Wanita bedaster kuning kunyit itu buru-buru melangkahkan kakinya untuk membukakan pintu ketika deru suara mesin mobil terdengar.
Wajahnya yang lusuh dan tampak lelah itu begitu bersemangat ketika tangannya memutar kenop pintu.
"Waalaikumsalam.." jawabnya ceria ketika mendengar suara sang suami datang. Namun suami tercintanya itu justru menatap kosong ke arah dalam alih-alih menyambut uluran tangan istrinya. Tubuh kokoh terbalut kemeja putih itu meleset tak memperdulikannya.
"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak bersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
Dinar sang istri tampak bingung diacuhkan suaminya. Dinar menatap lurus suaminya yang berjalan semakin jauh dari tempatnya berdiri.
Dinar gegas mengekor tidak mau ditinggalkan oleh suaminya.
Kebiasaan Dinar adalah suka bercerita banyak hal pada Irham ketika lelaki itu pulang bekerja.
"Mas, tadi...
Ucapan si wanita terhenti mendapati tatapan tajam suaminya.
Dinar masih tersenyum ceria saat tiba-tiba senyum itu perlahan menghilang.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah?"
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
"Tapi kenapa, Mas?" Dinar bertanya bingung. Irham menggeleng kecil lalu menatap jengah wanita yang telah memberinya seorang putra tiga tahun yang lalu. "Mas..."
"Aku ingin kita sendiri -sendiri dulu, sungguh, aku lelah hidup bersamamu." Irham pergi meninggalkan Dinar yang tak paham maksud dari ucapan sang suami. Apa yang salah darinya?
Dinar menatap pintu kamar yang telah tertutup rapat. Dinar mencoba mengingat letak kesalahannya yang membuat Irham kesal, tapi tak menemukan kesalahannya.
Apa yang membuat Irham lelah hidup bersamanya?
Dinar tidak menyusul suaminya, dia berencana membicarakan semuanya besok, saat ini putra semata wayang mereka tengah rewel karena demam, Dinar memilih untuk menidurkan Ilyas.
Dinar berpikir positif kemarahan suaminya sebab Irham sedang banyak pikiran. Dan, akan reda esok hari.
******
Pagi harinya Dinar bangun kesiangan. Semalam dia benar-benar bergadang karena menjaga Ilyas. Ia keluar kamar setelah melakukan shalat yang sudah sangat terlambat.
Saat membuka pintu, Dinar menemukan Irham duduk di meja makan menikmati sarapannya.
"Mas, maaf aku tidak menyiapkan sarapan untukmu, aku baru bangun karena..."
Prang!
Irham dengan kasar membanting sendok di atas piring yang masih menyisakan nasi goreng. Membuat Dinar kaget dan memundurkan langkahnya. Yang hendak menghampiri Irham untuk di cium pipinya. "Mas..." Apakah Irham benar-benar serius dengan ucapannya semalam? Tapi kenapa?
Dinar terus mencoba cari letak salahnya sampai suara Irham membuatnya tersadar. "Aku tidak menemukan bahan makanan di kulkas selain telur dan nasi dingin, bagaimana mungkin kamu membiarkan kulkas kosong seperti itu sementara kita butuh stok bahan makanan?"
Dinar kelabakan. Dia benar-benar lupa mengabari Irham jika sudah waktunya mereka berbelanja.
"Mas aku benar-benar lupa, padahal..."
"Apasih yang becus kamu lakukan ? Semua yang kamu kerjakan selalu kacau balau."
Sungguh, muak sekali Irham melihat tingkah polah istrinya.
Dan, Dinar dibuat kaget dengan ucapan Irham.
*******
Pagi itu Irham meninggal Dinar dengan perasaan dongkol bukan main, sampai-sampai dia melupakan putranya yang belum disapanya sejak kemarin.
Di pondok tempatnya mengajar dia dikejutkan dengan kedatangan guru agung dari kota Jombang.
Irham kalang kabut sebab tidak ada persiapan apa-apa dan tamu sudah tiba.
