NovelToon NovelToon

GRIZELLE’S

1|Aurelia Grizelle

Gemerlap lampu disko terpancar hingga ke  DJ stage membuatku semakin bersemangat memainkan musik EDM yang berhasil membuat orang-orang di bar  mengangkat slokinya sembari menggeleng mengikuti alunan musikku. Tak hanya di bar, aku mengedarkan pandangan ku menyapu seluruh tamu club yang datang penuh gairah malam ini dari barisan belakang hingga ke barisan depan, dari ujung kanan hingga ujung kiri semua orang menari dengan lihai di dance floor.

“DJ Grizelle!!!!”

Sesekali aku mendengar suara beberapa orang menyerukan namaku sangat lantang karena puas dengan permainanku. Baiklah, katakan saja mereka sebagai fans-ku, ah senangnya hidup sebagai seorang Aurelia Grizelle yang famous ini. Aku sangat menyukai kehidupanku yang amat teramat sangat menyenangkan, aku merasa seperti Tuhan benar-benar ada karena dunia ini selalu berpihak padaku. Aku terlahir di keluarga kaya raya dan aku sendiri pun sangat mandiri bahkan penghasilanku bisa mencapai puluhan juta setiap bulannya meski dengan statusku yang masih pelajar SMA. Pagi hari aku berdandan layaknya murid SMA untuk pergi ke sekolah, sore hari setelah sekolah aku sudah berdandan cantik dan bersiap berjalan di catwalk, ya, benar, aku seorang model muda dan satu hal lagi yang perlu kalian tahu. Tunggu, tentunya kalian sudah tahu pasti bahwa aku seorang disc jockey dengan nama panggung DJ Grizelle.

“Apa kamu sudah selesai?” tanya Mark sedikit berteriak karena suara dentuman musik di sini sangat kencang.

Aku melirik arloji yang melingkar di tangan kiriku, saat ini pukul sebelas malam.

“Waktuku sudah habis,” ucapku.

Sekarang giliran Mark yang menguasai DJ stage. Aku berpamitan pada Mark dan segera turun menghampiri kekasihku yang sedari tadi duduk menunggu di bar dengan tatapannya yang sedetik pun tidak mau lepas dariku. Tidak hanya kekasihku, semua orang di sini pun sudah biasa menatapku dengan tatapan predator yang lapar, mereka menatapku seperti mangsa yang sangat lezat. Bagaimana tidak, siapa sih yang tidak terpikat dengan gadis cantik sepertiku? Aku memiliki lekuk tubuh yang indah, kulit putih bersih, rambut panjang coklat yang setiap hari aku buat ikal di bagian ujungnya, bola mata hazel dan bulu mata lentik menambah kesan cantik di wajah ini.

“Why you so damn beautiful, Aurelia?” bisik Trayon mengecup singkat bibirku. Itu merupakan hal yang sering dia lakukan padaku, dia benar-benar mengagumi kecantikan kekasihnya ini.

“Because I'm yours,” jawabku lalu mengalungkan tanganku di leher Trayon, dia langsung melingkarkan tangannya di pinggul kecilku kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajahku hingga hidung kami saling bersentuhan.

“Bisa kita pergi dari sini?” tanya Trayon.

Belum sempat aku menjawab, dia sudah mengatakan sesuatu lagi.

“Aku tidak tahan, rasanya aku ingin menghantam setiap pasang mata yang menatap gadisku.”

Aku terkekeh mendengar Trayon, entah kenapa aku sangat menyukai sifat cemburuan Trayon ini.

“Ayo, kita pergi!” Aku menarik Trayon keluar dari night club.

Aku sangat menyukai Trayon, tidak, tapi aku rasanya aku juga mencintainya atau hanya sebatas obsesi semata. Kami sudah menjalin hubungan hampir satu tahun, aku mengenal Trayon karena dulu kami sempat berada di satu project photoshoot catalog couple. Dari sana kami saling mengenal satu sama lain hingga akhirnya kami jatuh cinta dan menjalin hubungan seperti ini. Trayon juga seorang model muda, dia memulai karirnya sejak duduk di bangku sekolah dasar dan kini Trayon mengenyam pendidikan di salah satu Universitas bergengsi dan dia mengambil jurusan arsitektur.

“Kenapa kita ke sini?” tanyaku saat tiba di apartemen Trayon.

Tadi aku sudah mengatakan pada Trayon bahwa aku sangat lapar, aku belum makan sejak tadi siang. Aku benar-benar ingin makan saat ini, tapi kenapa dia malah mengajakku ke apartemennya, menyebalkan sekali.

Trayon tersenyum seraya mengacak rambutku, ah sial, sikapnya ini manis sekali.

“Trayon,” seruku memintanya menghentikan aksinya itu.

“Duduk dan tunggulah, aku akan memasak untukmu.”

Aku menatap Trayon berjalan ke dapur, ia langsung menggunakan apron dan membuka kulkas untuk mencari bahan-bahan masakan. Trayon itu ibaratnya paket komplit, dia tampan, dia punya karir model yang bagus, dia juga pintar di kampusnya dengan berbagai prestasi yang diraihnya selama ini, dia juga jago masak, ah... he’s my perfect boyfriend.

