NovelToon NovelToon

My Little Bride

●Prolog

.●Prolog.

Arben sedang duduk di meja kerjanya,

membaca dengan teliti beberapa berkas yang tertumpuk hingga sebuah ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya.

Sosok seorang pelayan pria masuk ke dalam ruang kerja Arben. Wajahnya tampak pucat dengan tetesan peluh di kening serta tangan yang gemetar.

"Ma-af tuan, ada telepon dari kepolisian," ucap pelayan itu dengan suara terbata yang membuat mata Arben terbelalak.

Pria itu langsung bangkit dari kursi, berjalan keluar dengan tergesa meninggalkan sosok pelayan yang masih terpaku menatap punggunggnya.

Tak seperti biasa polisi menelpon ke dalam kediamannya, karena biasanya telepon penting akan langsung terhubung ke ruang kerjanya.

Arben lantas mengangkat gagang telepon yang tergeletak, suaranya yang berat mulai terdengar menyapa sosok di balik sambungan telepon.

"Apa benar ini dengan Bapak Arbenio?" tanya sosok pria dari sambungan telepon.

"Benar, saya sendiri. Ada masalah apa?" sahut Arben dengan nada tegas.

"Begini pak, kami ingin menginformasikan bahwa telah terjadi laka lantas tunggal di jalan X, atas nama Bapak Aksa dan Ibu Defanka. Keduanya kini berada di RS Nusajaya, Bapak Aksa yang masih dapat kami tanyai menyuruh kami untuk menelpon anda."

Mendengar penjelasan itu, tangan Arben langsung lemas hingga gagang telepon pun jatuh dengan sendirinya. Tanpa pikir panjang, pria itu lantas berlari keluar menuju mobilnya.

Arben mengemudikam mobil porsche hitam miliknya dengan kecepatan tinggi, beberapa kali terdengar helaan nafas dalam yang diiringi suara detak jantung yang terdengar samar. Dia sangat kalut.

Pasalnya, pria itu baru bertemu mereka dua jam yang lalu di acara makan malam yang diadakan Presdir Logi Company dan sekarang malah mendapat kabar bahwa sahabatnya itu mengalami kecelakaan tunggal.

Beberapa saat kemudian, Arben pun tiba di RS Nusajaya. Dia langsung berlari masuk ke koridor rumah sakit dan langsung menuju ruang resepsionis.

"Tolong infokan untuk pasien atas nama Aksa dan Defanka, dirawat dimana." Arben menyibak beberapa helai rambutnya ke belakang dengan nafas terengah, membuat wanita resepsionis tak berkedip karena sosok tampannya.

"Eh- maaf, bi-biar saya cek sebentar." Wanita itu terlihat panik karena menyadari Arben terus menatapnya menunggu jawaban.

Sambil mengotak atik komputer di hadapannya dengan gugup, wanita dengan seragam putih itu mencari nama Aksa dan Defanka di daftar nama pasien.

"Untuk pasien atas nama Pak Aksa sekarang berada di ruang UGD, sementara Ibu Defanka ada di ruang ICU. Apa ada ..." Wanita itu celingukan karena tak mendapati lawan bicaranya.

Sementara Arben langsung berlari mencari ruang ICU, tempat Defanka berada.

Pria itu berlari tanpa arah, menyusuri lorong rumah sakit yang sepi dengan cahaya yang temaram. Maklum saja, sekarang sudah jam satu dinihari. Para suster maupun penunggu pasien mungkin telah beristirahat di ruangan lain.

Dari jauh, mata Arben menangkap sebuah papan kecil bertuliskan ICU. Dengan segala kecemasan yang kini beradu di otaknya, dia pun segera menghampiri ruangan itu. Namun, saat sudah berada di depan ruangan, Arben berpapasan dengan dua orang perawat yang mendorong stretcher pasien keluar. Stretcher itu telah ditutup dengan kain putih, menandakan bahwa pasien yang mereka bawa sudah tak bernyawa lagi. Untuk beberapa detik Arben terpaku, menatap dua orang perawat yang melewatinya begitu saja. Lalu, dengan suara pelan pria itu memanggil mereka untuk berhenti sejenak.

