Kepulangan putra pertamanya, Yema Geogita yang sudah hampir satu tahun berada di luar kota untuk membantu anak Perusahaannya bangkit setelah hampir gulung tikar karena adanya kasus korupsi , membuat hati Raden Sugito dan istrinya Nyonya Hemalia merasa begitu senang.
Yema ini adalah putra tunggalnya, dan tanpa sepengetahuan Yema, mereka sudah berencana untuk menikahkan anaknya itu dengan putri sahabatnya, Dwita Pratiwi Puti, ayahnya Agung Pranowo dan ibunya Nyonya Khalisa.
Mereka sudah bersahabat sejak masa kuliah, dan ingin menjadikan candaan waktu dulu menjadi kenyataan, setelah mereka menikah dan mempunyai anak, apalagi anak mereka sepasang.
Sampai sekarang hubungan baik mereka tetap terjaga, apalagi dua Perusahaan mereka saling bekerja sama. Perusahaan Raden Sugito yang bergerak di bidang tekstil, mendapat pasokan material dari Perusahaan Agung Pranowo .
Dan, hubungan baik yang sudah berjalan lama itu ingin mereka pererat dengan hubungan pernikahan diantara anak mereka.
"Pih..., hari ini Yema pulang, sudah saatnya kita bicarakan masalah Dwita kepadanya. Mereka sudah dewasa, sudah waktunya berkeluarga",
"Apalagi kita sudah waktunya istirahat, sudah waktunya menikmati hidup Pih, berkumpul dengan anak cucu", ucap Bu Hemalia.
"Iya, Papih setuju, mudah-mudahan Yema juga setuju dengan rencana kita ini",
"Ah..., Yema kan anak yang patuh, pasti dia akan setuju Pih, apalagi Dwita juga anak yang cantik, pintar, berkelas, pasti Yema akan langsung suka begitu melihatnya", ucap Bu Hemalia penuh keyakinan.
"Iya..., semoga saja",
"Itu sepertinya suara mobil anak kita Pih, dia sudah sampai", Bu Hemalia sumringah, ia langsung berdiri menghampiri pintu, ia mengintip dari balik tirai, benar saja, itu mobil anaknya.
"Wah..., benar Pih, itu Yema, dia sudah pulang, Mamih sudah kangen", kembali Bu Hema tampak senang.
"Sudah..., duduk saja dulu, nanti juga Yema pasti masuk ", ucap Pak Sugito dengan nada datar.
"Papih kok begitu, tidak kangen ya sama anaknya", Bu Hema tampak cemberut sambil kembali duduk disamping suaminya.
Sebenarnya Pak Sugito sedikit khawatir, ia takut anaknya benar-benar membawa wanita yang waktu itu sempat ia kirim fotonya, Yema meminta pendapat darinya mengenai wanita yang ada disampingnya.
Cantik dan ayu, itu pendapatnya , memang dia itu wanita desa, tetapi wajahnya begitu cantik alami.
"Kemana sih..., kok lama sekali Yema ", Bu Hema bangkit lagi dari duduknya dan langsung menuju pintu, karena tidak sabar, ia langsung membuka daun pintu dan betapa kagetnya ia saat melihat ada seorang wanita sedang dituntun oleh Yema saat menaiki tangga masuk.
Dengan terpaku, Bu Hemalia menatap pemandangan itu dengan wajah kecut.
"Yema...!!, siapa dia ??, kok kamu membawa wanita itu ke sini ?", cecar Bu Hema begitu Yema sudah ada dihadapannya.
"Ah..., Mamih, bagaimana Mih, sehat?", ucap Yema, ia tidak langsung menjawab, malah balik bertanya kepada mamihnya.
"Jawab dulu, siapa wanita yang kamu bawa?", tegas Bu Hema.
"Aduh..., ada apa ini, anak pulang kok diajak ribut, suruh maduk dulu kenapa, pasti dia masih lelah, ayo Yema , kalian masuk, Mamih juga, malu ah nanti tetangga pada tahu", ucap Pak Sugito, ia menyuruh anak dan istrinya masuk, ia pun segera menutup pintu.
Kini mereka sudah duduk berhadapan di ruang keluarga. Melihat Tuan mudanya pulang, Bi Ecin membuatkan minuman dan segera membawanya kehadapan mereka.
"Terima kasih Bi", senyum Yema. Ia langsung mengambil minuman itu, satu gelas untuk dirinya dan satu gelas ia berikan kepada wanita yang duduk menunduk disampingnya.