Irham buru-buru mencari penanggung jawabnya.
"Pak Kyai yang meminta Gus Irham sendiri yang menyiapkan sambutannya." kata salah satu guru pembantu disana.
"Abah tidak memberitahu ku." ucap Irham membela diri.
"Bukankah minggu lalu Pak Kyai datang kerumah njenengan Gus?" tanya guru tersebut.
Minggu lalu?
Irham mengingat bahwa minggu lalu dia ada isi kajian di luar kota, sudah pasti mereka tidak bertemu secara langsung, kalau begitu mertuanya pasti menyampaikan hal itu pada Dinar, tapi dengan bodohnya wanita itu tidak memberitahunya. Irham geram, mau ditaruh mana mukanya saat ini?
Irham adalah tipe orang serius, dia tidak suka dengan keteledoran, sayang dia berjodoh dengan wanita yang kurang pintar dalam hal kedisiplinan, ah, bukan kurang pintar tapi tidak bisa sama sekali.
Bagaimana dulu dia bisa jatuh cinta dengan Dinar?
Benar-benar tidak masuk akal.
Sore, setelah berperang dengan emosi dan menyelesaikan sambutan dadakan yang berjalan sukses. Ponselnya bergetar. Melihat nama sang istri yang tertera disana ia enggan untuk membukanya. Ia biarkan saja, dan memilih merapikan buku-bukunya sebelum pulang.
Irham menaiki mobilnya dan menuju rumahnya dengan malas dan kesal. Di jalan dia melihat minimarket dan menepi untuk membeli beberapa bahan makanan. Sebab, ia yakin jika Dinar tidak akan mau pergi kemanapun tanpa dirinya.
Dan, itu benar-benar terbukti. Saat dia datang sambut suara tangisan Ilyas yang ia dapati.
Putranya merengek minta susu dan kebodohan Dinar dia melupakan susu putranya, dibiarkan habis begitu saja.
"Mas, sudah pulang?" tanya Dinar mencoba ceria. Tapi, nampak gurat lelah yang tak bisa ia sembunyikan.
Emosi Irham semakin menjadi melihat anaknya kelaparan, keadaan rumah kacau balau. Dan... Jangan lupakan tampilan lusuh istrinya.
Apa sih kerjaan wanita ini, sekedar menyenangkan pandangan suami saja tidak becus.
Irham lemas melihat itu. Dia bagai hidup di dalam neraka.
Meluap sudah amarah Irham. Hampir empat tahun kekecewaan yang ia pendam untuk istrinya ia luahkan.
"Kamu itu nggak becus jadi istri, nggak becus jadi ibu. Hari ini kamu sudah membuatku menahan malu, kenapa kamu tidak bisa apa-apa? Sumpah aku menyesal menikah dengan wanita tidak tahu apa-apa kayak kamu, Dinar."
Hening.
Irham menghela nafas berat ketika melihat mata Dinar berkaca-kaca. Ingin memeluknya karena merasa bersalah tapi dia takut Dinar kembali besar kepala, jadilah, setelah memaki-maki istrinya dia berlalu meninggalkan Dinar untuk segera menyegarkan diri.
*****
Usai mandi Irham tak mendapati Dinar dikamar. Biasanya wanita itu selalu ada ketika dia sudah berada dikamar, Dinar suka menggodanya, mengajaknya bercanda, meski Irham tak pernah tanggapi, Dinar sangat riuh, suka bicara terlalu banyak membuat Irham pusing. Tapi tidak untuk saat ini. Kamar tampak lenggang, tidak ada Dinar yang rusuh. Itu membuat alis Irham bertaut.
Usai memakai pakaian, Irham keluar kamar untuk mencari keberadaan anak dan istrinya.
Irham tertegun melihat Dinar yang duduk di hadapan putranya dengan semangkuk mie instan. Dinar terlihat berbeda. Ia tampak pucat, tangannya yang menyuap mie itu terlihat bergetar. Irham jadi serba salah dibuatnya.
