Sambil memukulkan kedua tangannya ke tanah, Bu Fatimah terus saja menangis tiada henti. Ratapan yang mengandung kesedihan yang mendalam, sepertinya tampak jelas tersirat di wajahnya yang renta.
Betapa tidak, lima orang anak kesayangannya, telah pergi meninggalkan Fatimah untuk selamanya. Air mata duka itu tak pernah berhenti mengalir, seakan-akan duka itu mengisyaratkan bahwa dia telah kehilangan segalanya.
“Sabar ya Bu, kuatkan hati Ibu. Semua ini kehendak Allah yang maha kuasa, kita harus yakin, kalau dibalik semua ini pasti ada hikmah yang sengaja di sembunyikan Allah untuk kita yang masih selamat,” kata Marini seraya memegang pundak Fatimah.
“Kau bisa bicara seperti itu Marini, karena bukan kau yang merasakannya. Sekarang aku nggak punya siapa-siapa lagi, buat apa aku hidup, jika beban duka ini terus saja menyiksa hidup ku.”
“Ibu jangan bicara seperti itu, bukan hanya Ibu saja yang kehilangan anggota keluarga hari ini, lihat di sebelah sana, semua Ibu-Ibu juga menangis, mereka sama dengan Ibu, yang juga kehilangan anggota keluarga mereka.”
“Tapi aku nggak kuat, untuk apa aku hidup, tanpa ada mereka bersamaku, hiks, hiks, hiks.”
“Kami sangat mengerti sekali dengan perasaan Ibu. Ingatlah Bu, Allah itu nggak akan menguji hambanya di luar batas kemampuan hamba itu sendiri.”
“Tapi aku udah nggak kuat lagi!” ujar Fatimah seraya memeluk tubuh jenazah kelima anak-anaknya.
“Ibu jangan begitu, cobalah untuk ikhlas. Lagian Ibu nggak sendiri kok, masih ada kita yang selalu bersama Ibu, yang perduli dengan penderitaan Ibu,” kata Marini seraya merebahkan kepala Fatimah di pundaknya.
“Aku hanya ingin anak ku kembali Marini, aku nggak ingin yang lain.”
“Iya Bu, kami semua mengerti kok, Ibu harus tahu, kalau mereka berlima adalah anak-anak penghuni surga nya Allah, dia akan menanti kan kedua orang tuanya di sana, asalkan Ibu mau mengikhlaskan kepergian mereka.”
Isak tangis Fatimah sungguh tak dapat di bendung lagi, lima orang jasad anak-anaknya terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya, bukan hanya itu saja, bahkan kelima jasad itu satupun tak ada yang utuh.
Ibu mana yang kuat menghadapi semua kenyataan itu, dadanya terasa begitu sesak, seperti di timpa beban yang sangat berat, entah kemana harus di adukan.
Gempa yang telah membuat bukit Semeru berguncang kuat, membuat bebatuan dan tanah menjadi longsor dan menimpa semua yang ada di bawahnya. Sehingga membuat Desa itu rata dengan tanah.
Sungguh sangat mengerikan, Desa Waluh yang terletak di kaki bukit Semeru itu, seketika telah menjadi kuburan masal bagi penghuninya.
Seluruh para warga yang berasal dari Desa tetangga, datang berbondong-bondong memberikan bantuan pada mereka yang di temukan selamat.
Sementara itu untuk mencari para korban yang masih tertimbun longsor, dari pemerintahan telah mengirimkan tiga unit alat berat, sekaligus memperbaiki tanggul yang jebol akibat gempa.
Kini Desa Waluh ramai di padati para relawan yang ingin datang, untuk membantu, menyelamatkan para korban yang masih bisa di selamatkan.
Bukan hanya para relawan yang datang, beberapa ekor anjing pelacak juga di turunkan untuk mencari korban yang tertimbun tanah longsor.
Tiada di sangka sama sekali, akhirnya Allah menunjukan kekuasaannya pada penduduk Desa Waluh. Bagi mereka yang selamat, hendaklah menjadikan hal itu pelajaran yang berharga. Bahwa tak ada yang dapat menentukan selain Allah, yang kekuasaannya tak dapat kita pungkiri.
Jauh sebelum bencana menimpa Desa waluh, seluruh penduduknya sudah berada di ambang kekafiran, mereka hanya memikirkan dunia semata tanpa ingat akhirat.