Aku mendekati Trayon, dia sibuk mengupas bawang lalu memotongnya secara memanjang. Fokusku tertuju pada wajah tampan Trayon yang terlihat begitu serius, sesekali aku tersenyum mengingat pria tampan ini adalah kekasihku

“Bisakah Anda berhenti menatap saya sambil tersenyum seperti orang bodoh, Nona Grizelle?” ledek Trayon padaku, sepertinya dia merasa risih dengan tatapanku.

Aku tertawa kecil lalu memeluknya dari belakang. “Katakan apa yang bisa aku bantu, Chef Trayon?” godaku.

Trayon menghentikan kesibukannya, dia menyentuh kedua tanganku yang memeluknya dari belakang lalu dia berbalik dan menatapku. Deg! Jantungku berdetak tak karuan, Trayon membuatku ingin teriak dengan rasa yang bergejolak di hati ini. Tatapan Trayon benar-benar melelehkanku.

Trayon menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajah cantikku, dia masih menatapku dalam. Bisa aku rasakan hembusan napasnya yang kini menerpa wajah cantikku, dia semakin dekat. Trayon menciumku, dia ******* lembut bibir ranumku. Aku melemas, aku rasa kaki ini sudah tidak menginjak lantai. Trayon, kamu menyiksaku dengan ciumanmu yang begitu memabukkan.

Trayon melepas ciumannya, kami mencoba mengatur napas masing-masing.

“Duduklah dan berhenti menggangguku atau aku akan menciummu lagi,” bisiknya.

Aku tersenyum mendengar itu. “Ok, Captain!”

Aku memilih duduk dan menunggu Trayon selesai dengan masakannya. Aku tidak tahan bila harus bercumbu lama dengannya, itu akan membuatku gila karena ciuman Trayon yang seperti candu itu.

“Bagaimana rasanya?” tanya Trayon saat satu suapan masuk ke mulutku.

Aku belum meresponsnya, aku sibuk mengunyah makanan di dalam  mulutku yang sungguh luar biasa enak rasanya. Ada dua hal yang aku suka dari Trayon, wajah tampannya dan masakannya ini. Haha, konyol sekali.

“Seperti biasa,” ucapku sesudah menelan makananku.

Trayon memasang wajah tidak suka, sepertinya dia kesal dengan ucapanku.

“Seperti biasa rasa masakanmu benar-benar enak, Trayonku sayang,” ucapku kemudian.

Trayon tersenyum senang lalu dia mengelus kepalaku.

“Cepat habiskan, setelah ini aku akan mengantarmu pulang.”

Aku menyantap habis semua masakan Trayon tanpa sisa sedikit pun, aku tidak bohong dan bukan tukang pamer, tapi sungguh masakan kekasihku ini sangat enak. Kenapa dia tidak buka restoran saja ya? Aku sudah sempat memberitahunya, tapi dia tidak berniat untuk itu. Kata Trayon memasak itu hanyalah hobi, bukan sesuatu yang ingin ditekuni. Namun, ada sesuatu yang ingin dia jalani dengan serius, yaitu hubungan kami ini. Haha, tidak tidak, aku hanya bercanda.

“Kita sudah sampai, kamu masih belum mau turun dari mobilku, Tuan Putri?” tanya Trayon saat kami tiba di depan rumahku.

Aku menatap cemberut pada Trayon yang memintaku turun dari mobil. Aku tidak ingin berpisah dengan Trayon, baru sebentar kami bertemu masa harus berpisah sih. Ah, rasanya aku ingin segera menikah saja dengan pria tampan ini.

“Aku kan masih kangen, Trayon,” rengekku.

Trayon menghela napas pelan, aku tahu dia mulai kesal menghadapi sifat kekanak-kanakanku ini, tapi dia tetap saja berusaha sabar.

“Besok aku akan mengantarmu sekolah.”

Mataku langsung bersinar mendengar itu, aku tahu dia pria yang cukup sibuk juga. Pagi hari Trayon kuliah, siang hari dia harus belajar di perusahaan ayahnya karena dia adalah satu-satunya penerus dari  Scott State Group perusahaan ternama milik ayahnya, Conan Scott dan di sore hingga malam hari dia harus melakukan photoshoot untuk beberapa project yang dikontraknya.

“Aku mencintaimu, Trayon!” seruku melepas seatbelt lalu memeluknya. Trayon balas memelukku, lalu dia mencium keningku.

Jarang-jarang Trayon mau menyempatkan diri untuk mengantarku sekolah. Kami bahkan sulit bertemu di pagi sampai sore hari, selama ini kami hanya bertemu di malam hari. Bahkan aku sering merasa kami seperti pasangan kekasih nokturnal layaknya kelelawar, konyol sekali.

2|Bullying

Aku menatap pantulan diri ku di cermin. Pagi ini aku sudah siap dengan seragam press body yang semakin menampakkan indah lekuk tubuhku, rambut cokelat yang selalu aku urai dan make-up natural yang kupoles di wajah cantikku. Siapa sih yang tidak akan terpikat dengan pesona cantik seorang Aurelia Grizelle.