Ia ingin menghampiri tapi gengsi. Jadilah Irham menghampiri putranya.
"Ilyas ayo sama Abi!" ajaknya pada putranya.
Ilyas segera tersenyum lebar dan masuk ke gendongan Irham. Irham melirik Dinar yang menikmati mie instan dengan lahap. Irham tertegun, mengingat selama ini istrinya tak menyukai makanan itu. Apa tangannya yang bergetar itu sebab sangat kelaparan?
"Kamu..." Irham ragu untuk bertanya, tapi dia penasaran. "Kamu nggak masak tadi?"
Gerakan tangan Dinar terhenti. Wanita yang biasanya selalu cerewet itu kini hanya mendongakkan kepalanya sebelum akhirnya menjawab tanya Irham.
"Kan, bahan makanan dirumah habis, Mas." lirihnya.
Alih-alih kasihan Irham justru geram.
"Kamu hidup di lingkungan yang segala sesuatunya bisa di jangkau dengan mudah, tinggal keluar dari sini tidak sampai dua ratus meter sudah banyak kios berjajar disana yang menjual bermacam jenis bahan makanan." bentak Irham tanpa sadar.
Istrinya ini benar-benar.
Wanita berwajah kuyu sempat terjingkat sebab kaget, tapi Irham sempat melihat senyum kecilnya. Sebelum ucapan itu menampar harga dirinya.
"Beli pakai apa?" tanya Dinar dengan mata berkaca-kaca. "Berkali-kali aku hubungi Mas Irham tapi mas tidak angkat."
Irham tersentak dengan jawaban Dinar.
"Aku sibuk Dinar, itulah mengapa aku tidak mengangkat telepon darimu." Irham merasa bersalah, tapi ia enggan menunjukkan pada Dinar.
Dinar tersenyum tipis, sangat tipis, di usapnya kasar air mata yang merembes di pipinya.
Dinar menyadari ucapan Irham kemarin malam benar-benar dari hati laki-laki yang dihadapannya ini.
Tapi sampai detik ini dia tak menemukan dimana titik salahnya yang membuat suaminya marah apalagi sampai menyesal menikahinya.
Tidak ada lagi sosok Irham yang lembut dan selalu mengerti dirinya. Irham sudah jemu hidup dengannya, tapi Dinar berharap Irham tidak menyesal memiliki Ilyas diantara mereka.
Dinar menggigit bibir bawahnya kuat. Berusaha menahan Isak yang menyesakkan dada.
Apakah hanya empat tahun saja perjalanan mereka mengarungi samudra bernamakan rumah tangga?
Dinar sangat mencintai suaminya. Terhitung sejak akad empat tahun lalu. Sejak hari dimana abahnya menunjuk laki-laki yang akan menjadi imamnya.
Saat itu usianya baru 19tahun. Dinar seorang hafidz Qur'an, lulus SMA dia memilih kuliah online sambil membantu abahnya mengurus pondok pesantren Al-Hasan.
Sementara Irham adalah seorang santri yang kebetulan mondok di pesantren Al-Hasan.
Hari itu tiba-tiba abahnya memperkenalkan seorang laki-laki yang akan dipercayakan untuk menikahi Dinar, yang di gadang akan mampu menggantikan beliau memimpin pondok, sebab Dinar masih sangat muda dan pastinya orang tuanya tidak akan tega meletakkan beban dipundak sang putri.
Dan laki-laki terpilih itu adalah Ahnafi Irham yang di tunjuk sendiri oleh Ahmad Sulaiman sebagai calon suami putri semata wayangnya. Dinar Nurbaiti.
Jika diingat kembali dari mulai pernikahan mereka, tidak pernah ada permasalahan yang serius. Di bulan kedua pernikahan, Dinar sudah dinyatakan mengandung benih Irham.
Antara Irham dan Dinar terpaut enam tahun. Kala itu Irham masih berusia dua puluh lima tahun ketika menikah dengan Dinar.