Desa yang sangat subur, terletak di lereng bukit Semeru, sungguh sangat strategis. Hasil pertanian yang melimpah telah membuat masyarakatnya lupa diri dan jauh dari Allah.
Berawal dari pagi itu, Lusiana, putri sulung Fatimah sedang sibuk membantu Ibunya di dapur, keempat orang adik-adiknya masih tertidur pulas saat itu.
“Lusi, cepat kau bangunkan adik-adik mu, lihat hari sudah pagi, nanti kalian bisa terlambat berangkat kesekolah sayang.”
“Baik Bu,” jawab Lusi seraya bergegas menuju kamar adik-adiknya.
Saat memasuki kamar itu, Lusi melihat keempat orang adiknya sedang tertidur dengan nyenyak sekali. Satu persatu diantara mereka di bangunkan dan di bawa kekamar mandi. Setelah selesai mereka pun sarapan bersama-sama.
“Apakah Ayah nggak pulang semalam, Bu?” tanya Lusi pada Ibunya.
“Nggak nak.”
“Kenapa Ibu nggak tanya, kalau Ayah pulang terlambat?”
“Ibu nggak berani nak.”
“Kenapa ya, sudah beberapa hari ini,aku melihat Ayah pulang pagi terus, itupun dalam keadaan mabuk. Kenapa Ibu nggak menegurnya, Bu?”
“Udah nak, udah! Ibu udah menegurnya berulang kali, tapi Ayahmu nggak menggubrisnya.”
“Benar Ibu telah menegur Ayah?”
“Udah, udah, cepat habiskan sarapan kalian, nanti kalian bisa terlambat sampai kesekolah.”
“Baik Bu,” jawab anak-anak Fatimah serentak.
Di Desa Waluh, Fatimah tergolong keluarga yang berkecukupan, tapi karena Baron suaminya sudah mulai tergiur dengan judi dan perempuan, akhirnya sedikit demi sedikit harta Fatimah habis ludes terjual tak bersisa.
Baron sering pergi ke klub untuk bersenang-senang bersama wanita malam. Semua uang yang dia miliki habis dihambur-hamburkan untuk judi dan bermain perempuan.
Malam itu Sandi anak kepala Desa pergi bertamu kerumah kekasihnya Lusiana, Fatimah menerimanya dengan baik dan mengizinkan Sandi duduk diruang tamu bersama putrinya.
Di bawah pengawasan Fatimah, mereka berdua berlaku baik dan biasa-biasa saja. Akan tetapi saat Sandi pulang kerumahnya, di perjalanan dia berpapasan dengan Baron, Ayah kandung Lusi.
Pria itu sedang menggandeng seorang wanita yang masih muda belia. Perempuan itu terlihat sangat cantik sekali, sambil menoleh kearah Sandi wanita itupun mengedipkan matanya.
Sandi sangat terkejut, jantungnya berdebar begitu kuat. Perlahan-lahan, Sandi mengikuti keduanya dari belakang, ternyata Baron bersama perempuan itu secara diam-diam, mendatangi sebuah rumah kosong yang berada di luar Desa Waluh.
“Bang, sebenarnya kita ini mau kemana sih?” rengek perempuan itu yang terus mencumbu Baron dengan liarnya.
“Sabar sayang, kita mau ke luar dari Desa ini, kata orang di pinggir Desa ini ada rumah kosong di sana.”
“Kenapa begitu jauh sih, aku jadi nggak sabaran.”
“Kamu yang sabar ya? Abang sengaja mengajak mu kesana, kalau kita bercumbu di kampung kita sendiri, yang ada semua warga akan menghakimi kita, kamu mau nikah mendadak dengan Abang?”
“Nggaklah, aku kan hanya senang, lalu dapat uang!”
“Ya sudah, itu dia rumahnya, kita udah nyampe sayang.”
“Wih, rumahnya seram banget?”
“Tapi di rumah ini kita aman ngapain saja, karena nggak seorang warga pun berani datang ke rumah ini.”
“Abang yakin, kita akan bercumbu disini?”
“Yakin sayang, tempatnya aman kok!” bujuk Baron pada perempuan itu.
Bersambung...
*Selamat membaca*
Di saat mereka berdua tiba di rumah kosong itu, Sandi yang sedari tadi mengikuti mereka terus saja mengendap-endap berjalan pelan dari belakang.