Aku menuruni anak tangga menuju lantai satu dan langsung disambut oleh dua pelayanku yang bekerja mulai dari jam enam pagi hingga jam enam sore. Aku lebih suka tinggal di rumah besar ini sendiri karena itulah aku meminta mereka untuk datang dan pergi saja daripada meminta mereka tinggal bersamaku.

“Sarapan sudah siap, Nona.” Aku mengangguk dan langsung menuju meja makan. Sudah tersedia segelas susu dan roti bakar selai cokelat favoritku. Sebelum Trayon datang sebaiknya aku sarapan terlebih dahulu.

Aku langsung memotong roti bakarku, menusuknya dengan garpu dan memasukkannya ke mulutku. Paduan selai cokelat yang manis pahit ini menyatu dengan krispi roti yang dipanggang dengan baluran mentega, rasanya membuatku ketagihan untuk terus mengunyahnya.

“Ini benar-benar enak,” ucapku tanpa sadar.

Hingga beberapa saat kemudian aku mendengar suara klakson mobil Trayon yang sudah terparkir menungguku di depan rumah. Aku sudah kelar makan dan dengan segera meneguk segelas susu tadi hingga tandas. Aku pun bergegas keluar menghampiri Trayon lalu masuk ke mobil.

“Morning, my beautiful lady,” sapa Trayon seraya memasang sabuk pengaman untukku.

“Morning too,” ucapku yang langsung disambar satu kecupan hangat tepat di bibirku. Blush… kedua pipiku panas rasanya, aku tersenyum salah tingkah karena kecupan itu.

“Sudah siap, sayang? Atau apa mungkin masih ada barang yang tertinggal?” tanya Trayon memastikan ku sebelum melajukan mobilnya.

“Tidak ada, ayo kita berangkat,” jawabku penuh semangat kemudian Trayon langsung melajukan mobilnya menuju sekolahku.

Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara karena aku fokus menatap jalanan dari luar kaca mobil, suasana pagi yang damai dengan udara sejuk yang masih asri ini menghipnotisku menjadi enggan berbincang. Aku memilih diam menikmati indah semesta ini sampai akhirnya Trayon menghentikan mobilnya tepat di depan sekolahku.

“Kita sampai, sayang,” ucap Trayon.

“Terima kasih ya Trayon sayang!” aku tersenyum lebar menatap wajah tampan Trayon yang kini tengah menatapku juga.

“Have a nice day my beautiful lady, Aurelia,” ucap Trayon mengecup singkat bibir pink-ku saat mobilnya terhenti di depan gerbang sekolahku. Aku menunduk mencoba menyembunyikan rona di pipiku karena kecupan Trayon yang tiba-tiba dan bisikan manis darinya.

“Kamu gak turun?” tanya Trayon padaku yang masih enggan melepas sabuk pengaman sedari tadi.

“Ah iya.”

Aku melepas sabuk pengamanku lalu berpamitan pada Trayon dan segera memasuki gerbang sekolah yang sebentar lagi akan ditutup karena bel sekolah akan berbunyi kurang lebih lima menit lagi. Aku berjalan menyusuri koridor sekolah, seperti biasa semua mata tertuju padaku. Ya, dimanapun aku berada, aku sadar, aku ini menjadi sorotan atau lebih tepatnya wajah cantik dan tubuh seksiku ini menjadi tontonan favorit semua orang.

Aku memasuki ruang kelas 12 IPA Unggulan. Selain cantik, punya bakat modelling bahkan seorang DJ serta anak yang super duper mandiri dengan kekayaan yang berlimpah pula, aku juga merupakan murid yang pintar, loh. Jangan iri dengan kehidupanku, cukup baca dan ikuti alurnya, mengerti?

“Wow! Aurelia Grizelle! Kamu tidak datang terlambat hari ini, mimpi apa semalam? Hahahaha…” goda Daisy menyambut kedatanganku di kelas.

Aku memutar bola mata mendengar itu, apa ini sebuah kebanggaan baginya karena aku tidak datang terlambat seperti biasa?

“Trayon mengantarku hari ini,” sahutku seraya menaruh tas di meja lalu duduk di kursiku.

“Benarkah? Tumben sekali dia mau mengantarmu,” ucap Ella kali ini sungguh membuatku kesal.

Trayon itu bukannya tidak mau mengantarku, selama ini dia sibuk jadi tidak bisa mengantar jemputku dan kami hanya bisa bertemu paling tidak tiga kali seminggu. Ah, benar-benar menyedihkan.

“Trayon hanya sibuk dan tidak sempat, bukannya tidak mau!” sinisku pada Ella.

Ella tertawa lalu mencubit pipiku, gemash. “Jangan galak seperti ini tuan putri, aku hanya bercanda.”

“Kalau begitu Ella, jam istirahat nanti kamu harus traktir kita! Hahaha..” ucapku memberi hukuman pada Ella.

