“Yah... nggak bisa gitu dong. Ratna bentar lagi lulus, masa harus pindah sih?” Protesan itu datang dari gadis cantik yang 6 bulan lagi akan lulus SMA.
“ini sudah jadi kesepakatan kita kan? Kalau kamu ketahuan main malam-malam, kamu akan ayah pindahkan dari sekolah, biar nggak ketemu sama temen-temenmu yang toxic itu” Haris putra manikam, tak lain adalah ayah Ratna.
Dia sosok single parent yang tegas tapi tidak keras. Sikapnya yang seperti itu dia pertahankan sebelum dirinya menyandang status dudanya satu tahun yang lalu sampai sekarang, dia tidak ingin putri semata wayangnya menjadi manja atau terkena pergaulan bebas di zaman yang sudah rusak ini.
“Tapi yah, waktu itu Ratna cuma dateng ke pesta ulang tahunnya ketua kelas doang yah... nggak main aneh-aneh kok” Ratna masih saja memberikan pembelaan untuk dirinya sendiri.
“tanpa kecuali nak”
Timpal Haris dari balik buku pelajaran Ratna yang tengah dia baca, andai saja waktu itu Ratna izin baik-baik pada Haris, mungkin ayahnya tersebut akan memberi izin dan mengantarnya ke pesta ulang tahun ketua kelasnya tersebut.
Tapi yang Ratna lakukan malah keluar rumah tanpa seizin ayahnya dan kembali dengan mengendap-ngendap seperti maling yang ketakutan akan ketahuan mencuri.
“Tapi kayaknya susah deh yah kalau pindah sekarang, kan bentar lagi mau ujian” kali ini Ratna mebujuk ayahnya dengan nada yang lebih bersahabat.
"itu urusan ayah, kamu saip-siap saja dari sekarang” lelaki dewasa itu bersuara, kemudian membuka lembar selanjutnya.
“emangnya ayah mau pindahin Ratna kemana sih?” sekarang Ratna kembali bertanya dengan nada kesal. Sebelum menjawab Haris menutup buku, kemudian menatap Ratna sebentar dan berjalan mendekati Ratna lalu mencium kening putrinya tersebut.
"ke jawa timur, kamu akan ayah pondokkan disana”
Setelah kata itu terucap, Haris keluar dari kamar anaknya yang termangu sesaat, kemudian teriakan terdengar ketika Haris sudah menutup pintu.
“RATNA NGGAK MAU YAHHHH........”
Tapi Haris hanya tersenyum, “kamu harus mau nak” begitu dia berkata dalam hati lalu masuk ke kamarnya sendiri.
****
“pagi yah” sapa Ratna setelah duduk di kursi sebelah kanan Haris, mereka bersiap untuk sarapan.
“pagi sayang” jawab Haris sekilas kemudian menyuapkan nasi goreng buatan Mbok Nur, berbeda dengan Ratna yang sempat menungggu ayahnya untuk membicarakan masalah semalam tentang kepindahannya, tapi Haris tetap melanjutkan kegiatannya membuat Ratna berfikir kalau ayahnya hanya bercanda akan memindahkan dirinya ke pondok pesantren, meskipun Ratna tahu kalau ayahnya itu tidak akan membuka pembicaraan di meja makan kecuali hal-hal yang mendesak saja.
Hari ini adalah hari minggu, jadi baik Ratna maupun ayahnya sama-sama berada di rumah. Meskipun hubungannya tidak sedakat dengan sang ibu, tetap saja Ratna tidak bisa menolak aturan dari ayahnya untuk sama-sama meluangkan waktu di hari libur. Haris juga sadar kalau kebenciandan kemarahan Ratna padanya karena sudah menceraikan sang istri masih belum sirna, dan dia ingin mengikis hal tersebut.
***
"Nak, boleh ayah masuk?” tanya Haris di dapen kamar Ratna.
"Boleh yah”
Setelah mendengar jawaban dari dalam, pria itu pun mendorong pintu kamar lalu masuk dan menghampiri putrinya yang sedang telungkup di atas ranjang birunya.
"Anak ayah lagi ngapain?” Tanya Haris sambil mengusap rambut Ratna lembut.
"Lagi main doang yah” Jawab gadis itu, masih berkutat dengan gawainya.
"Boleh ayah minta waktu?” Permintaan tersebut membuat Ratna bangkit kemudian duduk menghadap ayahnya.
"berapa bulan lagi ujian?”
"Hmmm... kayaknya masih sekitar enam bulan lagi sih, besok mau uji coba pertama”
"Besok nggak perlu ikut uji coba, ayah udah ngomong sama kepala sekolah kalau kamu mau pindah, dan ayah udah urus semuanya” terang Haris to the point.
Ratna pun termangu, jadi ayahnya tetap akan memasukannya ke pondok pesantren? Dan semalam itu bukan hanya mimpi buruknya saja?.
"Ayah tetep mau masukin Ratna ke pondok pesantren?” tanya Ratna parau, dia menatap ayahnya dengan mata yang sedikit basah.
"ini yang terbaik buat kamu nak” jawab Haris balas menatapnya. “Ratna nggak mau yah” gadis itu tidak bisa membendung lagi air matanya yang sudah berkumpul di pelupuk matanya dari tadi.
“apa alasannya Ratna nggak mau?” Haris menggenggam tangan anaknya dengan erat.
"Terus alasan ayah apa maksa Ratna masuk pondok pesantren?” bukannya memberikan jawaban, Ratna malah balik bertanya.
"Sekarang ayah tanya sama Ratna, kapan terakhir kali Ratna sholat?” mendengar pertanyaan ayahnya itu, Ratna refleks menundukkan kepala karena malu, dia sendiri tidak ingat kapan terakhir kali menunaikan ibadah yang diwajibkan bagi setiap muslim itu.
“Sayang... kamu itu putri ayah satu-satunya, tanggung jawab ayah nanti di depan ALLAH, dan ayah sadar kalau ayah nggak bisa sepenuhnya mendidik kamu karena pekerjaan.