Bu Hema menatapnya dengan pandangan tidak suka, ia bahkan mengerucutkan bibirnya.
Pak Sugito bisa dengan jelas melihatnya. 'Akhirnya kejadian juga', batinnya bicara.
Setelah Yema dan wanita itu menaruh kembali gelasnya di meja, Bu Hema kembali membuka pembicaraan.
"Yema..., kamu belum menjawab pertanyaan Mamih, siapa dia?", ucap Bu Hema, ia melirik dengan ujung matanya kepada Yema.
"Apa Papih belum bicara?", Yema beralih memandang ke arah papihnya.
"Papih sudah tahu?", sama, Bu Hema pun kini beralih memandang ke arah suaminya .
"Iya, Papih sudah tahu, dia itu wanita yang ada di foto yang kamu kirimkan ke Papih, waktu Yema minta pendapat Papih, katanya, bagaimana Pih dengan dia?, ya Papih jawab, cantik dan ayu, itu saja", terangkan Pak Sugito.
"Memang itu saja kan?, tidak ada lagi?", tatap pak Sugito kepada Yema.
"Pesan berikutnya Papih tidak baca?", kini Yema yang balik memandang ke arah papihnya.
"Tidak ada lagi...", ucap Pak Sugito.
"Sudah...., sudah...., itu tidak penting, yang terpenting sekarang, jawab pertanyaan Mamih Yema, siapa wanita ini?", Bu Hema tampak sudah tidak sabar.
Yema menatap ke arah kedua orangtuanya secara bergantian, lalu ia meraih tangan wanita yang masih duduk menunduk disampingnya.
"Mih..., Pih..., dia ini Rania, dia sudah sah menjadi istri Yema, Rania ini menantu Mamih dan Papih", ucap Robi.
"Apa...?, menantu?, istri..?, apa-apaan ini Yema?, Pih..., anakmu nih, berani-beraninya dia", Bu Hema tampak kesal dan marah, rencananya bisa berantakan kalau sudah begini.
"Memangnya kenapa Mih, Pih, apa ini salah?", tatap Yema.
"Ya jelas salah Yema..., kamu ini masih punya Mamih dan Papih, kenapa hal penting seperti ini mesti buru-buru, tanpa ada ijin dari kita", sewot Bu Hemalia.
"Yema sudah dewasa Mih, Yema sudah bisa menentukan pilihan sendiri, termasuk soal Rania, orang tuanya sangat berjasa sama Yema, mereka yang sudah menolong saat mobil Yema terperosok jurang, mereka sampai celaka karenanya", ucap Yema.
"Iya... tapi tidak harus menikahi anaknya juga kan...?, kamu bisa kasih mereka uang saja, beres kan", sewot Bu Hema lagi.
"Mamih tidak ada di sana, jadi Mamih tidak tahu situasinya, ayahnya Rania sampai meninggal Mih, Pih", ucap Yema lagi.
"Alaaahhh..., itu mah sudah maunya saja, punya menantu orang kaya, biar bisa numpang hidup saja sama kita",
"Mih..., Yema benar-benar mencintai Rania, ini bukan sekedar balas budi", ucap Yema dengan nada agak keras.
"Oohh..., lihat Pih..., gara-gara gadis kampung ini, Yema jadi berani melawan kita",
"Mih..., Mih...., sudah...., ingat..., tekanan darahmu bisa naik lagi kalau marah-marah terus", ingatkan Pak Sugito.
"Habis Mamih kesal Pih, rencana kita bisa berantakan , kita bisa malu sama keluarganya Pak Agung dan Bu Khalisa", keukeuh Bu Hema, ia tampak mengatur nafasnya .
"Memangnya siapa mereka?", tatap Yema .
"Mereka itu bakal calon besan Mamih dan Papih, kamu itu seharusnya menikah dengan Dwita, putri mereka, bukan dengan gadis kampung yang tidak jelas asal-usulnya ini", cibir Bu Hema.
"Ya Allah Mamih...., ini jaman apa Mih?, kok masih ada tradisi menjodoh-jodohkan anak segala, aku ini kuliah saja di Paris, masa soal jodoh saja harus masih diatur sih", ucap Yema.
"Pokoknya Mamih tidak mau tahu, mumpung belum ada orang yang tahu, cepat bawa pulang wanita ini, ceraikan dia!, kasih uang saja, beres", kembali Bu Hema mendesak Yema.