Ella mendengus sebal, tapi ia mengiyakan ucapanku sedangkan Daisy sudah mengangguk mantap.

Dua jam pelajaran berlalu, belajar matematika itu menguras banyak tenaga dan pikiranku. Sebenarnya pelajaran matematika itu menyenangkan karena kita seperti mendapat kasus dan harus tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah dari kasus soal tersebut hingga menemukan semua hasil atau jawaban pasti, sangat menyenangkan iya kan? Saking menyenangkannya belajar matematika sukses membuat cacing-cacing di perutku meronta minta makan, aku benar-benar lapar saat ini.

“Ayo cepat ke kantin! Aku udah laper banget,” ucapku memelas. Daisy dan Ella langsung mengangguk sebagai jawaban.

Kami berjalan ke kantin. Lagi dan lagi, aku menjadi pusat perhatian dan ada hal yang perlu kalian tahu. Daisy dan Ella adalah teman-temanku yang tak kalah cantik denganku, tapi catat ya, masih tetap aku yang lebih dan paling cantik tentunya.

“Apa dia anak baru?” tanyaku pada Daisy dan Ella saat melihat tempat favoritku di kanti diduduki oleh seorang wanita gendut dengan rambut yang dikunci kuda serta hiasan kaca mata bulat besar yang dia gunakan, benar-benar gambaran gadis kutu buku yang cupu.

“Sepertinya begitu, lihat saja dia bahkan tidak tahu siapa pemilik tempat itu,” sahut Ella.

Selama ini tidak ada yang berani duduk di meja kantin favoritku, kalau ada yang berani duduk di sana tanpa seijin dariku. Habislah.

“Haruskah kita berkenalan dengannya?” tawar Daisy dengan senyum liciknya.

Aku berpikir sejenak, sudah lama aku tidak bermain dengan orang lain selain Daisy dan Ella. Kalau begitu aku akan bermain dengan anak baru itu, sepertinya akan menyenangkan.

Aku berjalan ke arah tempat favoritku itu, gadis yang duduk di sana sudah menatap gemetar ke arahku. Tunggu, bukannya aku ini cantik, tapi kenapa gadis gendut itu tampak ketakutan melihatku?

“Hai, gym ball lady!” sapaku lantang. Sepertinya nama gym ball lady cocok dengan bentuk tubuhnya yang bulat menyerupai bola gym  di tempatku biasa nge-gym.

“Gym ball lady.” Daisy mengulangi nama yang aku sebutkan tadi, Ella sudah tertawa terbahak-bahak mendengar nama itu begitu pun murid-murid lain yang ada di sekitar yang dapat mendengar ucapanku karena memang aku menyapanya dengan suara lantang.

“Kenapa kamu duduk di sini?” tanyaku pada gadis itu, aku melihat name-tag di seragamnya yang bertuliskan Sarah Zee.

Sarah menunduk, dia tidak berani menatapku lagi. Bisa kulihat tubuhnya gemetar dan dia mulai keringat dingin. Sepertinya aku benar-benar wanita cantik yang menakutkan.

“Jawab aku, gym ball lady!” seruku lalu dengan sengaja aku menyenggol gelas berisi orange juice yang ada di meja itu hingga tumpah dan mengenai rok Sarah. Sontak itu membuatnya berdiri kaget.

“Yah! Basah,” ledek Ella dengan suara lirih yang dibuat-buat.

Sarah menatap roknya yang kini basah lalu berkata, “Maafkan aku karena telah duduk di sini.”

“Apa? Aku tidak dengar!” seruku sambil mendekatkan telinga berpura-pura tidak mendengar ucapan gadis gendut itu.

“Katakan lebih keras, bodoh!” Aku menggebrak meja, membuat Sarah hampir meloncat kaget.

Daisy dan Ella tertawa puas melihat reaksi gadis gendut itu mirip dengan tikus got yang takut dimangsa kucing. Sudah lama aku tidak bermain dengan murid lain di sekolah ini, teman sepermainanku hanya Daisy dan Ella karena mereka cukup cantik dan juga populer di sekolah ini dan kebetulan kami satu kelas dalam kelas unggulan.

“Maa..aff…” ucap Sarah terbata.

Aku menarik paksa dagu Sarah agar bisa menatap matanya yang kini memerah dan siap menumpahkan air. Detik kemudian dia menangis, sepertinya sangat ketakutan sekarang. Aku tersenyum, bangga melihat air mata gadis gendut yang tumpah karena takut padaku.

“Minta maaflah dengan suara keras, tegas dan lantang! Aku sama sekali tidak bisa mendengar permintaan maafmu, bodoh!” ucapku pada Sarah yang langsung mengangguk paham.

“Cepet minta maaf! Malah ngangguk-ngangguk doang!” sinis Ella sambil memainkan rambut kuncir kuda gadis cupu ini.

“Iya buruan cepet, lama banget sih!” tambah Daisy.

“Maa…aff…” ucap Sarah masih terbata, sepertinya dia sangat takut saat ini.