Ayah nggak mau kamu terjerumus pada jalan yang salah, makanya ayah pengan kamu masuk pondok biar bisa doain ayah nanti kalo ayah udah nggak ada.
Biar kamu bisa jadi anak dan istri yang sholehah nak” terang Haris pelan sambil menangkup wajah anaknya agar mau menatapnya lagi.
"Kalo gitu, Ratna bakal sholat yah, Ratna bakal ngaji juga. Masih hafal kok doa-doanya” Gadis itu masih saja berusaha untuk menggagalkan rencana ayahnya.
"Nggak bisa. Kamu butuh memperdalam ilmu agamamu juga, kalau di pesantren kamu pasti mendapatkan bimbingan” Tolak Haris mutlak.
"Ayah egois. Kenapa ayah ceraiin mama kalau tahu Ratna masih butuh bimbingan? Pas Ratna nakal ayah seenaknya buang Ratna ke pesantren” isakan Ratna pecah, dan pertkataannya tadi berhasil memancing emosi Haris.
"Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti dia Ratna? Bahkan dia nggak pernah jenguk kamu kan?” kalimat itu tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan, Haris heran dan kesal karena anaknya terus-menerus membela mantan istrinya tersebut, dia juga merasa sakit hati kala mengingat wanita iru tidak datang ketika hari ulang tahun putri mereka yang sangat mengharapkan kedatangannya.
"Nggak. Mama pernah ketemu Ratna sekali, mama kayak gitu juga karena ayah yang melarang mama buat dateng kesini kan? Kenapa ayah selalu saja melarang mama dari dulu, bahkan sampai sekarang setelah kalian pisah” ucapan Ratna membuat Haris terdiam sesaat, kemudian tersenyum getir.
Ternyata selama ini kebencian Ratna bersumber dari fitnah mantan istrinya tersebut.
"Pokoknya Ratna nggak ma—“ belum selesai dia berucap, tapi Haris langsng memotongnya.
"Cukup MANIKAM!!! Ini sudah jadi keputusan ayah. Kamu harus tetap masuk pondok pesantren” keputusan itu sudah mutlak dan Ratna sudah tidak bisa membantah, apalagi jika sang ayah sudah memanggilnya dengan nama belakang. Itu artinya ayahnya sudah sangat marah.
Haris tidak ingin meneruskan emosinya, dia segera bangkit dan meninggalkan Ratna yang sedang menangis sesenggukan.
"Ayah jahat. Ratna benci sama ayah, harusnya Ratna ikut mama aja dulu”
Ucapan itu berhasil membuat Haris berhenti dan diam cukup lama, kemudian berbalik menghadap Ratna yang kaget melihat air mata nampak membasahi wajah sang ayah. Apakah perkataannya tadi sudah keterlaluan?.
"Saat kamu dewasa nanti, kamu akan tahu siapa yang salah diantara kami, dan kamu akan sadar siapa yang paling menyayangimu nak” dengan suara yang terdengar pilu, Haris mengucapkannya, lalu dia benar-benar pergi meninggalkan Ratna yang bingung dengan perkataan ayahnya tadi, dan sekarang gadis itu tengah dikepung oleh rasa bersalah karena telah membuat ayahnya menangis.
***
"Mbok, Ratna belum makan juga yah?” tanya Haris ketika mendapati makanan di atas meja makan tetap utuh tak tersentuh.
"Belum nak, dari tadi saing non Ratna belum turun juga” Penuturan Mbok Nur membuat Haris khawatir, pasalnya dirinya juga tidak makan siang karena ingin menenangkan diri dan baru keluar ketika menjelang maghrib.
"Tolong anterin ke kamar aja ya Mbok” Pinta Haris lembut pada asisten rumah tangga yang sudah bekerja dari dulu, ketika dirinya belum menikah sampai ada Ratna saat ini, beliau juga sudah menganggap Harsi sebagai anaknya sendiri begitu juga sebaliknya, Mbok Nur juga satu-satunya saksi hidup bagaimana Haris menjalani rumah tangga yang tidak sehat itu.
"Yang sabar ya nak.. nanti si Mbok bantu ngomong ke non Ratna” kata itu terlontar ketika Haris hendak masuk ke kamar.
"Iya Mbok, makasih sudah banyak membantu Haris selama ini” ucap Haris tulus, kemudian pamit kembali ke kamarnya.
***
"Non, si Mbok boleh masuk?” izin Mbok Nur setelah mengetuk pintu kamar Ratna, dia membawa nampan berisi makanan dan susu.
"Iya Mbok” meskipun lirih, tapi Mbok Nur masih bisa mendengar suara parau Ratna, akhirnya perempuan tua itu masuk dan mendekati Ratna yang sedang mengubur dirinya sendiri dengan selimut birunya.
"Non Ratna kenapa nggak makan? Udah nggak doyan lagi sama makanan si Mbok?” begitu cara Mbok Nur memancing Ratna bercerita, dan benar saja, gadis itu langsung duduk menghadap Mbok Nur memamerkan wajahnya yang sembab dan terlihat lesu.
"Ratna nggak mau mondok Mbok.. Ratna takut nanti jadi gatel-gatel terus kulit Rtana jadi belang. Anak pondok pasti kudet-kudet, nggak tahu fashion. Kenapa sih ayah egois banget nggak kayak mamah?” Ratna mulai berceloteh pada Mbok Nur yang setia mendengarkan .
"Non sudah tahu alasan nak Haris mau masukin non ke pesantren?”pertanyaan itu hanya diangguki oleh Ratna yang sudah menerima suapan dari Mbok Nur.
"Nah.. pasti ayah non itu pengen yang terbaik buat non. Gak Cuma di dunia, tapi di akhirat juga”
"Nggak Mbok. Ayah itu cuma mau buang Ratna, ayah nggak sayang sama Ratna. Yang sayang sama Ratna Cuma mama”.
Ratna berkata setelah makanan dimulutnya habis, dan itu membuat pergerakan tangan Mbok Nur yang ingin menyuapkan makanan lagi, mendadak berhenti kemudian meletakkan piring itu di atas nakas.
