
“Ya, itu kan juga cuma pemikiran gue.”
“Re. Jangan campur adukkan dunia asli sama fiksi.” Cila menatapku sendu.
Aku memalingkan wajahku asal tidak menatap wajah sahabatku. “Tapi dunia ini sama dengan dunia fiksi yang penuh dengan plot drama gimana gue bisa...” gumamku semakin mengecil.
“Bisa. Lo bisa, cuma lo nggak mau berusaha lo cuma diam tanpa mau bertindak. Lo terlalu larut dalam fiksi lo hingga lupa lo juga punya kehidupan sendiri, kehidupan di dunia nyata.” Cila menatapku galak.
Sama, persis sama dengan yang berada di fiksi. Setelah perdebatan ini Cila meninggalkanku di kantin sendirian. Sama seperti fiksi yang selalu kutulis jadi bagaimana aku tidak mencampur adukkan antara fiksi dan nyata. Nyatanya aku memang tidak bisa dunia sekitarku sendiri bagaikan plot sebuah drama.
Berharap jika tempat yang kutinggali saat ini memanglah hanya sebuah simulasi komputer yang nantinya bisa merubah semua hidupku, dunia simulasi yang bisa membuatku memulainya dari awal baru karena sebuah kesalahan operasi. Memulai dengan keinginan dan mimpi yang terpenuhi.
Tidak seperti saat ini. Hidup dengan penuh ketakutan bagaikan pecundang. Hidup di dalam rumah bagaikan sangkar tertutup tanpa celah sedikit pun. Tidak ada kunci yang bisa membukanya. Kunci itu perlahan berkarat dan menghilang.
..."Lihatlah, dia yang saat ini menjadi seorang antagonis dan protagonis salah bukan protagonis melainkan teratai putih, dan aku adalah seorang figuran yang tak terlihat dalam sebuah fiksi."...
...
...
Masih di dalam kantin yang riuh tak menggangguku sedikit pun. Dunia begitu rumit, perlu banyak waktu untuk memahami dunia ini apalagi isinya tak terkecuali denganku yang seorang pengecut.
Dunia terlalu luas untukku dan memiliki banyak hal yang tersimpan rapat bagaikan misteri yang tidak tersentuh atau mungkin tidak bisa disentuh walau hanya seujung kuku.
Brak.
Lihatlah. Bahkan kini si antagonis dan protagonis sudah muncul mungkinkah ini memang dunia fiksi? Aku terkekeh pelan memperhatikan setiap adegan yang berada di depanku. Masihkah aku salah jika ini memang dunia fiksi yang terdapat peran perannya sendiri.
Dimana seorang protagonis yang kini tengah menunduk takut pada sang antagonis yang kini tengah memarahinya.
Palsu, itu semua palsu dan terlihat jelas di mataku. Protagonis itu sangat palsu dan ternyata sang protagonis memiliki caranya sendiri untuk mengambil hati orang-orang. Ternyata bukan protagonis melainkan teratai putih, itulah manusia munafik dari sekian banyaknya orang terpampang nyata di depanku.
“Lo, jangan cari masalah sama gue. ****** kecil yang masuk ke rumah gue, ngambil bokap nyokap, ngambil kakak gue dan sekarang lo merebut teman kecil gue!” teriakan Aca membahana, dia seorang antagonis disini.
“Bu... bukan begitu, aku nggak bermaksud dan nggak pernah ngambil punya kamu. Maaf kalau kamu merasa aku...”
Begitulah kira-kira yang mereka debatkan, protagonis lemah dan antagonis yang meledak-ledak. Namun kali ini protagonis itu bukan protagonis yang sebenarnya, sayang sekali ada plot twins di drama ini.
Memang banyak alur fiksi yang memiliki plot twins, salah satunya seperti yang terjadi saat ini. Sang protagonis yang berpura-pura takut dengan antagonis untuk menarik lebih banyak penonton ataupun menarik lebih banyak perhatian, bisa juga menarik orang untuk di jadikan kubunya.
Plot yang sangat menarik bagiku. Protagonis yang sebagai teratai putih akan menyesal ketika ia sudah tua atau bahkan tidak akan menyesal sama sekali di kehidupan ini. Berbagai perkembangan dalam imajinasiku membuatku senang.
..."Dan sekarang saatnya sang protagonis pria muncul bagaikan hero."...