Kehamilan Ilyas kala itu tidaklah mudah Dinar lalui, sebab wanita muda itu mengalami mabuk parah hingga usia kandungannya genap tujuh bulan.
Bukan manja, tapi dia tidak diizinkan melakukan banyak hal sebab menjaga nyawa lain di tubuhnya.
Beruntungnya sebagai suami Irham sangat mengerti, selama ini dia yang akan mengurus rumah dan memasak untuk mereka.
Dinar hanya membantu sesekali di saat rasa mual dan pening nya kurang.
"Bersiaplah, kita pergi belanja untuk keperluan satu bulan." Mendengar perkataan suaminya membuat Dinar kembali dari renungan hatinya. Dinar menoleh. Melihat wajah datar Dinar Irham tercekat. Ini kali pertama ia melihat wajah tanpa ekspresi sang istri ketika diajak keluar rumah. Biasanya Dinar akan bersorak persis seperti anak kecil yang diberikan mainan favoritnya.
"Aku nggak ikut Mas, kamu pergi sendiri saja." Dinar berdiri dari duduknya. "Mas. Aku ke kamar dulu." Dinar melesat menjauh dari tangan Irham yang hendak menyentuh pundaknya.
Sementara Irham terdiam. Ada rasa yang aneh di dada melihat sikap sang istri yang tak seperti biasanya.
*****
Malam itu tidak seperti malam biasanya yang begitu riuh dengan suara Ilyas dan Dinar. Malam ini Irham merasa rumahnya terasa sunyi. Jika biasanya akan ada Dinar yang bermain di ruang tengah dengan Ilyas, kini wanita itu memilih mengurung diri di kamar.
Irham jarang menghabiskan waktu bersama Ilyas, karena kesibukannya, dan bersyukur Ilyas tak kesepian sebab Dinar selalu berhasil menemaninya bermain layaknya teman, bahkan mungkin lebih hebat dibanding seorang ibu lainnya.
Tapi, Dinar sangat banyak kurangnya Dimata Irham. Harusnya Dinar sudah bisa melakukan banyak hal untuknya. Mengingat Ilyas sudah tiga tahun. Tapi nyatanya sampai saat ini wanita itu masih bermalas-malasan.
Irham menyapukan pandangan di sekitarnya.
Dari ruang tamu sampai sampai ke halaman belakang tidak ada yang terlihat rapi, semua berantakan.
Dinar juga tidak mengurus dirinya sendiri membuat Irham muak melihatnya.
Pakaian yang dikenakannya hanya daster longgar lengan pendek, rambutnya hanya di ikat asal-asalan. Terlihat lusuh tak enak dipandang.
Irham termenung memikirkan segala kekacauan biduk rumah tangganya selama ini.
Irham jadi semakin tidak betah berada di rumah.
Setelah menyusun barang belanjaan Irham duduk menenangkan diri di sofa.
Ketika malam semakin larut. Irham akhirnya menyusul Dinar ke kamar mereka.
Irham melihat tubuh Dinar tidur membelakangi, empat tahun pernikahan baru kali ini ia melakukan hal demikian.
Biasanya ia akan selalu merengek minta di peluk, bercerita banyak hal yang membuatnya semakin pusing. Tapi kali ini, wanita itu mendadak jadi pendiam.
Irham menghembuskan nafas, lalu memejamkan mata. Sialnya, sudah satu jam ia coba tidur tetap saja tidak bisa. Ia membuka mata, beringsut bangun lalu duduk bersandar. Ia menatap tubuh sang istri yang nampak tenang.
Apakah ucapannya kemarin melukai hati istrinya?
Irham menghela nafasnya berat. Jujur saja ia sudah lelah menjadi suami dari istri yang tak bisa apa-apa. Ia juga ingin menjadi suami yang bangga memiliki istri yang bisa menyenangkan suaminya.
"Mas."
Irham tersentak kaget saat tiba-tiba istrinya memanggil.
"Mas, aku tanya, apa kamu sungguh lelah menikah denganku?" Irham bungkam.