"Non. Si Mbok ini ngikut sama nak Haris dari dia masih kecil. Ayahmu anak yang baik dan selalu berusaha membahagiakan orang tuanya, meskipun harus merelakan kesenangannya sendiri. Dia sudah Mbok anggap seperti anak sendiri”
Ucapan Mbok Nur terhenti, wanita itu menoleh ke arah Ratna yang khusyuk mendengarkan, kemudian Mbok Nur kembali meneruskan ceritanya.
"si Mbok selalu berharap yang terbaik untuk nak Haris, dulu saat masih muda beliau pergi dari rumah untuk belajar di pondok pesantren sambil melanjutkan sekolahnya. Setelah lulus beliau pulang dan saat itu nenek non Ratna berniat menjodohkannya dengan anak temannya. Meskipun kakek non kurang setuju, tapi pernikahan tetap terjadi dan pastinya nak Haris hanya pasrah tanpa adanya penolakan” tiba-tiba raut muka Mbok Nur berubah menjadi sendu.
"Mbok kira dengan memiliki istri, nak Haris akan lebih senang karena ada yang akan mengurusnya dan menemaninya. Tapi nyatanya” Mbok Nur terlihat susah payah melanjutkan cerita dan mukanya semakin sendu membuat Ratna mengernyit bingung.
"Nak Haris harus mengalami hal yang menyakitkan, bahkan dia menanggung dan menutupi semua lukanya dari keluarga dan mertuanya” ucapan Mbok Nur itu berhasil membuat rasa penasaran Ratna.
"Maksudnya apa Mbok?”
Ratna memburu Mbok Nur dengan tidak sabar, dia sampai mendekatkan dirinya pada wanita paruh baya itu.
"Demi Allah non, si Mbok saja tidak kuat hanya dengan melihat penderitaan nak Haris selama berumah tangga, si Mbok pernah berbicara agar nak Haris menyudahi pernikahannya, tapi dia bertahan karena menginginkan non tetap mempunyai sosok ibu. Setidaknya sampai non remaja”.
Mbok Nur berkata dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipi, membuat Ratna semakin kalut dan bertanya-tanya tentang hal-hal yangsudah terjadi pada kedua orang tuanya tersebut, kenapa Mbok Nur bercerita seolah-olah ayahnya yang menderita?.
Bukankah selama ini ayahnya lah yang sudah membuat mamanya tersiksa? Apa Mbok Nur sedang bersandiwara? Tapi kenapa sepertinya itu benar-benar terjadi, dan tidak mungkin pula Mbok Nur akan berbohong dalam masalah seperti ini. Pertanyaan itu muncul berdesakan membuat Ratna sedikit pusing.
"Non, tolong ikuti permintaan nak Haris kali ini saja, dia hanya ingin yang terbaik untuk non. Mbok berani bersumpah, kasih sayang nak Haris jauh lebih besar dari siapapun, bahkan mama non sendiri. Tolong kenali dan pahami ayah non lebih dekat lagi, kalau sudah tiba waktunya, non pasti akan paham”
Setelah memberi teka-teki pada Ratna, wanita tua itu menghapus air mata dan pamit untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan Ratna yang merenungi cerita Mbok Nur. Dia kembali merasa bersalah pada ayahnya dan sudah merasa jadi anak durhaka yang sudah membuat orang tuanya menangis.
***
Tok tok tok...
Pintu kamar Haris berbunyi, tepat setelah dia selesai merapalkan doa seusai sholat isya, dia kira yang mengetuk adalah Mbok Nur, tapi ketika akan membuka mulut untuk mempersilahkan masuk, terdengar suara dari luar.
"Ayah udah tidur? Ratna boleh masuk nggak?”
Akhirnya setelah berfikir cukup lama, gadis itu memutuskan untuk meminta maaf pada ayahnya.
"Belum nak, masuklah!”
Baru saja Ratna akan pergi karena mengira ayahnya sudah tidur, tapi ketika mendengar jawaban dari dalam, membuatnya mau tidak mau harus memutar knop pintu dan membukanya.
Dilihatnya sang ayah masih duduk di atas sajadah, memang jika diingat-ingat lagi, hanya ayahnya yang selalu menyuruhnya sholat. Tapi Ratna memang nakal dan mengatakan sudah melakukan pekerjaanyang dilakukan lima kali sehari itu.
"Sini masuk!”
Pinta Haris, karena Ratna hanya menatapinya di ambang pintu, putrinya pun melangkah pelan mendekat dan duduk di samping sajadah yang tergelar di atas karpet abu-abu.
"Ayah. Ratna minta maaf kalau ucapan Ratna tadi meyakiti hati ayah”
Inilah salah satu hal yang Haris ajarkan pada putrinya itu, untuk berani meminta maaf jika kita melakukan kesalahan, dan Ratna mengingat itu membuat Haris bangga pada anaknya yang beberapa jam lalu sudah membuatnya sedih.
"Iya sayang... ayah juga minta maaf karena tadi udah keras sama anak ayah yang cantik ini”
Ucap Haris lembut dengan usapan lembuit di kepala Ratna yang kemudian mendongak untuk melihat ayahnya yang sedang tersenyum, senyum tulus yang menenangkan, gadis itu pun kemudian menghambur ke pelukan ayahnya dengan tangis yang pecah. Masih saja merutuki perbuatannya yang sudah membuat ayahnya menangis.
"Maafin Ratna kalau selama ini Ratna nakal dan banyak nyusahin ayah”
Perkataan itu terucap begitu saja kala dia menyadari ayahnya memang sosok yang tegas, tapi tidak pernah membuat Ratna kecewa. Sepertinya dia memang kurang mengenal ayahnya sendiri.
"Kamu ngomong apa sih? Kamu itu akan ayah, ayah nggak pernah merasa di susahin sama anak ayah sendiri” jawab Haris memprotes ucapan Ratna, dia pun mengeratkan pelukannya dan mendaratkan kecupan di puncak kepala anaknya.