Langkah kakinya kini melemas, seakan sudah tahu siapa yang berada di balik kain putih itu. Dengan tangan yang gemetar, Arben pun membuka kain putih yang menutupi tubuh pasien.

Seketika tubuh tinggi dan kekar Arben pun ambruk, berlutut di samping stretcher yang telah di buka kainnya. Benar saja, sosok yang dia kenal itu kini terbaring dengan tubuh kaku dan dingin. Sosok yang baru di temuinya dua jam lalu itu, wanita berparas cantik dan sangat di rindukannya. Pria itu menangis dalam diam, sembari merengkuh tangan dingin Defanka.

Masih teringat jelas di ingatannya, dua jam lalu. Di sebuah makan malam bisnis yang menjemukan tiba-tiba Defanka menghampiri Arben yang tengah berada di balkon, sedang mencari kesunyian. Hal itu sangat mengagetkan, mengingat dia yang sudah lama hilang kontak dengan wanita tersebut tiba-tiba bertemu seakan memang sudah di rencanakan.

"Apa kabar?" Ya, hal itu yang pertama di lontarkan Defanka setelah menghancurkan hati Arben berkeping-keping. Wanita itu memilih menikah dengan Aksa yang notabene akan menjadi pewaris dari Galaxy group dan meninggalkan Arbenio yang hanya pemuda yatim piatu biasa.

Marah, kesal, dan kecewa. Semua perasaan itu terpancar jelas dari sorot mata pria tersebut. Namun, hati Arben tak bisa mengelak, dia sangat rindu akan paras menawan wanita di hadapannya. Arben lantas melengos, mencoba mengambil jarak dengan wanita itu karena semakin dia melihatnya, maka semakin perih lukanya.

Tangan Defanka lalu terulur, meraih paksa tengkuk Arben hingga tertunduk dan langsung ******* bibir pria tersebut.

Tanpa kata, tanpa aba-aba. Arben yang terkejut dengan tindakan Defanka yang spontan hanya bisa diam tanpa perlawanan. Hanya dua menit, Defanka lalu melepas ciumannya dan menjauhkan diri dari Arben. Sambil tersenyum, wanita itu perlahan melangkah pergi sambil berbisik, "Selamat tinggal."

"Pe-permisi, a-pakah Anda Pak Arbenio." Suara terengah-engah seorang perawat wanita meleburkan lamunan Arben, pria itu lantas mendongak menatap kearah sumber suara dengan mata sembab.

"Iya benar, saya Arbenio," sahut Arben sembari bangkit, dia menyeka sedikit air yang tersisa di pelupuk matanya.

"Maaf Pak, bisakah ikut saya ke UGD. Pak Aksa menyuruh anda segera kesana," ucap suster itu dengan wajah panik.

Menyadari sesuatu hal yang buruk sedang terjadi, Arben lantas bangkit dan bergegas menuju ruang UGD bersama suster yang tadi memanggilnya.

Ruangan luas itu tampak sepi, hanya beberapa bilik yang terisi dilihat dari tirainya yang tertutup.

Arben lantas mengikuti suster itu menuju salah satu bilik yang terdapat di tengah ruangan. Matanya langsung mengenali sosok pria yang tengah terkapar dengan selang oksigen yang kini terpasang.

Pria itu berusaha membuka mata ketika menyadari seseorang telah datang. Tangannya yang terbalut perban serta selang selang infus di paksanya bergerak sebagI isyarat agar Arben segera mendekat.

"Apa yang terjadi?" tanya Arben sembari menatap tubuh sahabatnya yang tak berdaya.

Aksa melirik kearah suster, mencoba berkomunikasi dengan matanya agar perawat itu meninggalkan mereka berdua.

Setelah perawat itu pergi, Aksa meraih tangan Arben yang tergeletak di samping ranjangnya sambil menatap penuh harap.

"Ma-afkan aku." Suara Aksa terdengar lirih dengan nafas yang berat, membuat Arben langsung menatap dalam mata sahabatnya itu.