“Kamu tuli ya! Aku bilang minta maaf dengan suara keras, tegas dan lantang!” teriakku akhirnya sudah muak dengan gadis cupu ini.

Sarah langsung menunduk mendengar teriakkan ku, detik kemudian bulir air menetes membasahi pipi besarnya. Dia menangis.

“Nangis lagi! Nangis lagi!” sindir Ella sembari tertawa melihat tangis gadis cupu ini.

“Coba cek siapa tahu dia ngompol juga, hahahaha….” ledek Daisy.

Astaga aku benar-benar tertawa bahagia sekali melihat Sarah si gadis cupu ini diolok-olok dengan ledekan yang super lucu dari teman-temanku.

“Apa perlu kita telnjangi saja dia di sini?” tanyaku menatap Ella dan Daisy bergantian.

Sarah langsung menggeleng, dia mencangkupkan kedua tangan seolah memohon padaku. “Ku…mohon…janggan….,” pintanya padaku.

Ella dan Daisy tertawa puas. Seru banget bisa ngebully si Sarah ini, tapi rasa laparku kembali datang. Aku harus segera makan.

Aku menarik rambut Sarah agar dia mendekatkan kupingnya padaku. “Aku peringatkan padamu, mulai besok dan seterusnya tidak ada yang boleh duduk di tempatku!” ucapku  memberi peringatan pada Sarah yang kini sudah mengangguk paham masih sambil menangis.

“Haruskah kita bermain lebih lama dengannya,” saran Ella membuat jiwa jahatku meronta.

Aku lapar, tapi baiklah mari kita bermain sebentar dan aku berpikir sepertinya tidak masalah jika aku bermain sebentar dengan gadis cupu ini. Aku menatap Sarah sejenak, mencoba memikirkan permainan apa yang kiranya akan mengasyikan untuk dia. Sarah ini gadis cupu yang sama sekali belum terkontaminasi oleh make-up.

Aku menjentikkan jari setelah menemukan ide permainan yang tepat untuk si cupu ini. “Ayo kita makeover si cupu ini.”

Daisy dan Ella saling menatap detik kemudian mereka tersenyum seolah paham dengan ideku ini, sedangkan Sarah sudah menunduk pasrah. Kami pun menarik Sarah menuju kamar mandi untuk segera mendandani wajah cupunya.

Aku dan Ella sibuk menata rambut dan seragam si cupu ini sedangkan Daisy masih pergi ke kelas untuk mengambil pouch make up nya. Rambut si Sarah ini aku kuncir satu dengan banyak karet hingga jadi satu kunciran yang tinggi. Seragamnya aku keluarkan dan ku ikat di bagian bawahnya sehingga terlihat crop dan untuk roknya aku robek di bagian samping terlihat seperti rok span yang memperlihatkan paha besar miliknya.

“Time to make up!” ucap Daisy yang datang membawa make up.

Kami langsung mendandani Sarah dengan penuh semangat dan gelak tawa, sungguh bahagia rasanya. Aku memoles foundation sembarang, Ella mengurus make up di bagian mata dan alis sedangkan Daisy sibuk memilih lipstik dan blush on. Sampai beberapa saat kemudian kami selesai mendandani si gadis cupu ini dan langsung kami giring ke lapangan sekolah.

“Lihat sekolah kita punya badut, hahahaha…” tawa seorang siswa laki-laki yang berdiri di kerumunan paling depan.

“Bukankah dia si anak baru yang cupu itu?”

“Astaga wanita gendut itu terlihat lebih cantik sekarang!”

“Lihat pakaiannya sangat mode dan seksi, hahaha….”

“Dia terlihat seperti Barbie yang gagal oplas!”

Celetuk-celetuk para siswa yang berkumpul di lapangan untuk menonton seorang Sarah Zee dengan make-up super menor hasil polesan tanganku, Daisy dan Ella. Kami benar-benar penata rias yang buruk, hahaha, tapi kami sangat puas dengan antusias semua siswa yang rela berkumpul panas-panasan di lapangan hanya untuk menonton gadis cupu itu dan mengambil fotonya dari dekat.

Bisa aku lihat betapa sedih dan malunya Sarah saat ini, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ingat ya ini bukan salahku, toh semua ini aku lakukan karena gadis gendut itu telah berani duduk di tempat favoritku. Jadi, nikmati saja tontonan ini.

“Bukankah kamu terlalu kejam,” ucap seseorang yang kini berdiri di depanku.

Aku memutar bola mata malas saat tahu si ketua osisi super menyebalkan ini yang berdiri di depanku. Harusnya aku senang karena dia adalah laki-laki paling populer di sekolah ini bahkan boleh diakui ketampanannya mengalahkan kekasih manisku, Trayon Scott. Namun, tetap saja ketampanan ketua osis super menyebalkan ini tidak ada artinya karena aku sangat benci sifatnya yang selalu turut campur dengan apa pun yang terjadi di sekolah ini termasuk kekacauan yang sedang aku buat saat ini, tapi wajar saja kan dia ketua osis.