"Aku harus bagaimana agar kamu tidak lelah lagi?" Irham masih setia bungkam "Apa harus pergi dari sisimu?" Irham tersentak, tapi tak juga mengatakan apapun, seolah itu adalah satu keinginannya. Dinar menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Jadi, benar kamu ingin aku dan Ilyas pergi dari sisimu?"
Sudahlah, Melihat tak ada keinginan Irham untuk menjawab satupun dari pertanyaannya, Dinar sudah mendapat jawaban sebenarnya, bahwa suami yang menikahinya empat tahun lalu itu benar-benar ingin dirinya pergi.
*******
Irham membuka matanya kala suara azan terdengar berkumandang. Begitu melihat kesamping ia tak menemukan sang istri. Tumben, ke mana Dinar?
Ia lekas turun untuk mandi dan wudhu. Saat hendak pergi ke masjid dia mendengar sayup-sayup suara tangis dari kamar Ilyas.
Karena penasaran Irham mendekati kamar tersebut dan membuka pintunya. Tubuh Irham mematung di depan pintu melihat Dinar yang berusaha menenangkan Ilyas yang mencoba menyakiti dirinya sendiri.
Ini hal yang asing untuknya. Irham baru melihat tingkah Ilyas yang sulit di mengerti seperti itu.
"Sayang, kita main pedang-pedangan mau? Atau mau Umi ambilkan mainan yang baru Kakek belikan?" bujuk Dinar, yang langsung menumpahkan satu box besar mainan milik Ilyas.
Tapi itu semakin mengejutkan Irham ketika Ilyas dengan brutalnya melempari wajah Dinar dengan mainan yang baru saja Dinar tumpahkan. Irham sampai tersentak dibuatnya.
Tanpa sadar ia masuk. "Ilyas!" bentaknya. Yang membuat Ilyas terdiam seketika karena kaget. Begitu juga dengan Dinar. "Apa yang kamu lakukan ke Umi, hah!"
Dinar menarik lengan kecil putranya. "Ilyas, kemari nak " bujuknya.
Irham melongo mendapati hal itu. Kenapa Dinar membiarkan anaknya berbuat kurang ajar seperti itu?
Hati Irham perih ketika melihat pipi putih istrinya tergores dan berdarah.
Ilyas memiliki keistimewaan dibanding anak lainnya. Ilyas Tantrum, dan Irham tidak tahu akan hal itu.
Kesibukannya di pondok sudah sangat menyita waktunya. Sebisa mungkin Dinar tidak ingin menambah beban pikirannya.
Selama ini Dinar hanya akan menceritakan hal-hal positif pada Irham, mengajaknya bergurau yang sebenarnya mencoba menguatkan diri sendiri tanpa mengeluh seberapa lelah dirinya menjaga buah hati mereka.
Dinar sadar, selama ini dia belum bisa membuat suaminya bahagia. Hamil hingga kini dia belum mampu menyenangkan hati Irham.
Mungkin Irham sudah berada di titik jenuh, dan mungkin kepergiannya bisa membuat beban suaminya terangkat.
Tapi, bagaimana dengan hatinya?
"Sama Abi..." Irham berusaha menjangkau tangan Ilyas tapi buru-buru Dinar menghalanginya.
"Apa sih? Kamu nggak bisa ajarin anakku dengan baik dan benar." sentak Irham ketika berhasil memegang tangan kecil Ilyas untuk di tarik kearahnya.
Sedikit kasar dan membuat Dinar khawatir.
"Mas benar, aku memang tidak becus melakukan apa-apa." perkataan Dinar membuat Irham tercubit, nampaknya ucapannya tempo hari benar-benar menyakiti perasaan perempuan itu. Tapi memang benar Dinar tidak bisa melakukan hal apapun dengan benar.
Irham pergi membawa Ilyas meninggalkan Dinar dengan perasaan kesal.