Semakin melihat, semakin menarik. Jika bisa aku ingin mewawancarai mereka mulai dari antagonis dan protagonis wanita untuk aku jadikan pemeran fiksi dalam pikiranku yang menggebu. Sedikit gila memang, tapi inilah aku. Tidak ada seorang penulis didunia yang akan melewatkan kesempatan ini. Hanya, tidak ada seorang penulis juga gila dan mewawancarai mereka secara langsung.
Kini drama telah berkembang hingga sang antagonis menjambak hingga mendorong protagonis jingga terbentur meja. Aku terkekeh saat melihat sang protagonis memancarkan rasa marah dalam matanya, meski begitu protagonis masih memegang kendali dalam dirinya dan menahan amarah yang akan keluar.
Jika ditanya apakah aku memiliki rasa kasihan pada protagonis? Jawabannya adalah tidak, untuk apa mengasihani seorang teratai putih, yang ada aku ingin tertawa melihatnya. Gadis itu kurang sempurna menutupi iblisnya.
Hingga suara gaduh dari pintu masuk mengalihkan pusat perhatian seluruhnya. Dia... sang protagonis pria sudah muncul bagaikan fiksi klasik yang selalu aku baca, ketika antagonis dan protagonis wanita bertengkar saatnya untuk sang hero muncul.
Benar-benar terlihat mirip fiksi, semuanya menjadi diam tidak ada yang berbicara. Bahkan sang antagonis pun terdiam dan langsung menghampiri protagonis pria, dan tinggal menunggu protagonis pria untuk membela protagonis wanita. Klise.
Aku berjalan keluar tak mau melihat lagi, lagipula sudah jelas akhirnya. Lorong-lorong menuju ke kelas tampak sunyi, hanya terdengar suara sepatuku yang mengetuk lantai. Ini waktu ketenanganku. Tidak ada drama, antagonis dan protagonis yang kutentukan.
Aku. Hanya aku sendiri untuk menikmati waktuku sebelum sampai Kelas. Bagaikan Glitch in the Matrix, aku mengingat kembali black eyes yang langsung kutepis jauh.
Suara ketukan langkahku menggema sepanjang koridor yang kini bertambah satu ketukan sepatu yang tiba-tiba melewatiku. Aku tidak tahu milik siapa, ketukan yang tegas dan kuat seakan orang berhutang berjuta juta padanya.
Tinggi sekitar 178, dada lebar, dengan bobot seimbang dan terlihat sangat proporsional dengan rambut ala Korea. Terlihat tegak bagaikan tokoh yang keluar dari fiksi. Tanpa sadar langkahku terhenti dan menatap punggung pria yang telah melangkah jauh dari hadapanku.
“Banyaknya keinginan yang hanya bisa kuraih dalam sebuah fiksi.”
Suara siulan burung terdengar dari ponsel mengalihkan perhatianku dari lap top di hadapanku. Tertera sebuah nama yang membuatku terlihat menjadi sosok lemah karena menginginkan sesuatu darinya.
“My Dream”
Sangat mencolok. Nama yang sangat menggelikan untuk di dengar namun tidak untukku. Untuknya, aku memiliki harapan yang sangat besar padanya.
“Hallo, D...”
“Kamu tidak harus kesini, disini ada Mila dan Desi. Kamu tahu kan mereka berdua sudah cukup.”
Kata- kataku tersangkut di tenggorokan. Benar katanya, mereka berdua sudah cukup aku tidak perlu pergi kesana. Sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya tapi aku sadar diri, aku tidak berhak tidak akan pernah berhak atas itu.
Memanggilnya seperti ini saja sudah suatu keberuntungan bagiku, lagipula jika bertemu dengannya aku tidak akan sanggup menatap wajah maupun matanya. Aku masih takut dengan wajah dan matanya. Mungkin ini yang terbaik.
Mungkin aku terlalu berangan padanya hingga membuatku semakin jauh dari dunia nyata. Aku terus menyelam terlalu dalam hingga aku tidak tahu jalan keluar. Dunia fiksi yang aku buat sangat indah bahkan aku tidak ingin bangun dari fiksi yang aku buat sendiri. Nyatanya dunia sangat mengerikan.
Pengecut. Itulah aku, segenggam tanah yang tidak bisa apa-apa. Di dunia ini, aku seperti buih yang terombang-ambing, buih yang tidak tahu tempat tujuan dan dimana aku akan berlabuh. Kisahku adalah fiksi yang tidak akan pernah usai.