Sandi penasaran sekali dengan apa yang di lakukan oleh Baron pada perempuan itu, apa lagi Sandi belum pernah mengikuti orang sejauh itu.
Mesti kaki Sandi saat itu terasa gemetaran karena takut, namun dia terus saja menghampiri rumah yang tampak menyeramkan itu.
Dari luar dinding papan yang sudah rapuh dan sedikit bias cahaya bulan di malam itu, Sandi mencoba menoleh kedalam rumah.
Saat itu Sandi mendengar sendiri desah nafas perempuan itu, hingga membuatnya blingsatan. Tak ingin penasaran, Sandi mencoba mengintip kedalam.
Saat itu Sandi benar-benar melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa yang selama ini belum pernah di lihatnya. Kedua tangannya terlihat begitu gemetar, Sandi bahkan tak kuasa untuk berdiri dengan lurus, karena kedua lututnya, tak kuat menopang tubuhnya yang kekar.
“Astaga…! apa yang telah kulihat! ampuni aku ya Allah."
Tak ingin di ketahui oleh Baron dan perempuan itu, Sandi akhirnya memutuskan untuk segera kembali pulang kerumahnya.
Di dalam kamar, Sandi tak bisa memejamkan mata, kejadian yang baru saja di lihat, tampak menari-nari di dalam angan-angannya.
Sementara itu, Hasan bersama istrinya sedang asik tidur lelap di dalam kamar mereka, bahkan keduanya tak mengetahui apa yang telah di alami oleh putranya itu.
Pagi sebelum azan berkumandang, Sandi sudah mondar-mandir di dapur rumahnya, gelas yang berisi minuman yang saat itu ada di genggaman tangannya, tak terasa terjatuh kelantai. Gelas itu pecah berderai. Tangan Sandi terasa dingin dan gemetaran saat itu.
Novi yang sedang tidur nyenyak langsung terbangun karena mendengar suara benda pecah dari arah dapur. Dia bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju dapur.
Ketika Novi masuk kedalam dapur, betapa terkejutnya dia, saat melihat tangan Sandi putranya berlumuran darah, karena menggenggam kaca gelas yang masih tertinggal di tangannya.
Novi melihat tangan Sandi gemetaran seperti orang yang sedang kedinginan, ketika Novi menyentuh pundak putranya itu, Sandi terlihat gelagapan ketika di tanya.
“Kamu kenapa nak? kenapa pagi-pagi begini kamu udah bangun? kamu sakit ya?” tanya Novi heran.
“Ah, eh Ibu,” jawab Sandi.
“Ada apa? cerita sama Ibu, nggak biasanya kan, kamu seperti ini?”
“Aku nggak apa-apa kok Bu, Ibu nggak usah khawatir.”
“Nggak usah khawatir gimana maksudmu, udah jelas tanganmu dingin dan gemetaran begini?” tanya Novi seraya membersihkan luka yang ada di tangan putranya.
“Sebenarnya aku hanya ingin minum aja kok Bu.”
“Kan ada Bi Marni! biasanya kamu juga menyuruh Bi Marni mengambilkan air minumnya?”
“Hari udah malam Bu, biarlah Bi Marni tidur, bukankah besok pagi dia akan bangun lebih awal. Aku kasihan padanya, ntar kalau dia sakit karena kecapean gimana?”
“Alasan! sebenarnya ada apa sih nak, sepertinya kau sedang menyembunyikan sesuatu pada Ibu?” tanya Novi penasaran.
“Nggak ada apa-apa kok Bu, aku hanya nggak bisa tidur aja malam ini. Aku haus, lalu aku ke dapur mengambil minuman, kenapa Ibu bisa curiga berlebihan sih?”
“Bukan itu masalahnya, tangan mu itu lho, sepertinya gemetaran!” ujar Novi sambil menatap tajam ke arah putranya.
“Terus terang aja pada Ibu nak, kamu itu kenapa?”
“Aduh Ibu, kenapa Ibu memperhatikan aku sedetail mungkin sih, apa menurut Ibu, aku ini seorang pembohong! tanganku nggak gemetaran, kebetulan saja, gelas yang ku pegang itu retak, jadi saat ku tuangkan air, dia langsung pecah.”
“Ya sudah, kalau kamu nggak apa-apa, silahkan lanjutkan tidurmu.”
“Iya, aku kemar dulu.”