"Bi-bisakah aku memohon sesuatu pa-damu?" Aksa menatap Arben dengan mata berkaca-kaca.

"Tentu, katakanlah," sahut Arben.

Aksa tiba-tiba melepas sebuah cincin di jari manis dan menaruhnya di telapak tangan Arben.

"Apa ini?" tanya Arben kebingungan ketika melihat cincin pernikahan Aksa kini berada dalam telapak tangannya.

"Tolong nikahi, Bella." Aksa menatap Arben dengan mata sayu.

"Bell- siapa?" tanya Aksa kebingungan karena baru kali ini dia mendengar Aksa menyebutkan nama perempuan lain selain Defanka.

"Bella pu-triku, kumohon nikahi dia, karena ... " Suara monitor detak jantung yang semula normal kini berbunyi datar bersamaan dengan nafas panjang yang di hembuskan oleh Aksa.

Arben yang melihat itu langsung berlari panik memanggil perawat. Namun, sayangnya itu tak berguna. Suster hanya menggeleng sambil tertunduk kearah Arben setelah mengecek kondisi Aksa, membuat Arben terdiam beku di samping ranjang. Pria itu kini hanya mampu menatap detik terakhir wajah Aksa yang ditutup menggunakan kain yang menyelimuti tubuhnya.

1.

Sudah berselang tujuh hari, sejak kecelakaan maut yang merenggut nyawa Aksa dan Devanka. Media yang tadinya serentak mengabarkan kematian sosok pemilik Galaxy group itu kini meredup dan senyap seakan sudah melupakan momen tersebut.

Di balik meja kerja, Arben menatap diam kearah lembaran kertas di hadapannya sambil memainkan pena dengan jari. Sejak momen terakhir perpisahan dengan Aksa, ucapan sahabatnya itu masih terngiang bagai suara nyamuk yang menusuk gendang telinga Arben. Walaupun pria itu memutuskan mengabaikan permintaan Aksa dan menganggapnya angin lalu. Namun, diam-diam ternyata Arben telah menyelidiki tentang sosok Bella yang membuat Arben makin memantapkan diri untuk tak berurusan dengan keluarga itu.

Ternyata Bella memiliki paras yang sangat mirip dengan Devanka di masa remaja, hanya sebuah tahi lalat kecil di bawah mata yang mana turunan genetik dari Aksa yang dapat membuat perbedaan diantara ibu dan anak tersebut.

Arben berpikir, akan sangat kekanakan jika dia menolak permintaan terakhir sahabatnya hanya karena tidak bisa move on dari sang mantan gebetan. Namun, tentu saja dia juga menimbang anggapan orang jika dia benar-benar menikahi gadis yang ayahnya saja bahkan sepantaran dengannya.

Lagi-lagi Arben menghela napas, sambil menutupi lembaran kertas itu dengan sebuah map coklat yang terletak di sisi meja. Matanya kini beralih kearah sebuah handphone yang terus bergetar di sampingnya. Tampak di layar handphone itu tertulis panggilan dari kontak yang diberi nama 'Bapak-bapak berisik'.

"Ya, ada apa?" tanya Arben sambil menempelkan handphone di telinga.

"Kau belum lihat berita di tv hari ini?" sahut sosok dengan suara berat itu dari balik sambungan telephon.

"Hah, berita apa?" Arben menjawab dengan suara datar.

"Kau nyalakan saja tv-mu itu bocah sialan, jangan banyak tanya." Mendengar ocehan pria itu, Arben lantas mengambil sebuah remot televisi dari dalam laci meja kerja lantas menghidupkannya. Saat itu juga, siaran televisi tersebut membuatnya terperanjat.

Sosok pria dengan kumis tebal serta potongan rambut rapi itu tengah berdiri di sebuah podium, tepat di depan para wartawan. Dengan suara lantang dan pasti, pria itu mendeklarasikan diri sebagai pengganti Aryaksa Lerandy sebagai pemilik baru Galaxy group. Pernyataan itu sontak membuat wajah Arben berubah serius, matanya menatap tajam kearah layar yang kini menampilkan sosok Andante Lerandy, Presdir dari Heliox Company dan juga kakak tiri Aksa.