"Makasih yah”
Entahlah, Ratna rasa dia tidak hanya harus meminta maaf, tapi ucapan terima kasih juga harus banyak-banyak dia ucapkan pada ayahnya itu.
“jadi Ratna mau kan masuk ke pesantren?” tanya Haris begitu berhati-hati setelah Ratna sudah tenang, tidak ada jawaban untuk sementara waktu sampai Ratna mengurai pelukan dan menatap Haris sebentar kemudian dia mengangguk kecil membuat Haris terkejut dan senang bukan main.
Haris tak meyangka anaknya akan memenuhi permintannya, padalah jika tadi Ratna menolak pun dia tidak akan memaksa lagi, karena sebenarnya dia juga merasa berat jika harus berjauhan dari putri kecilnya itu. Namun jawaban yang diberikan Ratna malah membuatnya terharu, dia yakin ini pertolongan dari ALLAH lewat Mbok Nur.
"Beneran mau?” Haris mengulangi pertanyaannya dan kembali mendapat anggukan dari Ratna.
"Terima kasih nak, kamu nurut sama ayah”
Ucap Haris sambil memeluk anaknya kembali dengan membubuhkan banyak kecupan di kepala Ratna, bahkan saking senagnya, dia tak sadar kala air matanya terjatuh membuat Ratna mendongak dan menghapus cairan bening itu.
"Jangan nangis lagi yah”
"Ayah nangis karena bahagia nak. Ya udah, besok kita belanja yah buat keperluandi pondok” dan hanya ditanggapi dengan anggukan kecil lagi.
"Tapi yah.. kalau Ratna nggak betah. Ayah nggak boleh paksa untuk tetap disana yah” Bukan Ratna namanya jika tidak mengajukan syarat yang aneh-aneh.
"iya.. ayah janji. Yang penting Ratna udah mau nyoba dulu”jawab Haris cepat, tentu saja itu hanya jawaban agar Ratna tetap mau berangkat, tapi nantinya Haris akan berusaha dan memastikan kalau Ratna akan betah di pondok.
"Ya udah, sekarang tidur ya” Ratna hanya diam saja menanggapi ucapan ayahnya, membuat Haris menatapnya bingung.
"Ratna mau tidur sama ayah sebelum Ratna tidur di pondok” Ratna mengatakannya sambil menunduk, entah mengapa dia merasa rindu pada ayahnya, padahal ayahnya masih ada di depannya.
Haris pun hanya tersenyum, tentu saja dia mau karena ini kesempatan langka baginya dan peluang besar untuk mendapatkan hati sang anak lagi.
"ya sudah, ayah lipat dulu sajadahnya” Haris bangkit dari duduknya, kemudian melipat sajadah itu, tapi beberapa detik kemudian dia menoleh pada Ratna yang dari tadi melihat pergerakkannya.
"sudah sholat nak?” pertanyaannya muncul begitu saja dan mendapat gelengan dari Ratna.
"lagi halangan yah” Kali ini memang Ratna berkata jujur.
"oh gitu, sudah makan?” Haris melanjutkan pertanyaan yang sejak tadi ingin dia tanyakan danmerasa lega ketika Ratna mengganggukkan kepala sebagai jawaban. Haris pun melangkah menuju ruangan untuk berganti pakaian.
"Gue harus cari tahu apa yang terjadi antara ayah dan mama. Nggak ada salahnya kan kalo sekarang gue sedikit nurut sama ayah, toh nanti kalau nggak betah juga nggak akan dipaksa”
Ratna membatin kala menunggu ayahnya berganti baju, mungkin dia sudah mendapat pencerahan dari Tuhan untuk menuruti permintaan ayahnya, karena dulu dai adalah orang pertama yang akan membantah ucapan ayahnya sendiri. Dia hanya akan menuruti dan mendengarkan perkataan mamanya.
Berkat teka-teki dari Mbok Nur juga, membuat Ratna berinisiatif untuk membuktikan kebenaran dari cerita-cerita itu dan membuktikan kalau mamanya juga menyayangi Ratna, tidak hanya Haris yang memiliki kasih sayang yang besar padanya.
Sebenarnya berat sekali bagi Ratna untuk meninggalkan rumah, tapi dia harus tetap berangkat karena sudah mengiyakan permintaan ayahnya tersebut, dia juga sudah bertekad untuk mencari tahu sesuatu yang salah di antara kedua orang tuanya.
Ratna berangkat dengan Haris, mereka akan menggunakan mobil dalam perjalanan kali ini, alasannya adalah Haris ingin sedikit mengulur waktu agar lebih lama lagi bersama putrinya, dia juga mengajak dua sopirnya untuk bergantian mengantar mereka, jadi Haris bisa bercengkerama dengan Ratna.
Setelah hampir satu hari menempuh perjalanan, akhirnya mereka pun tiba di daerah yang dituju, yaitu di pondok pesantren ‘Al-mukmin‘ yang terletak di salah satu kota di jawa timur.
“Nak, bangun sayang. Sudah sampai”
Ucap Haris sambil menepuk lengan putrinya, untung saja Ratna bukan tipe orang yang mempunyai kebiasaan tidur seperti orang pingsan. Dia langsung terbangun dan mengerjapkan matanya, setelah itu dia mengamati tempat dia berada sekarang yang terlihat begitu asri karena banyak sekali pohon-pohon berbagai ukuran yang tertanam disana.
Hawa sejuk, yang sangat berbanding terbalik dengan ibu kota yang selalu bising dan panas, apalagi udaranya yang sudah bercampur dengan berbagai polusi menjadikan orang-orang di ibu kota menjadi cepat naik darah. Untuk beberapa saat Ratna menikmati pemandangan itu, apalagi setelah dia turun dari mobil, dia disambut dengan pasukan oksigen yang berebut masuk ke dalam indera penciumannya.
Ratna pun menghirupnya rakus, dia ingin menukar udara kota yang kotor di tubuhnya dengan udara yang baru saja keluar dari pabriknya yang menjulang tinggi dengan berbagai ukuran.