Aku seorang penulis online yang tidak bisa menyelesaikan kisahku sendiri. Hidupku stuck. Terdiam di tempat dan tidak memiliki arah. Akankah aku dapat berlabuh seperti orang-orang, atau mungkinkah aku tetap akan terombang-ambing tanpa tujuan. Itu masih terlihat terlalu gelap bagiku.
Orang sepertiku harusnya tidak menulis novel online, karena menurutku seorang penulis harus bisa menulis kisahnya hingga selesai.
..."Banyaknya bintang berkumpul dan terang bersama-sama, sayangnya masih ada satu bintang yang redup. Aku dan ketakutanku yang belum pernah terjadi sebelumnya."...
Kegaduhan di kelas membuatku menggelengkan kepala. Meja di tata menjadi sebuah panggung, dan orang-orang asik bernyanyi dan berjoget bak seorang Idol. Setelah ketua kelas mengatakan bahwa setelah istirahat ke dua jam pelajaran akan kosong hingga jam pulang, bodohnya kelas ini tidak diberi tugas apapun.
Sangat bising, dan ini membuatku yang mencintai keheningan sedikit tidak nyaman. Lebih baik jika aku bisa pulang terlebih dahulu, namun sangatlah sayang itu tidak mungkin terjadi karena sekolah tidak mengizinkannya.
“Ci, ke kantin yuk,” ajakku.
“Gas lah.”
Cila, dia mungkin akan mudah untuk dimanipulasi dan mudah untuk dimanfaatkan. Dia terlalu mempercayai orang yang bahkan baru di kenalnya. Sebaik itu Cila hingga aku ingin sekali egois agar Cila hanya menjadi sahabatku seorang, tapi aku masih sadar bahwa menjadi egois akan semakin merusakku.
Lagi-lagi aku hanya duduk di pojok dekat jendela menunggu Cila. Banyak orang berkata bahwa aku memanfaatkan Cila, aku hanya mau enaknya saja dan Cila adalah sebagai babuku. Sebenarnya bukan begitu kenyataannya karena berkali-kali aku ingin memesan makanan dan menyuruh Cila untuk duduk.
Cila keras kepala, dia berkata bahwa dia sekalian ingin menemui kang bakso yang katanya itu sangat tampan. Tidak heran banyak siswi yang selalu membeli bakso untuk sekedar melihat atau bahkan caper pada kang bakso.
Sebuah catatan notes di hadapanku yang selalu membantuku ketika aku memiliki inspirasi untuk menulis. Benda yang sangat berharga bagi seorang penulis selain lap top. Menatap ke depan.
Punggung itu...
Punggung yang sama saat berada di Koridor waktu itu. Sosok yang seperti keluar dari sebuah tokoh fiksi ataupun webtoon. Tanpa sadar tanganku mencoret di notes yang tengah kupegang.
“Re, nih pesanan lo. Baksonya kang Gibran yang enaknya mantul, tampang penjualnya pun mantul. Semuanya mantul.”
Aku hanya memutar bola mataku malas. “Tampangnya mantul mah buat lo aja, buat gue mah enggak,” balasku sekenanya. “Lagian nih ya, tokoh fiksi gue lebih mantul daripada kang Gibran yang lo sebutin itu,” cercaku.
“Ih, mendingan kang Gibran gue yang nyata daripada fiksi lo yang 100% orangnya nggak ada,” selaknya padaku.
Aku mendelik tidak terima. “Enak aja, tokoh fiksi gue yang paling cakep, keren. Lo mau yang kayak gimana? Good boy, bad boy, Ceo maupun mafia gue jabanin,” cercaku tak terima.
Mau dari segi manapun tokoh fiksi yang kubuat sangat sempurna dan lengkap seperti yang kusebutkan tadi.
Cila berdecak. Mendorongku pelan, “bagaimana pun kang Gibran gue tetap paling real.” Cila menatapku penuh kemenangan.
“Tahu ah, yang tergila-gila sama kang Gibran. Boleh kali kapan-kapan gue yang pesan, pengen lihat seberapa cakepnya gandrungan para cewek sini.”
“Enak aja, nggak boleh. Nanti lo kepincut lagi sama kang Gibran. Nggak ridho gue,” bantahnya.
Sekali lagi aku melihat orang yang duduk di meja depanku bagaikan ditarik oleh magnet untuk terus menatapnya. Akhirnya aku sedikit bergeser mendekat ke arah Cila. Menoel lengannya.