"Tidak bisa Mih, tidak bisa begitu", sambar Yema,
"Lho , kenapa tidak bisa Yema?, mumpung belum banyak orang yang tahu, terutama Mamih tidak ingin keluarganya Dwita tahu soal ini", tegas Bu Hema.
"Mih..., Pih..., itu sudah tidak bisa dan tidak mungkin Yema meninggalkan Rania, saat ini Rania sedang mengandung anak Yena, cucu Mamih dan Papih", jelaskan Yema.
"A...apa...?, hamil ...?", Bu Yema tampak kaget , ia menatap tajam ke arah Yema dan Rania secara bergantian.
"Pih..., bagaimana ini?, bagaimana kita menghadapi keluarganya Pak Agung, mereka pasti akan kecewa sama kita, bisa-bisa ini akan berpengaruh pada hubungan bisnis kita lagi", Bu Yema tampak begitu kesal.
'Ya..., mau bagaimana lagi Mih, ini sudah terjadi", ucap Pak Sugito, ia tampak lebih tenang.
"Itu yang Mamih tidak suka dari Papih, Papih itu terlalu lembek sama anak, gampang nyerah, tidak tegas", Bu Hema berbalik menghakimi suaminya.
"Mih, tadi Yema sudah bilang kan, Rania sedang hamil, semua orang juga tahu, tidak boleh ada perceraian saat istrinya sedang mengandung", bela Pak Sugito.
"Berarti kalau anak itu sudah lahir, bisa kan Yema meninggalkan wanita ini", Bu Yema melirik sinis ke arah Rania yang tetap saja menunduk.
"Sudah Mih, jangan bahas masalah itu dulu, biarkan mereka istirahat dulu, itu masih bisa dipikirkan lagi, lagi pula Pak Agung dan keluarga akan memperpanjang tinggal di Singapura, Dwita mau mengambil S2 di sana, jadi Mamih bisa bernafas lega", ucap Raden Sugito.
"Wah..., apa benar itu Pih?", Bu Yema tampak lega.
"Iya..., kita masih punya waktu , jadi biarkan Yema bertanggung jawab dulu sama istri dan calon anaknya", ucap Raden Sugito.
"Tuh, dengarkan itu..., kalian hanya punya waktu sampai anak itu lahir, setelah itu kamu Yema, harus turuti rencana Mamih, kamu harus menikahi Dwita", tegas Bu Hema.
"Sekarang cepat bawa pergi wanita ini dari hadapan Mamih, tapi ingat Yema, kamu harus menyembunyikan identitas wanita ini, jangan sekali-kali kamu bilang kepada semua orang kalau dia itu istrimu", tegas Bu Hema lagi.
Tanpa menjawab, Yema langsung meraih lengan Rania dan segera membawanya ke atas menuju kamarnya.
"Maafkan Mamih Rania, ucapan Mamih jangan dimasukkan hati", Yema membelai rambut istrinya itu saat sudah berada di dalam kamar.
"Aku sudah menduga, penolakan ini pasti akan terjadi", ucap Rania lirih .
"Tenanglah..., semoga kehadiran anak kita nanti bisa meluluhkan hati Mamih dan Papih", ucap Yema meyakinkan istrinya.
"Iya..., semoga saja", senyum Rania.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, ingat sudah ada si kecil di sini, kamu harus tetap bahagia untuk dia", ucap Yema, ia mengelus lembut perut istrinya yang sudah mulai meruncing.
Rania harus mulai terbiasa dengan kehidupan mewah keluarga suaminya, walau begitu, ia tidak serta merta bisa menikmati kemewahan itu.
Setelah suami dan bapak mertuanya pergi ke Kantor, Rania tak ubahnya seperti Art saja, Bu Yema tidak memperbolehkan istri anaknya itu mendapat pelayanan dari para Art nya.
Di rumah, Rania diharuskan membantu pekerjaan mereka, dan tidak jarang juga ia menjadi sasaran kemarahan ibu mertuanya, jika ada pekerjaan Art lain yang dianggap tidak benar.
Semua itu tidak Rania adukan kepada Yema, ia tidak ingin hubungan Ibu dan anak itu kian buruk.
Rania sudah merasa bersyukur bisa tinggal di rumah suaminya, kalau urusan pekerjaan, ia sudah biasa mengerjakannya sendiri waktu di rumahnya.
Hal itu Rania lakukan setiap kali Yema tidak ada di rumah, Art yang ada pun tidak bisa berbuat apa-apa, karena kalau mereka membela Rania, maka mereka diancam dipecat.