“udaranya segar kan nak? Ayah yakin kamu pasti betah disini”. Tutur Haris yang sedari tadi memperhatikan Rtana yang terlihat nyaman di tempat sejuk dan damai itu.
“Belum tahu juga yah, Rtana emang suka sama udara disini, tapi nggak tahu juga bakal suka dengan yang itu” ujar Rtana sambil menunjuk bangunan di depan mereka dengan dagu, membuat Haris menoleh dan memandang bangunan empat lantai berwarna hijau itu. Haris hanya menggeleng kemudian tersenyum, laki-laki itu sekarang merangkul Ratna dan menggiringnya untuk memasuki area pondok.
“Loh... kok malah kesini sih yah? Kita nggak masuk pondok?” tanya Ratna heran karena ayahnya malah membawanya ke arah lain, bukan ke ‘penjara suci’ itu. Tidak ada jawaban dari Haris, tapi setelah melihat sebuah rumah dan orang yang sepertinya sedang menunggu, membuat Ratna paham dan mencoba menebak kalau ayahnya akan mendaftarkannya terlebih dahulu, dan benar saja dugaan Ratna, saat melihat orang yang terlihat sedang menunggu itu tersenyum dan menyambut mereka dengan hangat.
“Assalamu’alaikum....” ucap Haris begitu semangat setelah memasuki pekarangan rumah tersebut.
“wa’alaikumsalam... Masya llah. Kangen rasane aku mas, piye kabare sampeyan? Wis suwi gak pernah sambang rene” (wa’alaikumsalam....masyaallah, kangen rasanya aku mas, gimana kabarnya? Sudah lama nggak pernah main kesini). Jawab laki-laki yang Ratna perkirakan tidak terlalu jauh dari usia ayahnya, dia juga memeluk Haris, menghilangkan rindu yang benar-benar besar.
“Alhamdulilllah baik pak kyai, pak kyai sendiri gimana? Kayaknya tambah sibuk ngurus pondok gede sendiri” timpal Haris sengaja menggoda teman sekaligus adik kelasnya ketika dia belajar di pondok itu, memang setelah meninggalnya kyai Rohman, gus Wahid sebagai anaknya pun mau tidak mau harus meneruskan tonggak kepemimpinan dari pondok yang sudah mempunyai ribuan santri tersebut.
“Halah mas... sampeyan iki jail banget, gak pantes wong koyok aku iki di celuk pak kyai. Ilmu ku urung cukup mas” (Halah mas... kamu ini jail banget, tidak pantas orang kayak aku ini di panggil pak kyai,. Ilmuku belum cukup). Jawab sang kyai merendah, padahal sudah jadi rahasia umum kalau beliau adalah anak kayi Rohman yang paling cerdas, alilm dan bertanggung jawab, sampai-sampai ayahnya berpesan langsung kepadanya agar mau meneruskan perjuangan ayahnya.
“kamu ini masih sama saja, merendah untuk meroket” ucapan Haris membuat keduanya kompak tertawa mengingat kebiasaan mereka dulu yang saling ejek. Sedangkan Ratna yang dari tadi melihat dan mendengar percakapan antara dua orang itu, dirundung bingung dan merasa dilupakan oleh ayahnya sendiri. Dia pun merasa kesal dan menarik-narik baju ayahnya yang seketika itu menoleh dan tersadar dengan putri kecilnya yang sudah cemberut.
“Aduh... ayah sampai lupa sama putri ayah yang cantik ini, maaf yah, ayah jadi lupa diri karena bertemu dengan teman ayah” ucap Haris sambil mengusap kepala Ratna, dia jadi lupa diri setelah bertemu dengan kyai Wahid, temannya sendiri.
“Ayo salim dulu sama kyai mu!” pinta Haris pada Ratna yang langsung menurut, kemudian dia diam lagi karena bingung harus bicara apa.
“ini loh anakku, yang aku bilang tadi mau masuk pondokmu gus” papar Haris sambil memeluk putrinya, dia memang sudah mengatakan pada kyai Wahid perihal Ratna sebelum mereka berangkat.
“Owalah.... ayune rek, pasti iki teko ibune yo?” (owalah.... cantiknya, pasti ini dari ibunya ya) ucapan kyai Wahid berhasil membuat senyum Haris menghilang, sedangkan Ratna, meskipun dia tidak paham semua perkataan kyai Wahid, tapi dia pahamkalau tadi orangtersebut mengungkit tentang ibunya, dia pun menoleh pada ayahnya untuk melihat reaksi dari ayahnya tersebut. Suasana pun menjadi canggung untuk beberapa saat, dan sepertinya kyai Wahid sadar kalau dirinya sudah salah berucap, kemudian beliau pun kembali bertanya pada Ratna untuk memecah keheningan yang tidak sengaja dia ciptakan.
“Memangnya kenapa nduk, kok mau masuk pondok pesantren?” kali ini kyai Wahid sengaja menggunakan bahasa indonesia, karena beliau yakin kalau Ratna tidak tahu arti dari perkataannya tadi saat berbicara dengan Haris.
“Nggak tahu om, Ratna Cuma dipaksa sama ayah” jawab Ratna polos menjawab apa adanya, dan jawaban itu berhasil membuat ayahnya dan kyai Wahid tertawa.
“Sayang. Panggilnya jangan om dong. Beliau kan guru kamu, jadi harus dipanggil pak kyai” tegur Haris lembut pada putrinya yang belum tahu adat istiadat yang berlaku di dunia pesantren. Ratna pun hanya mengangguk dan meminta maaf pada calon kyainya itu.
“gak popo lah mas, ben akrab aku karo anake sampeyan, de’ne kan dadi anakku pisan. Jenenge sopo iki anakku?” (nggak papa lah mas, biar aku akrab sama anakmu, dia kan jadi anakku juga. Namanya siapa ini anakku) kyai Wahid berkata sambil mengusap kepala Ratna yang terbungkus jilbab navy, terlihat sekali beliau sudah menyayangi Ratna, terlebih beliau yang sangat menginginkan seorang putri malah dikaruniai tiga orang putra.