“Ci, lo mau tahu tampang tokoh novel dari belakang yang selalu gue bicarakan sama lo setiap harinya?” tanyaku.
Cila mengangguk senang. Bahkan jika Cila bilang tidak mungkin akan ada orang seperti dalam fiksi, Cila masih menginginkan melihat seperti apa visual fiksi yang di gemari banyak pembaca.
“Noh, lihat depan lo.”
Dengan semangat Cila langsung mendongak menatap depannya dimana orang itu berada. Binar di matanya tidak hilang sedetikpun.
“Gila, gila. Sempurna bagaikan gue ketemu Idol Korea,” Ucap Cila. “Eh, sebentar. Gue kayak pernah lihat punggung itu,” lirihnya.
Aku mengernyit bingung. Kukira, cowok di depanku murid baru atau pindahan. Aku tidak menyangka dia murid di sini, jika Cila berkata pernah melihatnya maka berarti Cila benar-benar pernah melihatnya tapi kenapa aku baru melihatnya saat di koridor. Mungkin aku yang kudet dan terlalu acuh terhadap sekitar.
“Omo, omo, omo. Re, itu KAK RAKA!”
Seruan itu cukup untuk di dengar hingga meja depan membuat cowok yang kusebut sebagai tokoh yang keluar dari dunia fiksi menoleh.
Deg.
Tidak salah lagi, dia benar-benar seperti tokoh novel yang kubuat. Rahangnya tajam, bahu lebar yang sangat cocok untuk bersandar, tinggi dan tatapan matanya yang malas.
Mata itu.
“Black Eyes,” gumamku yang masih bisa terdengar Cila.
Cila, dia mematung bagaikan batu. Menatap Raka seakan ingin menelannya hidup-hidup. “Ganteng banget.”
Orang yang di sebut sebagai kak Raka itu mengangkat salah satu alisnya membuat gempar orang di kantin. Karena jam kosong membuat mereka memutuskan berada di kantin, dan secara kebetulan yang amat beruntung bagi mereka adalah bisa bertemu sosok yang di gembor-gembor kan oleh mereka. Dia, Raka Adijaya.
Sosok yang membuat kaum hawa menjerit hanya dengan menyebut namanya. So, tidak salah jika aku menjulukinya sebagai tokoh yang keluar dari buku fiksi, toh memang hampir sama.
“Apa?” tanyanya.
Cila hanya diam, sementara aku gelagapan mau menjawab apa. Aku hanya menggeleng konyol ketakutan. Tidak. Mata itu membuatku takut untuk menyelam lebih banyak. Takut ikut terombang-ambing dalam masalahnya, takut tidak bisa keluar setelahnya. Mata itu membuatku ingin menyelam dan masuk bersama ke dunianya yang entah dunia seperti apa yang aku pun tidak paham.
Tanpa sadar tanganku menjadi dingin. Wajahku menjadi pucat, ketakutan seperti ini belum pernah terjadi padaku. Memang tidak masuk akal aku bisa seperti ini dengan keadaanku seperti orang kesetanan.
“Takut, hm.”
Raka tersenyum melihatku. Dia berdiri dan berjalan keluar dari kantin dengan sorak dari seluruh orang di kantin, kecuali aku tentunya. Senyum itu menjadi sejarah dalam SMA Pelita, pasalnya Raka yang tidak pernah tersenyum tiba-tiba tersenyum hingga menjadi bahan gosip.
Tapi tidak denganku. Tidak dengan seorang Rea Andana, aku malah semakin ketakutan, senyum itu membuat alarm di kepalanku berdering keras. Berdering menyuruhku untuk berhenti. Dia sangat berbahaya.
“Re, Re. Lo kenapa sih.” Cila menggoyangkan badanku pelan membuatku tersadar. Keringat dingin keluar di dahiku.
“Ngg... nggak papa kok, cuma nggak tahu kenapa gue tiba-tiba takut gini sama dia,” tukasku serius. Tidak ini, aku harus jauh-jauh dari seorang Raka mulai saat ini, jangan pernah bersinggungan dengannya sedikit pun.
“Dia.. dia siapa maksud lo?” tanya Cila tak paham.
Aku hanya menggeleng lemas, memutuskan untuk tidak membahasnya bersama Cila. “Lo,” ucapku sembrono.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!