Padahal tanah kuburan adiknya saja belum kering, tapi pria serakah itu sudah berusaha menguasai kerajaan bisnis yang seharusnya di wariskan untuk adiknya karena memang Dante sendiri merupakan anak dari istri simpanan Argadyaksa Lerandy, pendiri Galaxy group. Otomatis hanya Aksa yang bisa menjadi penerus karena lahir dari pernikahan sah.

Ngomong-ngomong soal pewaris, bukannya Aksa masih memiliki garis keturunan? Ya, Bella. Gadis SMA itu tentu belum bisa menjabat sebagai CEO maupun ikut mengurus perusahaan. Tapi bagaimana bisa Dante langsung meng-klaim dirinya sebagai pengganti Aksa? Sudah pasti dia berhasil menipu keponakannya yang polos itu agar menyerahkan perusahaan sepenuhnya.

Arben langsung menyambar jas yang tersangkut di kursinya. Tangan lalu meraih sebuah karet gelang kecil berwarna hitam dan mengikat rambut gondrong sebahunya asal sembari menyangkutkan jas hitam itu di pundaknya yang kokoh, pria itu lantas berjalan keluar ruangan.

Mata para pegawai wanita tampak mengikuti langkah bossnya itu. Meskipun sudah lama bekerja, mereka masih terkagum-kagum atas paras tampan Arben.

Arben tiba di depan sebuah ruangan, lalu membuka paksa pintu tanpa mengetuk hingga membuat sosok wanita di dalamnya terkejut.

"Aku harus pergi ke luar kota, kau urus saja rapat hari ini," ucap Arben kepada seorang wanita berambut bob dengan kacamata.

Wanita itu menghela napas dalam, menatap malas kearah Arben yang masih berdiri di depan pintu ruangannya.

"Anda lagi-lagi mau berbuat seenaknya, apakah Anda pikir..." ocehan wanita itu terhenti saat Arben menghampiri meja dan menunjukkan sesuatu di ponselnya.

"Aku sudah men-tranfer uang lemburmu plus bonus." Arben menyeringai, menatap wanita yang masih duduk di bangku kerjanya itu.

"Jadi kapan anda akan kembali?" tanya wanita itu tanpa menatap kearah atasannya dan kembali fokus pada lembaran berkas yang sedang dia baca.

"Hmm, aku belum tahu. Aku akan mengabarimu nanti," jawab Arben sambil berbalik badan, melambaikan tangan kepada wanita yang duduk sambil menatapnya jengkel.

Sementara itu di SMA Bimasakti, sekolah swasta elit dalam naungan Galaxy group.

Seorang gadis berambut panjang tengah berjalan santai di koridor kelas. Paras cantiknya yang menonjol itu sudah menjadi simbol kebanggaan sekolah. Ya, dialah Assabella Levrandy, putri semata wayang CEO Aryaksa Levrandy, pemilik Galaxy group sekaligus pemilik sekolah.

Dari kejauhan, mata Bella menangkap sosok tiga orang gadis yang masuk ke dalam toilet, diikuti dengan seorang gadis lain berpenampilan culun yang mengekor di belakang. Dengan sekali lihat Bella bisa tahu apa yang akan terjadi. Benar, perundungan. Namun, itu tak akan terjadi karena Bella tak akan diam saja. Sebagai putri pemilik sekolah, dia tak akan membiarkan para gadis nakal itu mencoreng nama baik Bimasakti.

Bella berjalan dengan cepat kearah toilet perempuan dan dengan paksa membuka pintu hingga menimbulkan suara keras yang mengagetkan.

Ketiga gadis itu tersentak saat melihat Bella yang telah masuk ke dalam toilet. Menyaksikan gadis culun yang tadi kini duduk bersimpuh di lantai toilet dengan seragam yang basah kuyup.

"Sudah kubilang jangan buat ulah kan," ucap Bella dengan mata nyalang, menatap sosok gadis berambut pirang yang berdiri di antara kedua temannya.

Gadis itu adalah Vanya, anak dari Dante dan juga sepupu Bella.