“Edgar Immanuel Caesar! Bisakah kamu tidak ikut campur dengan masalahku!” ucapku dengan penuh penekanan intonasi pada nama laki-laki menyebalkan ini.

Edgar menatapku dingin, seperti biasanya tatapan laki-laki ini tidak pernah berubah. Tidak hanya padaku, tapi pada semua orang pun sama kecuali pada orang yang dia hormati tatapannya akan berubah hangat contohnya saat berhadapan dengan guru atau mungkin dia hanya cari muka, haha.

“Aku tidak akan diam selama masalah yang kamu buat itu masih di sekitar sekolah, karena ini merupakan daerah domisili di bawah pengawasanku,” ketusnya.

“Daerah domisili katamu!” ulangku tak kalah ketus.

Edgar menaikkan sebelah alisnya lalu melangkah satu langkah lebih dekat denganku, aku tidak mundur sedikitpun, aku harus tetap pada posisiku. Kalau aku mundur saat dia melangkah maju nanti dia berpikir aku takut lagi padanya. Bisa aku rasakan hembusan napas Edgar yang menerpa wajah cantikku. Dia semakin menatapku tajam seperti menatap mangsa yang tidak akan dia lepas.

“Apa kamu merasa seperti Ratu di sekolah ini?” tanya Edgar padaku.

“Oh tentu, bukankah kamu tahu jawabannya? Buta ya selama ini gak bisa lihat kepopuleran ku di sekolah?” jawabku tegas.

“Bukannya buta, tapi kepopuleranmu di sekolah itu ibarat butiran debu di udara, tak ter-li-hat!” ucapan Edgar kali ini memancing amarahku di saat rasa lapar yang kembali datang, ah kesal sekali.

Baru saja aku hendak bicara, tapi Edgar sudah mendahului. “Berhentilah bersikap sok berkuasa, Aurelia Grizelle. Kamu hanya anak kucing yang sedang berakting menjadi singa!” ketus Edgar melangkah mundur lalu berbalik dan pergi meninggalkanku, dia berjalan ke tengah lapangan.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat geram dibuatnya, dia mengatakan aku ini butiran debu di udara yang tak terlihat, dia bilang aku sok berkuasa dan aku ini adalah anak kucing yang sedang berakting menjadi singa. Ah, ingin sekali rasanya aku mencakar wajah tampan Edgar dengan kuku panjangku hingga dia kehabisan darah, dasar menyebalkan. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat dengan jelas Edgar menghampiri Sarah lalu dia menarik lembut tangan Sarah dan membawa gadis cupu gendut itu pergi dari tontonan semua orang.

“Edgar benar-benar ketua osis kita yang sangat heroik,” ucap Daisy seraya bertepuk tangan begitupun dengan Ella, mereka memang selalu kagum dengan apa pun yang dilakukan oleh laki-laki menyebalkan itu.

“Heroik apanya? Jelas-jelas dia sedang cari muka!” komentarku melihat  aksi Edgar yang sok pahlawan itu.

3|Alvario Grizelle

Freya si make-up artist yang selalu memoles wajah cantikku ini baru saja selesai meriasku dengan make-up natural untuk photoshoot majalah remaja. Aku selalu menyukai hasil riasannya yang rapi dan sangat memuaskan, sepertinya aku cocok dengan gaya make-up si Freya ini.

“Kamu selalu cantik, Aurelia,” puji Freya.

Selain hasil make-up yang memuaskan, aku juga menyukai sosok Freya yang rendah hati dan sering memuji kecantikanku ini.

“Aku memang sudah sangat sempurna sejak aku dilahirkan, hahaha…”

Aku sudah siap berpose untuk dipotret sebanyak mungkin oleh tim photographer. Aku tidak pernah merasa lelah dengan pekerjaan ini, terlebih nanti malam aku juga harus bersiap sebagai DJ di salah satu night club yang sudah mengontrak ku sekitar enam bulan. Awalnya aku hanya iseng lalu DJ menjadi hobiku bahkan sekarang aku mulai menekuninya dan bonus bagiku bisa memperoleh uang dari DJ ini. Aku memang terlahir di keluarga kaya, tapi aku ini gila bekerja. Sungguh aku benci jika hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa pun, aku berpikir selagi muda kenapa tidak? Hidup hanya sekali, sayang jika dinikmati untuk makan dan tidur saja.

“Oke selesai!”

“Kamu memang luar biasa, hasil fotomu sangat memuaskan, Aurelia.”

Tak henti-hentinya aku mendapat pujian, seperti biasa mereka selalu puas dengan hasil fotoku dan faktanya aku memang berbakat. Aku menatap layar ponselku, saat ini sudah jam tujuh malam dan perutku mulai lapar tentunya. Aku bergegas mengganti pakaianku lalu pamit pada semua orang di sini dan langsung menuju ke restoran cepat saji.

“Satu soft drink, satu beef burger with double cheese and french fries,” ucapku memesan makanan seraya memainkan ponsel membalas pesan singkat dari Trayon. Sesekali aku tersenyum membaca pesan-pesan manis yang Trayon kirimkan padaku.

