NovelToon NovelToon

GUNDIK MAFIA KEJAM

Bab 1 Kebrutalan anak buah Bastian.

Bisingnya suara kendaraan dan teriknya matahari yang menyengat pori-pori, tak menyurutkan semangat seorang gadis bernama Saniarita.

Gadis berwajah cantik dengan postur tinggi semampai, berambut hitam ikal mayang. Ia gadis yatim piatu, lima belas tahun yang lalu, ibunya meninggal ketika Sania berusia lima tahun. Ia di titipkan oleh saudaranya ke panti asuhan di kotanya.

Ia berangkat dari kampung ingin mengubah nasibnya dengan mencari pekerjaan di kota.

Ia berdiri di depan kampus Tri Buana. dan sesekali mendengar suara kernet angkot menawari dengan sebuah pertanyaan singkat. Namun Sania hanya menggelengkan kepalanya.

Sania harus mencari alamat temannya yang bernama Dini. Sewaktu Dini pulang kampung dan bertemu Sania. Dini berjanji hendak mencarikan pekerjaan Sania di kota. Ia menyuruh Sania datang ke kota dan menemuinya.

Padahal barusan Sania menghubungi Dini sewaktu turun dari kereta api. Ia pesan, agar Sania naik angkot dan turun di Universitas Tri Buana. Dini berjanji akan menjemputnya.

Hampir tiga puluh menit Sania berdiri menunggu Dini. sesekali ia mengarahkan ponselnya ke telinganya dengan sedikit mengeluh.

"Duh Din, angkat Din."

Namun tak ada jawaban dari Dini. Sania semakin gelisah. Apalagi Sania tak tau ujung pangkal ibu kota.

Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara laki-laki memanggil nama Sania.

"Halo, Sania! Tumben nggak bawa mobil sendiri?"

Suara panggilan itu membuat Sania Kaget. Sania mengira dua orang laki-laki yang menyapa dan menghampiri Sania adalah suruhan Dini. Sebab laki-laki itu tau namanya.

Sania tersenyum ramah pada dua laki-laki yang menyapanya. Sania menjawab dengan gugup.

"Ohhh ...ehh ...hmmm, saya ..."

"Nama kamu Sania, kan?" potong salah satu laki-laki itu.

Sania bingung dengan melirik dua laki-laki itu.

"Sudah nggak usah takut, ayo aku antar kamu," ucap salah satu dari dua laki-laki itu menggiring Sania agar masuk ke mobil.

Tanpa pikir panjang, Sania yang masih berumur dua puluh tahun, dengan polosnya segera masuk ke dalam mobil setelah mobil dibuka. Tanpa ada kecurigaan dalam benak Sania.

Namun apa yang terjadi ketika Sania berada di dalam mobil.

Sania kaget, ketakutan mulai hinggap pada dirinya. Mata sania menatap satu per satu orang yang berada di dalam mobil yang berjumlah empat orang termasuk pengemudi. Dua orang menutup wajahnya dengan kain berwarna hitam. Hanya menyisakan kedua bola matanya.

"Cepat pakai penutup wajahmu!" Teriak laki-laki yang duduk di depan dengan melempar kain hitam ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya.

Sania lebih kaget lagi. Ia bagaikan mimpi dalam kenyataan. Tubuhnya mulai gemetar. Sania yang mengira laki-laki tadi suruhan Dini sirna sudah. Ia baru sadar kalau laki-laki yang ada di dalam mobil bukanlah suruhan Dini, melainkan orang jahat.

"Maaf, aku turun saja di sini," ucap Sania dalam kebingungan, dengan tangan menggapai-gapai pintu mobil.

"Tenang Sania, tak usah takut. Kamu akan aku antar ke temanmu" bisik salah satu laki-laki di sebelahnya yang sudah memakai penutup wajah.

"Tidak ...! Turunkan aku, turunkan!" teriak Sania panik.

Sania terus berteriak dengan tangan menggapai-gapai pintu. Yang membuat sang pengemudi marah dan berteriak dengan geram.