Bella membantu gadis culun itu berdiri sambil menepuk-nepuk lirih baju bagian belakang gadis tersebut yang tampak kotor.

"Sok sekali, kamu mau jadi dewi penolong atau pembela kebenaran, hah?" cibir Vanya sembari melipat tangan di dada.

Bella menghela napas kesal, dia lantas berjalan pelan kearah sepupunya itu hingga membuat kedua gadis di sampingnya minggir.

"Dengar ya Lavanya Lerandy, kita sudah kelas tiga sekarang. Jadi, kuharap kamu tidak membuat hal yang merepotkan sehingga harus pindah sekolah. Kau tahukan itu mudah untukku?" Bella menyeringai, menatap wajah sepupunya itu yang tampak merah padam lantas membalikkan badan.

"Cih, apa kehilangan orangtua membuatmu merasa kesepian dan ingin mencari perhatian?" ledek Vanya sembari menatap tajam kearah punggung Bella yang hendak mengajak gadis culun itu pergi. Mendengar ocehan Vanya, seketika itu Bella lantas terdiam di tempat, mengambil napas dalam dengan tangan mengepal erat.

Bella langsung berbalik badan dan berlari kearah Vanya, menarik kerah kemeja gadis itu hingga beberapa kancingnya terjatuh ke lantai. Tangan dengan cepat menjambak rambut pirang ikal Vanya hingga membuat gadis itu berteriak kesakitan.

"Arghhh, sakit! Lepasin sialan!" pekik Vanya sembari mencoba meraih tangan Bella yang menjambak rambutnya dengam kuat.

Kedua teman Vanya langsung bergerak ingin membantu. Namun, segera terhenti saat Bella menatap nyalang kearah mereka.

"Kalau kalian bergerak satu senti dari tempat itu, akan kupastikan nama kalian akan berada dalam daftar blacklist seluruh sekolah," ancam Bella dengan sorot mata yang tajam. Paras cantiknya kini berubah menakutkan dan mengintimidasi, seakan sedang dirasuki hingga membuat kedua teman Vanya tak berkutik.

Bella lalu menyeret Vanya ke dalam bilik kamar mandi, perbedaan tinggi dan berat badan yang tak seimbang membuat Vanya harus pasrah saat tangannya di tarik dengan kasar.

Beberapa menit berlalu, Bella pun keluar dari bilik kamar mandi dengan kemeja yang basah lantas mengajak gadis culun yang masih berdiri gemetar itu untuk pergi.

Sementara kedua teman Vanya segera memasuki bilik toilet dan mendapati gadis itu dalam keadaan lusuh yang menyedihkan. Seluruh seragamnya basah kuyup dengan rambut yang acak-acak an.

"Astaga Vanya, kamu gak apa-apa?" tanya gadis berambut pendek sebahu itu.

"Kamu harus balas anak emas itu," timpal gadis dengan poni tebal sembari membantu temannya itu berdiri.

Vanya hanya tersenyum remeh, menatap pintu toilet yang masih terbuka seakan telah merencanakan pembalasan untuk sepupunya itu.

2.

Bel sekolah berdentang tiga kali, menandakan bahwa pelajaran terakhir telah usai. Para siswa pun mulai tampak keluar dari ruang kelas masing-masing dan berbaur bersama teman-temannya.

Tak terkecuali Bella, dia kini tengah berjalan santai di temani oleh sesosok gadis yang tak henti-hentinya tertawa sembari beberapa kali menepuk pundak Bella. Pasalnya, gadis itu masih membayangkan adegan perkelahian antara Bella dan Vanya yang tadi sempat di ceritakan padanya. Nama gadis tersebut adalah Fara, gadis berambut pendek sebahu dengan gaya tomboy itu merupakan sahabat dekat Bella. Mereka bahkan mulai berteman saat memasuki taman kanak-kanak.

"Ngomong-ngomong, kamu yakin nih gak mau ku antar?" tanya Fara sambil menghentikan langkahnya, menatap kearah wajah sahabatnya yang tampak lesu.

"Hmm, gak. Sopirku nanti jemput kok," jawab Bella dengan sedikit senyum.

"Yakin?"