“Kenapa kamu tersenyum seperti orang bodoh!” ucapan tidak sopan dari staff restoran cepat saji yang melayaniku.

Aku langsung menatap geram orang itu, enak saja mengatakan aku orang bodoh.

“Orang bodoh katamu!” seruku kesal sambil menatapnya dengan tatapan tajamku.

Aku langsung membulatkan mata penuh saat sadar staff itu adalah Edgar. Aku pikir dia anak orang kaya, dilihat dari cara dia berpenampilan dan wajah tampannya itu bahkan tidak pantas untuk seorang staff restoran cepat saji ini. Apa aku sedang bermimpi melihat Edgar di sini?

“Kau bekerja di sini?” tanyaku pada Edgar yang sibuk mentotal biaya yang harus aku bayar seraya menunggu pesananku siap.

“Apa menurutmu aku sedang bermain game cooking mama di sini?” sahut Edgar malah membuat lelucon garing.

Aku memutar bola mata malas, kami memang tidak pernah memiliki percakapan yang berbobot bahkan untuk menghirup oksigen yang sama pun rasanya kami tidak cocok. “Aku bertanya serius.”

“Dengan melihat seragam yang aku pakai ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu,” sahutnya. Aku hanya membulatkan mulut membentuk huruf o.

Edgar memberi pesananku seraya menyerahkan nota tagihan padaku, aku meraihnya dan langsung mengeluarkan kartuku untuk membayar semuanya. Selanjutnya, aku duduk di sudut ruangan dekat jendela sambil menikmati pesananku, sesekali aku memperhatikan Edgar yang sibuk melayani pengunjung. Aku masih tidak percaya laki-laki menyebalkan yang tampan dengan style yang keren itu ternyata tidak sesuai dengan Edgar Immanuel Caesar yang ada di dalam pikiranku. Aku sempat berpikir dia itu anak manja yang sok keren dan berhati dingin dari keluarga kaya raya, tapi faktanya tidak dan aku rasa dia lebih pantas hidup seperti Edgar yang ada di dalam pikiranku.

Tak terasa semua makananku sudah habis, aku meneguk soft drink hingga tandas lalu melirik ke luar jendela. Di luar hari mulai gelap, aku teringat hari ini aku ada jadwal tampil di night club.

“Baiklah, mari pulang,” ucapku pada diri sendiri. Aku beranjak dari tempatku dan sempat sedikit melirik ke konter pesanan tempat Edgar bekerja tadi, tapi cowok itu sudah tidak ada di sana. Baguslah, dia enyah dari pandanganku.

Aku tiba di rumah dan langsung menghempaskan tubuh mungilku di atas ranjang king size seraya menatap langit-langit kamarku. Aku memejamkan mata sejenak, aku ingin tidur, tapi ini sudah jam delapan malam. Satu jam lagi aku harus sudah siap pergi ke night club karena banyak orang yang menantikan penampilanku malam ini. Permainan musik EDM-ku sukses membuat banyak orang menyukaiku dan menjadikanku primadona di sana. Aku segera mandi, kali ini aku mandi dengan waktu yang cukup singkat karena akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdandan dan memilih pakaian.

Aku sudah siap dengan high waist jeans dan crop top berwarna hitam serta outer tartan merah marun ditemani sepatu kets putih dan polesan make-up natural yang membuat penampilanku semakin cantik. Aku tersenyum menatap pantulan diriku yang sempurna, tapi sayang malam ini Trayon tidak menghampiriku seperti kemarin. Hari ini dia sangat sibuk dengan pekerjaan dan tugas kuliahnya yang menumpuk. Sudahlah, aku sudah terbiasa hidup sendiri sejak aku duduk di kelas satu SMA tepatnya dua tahun yang lalu. Aku mengawali hari-hari sepiku di rumah besar pemberian ayah ini. Ayah dan Ibuku tinggal di Berlin, Jerman. Aku tidak akan mau tinggal di Jerman lagi, terlalu banyak kenangan manis sampai kenangan terburuk yang hampir merenggut nyawaku di sana bersama teman kecilku yang pergi tanpa pamit padaku. Aku ingat dulu kami sepasang bocah kecil yang saling berjanji untuk menjadi teman selamanya. Teman selamanya? Teman apanya, dia malah pergi begitu saja entah bagaimana kabarnya saat ini, aku tidak peduli.

“Dj Grizelle!” seru semua orang saat aku berdiri di dj stange.

Dari sini aku bisa melihat puluhan bahkan ratusan orang yang begitu antusias menantikan permainan djku. Berdiri di depan banyak orang seperti ini sudah bukan hal yang menegangkan lagi bagiku. Tidak ada rasa gugup, malu atau bahkan grogi, aku merasa sudah seperti pawang handal yang siap membuat semua orang di sini menari di dance floor.

“Are you ready?” teriakku sambil mengangkat tangan kananku, sedangkan tangan kiriku sibuk menyiapkan turntable.

Semua perhatian beralih padaku hingga beberapa orang yang awalnya duduk di bar pun seketika melangkah menuju dance floor.

“Ready!” teriakan nyaring semua orang yang sudah berkumpul di dance floor.