"Berisik tau!" mata si pengemudi melotot mengarah wajah Sania lewat kaca spion yang ada di depannya. "Ikat saja tangan dan kakinya, serta lakban mulutnya biar nggak koar-koar!" teriaknya lagi.

Dengan cepat kedua laki-laki yang ada di samping Sania menuruti perintah sopir. Ia meraih tali rafia yang dilemparkan laki-laki yang duduk di depan. Dan segera mengikat kedua tangan Sania serta menutup mulut Sania dengan lakban.

Sania terus meronta tak henti-hentinya berusaha melepas ikatan tali yang melilit tubuhnya. Namun sia-sia, lilitan itu sangat kuat. Kekuatan Sania tak mampu melawan kuatnya ikatan tali itu.

Tiba-tiba laki-laki yang ada di sebelahnya mendekap tubuh Sania. Dan entah setan apa yang merasuki otak laki-laki itu dengan membuka satu per satu kancing kemeja Sania. Serta meremas-remas sesuatu yang menonjol pada dada Sania. Dengan sesekali laki-laki itu menelan salivanya sendiri.

Sania yang sudah tak berdaya tak bisa berbuat apa-apa. Hanya doa-doa yang terus keluar dari dalam hatinya.

Tak terasa air matanya meleleh dari sudut matanya mengiringi kepedihan hatinya. Kala laki-laki itu berbuat kurang ajar dengan menciumi leher jenjang Sania serta menyibakkan rambut Sania yang terurai menutupi leher.

Laki-laki itu leluasa menyapu permukaan tengkuk Sania dengan ujung lidahnya. Yang membuat bulu kuduk Sania merinding.

Kembali Sania berontak dengan menghindar dari tubuh laki-laki yang berbuat tak senonoh padanya.

"Hai, jangan di sini, dong! Nanti saja, kan sudah disediakan tempat oleh si bos," kata laki-laki sebelah Sania.

Namun laki-laki itu tak menghiraukan ucapan teman yang ada di sebelahnya. Ia semakin erat mendekap tubuh Sania yang terus menggerak-gerakkan tubuhnya agar terlepas dari dekapan laki-laki itu.

"Duh, nggak tahan nih rasanya sudah ngebet," ucap laki-laki itu perlahan melepas tubuh Sania sambil mencubit bagian sensitif Sania..

Sania bingung tubuhnya gemetar. Ia tak bisa berpikir lagi. Yang ia lakukan hanya terus berontak dengan menendang-nendang kan kakinya.

Sania tak bisa mengelaknya dan tak berdaya, dirinya hanya pasrah apa yang dilakukan laki-laki di sebelahnya. Dalam hatinya mengumpat habis-habisan.

Tiga puluh menit kemudian. Mobil memasuki halaman rumah yang luas. Dengan tembok pagar menjulang tinggi. Mobil berhenti tepat disebuah bangunan besar serta pintu yang terbuat dari besi terbuka dengan sendirinya.

"Cepat turun, sudah sampai, nih!" teriak sopir cepat -cepat membuka pintu mobil. Dan mendorong Sania hingga Sania terlempar dari dalam mobil.

"Bawa dia masuk kedalam, kita bikin senang-senang dulu sebelum kita eksekusi gadis ini."

Suara mereka terdengar miris di telinga Sania. tubuh Sania semakin bergetar. Jantungnya berdetak kencang. Dengan sigap seorang laki-laki meraih tubuh Sania dan mengangkatnya masuk ke dalam.

"Ya Allah, lindungi aku ya Allah!" teriak batin Sania.

Laki-laki itu menurunkan tubuh Sania dari gendongannya. Dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai. tangan laki-laki itu secara kasar melepas ikatan tali yang melilit tangan Sania. Serta melepas paksa satu per satu pakaian Sania. Hingga tak sehelai kain pun menutupi tubuh Sania.

KREEKK ...

Lakban yang menutupi mulut Sania di lepas secara kasar oleh laki-laki itu. Hingga sania merasakan kesakitan di sekitar mulutnya.

"Biadab kamu ...!" umpat Sania setelah mulutnya sudah tak terhalang lakban.

Namun laki-laki itu tak menghiraukan umpatan Sania. Ia dengan cepat menindih tubuh Sania, serta membekap bibir Sania dengan bibirnya yang tebal.