Tanpa Irham tau bagaimana lelahnya Dinar menemani perkembangan putranya. Jangankan berbenah rumah, untuk mandi saja Dinar jarang ada waktu karena Ilyas selalu mengajaknya main tiada henti. Jika saja Dinar tidak menuruti maka sifat tentrum sang anak akan kambuh, membanting dan berteriak.
Bisa saja ia kena lemparan barang seperti tadi jika tak sempat menghindar, tapi Irham tak pernah tahu sejauh itu.
Jika terlalu lelah yang dilakukan Dinar hanya bersalawat sambil berusaha menidurkan anaknya. Kadang Dinar menangis di kamar mandi, meluapkan air matanya agar hatinya tenang.
Dinar sadar jika Irham berharap ia bisa membantu banyak hal di rumah, suaminya dikenal sangat disiplin. Pernah Irham seolah menyindirnya beberapa kali, Irham ingin juga seperti temannya yang lain. Begitu sampai di rumah melihat istrinya yang menyambutnya dengan gembira, sedikit bersolek untuk suami tidak ada salahnya, rumah bersih, anak terjaga.
Dinar bukanya tidak peka atau kurang pengertian. Ia seperti ini juga karena menghargai Irham.
Menolak ketika orang tuanya menawarkan ingin menyewakan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya mengurus rumah.
Kala itu Irham bilang, membantu pekerjaan istri juga Rasulullah lakukan, suami istri harus saling membantu, hakikat rumah tangga saling menyenangkan pasangannya.
Tapi, kini laki-laki itu berkata lelah hidup dengannya.
******
Hampir jam tujuh pagi. Irham baru kembali dengan Ilyas yang terlelap di gendongannya.
Hari ini sebenarnya dia sangat ingin menceramahi istrinya banyak hal, sayangnya dia harus berangkat ke pondok sebab akan ada pemberangkatan santriwati yang akan mengikuti perlombaan Tartil Al Qur'an mewakili pesantren.
Irham merasa rumahnya jauh lebih rapi ketimbang biasanya, saat dia selesai mandi dan berpakaian, di meja makan sudah terhidang makanan, ada secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Di dapur ada Dinar yang terlihat jauh lebih enak dipandang tampilannya.
Tumben.
Emosinya sedikit mereda melihat hal itu.
Irham duduk untuk menikmati sarapannya. Masakan Dinar memang tidak seenak hidangan diluar sana, tapi Irham tidak pernah cerewet, asalkan Dinar masak dia selalu memakannya dengan lahab.
Dinar saja yang kurang bersyukur bersuamikan dirinya.
Usai sarapan dia pamit. Dinar mencium tangannya dengan lembut seperti biasa, bedanya Dinar tak lagi menyodorkan pipinya untuk di cium.
"Mas..." panggilnya. Dalam hati Irham mencibir, Dinar tetaplah Dinar, kecupan Irham tetaplah prioritas utama, dasar manja.
"Hmm..." ia berbalik melihat Dinar yang masih berdiri di tempatnya semula dengan tangan memilih ujung bajunya.
Kok nggak mendekat? Batinnya.
"Mau dimasakkan apa untuk makan malam?"
Hening!
"Apa sih? Aku udah telat kamu malah tanya hal nda penting." kesalnya sebab yang di harapkannya tak terwujud.
Yang Irham sadari sejak ucapannya hari itu sikap manja istrinya berubah. Jika biasanya Dinar akan merayunya kala marah, tapi sekarang wanita itu hanya terus diam dengan kepala yang di tundukkan.
"Aku ingin masak sesuatu yang mas inginkan sebelum pulang ke rumah Abah sore nanti."
Irham acuh, malah buru-buru menaiki mobilnya.
******
Di pondok Irham mengecek ponselnya, siapa tahu ada pesan dari sang istri. Tapi nihil, tak ada satupun pesan di sana. Ah, berarti perkataannya tadi hanya asal bicara. Irham memasukkan ponselnya lagi kedalam celana, dia akan mengantarkan Ibu mertuanya untuk mengantar para santriwati tampil.
"Assalamualaikum Gus," sapa salah seorang santri.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh, Bu yai ada?"