Bella mengangguk sebagai respon. Mata yang sembab di tutupinya dengan ukiran senyum yang dia kembangkan di bibir.

"Kalau begitu, aku ke gerbang duluan. Siapa tahu sopirku sudah menjemput," ucap Bella dengan riang sambil melambaikan tangan pada Fara lantas berlari pergi.

Fara melihat Bella yang berlari kecil menuju gerbang dan menatapnya dengan perasaan khawatir. Gadis itu menyadari perubahan yang terjadi pada sahabatnya tersebut semenjak kehilangan orangtuanya. Walaupun terlihat tetap ceria. Namun, Fara tahu pasti bahwa Bella benar-benar merasa kehilangan dan hancur. Apalagi sudah dua hari ini juga Regen—pacar Bella— tak masuk sekolah. Biasanya pemuda itu yang bisa membuat Bella tertawa terbahak dengan tingkah konyolnya.

Sementara itu, Bella duduk sendirian di bangku yang terdapat di samping gerbang sekolah. Sambil menunggu sopirnya datang, tangan gadis itu merogoh saku kemeja dan mengeluarkan ponselnya. Dia mengetuk layar ponsel itu sekali dan mendapati foto kedua orangtuanya saat moment ulang tahun pernikahan bulan lalu.

Tak terasa, rembesan air dari pelupuk mata Bella kini meleleh jatuh. Dia masih tak percaya bahwa kini ia hidup sebatang kara. Rasanya baru kemarin mereka tertawa bersama, merayakan tiap hal kecil bersama dalam kehangatan keluarga dan sekarang semua itu menghilang begitu saja. Bella masih saja menyesali saat itu, saat dia menolak ajakan pergi orangtuanya ke pesta yang diadakan oleh pebisnis terkenal di kota seberang. Walaupun itu tak bisa merubah apapun, setidaknya Bella tak akan merasa kesepian seperti sekarang.

Wajah Bella tertunduk karena luapan emosi yang tak lagi bisa di bendung. Suara isakan pun mulai terdengar lirih mengalun dari bibir mungilnya. Tanpa di sadari, selembar sapu tangan terulur kearah Bella.

Kepala Bella mendongak, menatap kearah sosok yang tengah berdiri di hadapannya. Sosok pria dewasa dengan penampilan yang mencurigakan. Rambut gondrong yang dikuncir rendah, serta kumis dan jambang tipis yang berantakan membuat kesan utama pria itu tampak berbahaya. Bella langsung menatap waspada kearah pria asing di depannya yang membuat airmatanya berhenti seketika.

"Aku bukan orang jahat, ambilah. Akan sangat menyedihkan jika orang melihat anak pemilik sekolah sedang meratap di bangku sendirian," ucap pria itu sembari menjatuhkan sapu tangan berwarna merah muda itu di pangkuan Bella lalu berjalan pergi.

Bella menatap punggung pria itu dengan heran. Namun, fokusnya kini teralih pada sebuah mobil sedan berwarna putih yang kini terparkir di depannya. Dia pun refleks mengelap sisa air mata dengan sapu tangan yang baru di terimanya lantas bangkit dari bangku.

Sesosok pria paruh baya tampak turun dari kursi sopir, membuka pintu penumpang dan mempersilahkan Bella masuk. Melihat itu Bella menatap bingung, pria itu bukanlah sopir pribadi keluarganya dan dia tahu pasti bahwa pria tersebut adalah sopir dari keluarga Dante—pamannya— yang biasa menjemput Vanya.

"Em, maaf. Tapi saya melihat Vanya hari ini membawa mobil dan sudah pergi." Bella mencoba memastikan situasi yang dialaminya.

"Saya kesini menjemput Anda, Non Bella. Mulai hari ini saya yang akan menjadi sopir pribadi Anda," jelas pria paruhbaya itu dengan sopan.

Bella yang mendengar itu keheranan. Namun, ia memutuskan tak banyak bertanya karena merasa hari ini tak memiliki banyak tenaga untuk berbicara. Bella pun masuk ke dalam mobil segera, disusul oleh sopir barunya.