“Ratna. Ratna Manikam”
Ucap Haris bangga sambil memandang ke arah Ratna dengan senyum hangat khasnya.
***
“Yah, bisa nggak sih ayah nginep disini dulu?” Ratna mulai merengek pada ayahnya, setelah mereka istirahat di rumah kyai Wahid. Memang tadi Ratna dan Haris diminta untuk melepaskan penat, Ratna menggunakan waktu itu untuk tidur di salah satu kamar yang sudah disediakan, sementara Haris bertukar cerita dengan kyai Wahid tentang hal yang mereka alami selama tidak bertemu, sampai hari menjadi malam.
“Loh... terus ayah tidur dimana? Masa ayah tidur di asrama putri?” Haris bingung dengan maksud putrinya itu, dia tahu kalau Ratna belum siap jika langsung di tinggal olehnya dan sebenarnya juga dia sendiri tidak tega untuk meninggalkan Ratna secepat itu.
“Ya disini dong yah. Ratna pengen tidur bareng ayah lagi sebelum tidur bareng orang lain. Lagian udah malem yah, kasian pak dadi sama pak aris. Masa ayah tega nyuruh orang tua nyetir malem-malem? Ratna yakin kok kalau pak kyai nggak akan nolak kalau ayah nginep disini. Sehari aja.” Tutur Ratna panjang lebar, dia terus membujuk ayahnya dengan berbagai alasan, bahkan membawa nama sopir ayahnya.
“Nggak lah, ayah sungkan sama gus Wahid. Kita kan kesini bukan untuk nginep”
Jawaban Haris membuat Ratna kecewa dan tertunduk lemas, dia begitu karena merasa takut tidak cocok di lingkungan yang baru dan dengan orang-orangnya juga, terlebih lagi dia belum paham dengan kebiasaan serta aturan pondok pesantren.
“Ratna cuma belum siap yah, Ratna takut nggak bisa adaptasi dengan orang-orang disini” Ratna akhirnya mengakui ketakutannya, kemudian dia merasakan seseorang mengusap kepalanya. Itu adalah kyai Wahid yang ternyata mendengar perbincangan diantara anak dan ayah itu.
“Ndak papa mas, sampeyan nginep sek nang kene. Kancani sek cah ayu iki. Sesuk wae sampeyan mulihe, pasti eseh kangen to?” (nggak papa mas, kamu nginep dulu disini, temani anak cantik ini. Besok saja pulangnya, pasti masih kangen kan?”) ucap kyai Wahid menengahi mereka, lelaki itu menatap Ratna yang terlihat bingung, juga menatap Haris yang sepertinya tertarik dengan tawarannya.
“nanti malah Ratna nggak bisa cepet adaptasi gimana gus?” tanya Haris yang terlihat sedikit ragu, tapi ucapannya membuat wajah anaknya tertekuk.
“ndak mas, aku jamin cah ayu iki bakal krasan sesuk” (nggak mas, aku yakin anak cantik ini bakal betah besok). Tutur kyai Wahid yang kini tersenyum teduh pada Ratna, dari ucapannya juga gadis itu tahu kalau Kyai Wahid tengah membantunya membujuk sang ayah.
“ya sudahlah.. aku nurut saja dawuhe pak Kyai” Haris akhirnya pasrah, tapi dalam hatinya dia merasa senang karena masih bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama putrinya.
“halaaahh mas. Aku yo paham, sampeyan wegah muleh saiki. Iya to?” (halaaahh mas. Aku juga paham, kamu belum pengen pulang sekarang. Iya kan?). Ternyata kyai Wahid mencium gelagat itu dan Haris pun tidak bisa menyangkalnya karena memang benar sekali apa yang dikatakan oleh temannya itu. Tawa mereka pun pecah, sementara Ratna menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak tahu akhir percakapan tadi.
Ratna akhirnya paham maksud dari percakapan sang ayah dan kyai Wahid. Sebelumnya kyai Wahid meminta salah satu abdinya untuk menyiapkan 2 kamar, untuk rombongan dari jakarta tersebut. Senang sekali Ratna malam itu, dia merasa harus berterima kasih pada kyai Wahid.
Kebetulan sekali saat Ratna menunggu Haris mengambil barang dari mobil, kyai Wahid melintas di depannya. Refleks Ratna pun memanggilnya “Om.. eh maksudnya pak kyai” , Ratna menggigit bibirnya sendiri karena salah memanggil kyai Wahid dengan sebutan ‘om’. Kyai pun menoleh lantas tersenyum melihat ekspresi Ratna yang terlihat menyesal karena salah panggil tadi.
Ratna pun bangkit dari duduknya, dia mengikis jaraknya dengan tuan rumah. “ehehe.. maaf ya pak kyai” ucapnya kemudian sambil cengengesan.
“iya nduk.. ndak papa” (iya nak. Nggak papa). Jawab kyai Wahid begitu bersahaja. “ada apa nduk? Butuh sesuatu?” Ratna cepat menggeleng mendengar pertanyaan itu.
“nggak om. Eh.. “ gadis itu memukul mulutnya sendiri dengan gemas.
“ndak papa.. panggil om saja” kyai Wahid berkata dengan senyuman di bibirnya, merasa terhibur dengan tingkah gadis kota itu.
“hehehe... tapi kata ayah nggak sopan om” entah Ratna polos atau bodoh, dia malah membuat penawaran dengan calon gurunya itu.
“ya sudah. Ini rahasia diantara kita saja” kyai Wahid berkata dengan meletakkan tangannya di samping mulutnya, seperti sedang berbisik dan tentu saja dengan senang hati Ratna menyetujuinya.
"Oh iya om, makasih ya udah izinin Ratna nginep disini sama ayah" Ucap Ratna menuntaskan niatnya yang ingin berterima kasih.