"Ada, njenengan sudah di tunggu."
Baru saja Irham hendak melangkah, Ibu mertuanya sudah keluar dari dalam.
"Maaf Ham, Umi jadi ngerepotin kamu, tadinya mau berangkat sama Abah, tapi dapat telepon dari istrimu ngakunya rindu rumah minta di jemput."
Deg!
Eh, seperti ada benda tajam yang menggores hatinya. Tapi, bukankah ini keinginannya untuk berjauhan dengan Dinar?
Irham termenung. Apakah ini ada hubungannya dengan kalimat yang diucapkan waktu itu? Apakah perpisahan adalah pilihannya?
Tapi, kok hatinya tak karuan hanya mendengar istrinya minta di jemput oleh orang tuanya.
*****
Irham pulang lebih awal, berharap masih bisa bertemu dengan Dinar. Dia benar-benar ingin bicara pada istrinya.
Namun, sesampainya di rumah mereka, sudah tidak ada siapa-siapa.
Rumahnya lenggang, sunyi sepi. Terasa aneh. Padahal ini yang ia inginkan bukan? Kesunyian.. Tanpa suara berisik Dinar yang memekakkan telinga.
Irham meraih ponselnya, tapi tidak ada satupun pesan yang dikirimkan Dinar. Padahal selama ini wanita itu tidak pernah berpergian tanpa dirinya.
Malam itu ia tak bisa tidur. Padahal selama ini meskipun Dinar berada di rumah ia tak pernah terlalu perduli pada sang istri.
Sudah ada setahun Irham memendam perasaannya. Rasa bosan beristrikan Dinar. Dia selama ini sudah sangat banyak mengalah untuk Dinar. Tapi perempuan itu tidak mau memperbaiki kesalahannya.
Dia seorang kepala keluarga. Tapi, sudah layaknya babu. Sekedar ganti gas LPG saja Dinar tidak bisa. Mentang-mentang orang tuanya orang berada dia jadi manja dan tidak tahu apa-apa. Dia wanita sudah menikah, sudah punya anak satu pula, mengapa masih begitu merepotkan Irham.
"Kalau sampai besok kamu tidak juga menghubungiku awas saja kamu Dinar." kesalnya sambil melempar ponsel nya ke kasur.
******
Pagi itu Irham bangun tanpa ada Dinar di sampingnya.
Sejak ucapannya kala itu Dinar memang seperti menghindarinya. Dan kini Dinar benar-benar pergi dari sisinya.
Hatinya tiba-tiba terasa kosong.
Di tatapnya sudut kamar yang tampak lenggang.
Dinar biasanya akan shalat begitu azan berkumandang.
Lucunya terlihat buru-buru bahkan tidak menyempatkan diri mandi padahal waktu masih sangat panjang.
Kadang ia dimasakkan, lebih sering masak sendiri. Harusnya Irham tidak usah resah, toh dia sendiri yang ingin menenangkan dirinya tanpa suara bising Dinar yang selalu banyak bicara ini dan itu yang sebenarnya tidak penting.
Tapi kenapa dia merasa kehilangan?
Pintu kamar Ilyas seolah memangilnya untuk di masuki, padahal tentu disana tidak ada anak dan istrinya.
Ya Allah, kenapa jadi sedih begini?
Ia jadi tak bersemangat mengajar, kenapa jadi begini perasaannya? Padahal baru semalam Dinar pergi, bukankah kemarin dengan lantang ia ingin agar Dinar pulang kerumah orang tuanya.
Mendadak wajah lelah istrinya ketika dia datang dari mengajar terbayang di pelupuk mata.
Benarkah dia se lelah itu? Padahal tidak ada yang wanita itu kerjakan dirumah.
Nyatanya tiap kali ia pulang. Rumah masih sama seperti saat ketika dia pergi, kadang yang bikin tercengang, Dinar pun masih mengenakan pakaian yang dipakainya sejak pagi.
Apa yang dikerjakan wanita itu sampai mandi saja tidak sempat?
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!