"Hai ...! Gantian dong, minggir! Biar aku yang merenggut kesuciannya. Kan aku yang mengajak kalian!" suara lantang laki-laki yang bertubuh kekar yang tadi bertugas sebagai pengemudi.

Laki-laki yang semula berada diatas tubuh Sania berdiri. Dan merobek- robek pakaian yang berserakan di lantai hingga terkoyak. dan melempar satu per satu pakaian itu agak jauh dari tubuh Sania.

Senia menjerit histeris dan berdiri dengan menutupi sebagian tubuhnya. Ia berusaha berlari.

Namun tiba-tiba laki-laki yang berada didekatnya meraih tubuh Sania dan membaringkan lagi tubuh Sania secara paksa. Dengan di bantu ke dua temannya memegangi anggota tubuh Sania.

Sania tak henti-hentinya berteriak minta ampun.

Namun mereka malah tertawa senang dengan memandang Sania rendah, membuat tubuh Sania merinding dan ketakutan.

Laki-laki itu dengan cepat melepas pakaiannya sendiri. serta menindih tubuh Sania. Ia tak menghiraukan rintihan Sania yang sangat memilukan, dan tangisan Sania yang terus minta ampun.

Bersambung

Bab 2. Korban salah sasaran.

Semakin Sania berteriak. Semakin brutal keempat laki-laki itu memperlakukan Sania bak Binatang. Berkali-kali Sania terkena tamparan. Hingga membuat Sania roboh dan tak sadarkan diri.

Sania hanya pasrah apa yang akan dilakukan oleh keempat laki-laki biadab itu. Menjerit Pun percuma tak ada yang mendengar, melawan pun tak mungkin dengan satu dibanding empat.

Mereka dengan kekerasan memperlakukan Sania bak budak nafsu. Dan mengoyak kesucian Sania. Sania hanya bisa menjerit dan minta ampun berkali-kali mengatakan salahku apa?

Namun belas kasian ke empat laki- laki itu tak reda juga setiap mendengar jeritan Sania.

Semakin Sania mohon ampun semakin brutal keempat laki-laki yang sudah di rasuki nafsu setan memperlakukan Sania. Hingga tubuh Sania lemas tak berdaya dan berkali-kali jatuh pingsan.

Namun belas kasian ke empat laki- laki itu tak reda juga setiap mendengar jeritan Sania.

Semakin Sania mohon ampun semakin brutal keempat laki-laki itu memperlakukan Sania. Hingga tubuh Sania lemas tak berdaya dan berkali-kali jatuh pingsan.

***

Dalam ruangan mewah, Berdiri seorang laki-laki bernama Bastian Wibisono. Ia seorang bos besar yang terkenal kejam. Ia mondar mandir di dalam ruangannya yang terjaga dua orang laki-laki di depan pintu tertutup, dengan pakaian serba hitam dan berwajah sangar.

"Kenapa hari ini perasaanku tidak enak?" pikir Bastian.

Bastian segera meraih ponsel yang ada di atas meja. Ia ingin menghubungi Daniel asisten pribadinya.

Dua hari yang lalu Daniel diberi tugas oleh Bastian untuk mencari seorang perempuan yang biasa berdiri di depan kampus Tri Buana untuk menunggu jemputan. Perempuan itu tak lain adalah putri dari tuan Edward yang bernama Sania. Sania merupakan target pembunuhan Bastian sebab dendam lama.

Bastian sudah memberikan Foto pada Daniel. Dengan lokasi dimana Sania sering berada. Dan Bastian pagi tadi sudah mendapat berita kalau Sania putri tuan Edward sudah berada di gudang tempat eksekusi.

"Halo Daniel! Bagaimana tugasmu?" tanya Bastian dalam ponsel.

"Tugas sudah terlaksana dengan rapi. Tinggal eksekusi ke neraka yang belum terlaksana. Anak buah saya masih beraktivitas di dalam.

"Tunggu dulu, aku hendak ke sana! Aku hendak menyaksikan sendiri bagaimana putri tuan Edward sekarat?"