Melakukan pekerjaan rumah dengan kondisi perut yang terus bertambah besar membuat Rania sedikit kesulitan beraktifitas.
Hingga suatu hari, Rania yang kelelahan , ia mengalami pendarahan, untung saja saat itu Yema baru sampai di rumah, dengan sangat terkejut , Yema cepat-cepat membawanya ke Rumah Sakit.
Diagnosa Dokter yang mengatakan kalau Rania kelelahan, membuat Yema langsung curiga kepada mamihnya, yang sejak awal tidak menyukai istrinya, dan tidak merestui pernikahannya dengan Rania.
"Ini ulah Mamih kan?", tatap Yema menatap wajah istrinya yang terlihat pucat.
"Bukan, ini karena aku tidak hati-hati", bela Rania.
"Lihat saha, kalau terjadi sesuatu sama kamu dan anak kita, aku akan...", ucapan Yema terhenti.
" Akan apa...?, kamu akan apa Yema?, apa jangan-jangan kamu menuduh Mamih atas apa yang terjadi sama wanita itu?", sambar Bu Yema yang tidak diketahui kapan datangnya, ia sudah ada dibelakang Yema.
"Rania Mih..., dia Rania",
"Iya..., Mamih tahu", ketus Bu Hema.
"Mih..., kenapa lakukan ini sama Rania, Mih, dia kan sedang hamil besar, apa Mamih tidak takut terjadi sesuatu sama calon cucu Mamih?", tatap Yema.
"Cucu..?, ah iya cucu, oke ..., kalau istri kamu melahirkan anak laki-laki, Mamih bisa terima, tapi..., kalau anakmu perempuan, Mamih tidak mau, kalian secepatnya harus bercerai, karena kamu akan menikah dengan Dwita", ucap Bu Hema.
"Mih..., kok begitu, mau laki-laki, mau perempuan, dia tetap anak Yema, cucu Mamih dan Papih",
"Oohh...tidak..., yang Mamih inginkan cucu laki-laki, bukan perempuan", ketus Bu Hema.
"Itulah Mamih , apa pun selalu dengan syarat, dan syaratnya itu yang tidak masuk akal, selalu nyeleneh", gumam Yema.
"Jangan begitu Yema..., kamu ini anak Mamih satu-satunya, Mamih yang sudah membiayai semua keperluan kamu sampai sebesar ini, jadi ya..., tidak salah kalau Mamih sekarang menagih balasannya dari kamu, tidak susah, cukup turuti saja keinginan Mamih, kamu menikah dengan Dwita, tapi kalau anakmu ini laki-laki, Mamih akan mengalah, kamu boleh tetap bersama wanita ini", ucap Bu Hema panjang lebar.
"Rania Mih...", ucap Yema, ia tidak suka dengan sebutan Bu Hema kepada istrinya.
"Hah..., Mamih....Mamih..., memangnya Mamih yang mengatur kehidupan ini, mau ini, mau itu, ngatur sana, ngatur sini, Astaghfirullah...", Yema menggelengkan kepalanya.
"Aaww....", tiba-tiba Rania kontraksi, ia menjerit kesakitan.
"Dokter..., Dokter..., tolong Dok...", Yema setengah berlari menuju pintu memanggil Dokter.
Tak lama datang seorang Dokter wanita diikuti beberapa orang perawat.
Dokter memeriksa keadaan Rania.
"Pak, ibu ini mau melahirkan", ucap Dokter.
"Melahirkan Dok?, tapi ini belum waktunya Dok", ucap Yema .
"Iya..., tapi ini sudah ada pembukaan, dan air ketuban juga sudah keluar, kalau dibiarkan bisa berbahaya buat Ibu dan anaknya", ucap Dokter.
"Saya butuh persetujuan dari Bapak", ucap Dokter.
"Baik Dok, lakukan saja yang terbaik untuk istri dan anak saya", ucap Yema.
"Kamu yang kuat sayang, anak kita mau lahir", Yema menggenggam erat tangan istrinya yang tampak sudah sangat kesakitan.
Mereka kini sudah berada di ruang bersalin, tapi karena kondisi Rania yang lemah, mereka memutuskan untuk melakukan operasi cesar.
Suara tangis bayi terdengar di ruang operasi, ucapan syukur keluar dari mulut Yema, ia mengadzankan bayi mungilnya dengan berurai air mata.
rasa bahagia memenuhi relung hatinya, walau ia tahu bayinya itu seorang perempuan, yang pasti akan ditolak oleh ibunya, namun yang terpenting anak dan istrinya sudah selamat.