Tanpa menunggu lagi aku langsung memainkan musik EDM yang dapat membuat semua orang tersihir dan menari tanpa henti. Aku melompat-lompat kecil ikut terbawa dengan permainan musikku yang benar-benar menyihir ini, sesekali aku menari menggerakkan bahu ke kanan dan ke kiri sampai dua jam berlalu dan aku selesai. Aku merasa haus dan lelah sekali, aku langsung menuju bar untuk mendapat segelas minuman segar.

“Permainan DJ-mu oke juga,” komentar seseorang yang menghampiriku duduk di bar.

Aku menoleh spontan menutup mulut tak percaya di hadapanku berdiri seseorang yang sangat kurindukan.

“What the hell! Damn! I miss you so bad, Alvario Grizelle!”

Aku langsung memeluk Rio, dia balas memelukku. Ah, aku sangat merindukannya walau kami bersaudara bagaikan Tom and Jerry. Usiaku dan Rio beda enam tahun, saat ini aku delapan belas dan Rio dua puluh empat tahun. Kalau orang yang tidak tahu kami bersaudara pasti mengira kami ini sepasang kekasih karena wajah cantikku dan wajah tampannya yang tidak mirip layaknya saudara kandung. Aku lebih mirip delapan puluh lima persen dengan ayahku, sedangkan Rio lebih mirip dengan ibu. Dan satu hal, aku tidak pernah mau memanggil Rio ‘kakak’ karena bagiku dia jauh lebih kekanak-kanakan dariku.

“Sedang apa kamu di sini?” tanyaku pada Rio yang sudah memesan segelas wiski.

“Inikan tempat umum,” sahutnya lalu meneguk segelas wiski itu hingga habis.

Aku menghela napas, bukan itu jawaban yang aku inginkan. “Sedang apa kamu di sini, di Indonesia!” tegasku memperjelas.

“Bocah! Jelas itu bukan urusanmu, dasar anak dungu!” ketusnya.

Lihatkan, belum ada beberapa jam kami bertemu, dia sudah memulai perdebatan denganku. Dia itu kakak yang kasar dan tukang ngegas, aku hanya bertanya bahkan dengan nada bicara yang biasa saja, tapi dia malah menyahutiku dengan nada super ngegasnya itu.

“Baiklah! Siapa juga yang peduli!” sahutku tak kalah ketus lalu aku pergi meninggalkan Rio yang sepertinya akan menghabiskan malam dengan minum-minum di bar.

Aku sibuk mencari posisi tidur yang nyaman, aku memeluk guling, aku menyelimuti seluruh tubuhku, aku berbalik ke kanan lalu ke kiri. Ah, semua sudah kulakukan, tapi pikiranku terus saja memikirkan Rio. Kenapa aku malah memikirkan dia? Aku khawatir padanya, khawatir jika dia minum terlalu banyak lalu mabuk dan membuat kekacauan di sana. Aku tahu percis bagaimana si kakak yang super ngegas itu kalau sudah mabuk, dia akan bertingkah seperti anjing gila.

Aku kembali bangun lalu mengambil kunci mobilku dan memutuskan untuk kembali ke night club, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Rio. Padahal dia sudah dewasa, kenapa aku masih mengkhawatirkannya? Beberapa menit kemudian, aku tiba di sana. Namun, Rio sudah tidak ada di bar. Aku mengedarkan pandangan mencari-cari sosok Rio di antara banyak orang di sini, aku yakin dia masih di sini. Pandanganku berhenti saat mendapati sosok pria yang tidak asing bagiku, ya itu Rio. Dia sedang asik bercumbu bersama seorang wanita dengan rambut blonde itu. Sial, kenapa aku membuang-buang waktu mengkhawatirkan Rio yang sepertinya sedang bersenang-senang di sini.

“Aku benci mengkhawatirkannya seperti ini!” gerutuku kesal.

Aku memilih untuk kembali pulang, tidak ada gunanya mengkhawatirkan orang dewasa seperti Rio, dasar bodoh. Aku pun bergegas keluar, tapi tiba-tiba aku mendengar teriakan seseorang.

“Oh my god! Menyingkir dari sana!” teriak seseorang tiba-tiba.

“Ghost! Apa yang akan dia lakukan!” seru orang lainnya.

“Aaaaaaaaa…. seseorang tolong hentikan dia!”

Aku langsung berbalik, seketika tercengang dengan aksi seorang pria yang tiba-tiba datang mendekati Rio dan langsung menusuk perut Rio dengan pecahan botol di tangannya. Pria itu menusuk Rio dua kali dan hendak menusuk Rio lagi, tapi petugas keamanan datang dan berhasil mengamankan pria asing itu.

“Alvario!” seruku segera berlari lalu memeluk Rio yang sudah tergeletak lemas. Semua orang panik dengan situasi ini, petugas keamanan lainnya langsung menghubungi ambulan. Aku menangis gemetar, walau aku membenci Rio sebagai kakakku, tapi aku sungguh menyayanginya. Bertahanlah, Rio.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!