Bastian segera menutup ponselnya. Dan berlari kecil keluar ruangan menuju mobilnya yang terparkir di halaman markas.

Sedan hitam mewah yang dikemudikan Bastian melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalan raya. Jalan begitu lengang hanya terlihat genangan air dari derasnya hujan yang mengguyur aspal. Dan kilat sesekali mengeluarkan cahayanya. Serta petir menyambar bak memecah dunia.

Pikiran Bastian semakin bergejolak, apalagi dengan tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya di sertai angin kencang dan petir menggelegar bak memecah dunia suasana menjadi gelap.

"Ada apa ini? Kenapa perasaanku tak enak?" batin Bastian. Bastian semakin mempercepat laju mobilnya.

Dalam hitungan tiga puluh menit mobil Bastian sudah sampai di tempat tujuan. Ia dengan cepat turun.

"Dimana tawanan kita?" tanya Bastian pada Daniel yang berdiri tegang di depan pintu utama.

"Masih ada di dalam, Tuan!"

Dengan langkah tak sabar Bastian menuju pintu belakang. Dan membuka dengan kasar.

Bastian berdiri di depan pintu yang mana pintu sudah otomatis tertutup sendiri. Bastian terlambat, keempat laki-laki sudah berpakaian semua.

Ia terbiasa melihat pemandangan kekerasan yang di lakukan anak buah Daniel pada laki-laki di tempat ini. Tapi lain dengan apa yang di lihat Bastian hari ini.

Seorang wanita mengiba dengan tanpa sehelai benangpun ada ditubuhnya.

Ia bersimpuh di kaki salah satu anak buah Daniel dengan menangis tersedu-sedu mohon ampun.

Ampun Tuan, Ampun ...! Salah saya apa? Bunuh saja saya. Jangan siksa saya seperti ini. Kau punya ibu, kau juga punya anak kalau diperlakukan seperti saya bagaimana perasaan Tuan?"

"Plaakk!"

Sebuah tamparan keras mengenai pipi Sania hingga Sania roboh kelantai.

Tiba-tiba salah satu laki-laki yang ada di dekat Sania menjambak rambut Sania. Hingga kepala Sania mendongak persis menghadap wajah laki-laki itu.

Bastian yang masih berdiri dengan melihat cara kerja anak buah Daniel. Mengamati wajah Sania. Tiba-tiba Bastian menghentikan kegiatan anak buah Daniel.

"Cukup hentikan ...!" teriak Bastian yang membuat kaget semua yang ada di ruangan itu. Dan melihat arah suara Bastian. Satu per satu mereka minggir menjauhi Sania.

Bastian melangkah mendekati Sania yang tergeletak di lantai dengan posisi seperti udang.

Bastian meraih kain penutup meja yang ada di dekatnya. Dan  menutupi  tubuh Sania yang sudah lemas tak berdaya dengan melilitkan kain itu ke tubuh Sania.

Pelan-pelan Bastian membalikan tubuh Sania. Ia melihat Sania diam tak bergerak. Hanya genangan darah di sudut bibir Sania yang menetes di lengan Bastian.

"Ia pingsan," lirihnya dengan mengusap darah yang ada di sudut bibir Sania.

Bastian mengamati wajah Sania dengan seksama. Dengan membolak balikan wajah Sania. Ia terperanjat.

"Ini bukan Sania putri tuan Edward!" Teriak Bastian.

Bastian yakin, ia bukan Sania putri Tuan Edward yang merupakan target pencarian.  Dan rambut Sania putri tuan Edward pendek lurus sebahu. Tapi perempuan ini rambutnya panjang ikal panjang. Dengan panik Bastian berteriak memanggil Daniel asisten pribadinya.

"Daniel ...!" teriak Bastian.

Mereka yang ada di ruangan kaget mendengar teriakan Bastian. Mereka saling berpandangan.

Daniel yang berdiri di dekat pintu dengan segera mendekati Bastian.

"Siap, Tuan! Apa yang harus saya kerjakan lagi?"

"Bawa perempuan ini ke rumah induk. Suruh bibi Syanti merawatnya."