Setelah kepergian Sandi, Novi terus saja berfikir dengan kejadian aneh yang di alami oleh putranya, karena hal itu tak pernah di lakukan Sandi sebelumnya.
“Aneh, pasti telah terjadi sesuatu pada dirinya,” gumam Novi pelan.
Beberapa saat kemudian, Marni terbangun dari tidurnya, karena saat itu jam sudah menunjukan pukul lima subuh. Perempuan itu tergopoh-gopoh pergi ke dapur untuk membuat sarapan pagi.
Saat itu Marni terkejut ketika melihat majikannya sedang duduk di dapur sendirian, di lantai ada serpihan kaca yang berserakan.
Marni tak mau bertanya langsung tentang apa yang terjadi, tapi dia segera mengambil sapu dan membersihkan pecahan kaca yang berserakan itu.
Merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi, Marni mencoba menghampiri Novi yang tengah duduk diam di dekat meja makan.
“Ada apa Bu? kenapa ada gelas pecah?”
“Ah, nggak ada apa-apa, Bi.”
“Tapi Ibu nggak kenapa-napa kan?”
“Aku nggak apa-apa kok, Bi. Tadi Sandi bikin aku kaget, dia ke dapur sendirian dan memecahkan gelas hingga tangannya berdarah.”
“Lho, biasanya kalau Den Sandi pingin minum, dia kan selalu memanggil Bibi untuk mengambilkan air minum.”
“Itu makanya, tadi itu aku heran, tapi ketika di tanya Sandi nggak mau bicara jujur pada ku, seperti ada yang sedang dia sembunyikan di rumah ini,” jawab Novi seraya pergi meninggalkan dapur.
“Iya, aneh! ini emang kejadian aneh!” ujar Marni bicara pada dirinya sendiri.
Seperti yang ada di benak Novi dan Marni, mulai hari itu Sandi memang berperilaku aneh dirumah itu, kecurigaan Novi membuat hatinya semakin resah.
Malam itu Sandi duduk diam di ruang tamu, Hasan yang melihat putranya yang tak biasa termenung diapun datang menghampiri sandi.
“Ada apa? nggak biasanya Ayah melihat mu duduk manis di sini, biasanya juga keluar, untuk kelayapan.”
“Aku minta uang Ayah.”
“Minta uang untuk apa?”
“Untuk membeli bingkisan.”
“Membeli bingkisan? bingkisan untuk siapa?” tanya Hasan ingin tahu.
“Untuk teman Ayah.”
“Kau butuh uang berapa?”
“Lima ratus ribu.”
“Hah, kamu beli bingkisan untuk seorang teman dengan harga lima ratus ribu?”
“Itu nggak seberapa Ayah.”
“Nggak seberapa gimana maksud mu, kau membeli bingkisan dengan harga ratusan ribu, kau bilang nggak seberapa? yang benar saja kamu nak!”
“Aku butuh uang itu Ayah.”
“Begitu sepesial kah, teman mu itu?”
“Iya Ayah.”
“Sekarang jawab dengan jujur pada Ayah, untuk siapa bingkisan itu kau berikan.”
“Untuk Lusi, Ayah.”
“Lusi? Lusi siapa nak?”
“Lusi anak Bu Fatimah, Yah,” jawab Sandi pelan.
“Benar untuk Lusi, anak Bu Fatimah?”
“Benar Ayah.”
“Baiklah, akan Ayah berikan kau uang, sebanyak yang kau minta.”
“Makasih Ayah,” jawab Sandi seraya mencium tangan Ayahnya.
“Tapi ingat Sandi, nanti akan Ayah tanyakan pada Lusi, apakah kau benar-benar memberi bingkisan padanya atau nggak.”
Ucapan terakhir Hasan, membuat jantung Sandi berhenti berdetak, dia begitu takut, jika benar Ayahnya akan bertanya pada Lusi tentang bingkisan itu.
Malam berikutnya, seperti yang telah di janjikan Hasan pada putranya, Sandi pun menantikan janji Ayahnya itu di ruang tamu. Setelah uang yang di mintanya dapat, lalu Sandi pergi keluar rumah.
Bersambung...
*Selamat membaca*
Bukannya berjalan kearah rumah Lusi, Sandi malah pergi ke sebuah rumah yang terletak di ujung gang. Rumah itu memang terlihat biasa-biasa saja dari arah luar, tak ada yang janggal terlihat. Akan tetapi di dalamnya ada pesta yang tak pernah berakhir.