Tak berselang lama, mobil sedan putih itu kini telah sampai di pelataran kediaman utama Lerandy. Rumah megah dengan tiga lantai tersebut menjadi satu-satunya bangunan super mewah di kawasan perumahan elit dan merupakan warisan dari pendiri Galaksi group yang merupakan kakek Bella.

Bella yang sempat tertidur sebentar di dalam mobil kini mengerjap-ngerjap ketika matanya melihat sebuah mobil minibus di halaman rumahnya. Tak hanya itu, dia juga melihat beberapa pelayan yang tampak gugup sembari menenteng tas dan koper mereka. Seketika itu, Bella pun lantas keluar dari mobil. Dia menghampiri seorang wanita yang tampak berdiri di samping mobil dengan menenteng tas besar di tangan.

"Apa yang terjadi, Kak?" tanya Bella dengan raut kebingungan.

"Non, kami semua di pecat oleh Nyonya Lavi," jawab wanita itu dengan mata berkaca-kaca.

"Apa? Nyonya Lavi? Maksudnya tanteku? Tante Lavi?" Bella menekan suara dalam pertanyaanya seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

Wanita itu hanya mengangguk, sambil melirik kearah para temannya yang bernasib sama.

Mendengar itu, Bella langsung berlari masuk ke dalam rumah. Bola matanya mengedar ke semua arah mencari sosok yang bertanggung jawab atas situasi yang terjadi. Dengan tangan terkepal erat dan nafas yang tak beraturan, Bella berlari menyusuri ruangan tiap ruangan di rumah besar itu sambil menyerukan nama sang bibi.

"Hentikan!!" seru Bella ketika menemukan seorang wanita dengan dandanan menor hendak membuka sebuah kamar yang cukup besar di lantai dua. Benar, itu adalah kamar tidur orangtua Bella.

Lavi berbalik badan dan mendapati keponakannya itu tampak terengah-engah dengan wajah yang geram.

"Kau sudah pulang ternyata," ucap Lavi santai sembari membetulkan posisi tas tangannya.

"Apa yang tante lakukan? Kenapa tante disini dan kenapa tante memecat semua pegawai?" Bella langsung membombardir Lavi dengan beberapa pertanyaan hingga membuat wanita itu melipat tangan di dada.

"Kenapa? Karena mulai hari ini rumah ini milik kami," jelas Lavi dengan nada remeh.

Mendengar itu, mata Bella membulat. Dia tahu kalau istri pamannya itu suka mengonsumsi alkohol, tapi bukankah sekarang ini terlalu dini untuk mabuk dan membuat kekacauan di rumah orang? Bella memijit keningnya dan menghela napas dalam. Dia sempat berpikir kenapa Vanya sangat menyebalkan, dan kini dia pun tahu alasannya. Ibu dan anak itu sama-sama merepotkan.

"Huh, aku akan menelpon Paman Dante, lebih baik tante beristirahat dikamar tamu sekarang." Bella menatap sinis kearah wanita berambut ikal sebahu itu lantas mengeluarkan handpone dari saku kemejanya.

Seakan tahu apa yang di pikirkan Bella, wanita itu lalu mendekat kearah gadis itu sembari menyodorkan sebuah lembaran kertas yang baru di keluarkan dari tasnya.

"Apa ini?" tanya Bella, dia mengurungkan diri menelpon sang paman dan kini pandangan matanya terfokus pada lembaran kertas yang di berikan oleh Lavi.

Mata Bella langsung membelalak ketika membaca tulisan yang bercetak tebal di bagian atas. Surat pengalihan aset yang di bagian paling bawahnya telah di bubuhi tandatangan Bella.

"Tidak mungkin!" Bella memekik sembari merobek kertas itu tepat di hadapan Lavi. Namun, wanita itu malah tersenyum seolah mengejek tindakan Bella.

"Percuma saja, toh itu sudah terjadi. Jadi, bersiaplah menjadi keponakan yang manis dan patuhi semua perintahku atau kau mungkin berniat hidup mandiri dan keluar dari sini," cemooh Lavi, bibir tebalnya dengan lipstik merah terang itu kini tersenyum lebar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!