Daniel kaget mendengar perintah Bastian. Namun ia tak berani membantah perintah Bastian. Daniel dengan segera menyuruh anak buahnya mengangkat tubuh Sania yang sudah tak berdaya  ke dalam mobil. Sebelum Sania dibawa ke mobil.  Bastian berpesan agar tak satupun anak buah Daniel yang boleh  menyentuhnya apalagi berbuat kasar.

"Siap tuan!" Daniel segera keluar mengikuti anak buahnya.

Tubuh Bastian gemetar. Wajahnya menjadi pucat. Ia mengutuk anak buah Daniel yang gegabah dalam melakukan tugas.

"Sialan ...! Kenapa bisa salah sasaran.?" gumam Bastian.

Bastian yang seperti orang bingung. Tiba-tiba matanya tertuju pada ransel yang tergeletak di lantai.

Bastian  meraih tas itu. Ia yakin kalau tas ransel yang tergeletak itu milik Sania. Perlahan Bastian membukanya,  dan satu per satu ia keluarkan isi tasnya. Ia ingin tau identitas perempuan itu.

Mata Bastian tertuju dompet kecil berwarna merah. Ia dengan cepat membukanya dan mengambil sebuah kartu kecil. Bastian tersentak kala melihat alamat yang tertera dalam KTP itu.

"Saniarita. dari kampung Cimanggis?"  lirihnya.

Bastian kaget dengan mata membulat sempurna. melihat nama yang tertera dalam KTP.  Sama persis nama anak tuan Edward. Wajahnya pun hampir mirip. Tapi Bastian yakin kalau perempuan itu bukan anak tuan Edward.

Bastian memukul meja untuk melepaskan kekesalannya.

"Sialan ...! Kenapa bisa salah sasaran. Dasar goblog, diserahi begitu saja nggak becus." lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Bastian.

Bastian meraih tas ransel milik Sania dan dibawa keluar. Dengan cepat Bastian memacu mobilnya menuju markas. Rumah yang biasa dijadikan tempat transaksi bisnis hitamnya.

***

Perlahan Sania membuka matanya. Ia memandang sekeliling, semua tampak asing. Sania berusaha bangun dari pembaringannya. Namun sepertinya rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat dirinya susah bergerak.

"Aduuhh ...!" suara keluar dari mulut Sania dengan memegang keningnya.

"Kenapa kepalaku pusing? Dan tubuhku sakit semua?" Sania kembali lagi menghempaskan tubuhnya.

Bersambung.

Bab 3. Penyesalan Bastian.

"Kenapa kepalaku pusing? Dan tubuhku sakit semua?" Sania kembali lagi menghempaskan tubuhnya.

Bibi Santi wanita berusia paruh baya. Yang bekerja hampir lima tahun di rumah Bastian. Ia ditugaskan oleh Bastian menjaga serta merawat rumah Bastian.

Bibi Santi termasuk pembantu kesayangan Bastian. Ia sangat mengistimewakan bibi Santi dengan memberi fasilitas dan gaji yang cukup mahal. Sebab bibi Santi orang yang sangat bisa dipercaya tentang rahasia Bastian. Dan hari ini bibi Santi diberi tugas merawat Sania.

Bibi Santi yang duduk di dekat Sania yang terbaring lemas dan pucat. Bibi Santi tak mengetahui apa yang terjadi dengan Sania. Ia juga tak berani menanyakan. Ia takut Bastian marah. Apalagi Bastian berpesan pada bibi Santi. Tugas bibi Santi menjalankan perintah Bastian untuk mengurusi rumah serta memasak untuk anak buah Bastian.

"Tenang, Nona! Nona harus istirahat. Nona masih sakit," suara bibi Santi dengan lembut.

Sania yang baru sadar dari pingsannya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi pada dirinya. Dengan mengernyitkan keningnya. Ia terus mengingat-ingat dan bertanya-tanya pada dirinya, apa yang telah terjadi?

Namun ia tetap tak menemukan jawaban. Sania mencoba bertanya pada bibi Santi.

"Ada apa denganku? Kenapa aku ada di sini?"

Bibi Santi tersenyum dengan mengusap-usap lengan Sania.

"Nona ditemukan tuan Bastian dalam keadaan pingsan dan dibawa ke sini."