"Iya nduk.. tapi Ratna janji ya sama om, harus belajar dan beradaptasi di pondok" ucap Kyai Wahid dengan senyum hangat, tapi entah kenapa Ratna merasa kalau orang didepannya sedang mengintimidasinya. Ratna sampai diam membeku saat sang Kyai pamit dan berlalu dari hadapannya. Benar juga, dia tidak bisa terus menerus membuat ayahnya menginap disana kan. Jadi bersiaplah Ratna untuk pengalaman baru.
"Ayah yakin! Anak ayah bakal betah disini, belajar yang rajin ya nak biar jadi anak sholehah yang bisa doain ayah. Bikin ayah bangga sama kamu"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Haris langsung pergi. Tak menoleh pada putrinya, dia harus tega meninggalkan putrinya. Karena ini untuk masa depannya, di dunia dan akhirat.
Sampai di depan pintu gerbang laki-laki itu baru menoleh ke belakang, jika dia tidak pergi sekarang bisa jadi Ratna terus menahannya agar tetap menginap disana, meskipun Haris senang, tapi dia juga takut kalau dirinya kembali membawa anaknya pulang bersama.
Sementara itu, air mata Ratna jatuh melihat mobil hitam milik ayahnya keluar dari gerbang. Rasa takut dan bingung menghampirinya dengan cepat. Bagaimana dia akan hidup dengan orang asing? Bagaimana jika dia tidak bisa mengikuti pelajaran dan peraturan di pondok? Dan masih banyak lagi bagaimana yang menumpuk di kepala Ratna.
Hati Ratna gelisah. Ingin dia menyerah saja tapi dia juga ingin memecahkan teka-teki dari mbok Nur. Tidak sabar rasanya mengetahui semua hal itu, tapi dia merasa ciut di kota orang tanpa satu pun orang yang dia kenal.
"Sudah nduk.. nanti juga kamu betah disini. Kalau butuh sesuatu bilang saja sama om dan tante. Ya kan bah?" Kalimat tersebut datang dari wanita muslimah yang cantik lagi halus perangainya. Dia adalah istri dari kyai Wahid.
Biasanya para santri memanggilnya bu nyai Nafis. Wanita itu tidak terlihat ketika Ratna menginap karena sedang membantu saudaranya yang ingin menikah, tapi tentu saja kyai Wahid sudah menceritakan tamu mereka pada sang istri, termasuk panggilan 'om' dari Ratna.
"Iya nduk.. wes ayo masuk sek ke rumah om. Ratna boleh nginep sampai Ratna siap masuk asrama" tawar kyai Wahid lalu mengajak 2 wanita beda generasi itu untuk masuk ke dalam.
"Inget ya nak, Ratna disini buat menuntut ilmu, meskipun kyai Wahid nggak keberatan kita nginep di rumahnya dan beliau itu teman ayah. Tapi Ratna harus tahu batasan. Karena beliau itu guru Ratna yang harus dihormati. Jadi jangan menyusahkan beliau ya nak"
Perkataan Haris terus terngiang di kepala Ratna, dan karena itulah Ratna menolak tawaran bu nyai Nafis untuk kembali menginap di rumahnya.
"Memang nduk Ratna ini sudah siap masuk ke asrama? Yakin nggak mau disini dulu? Om sama tante ndak keberatan kalo Ratna masih pengen disini" tawar bu nyai Nafis sedikit heran pada anak yang air matanya saja belum kering karena ditinggal ayahnya pulang, tapi sekarang dia ingin masuk asrama.
"Nggak tante, Ratna harus belajar. Harus dipaksa biar nggak ngecewain ayah" manis sekali Ratna menjawab, dan berakhirlah dia di ruang tamu, menunggu salah seorang ustadzah yang tadi dipanggil oleh bu nyai Nafis untuk menjemputnya.
"Nduk ayu, tante tinggal sebentar ndak papa kan?" Ucap bu nyai begitu lembut setelah menerima telpon cukup lama. Sebenarnya tidak enak meninggalkan Ratna, tapi urusannya benar-benar tidak bisa ditinggalkan. Untung saja orang yang akan menjemput Ratna mengatakan kalau tidak lama lagi akan sampai di rumah kyai Wahid.
"Iya tante, nggak papa kok" jawab Ratna enteng. Dia pasrah saja sebagai tamu, setelahnya bu nyai pun berlalu. Kebetulan sekali rumah dalam keadaan kosong. Kyai Wahid sendiri sedang mengisi pengajian di kampung sebelah, hanya ada beberapa khodam saja yang sliweran, sepertinya sedang beres-beres.
Sebelum rasa bosan menghampiri Ratna. sebuah salam terdengar dari luar, kemudian orang tersebut menampakkan sosoknya yang bersahaja. Dia adalah ustadzah yang dipanggil bu nyai.
Perempuan itu berdiri diambang pintu, tersenyum hangat kepada Ratna, senyum yang mencurahkan kasih sayang. Perempuan berhijab rapi nan panjang itu memiliki wajah yang ayu, Kecantikannya asli. Bahkan tanpa make up tipis yang dia gunakan sekarang pun, sudah cukup untuk mengundang pujian banyak orang.
Tak elok rasanya jika mendapatkan senyum seramah dan sehangat itu tidak kita balas. Begitu pun yang Ratna rasakan, dia lantas tersenyum begitu saja, padahal dia bukan termasuk orang yang ramah dan murah senyum.
"Kamu Ratna ya nduk?" Tanya perempuan yang belum Ratna tahu namanya itu, dia pun menghampiri Ratna yang masih terpukau senyum damainya, gadis itu hanya mengangguk.
"Perkenalkan. Saya Risa, tadi saya dipanggil bu nyai Nafis untuk menemani kamu" akhirnya Ratna tahu juga nama perempuan yang sangat dia yakini sebagai orang baik itu.
"Nduk Ratna kelas berapa?" Risa kembali berbicara karena Ratna hanya mengangguk dengan senyuman canggung ketika dirinya memperkenalkan diri.
"Kelas 3" jawab Ratna singkat, entah dia malas atau malu, mulutnya sekarang dalam mode irit.