Diam-diam Sandi menyelinap masuk kedalam rumah itu. Didalamnya sangat luas, terdapat begitu banyak kamar-kamar kecil yang berukuran mini. Persis seperti sebuah bar, banyak muda-mudi bergoyang dan berjoget tiada henti.
Sandi melihat di sekeliling dinding itu telah terlapisi dengan kaca kedap suara, sehingga suara bising tak terdengar di luar.
“Hm, pantasan hingar-bingar suaranya tak terdengar dari luar, ternyata mereka melapisi ruangan ini dengan kaca itu,” gumam Sandi.
Dengan pelan, lalu Sandi menghampiri meja minuman yang terletak di pojok sebelah kanan ruangan tersebut.
Seraya melirik liar pada setiap pemuda yang berada di hadapannya. Sandi pun duduk di meja minuman yang ada di ruangan itu.
“Mau minum dek?” tanya seorang pria padanya.”
“Nggak Bang, aku lagi nungguin seseorang,” jawab Sandi tenang.
“Cewek atau cowok?”
“Cewek lah, masa cowok?”
“Ooo, cantik pastinya.”
“Benar Bang, sangat cantik sekali.”
“Biasa mangkal di sini, Dek?”
“Sepertinya begitu.”
“Namanya siapa?”
“Apa…!” teriak Sandi pada pelayan itu. “Maaf agak bising, jadi aku kurang dengar.”
“Namanya siapa?” tanya pelayan itu dengan nada agak sedikit keras.
“Nama cewek itu.”
“Iya.”
“Aku nggak tahu.”
“Ooo,” jawab pelayan itu manggut-manggut.
Setelah beberapa waktu duduk menunggu, tiba-tiba saja seorang wanita penghibur datang menghampiri Sandi.
“Mau berbisnis Bang,” bisik perempuan itu ke telinga Sandi.
Karena perempuan itu memegang bagian tubuh Sandi, Sandi pun merasa merinding, namun dia berusaha sedikit tenang dan tak menampakkan gelagat takutnya di hadapan perempuan tersebut.
“Nggak,” jawab Sandi tenang.
“Lalu, lagi ngapain disini?”
“Lagi nungguin seseorang.” jawab Sandi pelan.
“Siapa? apakah dia lebih cantik dari ku?”
“Benar, dia memang lebih cantik, tapi kamu nggak kalah cantik dari dia.”
“Apakah dia Mawar?”
“Emangnya Mawar itu cantik ya?”
“Iya, dia perempuan paling cantik disini.”
“Mana dia sekarang?”
“Ada tuh, lagi nerima tamu.”
“Terima tamu? apa maksudnya?”
“Bang, ini kan rumah pelacuran. Jadi, setiap wanita yang ada diruangan ini, tugasnya untuk melayani tamu.”
“Jadi sampai kapan dia melayani tamunya?”
“Sampai tamunya merasa puas dong,” colek perempuan itu.
Sandi yang mendengar dari perempuan itu, kalau Mawar lagi melayani tamu, dia terlihat begitu gelisah, dia berjalan mondar-mandir di depan kamar mawar.
Banyak para perempuan yang mencoba menawarkan diri padanya, namun Sandi selalu menolaknya. Sandi begitu tergiur dengan permainan Mawar yang membuatnya tak bisa tidur semalaman.
Setelah beberapa jam menunggu. Pelanggan Mawar keluar dari dalam kamar itu dengan pakaian terbuka dan jalan sempoyongan.
Tak sabaran menunggu kepergian pria itu, keluar dari kamar Mawar, Sandi membantu menarik tangan pria tersebut keluar.
“Heh, kamu, ngapain kesini?” tanya Mawar heran.
“Aku udah nggak tahan lagi,” jawab Sandi yang langsung melepas pakaiannya.
“Tunggu dulu! rasanya aku pernah melihatmu?”
“Iya, malam itu aku bertemu denganmu di jalanan.”
“O iya, aku baru ingat,” jawab Mawar yang saat itu tak berbusana.
“Bisa kita mulai?” desak Sandi tak sabaran.
“Apa nggak perlu aku mandi dulu?”
“Nggak usah.”
Saat Mawar mulai berdiri, jantung Sandi berdebar tak teratur, gelora darah mudanya melunjak hingga keubun-ubun.
Melihat Sandi gemetaran, Mawar langsung mendekap tubuh Sandi dengan erat.