Sania menoleh perlahan ke arah wanita yang ada di sampingnya. Dengan rasa curiga Sania menatap bibi Santi. Sania terus memandang bibi Santi menunggu jawaban jujur yang keluar dari mulut wanita bertubuh subur.

"Panggil saja saya, Bik Santi," kata pelan bibi Santi. "Nona nggak usah takut saya diberi tugas tuan Bastian untuk merawat Nyonya."

Sania mengernyitkan dahinya dan berusaha mengingat kembali apa yang terjadi dengan dirinya.

"Siapa tuan Bastian, Bik?"

Bibi Santi tersenyum, dengan memandang ramah Sania, "Ia yang menolong Nona, dan menyuruh anak buahnya untuk mengantar Nona ke sini."

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar berderit yang mengagetkan Sania. Sania mengarahkan pandanganya ke arah pintu.

Berdiri seorang laki-laki dengan postur tinggi tegap dengan rambut cepak, berkulit putih, dan berhidung mancung. Dengan tatapan cemas pada Sania.

"Alhamdulilah Nona sudah siuman," suara pelan Bastian dengan memberi isyarat agar bibi Santi meninggalkan kamar.

Sania diam. Ia tak menjawab pertanyaan Bastian. Ia menatap Bastian dengan lekat. Ingatannya mulai kembali normal. Ia baru paham dan ingat apa yang barusan terjadi pada dirinya. Sania dengan cepat menutup matanya dengan telapak tangannya. Dalam otaknya terbayang silih berganti laki-laki yang menganiaya dan merenggut kesuciannya.

"Pergii ...!" teriak Sania dengan histeris. "Kenapa kamu tak membiarkan aku mati saja? Pastinya kamu juga gerombolan laki-laki biadab itu. Pergi ...!"

Sania duduk dan menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya dengan posisi memeluk lututnya. Tubuhnya berguncang-guncang dan terdengar tangisan histeris Sania.

Bastian dengan sedikit ragu melangkahkan kakinya mendekati Sania yang nampak ketakutan.

"Jangan takut, saya orang baik-baik," Bastian menyeret kursi yang ada di dekatnya, dan duduk menghadap Sania.

"Maafkan saya, memang mereka teman-temanku. Tapi aku tak ikut melakukannya. Dia salah sasaran, aku akan bertanggung jawab dengan semua itu."

Dengan cepat Sania membuka telapak tangannya dan menatap wajah Bastian dengan tersirat penuh kebencian. Rasa pusing hilang seketika. Ia segera menghapus air matanya dengan kedua punggung tangannya secara bergantian, dan menyibakkan selimutnya untuk turun dari ranjang.

"Semudah itu kamu bilang tanggung jawab setelah aku ternoda dengan teman-temanmu yang biadab itu!" teriak Sania lagi dengan mata memandang tajam Bastian.

Sania turun dari ranjang dan melangkah hendak pergi. Tiba-tiba Bastian meraih tangan Sania.

"Aku akan bertanggung jawab," ungkap Bastian lagi dengan memegang erat-erat pergelangan tangan Sania tanpa memandang Sania. "Aku akan menikahi kamu!" lanjut Bastian. tetap pandangan lurus ke depan tanpa memandang Sania.

Sania tersentak. Sudut matanya memandang laki-laki yang masih memegang erat pergelangan tangannya.

"Lepaskan ...!" teriak Sania dengan nafas terengah-engah menahan amarah.

Namun Bastian tak melepas tangan Sania.

"Lepaskan ...!" teriak Sania lagi. Dengan berusaha menarik tangannya dari pegangan erat Bastian, "Aku akan teriak. Biar warga di sekitar akan memukuli kamu. Dan aku akan bilang kalau aku korban kebiadaban kamu dan teman-temanmu!" umpat Sania dengan menarik tangannya hingga terlepas dari tangan Bastian.

Sania berlari kecil dengan tertatih-tatih menahan sakit mendekati pintu. Ia sekuat tenaga menarik gagang pintu. Dengan panik memutar-mutar gagang pintu.