"Kok pindahnya mepet nak?"
Setelah bertanya demikian, Risa merasa tidak enak pada gadis dari kota itu, takut Ratna akan berfikir kalau Risa beranggapan buruk terhadapnya. Karena kebanyakan anak yang dipindahkan di waktu yang terbilang sangat mepet itu bermasalah di sekolah sebelumnya.
"Ini permintaan ayah. Padahal Ratna udah bilang sebentar lagi kelulusan, tapi ayah tetep keukeuh pindahin Ratna kesini" tanpa diduga Ratna malah curhat pada risa.
"Owalaaahh..., jadi Ratna ndak mau masuk pesantren nih?" Tanya Risa lagi.
"Nggak mau, enak di jakarta" tukas Ratna cepat membuat Risa tersenyum geli.
"Emang di jakarta sana ada apa sih? Sampai-sampai Ratna ndak mau ninggalin?" Tanya Risa penasaran, dia sedang melakukan pendekatan pada calon muridnya ini. Karena sebenarnya Risa bukan hanya ustadzah di pondok, melainkan guru juga di sekolah. Dan kebetulan sekali mengampu siswa kelas 3.
"Banyak bu, yang pasti ada ayah, ada mbok Nur, temen-temen Ratna juga disana semua. Terus kalo suntuk di rumah bisa main ke mall. Lagian kan emang Ratna orang jakarta, jadi ya berat kalo ninggalin kota kelahiran sendiri"
Jawaban yang masuk akal dari seorang bocah bau kencur macam Ratna, dan sepertinya Risa juga setuju karena dia pun mengangguk ketika Ratna berucap.
"Terus nggak mau mondoknya gara-gara apa?" Lanjut Risa lagi, dia masih ingin mengetahui bagaimana pribadi bocah kota itu. Risa yakin bisa membuat anak cantik nan polos di depannya itu betah selama mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
"Anak pondok itu kan kudet. Nggak ngerti fashion, terus jorok-jorok lagi. Makanya pada gatel-gatel yang pasti nanti bekasnya nggak ilang" cibir Ratna dengan nikmat, padahal di depannya adalah orang yang sudah mondok bertahun-tahun, dia juga tidak sadar sudah mencemooh tempat dia berpijak.
"Tahu dari mana anak pondok seperti itu?" Tanya Risa dengan senyum menyelidik dan menantang. Ratna hanya diam, memang dia sendiri belum pernah berinteraksi secara langsung dengan anak pondok dan belum tahu kehidupan asli di pondok. Sekarang dia bingung ingin menjawab apa.
"Ratna percaya ndak. Kalau 100% yang Ratna sebutkan tadi salah?" Risa hanya mendapatkan gelengan kepala dari Ratna, dia pun tersenyum dan melanjutkan ucapannya kembali.
"Kalo Ratna nggak percaya, buktikan saja sendiri!. Jika perkataan ibu salah, ibu berani poton lidah ibu sendiri"
Sontak Ratna melotot mendengar kata yang kelewat berani itu, Ratna jadi penasaran apakah persepsinya terhadap orang di pondok pesantren itu salah? Mengapa Risa percaya diri sekali menjadikan lidahnya sebagai taruhan. Seyakin itu kah?.
"Okee!!!" Dengan lantang Ratna menerima taruhan itu, toh dia juga tidak dirugikan apapun hasilnya nanti.
"Kalau gitu Ratna harus masuk asrama biar tahu fakta dan jawabannya" lanjut Risa lagi, dia tersenyum lega karena sudah berhasil mengajak Ratna yang mengangguk menandakan dia bersedia untuk masuk asrama.
Risa pun menelpon bu nyai Nafis untuk izin membawa Ratna ke asrama, mereka pun segera menuju bangunan 4 lantai berwarna hijau.
*******
“Alfi, Tolong ibu sebentar nak” pinta Risa ketika melihat salah satu muridnya, dia akan meminta tolong pada santrinya itu untuk mengantarkan Ratna ke kamar yang telah ditentukan, sementara dirinya akan mengurus hal lain dan menyusul nanti.
“nggih bu, enten nopo?” tanya santriwati itu dengan bahasa jawa yang terdengar kaku, dia berkata sambil menunduk ta’dzim.
“Tolong terno Ratna, arek anyar. Kamare iku fatimah 5, iso”? jelas Risa dengan sesekali melihat data-data. “Nggih bu, niku kamare kulo” jawab Alfi menyanggupi.
“Iyo wes, cocok ngunu. Ibu nitip Ratna yo fi, nanti tak nyusul”, pesan Risa lagi kemudian dia menoleh pada Ratna.
“Ratna sama Alfi dulu yah, dia satu kamar sama kamu, nanti ibu menyusul” setelahnya dia pergi meninggalkan dua anak gadis yang saling menatap, kemudian Alfi tersenyum dan berinisiatif mengulurkan tangan mengajak anak di depannya berkenalan.
“Jenengmu Ratna yo? Aku Alfi, ayo tak anter saiki. Kene sak kamar”. Ratna hanya terdiam mendengar kalimat itu, tapi tangannya terulur menerima ajakan Alfi untuk berkenalan.
“Eh, gue belum ngerti bahasa sini, lu bisa nggak pake indo dulu?” ucap Ratna jujur, membuat santriwati di depannya itu kaget dengan logat dan gaya bicara Ratna yang khas seperti para artis di televisi.
Meskipun sempat kaget, tapi santriwati itu kemudian tersenyum dan mengguk, dia tidak sadar ketika Risa menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan Ratna, dan tidak ada yang bisa menyalahkannya karena tidak ada informasi yang lengkap selain anak baru itu bernama Ratna dan kamarnya kebetulan sama dengan dirinya.
“oh iya maaf. Namaku Alfi, kamu Ratna kan? Kita satu kamar, ayo aku antar sekarang” ulang Alfi menerjemahkan ucapannya tadi, kemudian mereka pun bergegas ke kamar fatimah 5.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!