"Mana anakmu, Mamih ingin melihatnya, bayimu laki-laki kan?", tatap Bu Hema begitu melihat Yema keluar dari ruangan bersalin.
"Belum tahu Mih, bayinya prematur, jadi langsung dibawa ke ruang isolasi untuk diinkubator", alasan Yema.
Padahal itu hanya akal-akalan Yema saja untuk mengulur waktu, sekaligus mencari cara untuk memberitahukan hal yang sebenarnya kepada mamihnya itu.
"Mamih pulang saja, istirahat!, aku mau menemani Rania di sini", Yema memegang tangan Mamihnya.
"Tuh Papih sudah datang", Yema melihat ke arah Pak Sugito yang sedang berjalan mendekati mereka.
"Bagaimana anak dan istrimu?", tanyai Pak Sugito.
"Alhamdulillah selamat, tapi mereka masih dalam perawatan, jadi aku mau menemani mereka dulu di sini Pih",
"Ya sudah, Papih ikut senang, yo Mih, kita pulang saja, kita tunggu mereka pulang saja, Mamih kan alergi bau obat", ajak Pak Sugito, ia meraih tangan istrinya itu dan setelah pamit, mereka meninggalkan Yema yang masih berdiri di depan pintu ruang perawatan istrinya.
"Mas..., Mas..., Mas...Yema....", terdengar suara Rania memanggilnya dari dalam kamar dengan sisa tenaganya.
"Iya...iya...sayang..., aku ads di sini", Yema setengah berlari menghampiri istrinya.
"Mana bayi kita Mas", tatap Rania.
"Bayi kita sehat, ia masih dirawat , ia lahir prematur sayang, tapi jangan takut, aku yakin, dia bayi yang kuat", ucap Yema dengan tetap menggenggam kedua tangan istrinya.
"Bayi kita..., bayi kita...", ucap Rania dengan terbata.
"Bayi kita sangat cantik sayang, ia mirip kamu", senyum Yema.
"Alhamdulillah..., tapi...itu artinya Mamih akan makin membenci aku, yang ia inginkan bayi laki-laki Mas", ucap Rania tampak sedih.
"Tenang saja sayang, semoga setelah melihat bayi kita yang lucu, hati Mamih bisa luluh, kamu jangan banyak pikiran, biar cepat sehat, dan kita cepat pulang membawa bayi mungil kita", senyum Yema.
"Oh iya, siapa nama bayi kita Mas", tatap Rania.
"Ah...iya..., kita belum memberinya nama", Yema tampak diam, ia sedang memikirkan sesuatu.
"Kita beri nama Yumna Hanania Nuriel Maulida, itu nama anak kita", ucap Yema sambil mendekap kedua tangan istrinya.
"Nama yang bagus, aku suka, tapi..., apa artinya Mas", tatap Rania lagi.
"Yumna itu artinya perempuan yang selalu beruntung, Hanania, itu mengambil sebagian namamu, Rania, yang artinya selalu dilimpahkan rizki, Nuriel Maulida, artinya yang terlahir dalam keadaan selamat", ucap Yema.
"Nama itu do'a sayang, semoga anak kita selalu beruntung, dilimpahkan banyak rizki",
"Dan semoga neneknya mau menerima kelahirannya", sambar Rania, ia masih sangat mengingat ucapan Ibu mertuanya, kalau ia mrnginginkan cucu laki-laki, dan kalau ia melahirkan anak perempuan, maka Ibu mertuanya itu akan memutuskan hubungan pernikahannya dengan Yema.
"Hati Mamih pasti luluh saat melihat bayi kita, aku yakin itu", ucap Yema
"Iya..., semoga saja", harap Rania.
Mereka ngobrol sampai larut malam, hingga kantuk menghampiri, Yema tertidur masih dalam keadaan duduk disamping tempat tidur istrinya sambil tetap menggenggam kedua lengan istrinya.
Tanpa mereka ketahui, pagi-pagi sekali ibunya sudah datang ke Rumah Sakit. Ia sengaja datang lebih awal untuk melihat cucunya.
Rupanya Bu Hemalia begitu penasaran dengan cucunya yang baru lahir, terutama ia ingin tahu apa benar cucunya laki-laki.
Seorang suster mengantarnya ke ruang perawatan bayi dan mengantarnya ke tempat perawatan bayi Yema dan Rania.
"Yang ini bayinya?", tanyai Bu Hema begitu berada di depan ruang inkubator.