"Kenapa pintunya kau kunci?!" teriak Sania dengan menatap tajam Bastian yang berdiri mematung dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Dan menatap Sania yang duduk bersimpuh di depan pintu sambil menangis tersedu-sedu.

"Percuma kamu teriak sampai suaramu habis, tak bakalan ada orang yang mendengar. Di sekitar sini tak ada warga, dan rumah ini tertutup pagar tinggi," Bastian dengan nada santai menjelaskan pada Sania.

Ucapan Bastian membuat Sania semakin kesal. Ia merasakan Bastian sepertinya menganggap remeh apa yang dialami Sania, Dan menganggap hal kecil.

"Kamu jahat, apa salahku hingga kamu dan teman-temanmu merenggut kesucianku?" suara Sania diiringi isakan tangis, "bunuh saja aku, bunuh saja aku ...!" Sania memukul-mukul pintu.

Bastian terdiam. Ia memandang Sania dengan tatapan iba. Tak terbiasa ia mempunyai perasaan seperti itu terhadap siapa pun yang ada di depannya.

Bastian melangkah pelan mendekati Sania dan duduk jongkok mensejajarkan posisi Sania.

"Percayalah aku akan menikahi mu," ucap Bastian tiba-tiba lembut.

Sania mendongakkan kepalanya dengan pelan. Ia menatap tajam Bastian penuh kebencian.

"Segampang itu kamu ucapkan pernikahan. Sedangkan pernikahan itu atas dasar cinta dan bukan karena iba. Kamu kasian kan, sama aku? Maka kamu menikahi ku?"

Bastian menggeleng dengan pelan. Tiba-tiba terdengar suara ponsel dari saku Bastian. Bastian berdiri merogoh saku celananya. Dan segera mengangkat ponselnya serta menempelkan ke telinganya.

"Aku segera kesana." kata singkat Bastian.

Bastian kembali menutup ponselnya, melangkah mendekati Sania lagi.

"Sania, berdirilah. Namamu Sania, Kan? Jangan kaget aku menemukan KTP kamu."

Bastian membuka dompetnya dan menyodorkan benda kecil ke arah Sania.

"Ini KTP kamu, aku temukan waktu peristiwa itu terjadi."

Dengan kasar Sania meraih kartu itu. Dan melirik wajah Bastian penuh kebencian.

Bastian mencoba membantu Sania berdiri. Namun dengan sigap Sania menepis tangan Bastian.

"Jangan sentuh aku!" suara kasar Sania berusaha berdiri.

Bastian terpaku, menatap Sania dengan rasa bersalah. Kesalahan itu terus menggerogoti pikiran dan hatinya. Sehingga Bastian harus bertanggung jawab. Dan ia berjanji akan menikahi Sania. Ia tak mau ada penolakan dari mulut Sania.

Entah nantinya selesai pernikahan itu bagaimana. Yang terpenting dari dalam hati Bastian sudah menebus kesalahan dengan menikahi Sania.

Sania diam tanpa mengucap sepatah katapun. Ia hanya melihat sepintas Bastian hendak keluar dari kamar sambil mengatakan.

"Aku harus pergi, ada hal penting yang harus aku selesaikan. Kalau kamu menginginkan sesuatu mintalah bantuan pada bibi Santi."

Bastian menunjukkan sebuah tombol kecil mirip bel di samping pintu untuk memanggil bibi Santi.

Bastian keluar. Meninggalkan Sania yang berdiri terpaku tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.

Dengan nafas tersengal-sengal penuh kemarahan, Sania mengumpat Bastian, sambil mengepalkan kedua tangannya dengan geram.

"Laki-laki biadab, brengsek, kenapa kau mengurungku disini?"

Sania memandang sekeliling, melihat kalau ada celah pintu atau jendela untuk keluar. Ia melihat Jendela panjang, dengan bentangan kaca tembus pemandangan keluar, yang tertutup tirai transparan berwarna putih. Sania hendak melangkah ke arah jendela. Namun tiba-tiba ia merasakan kesakitan pada kedua pahanya.

"Auhhh ...! Kenapa selangkanganku sakit dan perih!" rintih Sania sambil memegang bawah pusar, ia tetap berusaha melangkah mendekati jendela.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!