*********** yang putih bersih menempel di wajah pria remaja itu, begitu juga dengan jemari tangannya yang agresif bergerak seiring dengan desah nafasnya yang memburu.
Malam itu Sandi benar-benar tak dapat berkutik, gemuruh hasratnya tampak semakin menggila, dia menjajali setiap jengkal tubuh perempuan yang ada di dalam dekapannya.
“Oh…!”
Desah nafas Mawar membuat Sandi mengakhiri semuanya. Malam itu adalah malam pertama, Mawar merenggut keperjakaan pria remaja itu.
Masa remaja yang semestinya harus di jaga dan di lindunginya, telah ternoda oleh hasratnya yang tak terkendali. Dia terkulai tak berdaya karena nafsu birahinya sendiri.
Saat pagi menjelang, Novi yang sedang sujud di atas sajadahnya, tak tahu akan putra tunggalnya saat itu. mesti demikian, saat sholat Novi merasakan sesuatu.
Setelah selesai sholat, Novi bergegas menuju kamar Sandi, tapi pintu kamarnya terkunci. Novi mencoba mengintip kedalam dari celah sempit pintu kamar putranya.
Terlihat ada seseorang sedang terbaring dari dalam kamar itu, tapi saat pintu kamar di gedor dengan kuat dari luar, tak ada yang membukanya.
Hasan yang saat itu sedang tidur nyenyak, langsung terbangun, saat mendengar suara gaduh dari kamar putranya.
“Ada apa toh Bu? pagi-pagi begini udah ribut-ribut, malu sama tetangga.”
“Ini Yah, putramu nggak bangun-bangun. Padahal Ibu udah bolak balik menggedor pintunya, tapi dia tetap diam saja di dalam,” jawab Novi kesal.
“Ah, masa? Ibu yakin dia ada di dalam?”
“Yakin Yah, orang tadi Ibu lihat sendiri kok, dia lagi tidur di dalam kamarnya.”
“Kalau begitu, coba Ayah yang panggil siapa tahu dia mau menjawabnya.”
“Cobalah, kalau Ayah bisa!”
“Baiklah, biar Ayah coba.”
Mesti pintu kamar itu di ketuk oleh Hasan berulang kali, namun Sandi tetap tak menjawabnya. Saat itu hati Novi merasa tak tenang, namun dia tak mau berburuk sangka dulu pada putranya.
“Nggak mau juga Bu.”
“Ono opa thoh, Yah. Nggak biasanya dia seperti ini?” tanya Novi pada suaminya.
“Aku juga nggak tahu Bu, ya udah, biarkan aja dulu, nanti kalau dia udah bangun, baru kita tanyain,” ujar Hasan pada istrinya, yang terus melangkah pergi meninggalkan kamar Sandi.
Sementara itu,p Novi yang merasa penasaran, terus saja menggedor-gedor pintu kamar Sandi dengan kuat, namun sang anak tetap tak menjawab panggilan Ibunya.
Beberapa saat kemudian, Sandi pulang kerumah, dengan tenang dia masuk kedalam kamar tanpa mesti membuka kunci kamar itu terlebih dahulu.
Ternyata saat Sandi pergi, pintu kamarnya tak di kunci sama sekali, Hasan dan Novi hanya menggedor-gedor pintu itu dengan kuat tanpa membukanya.
Tak berapa lama kemudian Novi datang lagi, dia kembali menggedor-gedor pintu kamar Sandi dengan kuat, Sandi yang berada di dalam kamar, langsung terbangun karena kaget.
“Ada apa sih, Bu?” tanya Sandi seraya membuka pintu kamarnya.
Ketika Sandi mucul secara tiba-tiba, Novi menjadi terkejut, dia merasa heran, padahal dia sudah berulang kali menggedor pintu kamar putranya, tiba-tiba Sandi bangun dan bertanya padanya, ada apa.
“Aneh! kamu ada didalam ternyata?” tanya Novi marah.
“Emangnya ada apa sih Bu? aku ini kan nggak tuli, kenapa menggedor pintunya kuat banget, bikin kuping aku sakit, tahu nggak!”
“Heh Sandi! kamu itu kenapa sih? Sampai berbusa mulut Ibu memanggil mu, kenapa kau diam aja?”
“Aku lagi tidur Bu,” jawab Sandi berbohong.
Bersambung...
*Selamat membaca*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!