Di sana ada seorang bayi mungil. Tubuhnya sangat kecil, besarnya tidak lebih besar dari botol minuman.
'Hah..., yang ini cucuku?, kerdil begini, terus, ini kan bayi perempuan', pikir Bu Hema.
'Aku tidak mau punya cucu perempuan, mana kecil begitu, bagaimana besarnya, ia pasti akan menjadi anak yang lemah', pikir Bu Hema lagi.
"Sudah ya Sus, terima kasih",Bu Hema langsung pergi kembali, ia keburu mencium bau obat yang membuatnya euneuk.
"Sudah saatnya wanita itu pergi dari sisi Yema, perempuan lemah, tidak bisa memberiku cucu laki-laki", gerutu Bu Yema, niatnya untuk menemui Yema diurungkan, ia sudah tidak tahan dengan aroma obat yang kian menusuk hidungnya.
Setengah berlari ia menuju ke halaman Rumah Sakit , di sana sudah ada mobil yang menunggunya, ia berangkat bersama sopir, suaminya pun tidak mengetahui kepergiannya ke Rumah Sakit.
"Ayo Pak, kita pulang, saya sudah tidak kuat dengan bau obat", ucap Bu Hema, ia langsung saja memasuki mobil, dan tak lama mobil pun meninggalkan halaman Rumah Sakit.
"Ini sudah tidak bisa di biarkan, wanita itu harus segera pergi", gumam Bu Hema sesaat setelah berada di dalam mobil.
*****
Dengan wajah gembira, Yema membuka pintu rumah sambil menuntun Rania yang menggendong anak mereka.
Namun langkah mereka terhenti, karena Bu Hema langsung menghadangnya.
"Stop...!, jangan bawa anak itu masuk !", tegas Bu Hema.
"Mamih....?", Yema menatap mamihnya dengan kaget.
"Mamih sudah tahu, bayimu itu perempuan, Mamih tidak mau bayi itu ada di rumah ini",
"Mih..., ini cucu Mamih, masa Mamih tega?", tatap Yema.
"Tidak !, Mamih kan sudah bilang, Mamih mau cucu laki-laki, bukan perempuan, dan seperti yang Mamih bilang, kalau anak kalian perempuan, tinggalkan wanita itu Yema!!", tegas Bu Hemalia.
"Tapi Mih...",
"Mih....,Mih....,suruh masuk dulu, lihat , mereka membawa bayi, ayo Yema, Rania kalian masuk saja dulu, kita bicaranya di dalam, kebiasaan Mamih ini", Pak Sugito menyuruh mereka masuk.
"Tuh kan, Papih..., selalu begitu...", Bu Hema tampak cemberut, lagi-lagi suaminya selalu membela menantunya itu.
Setelah mereka duduk, Pak Sugito tampak melirik ke arah bayi yang sedang digendong Rania. Ia melihat bayi kecil itu sedang tidur, wajah mungilnya terlihat cantik.
"Bayi perempuan itu", sambar Bu Hemalia dengan nada ketus.
"Iya, Papih tahu, dia terlihat cantik", ucap Pak Sugito.
"Tapi Mamih ingin bayi laki-laki Pih, dia yang akan membantu Papih dan Yema menjalankan Perusahaan, kalau perempuan kan nantinya hanya akan mengabdi pada suaminya, bukan membantu kita",,tegas Bu Hema lagi.
"Tapi Mih..., anak perempuanlah nanti yang akan mengurus Mamih jika sudah tua",ucap Yema, ia mencoba bernego dengan mamihnya.
"Ah..., Mamih kan punya banyak uang, bisa membayar perawat untuk Mamih", ucap Bu Hema dengan pongahnya.
"Pokoknya, Mamih ingin kamu tinggalkan wanita ini, dan kamu akan segera Mamih pertemukan dengan Dwita, lagi pula istrimu sudah melahirkan kan?, tidak ada alasan lagi yang menghalangimu untuk menceraikan dia", ucap Bu Hema.
"Tapi Mih...", ucap Yema, ia melihat ke arah Rania dan mamihnya secara bergantian.
"Kamu tinggalkan wanita ini dan turuti keinginan Mamih, atau..., kamu tetap bersama wanita ini... , tapi tinggalkan semua fasilitas yang Mamih kasih ke kamu", tegas Bu Hema, ia tampak sudah tidak sabar sehingga langsung mengultimatum Yema.
"Mih..., kok begitu..., itu bukan pilihan Mih, keduanya tidak mungkin Yema lakukan",,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!